Psikologi: MASIH PERLUKAH IRI? 

0
55

Psikologi: MASIH PERLUKAH IRI? 

Merujuk di paparan sebelumnya, kita sudah membahas tentang pencapaian setiap orang yang pastinya berbeda. Namun, kita tidak bisa menafiki bahwa rasa iri terhadap mereka yang sudah jauh melesat memang sering menghantui pikiran kita. Hal ini diperparah dengan (de) motivasi orang-orang di sekitar, bahkan juga keluarga, dengan sering mengatakan hal-hal semacam ini, “Teman-temanmu sudah pada wisuda, kamu kapan?” lalu, “Itu anaknya Pak X minggu depan menikah. Kamu kapan ngenalin calon ke Bapak Ibu?” atau “Mbok ya cari kerja yang bener, masa serabutan terus dari zaman mahasiswa. Itu si A si B saja sudah mapan kerja di sini dan di sana.”

 

Jika kita pikir-pikir lagi, ucapan mereka memang tidak sepenuhnya salah. Logikanya, siapa sih yang tidak mau memiliki prestasi akademik, pertemanan yang luas, calon pasangan yang baik, dan kemapanan secara finansial? Rasa-rasanya hampir semua manusia di dunia ini menginginkan hal serupa. Sehingga, mengabaikan ucapan mereka dengan sebenar-benarnya tak acuh pun dirasa tidak bijak walaupun kita tahu tidak ada hidup ini yang bisa berjalan sempurna tanpa cela. Di sisi lain, mencari titik tengah di antara keduanya juga bukan perkara mudah.

 

Yang perlu saya garis bawahi di sini adalah hidup ini idealnya bukan untuk diri kita sendiri. Kita tidak bisa menjadi egois dalam mewujudkan setiap mimpi-mimpi kita saja. Ada orangtua yang sudah “banyak berinvestasi” dalam hidup kita. Ada keluarga yang sering kali ingin juga menceritakan tentang kebaikan kita pada khalayak. Maka wajar apabila mereka juga menanamkan ekspektasi atau harapan dalam hidup yang inginnya kita wujudkan untuk dipersembahkan kepada mereka.

 

Di sisi lain, ada ego terpendam yang sebenarnya ingin diekspresikan melalui jalan hidup tanpa intervensi dari orang lain. Mana pula mereka yang terlalu banyak memberi masukan sebenarnya tidak akan terlalu campur tangan ketika kita mengalami kesulitan di tengah jalan. Maka rasa kesal dalam hati kian membuncah ketika tahu bahwa orang-orang yang sebenarnya kita legakan hatinya, sampai-sampai kita harus mengorbankan mimpi kita sendiri, masih saja menyacati hasil perjuangan kita.

 

Titik-titik perasaan iri semakin tidak bisa terbendung ketika kita melihat ada orang lain yang seolah bisa meraih mimpi-mimpinya dengan dukungan penuh dari orang-orang di sekitarnya. Seolah indah terlihat ketika ada seseorang yang bisa merasakan proses pencapaian hidup dengan dukungan penuh dari orang-orang terdekat. Tidak ada yang meremehkan senantiasa diberi restu, diberi support lahir batin. Rasanya seperti nikmat sekali…

 

Tapi kembali lagi kita ingat di bab sebelumnya bahwasanya kekurangan adalah rahmat. Segala bentuk rintangan sebenarnya tercipta agar kita lebih kokoh dalam menghadapi kenyataan. Terbentur, terbentur, baru terbentuk.

 

TIDAK MENGAPA JIKA HARUS DIPANDANG SEBELAH MATA ORANG LAIN KETIKA MEREKA MELIHAT RINTISAN USAHA KITA YANG MASIH SANGAT BAYI. SERAPUH DAN SELEMAH LEMANNYA BAYI, MEREKA AKAN TETAP MENJADI HEBAT DENGAN KETELATENAN IBU YANG MELAHIRKANNYA.

 

Untuk itulah, ide-ide yang sudah kita lahirkan idealnya kita tekuni untuk dibesarkan menjadi hebat kelak di kemudian hari. Tidak bisa kita menuntut kesuksesan dan pengakuan dari orang lain hanya dengan sekejap mata. Di dunia ini proses yang instan seringnya tidak sehat. Maka dari itu, kedepankan proses dalam setiap meraih apa yang kita impikan. Seberapa pun rendahnya orang lain memandang input diri kita dalam bercita-cita, selama prosesnya benar dan tidak menzalimi siapa pun, maka output hanya tinggal menunggu kabar baik.

 

Tidak perlu panas hati ketika apa yang kita impikan dengan mudah didapatkan oleh orang lain. Saat itu terjadi, maka bersyukurlah, itu jadi pertanda dari Tuhan agar kita bisa belajar dari orang tersebut seperti apa rasanya menjadi seseorang yang beruntung mendapatkan impian tersebut. Seindah yang kita bayangkankah?

 

Pernah ada sedikit cerita. Saya dulu bercita-cita ingin sekali menjabat sebagai ketua umum organisasi jurusan di kampus saya. Dengan sepenuh hati saya mengabdi dan memberikan kontribusi sambil belajar banyak di organisasi tersebut sejak semester awal. Jauh sebelum waktunya saya bisa mendapatkan posisi mantap untuk mencalonkan diri dalam musyawarah anggota, saya sudah mempersiapkan visi misi yang tepat untuk membangun organisasi ini menjadi lebih maju dan berkembang. Sayangnya kehendak berkata lain. Dalam musyawarah anggota tidak satu pun yang maju mencalonkan nama saya. Layaknya orang Jawa yang paham unggah-ungguh, dan sadar diri saya hanya perempuan (terlepas dari perubahan zaman yang sudah tidak me. ngenal budaya patriarki), saya seolah tidak bisa berbuat apa-apa ketika mimpi saya terhempas begitu saja.

 

Akhirnya saya berusaha untuk berlapang dada menerima kenyataan bahwa harus kalah bahkan sebelum mendapatkan kesempatan untuk bertanding. Sayangnya ujian saya belum berhenti sampai di situ. Luka terasa belum kering betul, saya harus disayat pisau lagi ketika men: dengar teman baik saya melenggang maju ke podium dan dicalonkan sebagai calon ketum wanita dalam pemilihan. Layaknya sahabat yang normal, saya memang mendukung dia di hadapan khalayak, tapi jauh di dalam ruang yang tidak diketahui siapa pun kecuali Tuhan, saya sulit sekali menerima kenyataan.

 

Di atas luka sayatan itu ternyata Tuhan masih menguji saya dengan sedikit memberi garam. Sahabat saya berhasil terpilih menjadi ketua umum dan mengalahkan senior saya dalam musyawarah anggota. Saya pun bersikap idealnya teman yang berbangga pada pencapaiannya.

 

Hingga akhirnya dia merninta saya mendampinginya sebagai Sekretaris Umum untuk menjalani masa baktinya.

 

Akhirnya saya melanjutkan masa kontribusi saya di organisasi cukup dengan menjadi orang nomor dua. Saya pun menjalankan tugas seprofesional mungkin dan mulai mengabaikan mimpi masa lalu saya untuk mendapatkan kursi ketua umum yang saat itu berhasil diduduki oleh teman dekat saya. Tanpa bermaksud untuk menjadi pongah, saya justru bersyukur ketika tahu bahwa menjadi ketua umum ternyata bukan jabatan yang sepenuhnya menyenangkan. Saya justru mendapati teman saya kian hari kian kurus dan kelelahan selama menjalankan amanahnya. Bahkan tidak jarang ia harus tumbang dan dirawat secara intensif untuk mengembalikan kualitas kesehatannya.

 

Saya sedih sekali melihat keadaannya. Di saat saya sesekali masih leluasa bersenda gurau dengan seluruh anggota organisasi sambil menggali ide-ide baru, saya harus melihat teman saya menjadi manusia yang begitu pemikir dalam menghadapi segala sesuatu. Ia sering kali kehilangan waktu-waktu bersantainya hanya untuk menyelesaikan tanggung jawabnya. Belum lagi tugastugas kuliah yang masih menuntut kualitas yang sama. Ini pasti menjadi fase-fase yang berat baginya. Orangtuanya pasti tidak mau tahu dengan alasan apa pun. Di mata mereka prestasi belajar haruslah diutamakan di atas amanah lainnya.

 

Dari situ saya merasa sadar diri, bahwasanya saya tidak perlu iri dengan pencapaian orang lain. Bahkan bilamana pencapaian orang lain itu adalah sesuatu yang sebenarnya kita impikan. Tuhan lebih tahu seberapa besar kemampuan kita untuk menerima sesuatu. Jika dianalogikan impian saya menjadi ketua umum ditimbang beratnya mencapai 50 kilogram, sedangkan kemampuan saya ternyata hanya mampu menopang 35 kilogram, maka pantas saya diletakkan oleh-Nya sebagai sekretaris umum dalam organisasi. Kalau saja Tuhan malah menuruti ego saya untuk mendapatkan apa yang saya mau, belum tentu saya sekuat teman saya dalam menopang 50 kilogram beban itu sendirian.

 

SEMUA KETETAPAN YANG TERJADI DALAM HIDUP KITA SUDAR DITAKAR SESUAT PORSINYA MASING-MASING. TIDAK ADA YANG KURANG JUGA TIDAK ADA YANG LEBIH.

 

Bahkan kolaborasi saya dengan teman saya tersebut justru kian kompak dan mampu menyelesaikan masa bakti dengan sistem akselerasi. Hampir semua program kerja berjalan mulus. Dari situ saya mulai paham makna penting rasa syukur bahwa impian yang terlewat tidak perlu disesali sedemikian dalam.

 

Alih-alih waktu berlalu, saya dan teman saya pun menjalani kehidupan masing-masing. Sampai akhirnya ada sebuah panggilan kompetisi mahasiswa berprestasi. Nama kami berdua diajukan. Semua berkas kami persiapkan dengan sebaik-baiknya. Berlatih dari pengalaman sebelumnya, saya menggantungkan mimpi saya tetap pada ketinggian yang sepantasnya, sambil tidak lupa memijakkan kaki di bumi senaturalnya. Saya hanya tidak ingin menelan pil pahit lagi. Sehingga saya pun berjuang selaras kemampuan yang saya punya.

 

Tak dinyana, nama saya yang terpilih mewakili jurusan dan bukan nama teman saya. Tak patut saya berjingkrak-jingkrak terlalu gembira sebab mewakili jurusan di tingkat fakultas bukanlah perkara mudah. Harus ada pengorbanan dan ikhtiar yang lebih agar tidak memalukan saat membawa nama baik jurusan saya. Siang malam saya gunakan untuk belajar, berlatih, dan berdoa. Sampai akhirnya semua yang saya upayakan ternyata membuahkan hasil. Riwayat prestasi saya (yang sebenarnya belum seberapa), hasil karya tulis, dan presentasi saya ternyata meraih peringkat satu mengalahkan nama-nama yang bahkan memiliki IPK sangat tinggi dan mahasiswa yang pernah studi banding ke Timur Tengah. Kalau bukan Tuhan yang berkehendak, maka saya hanyalah pecundang di antara mereka.

 

Dari situlah saya diberi hak tiket untuk berangkat ke beberapa negara di ASEAN bersama perwakilan mahasiswa berprestasi dari fakultas lainnya. Mimpi pertama saya untuk bisa keluar negeri untuk belajar akhirnya pun terwujud. Terlebih saya bisa bertemu dengan orangorang hebat yang berpengaruh dalam pola pikir saya saat itu. Saya begitu bersyukur sambil tetap menjaga hati agar tidak terlalu terbang saat berada di puncak kebahagiaan. Sebab firasat saya mengatakan bahwa terlalu bahagia pun bisa melenakan dan mengurangi kualitas hidup kita.

 

Ternyata firasat saya sejalan dengan kenyataan. Terlepas dari semua rasa bangga yang membuncah dalam diri saya saat terpilih sebagai Mahasiswa Berprestasi Fakultas (yang sebenarnya biasa saja), ada teman saya sang mantan ketum organisasi jurusan yang ternyata sedang mendamaikan hati ketika impiannya saya dapatkan. Di balik segala support dan ucapan selamat yang ia berikan kepada saya, ternyata jauh di dalam hatinya ia ingin sekali menempati posisi yang saya dapatkan. Tapi dengan segala kebijaksanaannya, dia berusaha untuk tetap bersikap senatural mungkin supaya hubungan kami berdua tetap terjaga.

 

Tidak ada yang bisa menduga apa isi hati orang lain. Semua berhak merancang mimpi indah di masa depan. Semua orang pun berhak untuk merealisasikannya untuk menjadi kenyataan. Tapi mungkin tidak semua orang berhak untuk selalu meraih apa yang diimpikannya.

 

Hanya Tuhan yang berhak dan mampu untuk mengatur serta menakar porsi kepantasan kita untuk menerima sebuah keberhasilan. Karena sejatinya keberhasilan dalam hidup adalah sebuah ujian dan senyatanya hanyalah sebuah titipan. Mereka yang tidak mampu diuji dengan ujian keberhasilan, maka bukan tidak mungkin hatinya ditumbuhi bibit-bibit kesombongan.

 

Mereka yang tidak sadar bahwa keberhasilan senyatanya hanyalah sebuah titipan akan merasa begitu depresi ketika Tuhan tiba-tiba mencabut titik keberhasilannya dan meletakkan hidupnya ke dalam fase kegagalan. Sudah banyak contohnya orang yang tiba-tiba bunuh diri padahal kariernya terlihat sukses. Orang yang mendadak kejiwaannya begitu sakit padahal terlihat selalu berkecukupan. Semua ini terjadi ketika mereka belum menyiapkan sebenar-benarnya mental pemenang dalam jiwa mereka.

 

Untuk itulah saya mengajak siapa saja yang berkenan untuk membaca buku ini agar mulai membenahi pola pikirnya supaya bisa memiliki mental pemenang. Mengutip kata-kata dari Anies Baswedan bahwasanya seOrang pemenang sejati pastinya tidak akan mudah terbang ketika dipuji, dan tidak akan mudah tumbang ketika dicaci.

 

MEREKA YANG BERMENTAL PEMENANG TIDAK AKAN SULIT MENERIMA KEKALAHAN DAN TIDAK MUDAH IRI KETIKA MELIHAT ORANG LAIN BERHASIL. MEREKA JUSTRU SENANTIASA IKUT BERBAHAGIA KETIKA ORANG-ORANG DI SEKITARNYA BEGITU BERHASIL DALAM MERAIH VISI HIDUPNYA. SEBAB MEREKA SADAR BETUL BAHWASANYA BERJUANG SENDIRIAN DALAM MERAIH CITA-CITA ADALAH SESUATU YANG BERAT UNTUK DIJALANI DALAM KURUN WAKTU YANG LAMA.


PENGOBATAN ALTERNATIF
"PONDOK RUQYAH"
(SOLUSI PASTI DI JALAN ILLAHI)

Kami Jasa Solusi Problem Hidup. Masalah Tuntas Tanpa Bertentangan dengan Hukum Agama dan Negara.

MACAM PROBLEM DALAM PELAYANAN KAMI:
Solusi Problem Asmara, Rumah Tangga, Back Up Karir, Back Up Usaha, Jual Beli, Aura Pemikat, Bersih Diri / Ruwat / Ruqyah / Buang Sial, dll.

KAMI TIDAK MELAYANI SEGALA HAL YANG MELANGGAR HUKUM AGAMA DAN NEGARA.
Contoh: Bank Gaib, Uang Balik, Harta Gaib, Pesugihan, Aborsi / Menggugurkan Kandungan, Perjudian / Togel / Judi Online, Mencelakakan Orang / Santet / Teluh, dll.

ALAMAT PONDOK RUQYAH:
Dusun Kasemen, No.50, RT.05, RW.03, Desa Wangkalkepuh, Kecamatan Gudo, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Kodepos 61463.
🌐 https://pondok-ruqyah.com/
☎️ +6285708371817

PERINGATAN!
Hati-hati dan waspada terhadap penipuan online yang mengatasnamakan kami. Diutamakan datang langsung ke alamat kami untuk menghindari segala hal negatif. Terimakasih.
DATANG DENGAN NIAT BAIK
TIDAK UNTUK KEJAHATAN!