Psikologi: KEKURANGAN DIRI ADALAH RAHMAT-NYA
PERCAYAKAH KALIAN JIKA TERNYATA KEKURANGAN YANG TERDAPAT DALAM DIRI KITA SEBENARNYA ADALAH SEBUAH RAHMAT YANG DITITIPKAN OLEH YANG MAHA KUASA?
Ya, rahmat… alias kasih sayang. Pemikiran ini memang sulit untuk dicerna dan diyakini. Bagaimana mungkin kekurangan bisa dianggap sebagai rahmat? Namun memang begitulah kenyataannya. Kita bisa ambil konsep pemikiran semacam ini ketika melihat contoh dari kisah hidup Nick Vujicic. Siapa yang tidak kenal dengan dia? Hampir sebagian besar acara bermuatan motivasi seringnya menampilkan video singkat tentang kisah hidupnya, yang tetap bisa bertahan tanpa lengan dan kaki sejak bayi.
Kemudian, kita juga pasti mengenal kisah dari Hellen Keller. Sosok kenamaan yang gigih berjuang untuk bisa menerima kenyataan bahwa ia tidak bisa melihat dan mendengar apa pun yang ada di dunia ini. Nyatanya keduanya justru berhasil atas kekurangan yang dimilikinya. Mereka justru menginspirasi banyak orang untuk bangkit dari keputusasaan. Walaupun tidak bisa dinafikan bahwa pastinya mereka melewati masa-masa getir sampai akhirnya bisa berdamai dengan kenyataan.
Kalau dipikir-pikir lagi, bukankah mereka tidak akan bisa memotivasi banyak orang di dunia ini jika mereka tidak dianugerahi kekurangan-kekurangan itu dari Tuhan?
Justru, survei membuktikan bahwa apabila Tuhan hendak memberi hikmah atau maslahat yang besar kepada manusia, Dia biasanya menimpakan kenyataan/ ketetapan yang sangat berat dan pahit kepada hambaNya. Tuhan berharap agar manusia tidak terlalu sedih apabila menghadapi sebuah kehancuran, kekurangan, atau kenyataan pahit dalam hidup. Sebab sesungguhnya Tuhan sedang menyiapkan hikmah besar di baliknya.
Rasa minder dan sulit untuk bisa menerima kekurangan diri, rasa sedih yang teramat sangat ketika mendapat kegagalan, semua itu sebenarnya manusiawi dialami oleh banyak orang. Bahkan rasa-rasa semacam itu lebih sering dialami oleh mereka yang sudah biasa di puncak kejayaan dan keberhasilan. Sebab mereka belum terbiasa dan terlatih untuk menerima kenyataan pahit dalam hidup mereka.
Atau mungkin sebaliknya. Tidak jarang rasa-rasa yang berat juga dialami oleh seseorang ketika ia mendapatkan kegagalan yang terus menerus dan belum pernah merasakan di puncak keberhasilan. Padahal sewajarnya manusia, pastilah ingin sesekali hidupnya bisa mendapat apresiasi dan penerimaan dari orang lain. Akan begitu pahit rasanya jika seorang manusia mendapati diri selalu di posisi kelas dua yang tidak diperhitungkan kehadirannya. Orang-orang yang berada di posisi ini adalah orang-orang yang cenderung bisa berdamai dengan kekurangan dirinya.
ORANG-ORANG YANG JARANG BAHKAN BELUM PERNAH MENDAPAT APRESIASI ATAS KESUKSESAN AKAN SEMAKIN MUDAH UNTUK MENJADI PALSU DI HADAPAN PUBLIK.
Palsu di sini bukan berarti menjadi orang yang berkepribadian ganda, melainkan ia bertingkah menjadi sosok yang diharapkan orang lain. Seolah-olah ada keinginan untuk menggunakan topeng di depan banyak orang sebab ia ingin menutup cela yang ada di mukanya. Mengapa demikian? Sebab ia merasa dengan menjadi dirinya sendiri ia sulit diterima oleh masyarakat. Jangankan orang lain dirinya sendiri saja sulit menerima keadaan atau kodrat yang ada pada dirinya, bagaimana mungkin orang lain bisa menerima? Sedangkan sisi manusiawinya masih membutuhkan pujian dan tepuk tangan dari orang lain.
Kepalsuan demi kepalsuan yang akumulatif ini membuka peluang besar untuk menjauhkan diri manusia dari rahmat yang sebenarnya sudah digariskan. Bagaimana tidak? Orang-orang yang butuh penerimaan dari orang lain secara keterlaluan perlahan tapi pasti akan lupa pada penerimaan semesta kepadanya.
Disadari atau tidak orang yang terlalu mengimitasi banyak hal dari orang lain membuat dirinya terkubur dalam sesuatu yang homogen secara massal. Hingga akhirnya diri kita tidak lagi menjadi otentik dan unik karena terlalu banyak ingin meniru yang lain hanya karena ingin mendapat apresiasi dan penerimaan dari orang lain. Zaman ini memang zamannya peer pressure. Apa itu? Zaman di mana seseorang tidak berani menjadi berbeda dari mayoritas yang ada. Semacam sebuah paranoid tersendiri ketika mengetahui diri ini harus jaim dari yang lainnya. Padahal mungkin perbedaan yang kita ambil sebenarnya memiliki nilai yang jauh lebih benar dari kebanyakan manusia lainnya.
Contoh nyata, saat kita hendak memutuskan ingin pergi ke mana untuk wisata, kita terlalu banyak meminta pertimbangan dari banyak orang. Padahal yang akan pergi berwisata bukan mereka. Kita merasa tidak percaya diri dengan pilihan kita sendiri. Akhirnya, terlalu percaya dengan pendapat orang lain membuat perjalanan wisata kita tidak sesuai dengan ekspektasi diri. Mengapa? Sebab sejak penentuan keputusan sendiri sudah banyak intervensi.
Pada hakikatnya, mendengarkan masukan dari mereka mungkin bukan sebuah kesalahan. Kekurangan yang ada dari pilihan kita bisa saja terminimalisir dari pendapat dan saran orang lan. Namun, akan menjadi tidak bijak jika pendapat orang lam sudah memengaruhi pakan awal yang sudah kita ambil. Sebab hidup ini bukan mereka yang menjalani, tapi kita sendiri. Mereka hanya mampu memberi saran tapi tidak akan memberi pertang:gungjawaban atas setiap keputusan yang kita ambil.
Untuk itulah mengapa sesekali kita tidak perlu ambil pusing dengan apa yang orang lain katakan tentang kita, tentang sesuatu yang bagi mereka adalah sebuah kekurangan, tentang sesuatu yang mungkin sudah menjadi kodrat bagi kita tapi terlalu dipusingkan oleh mereka. Kita berhak untuk menentukan apa yang ingin kita lakukan, bukan dia, ataupun mereka.
Mandataris kehidupan sudah diberikan oleh Tuhan kepada kita secara legal. Kita berhak menentukan seperti apa perjalanan hidup yang akan dyelajahi. Kecuali jika kita hanya ingin bermental sebagai passenger bukan sebagai driver. Begitu kira-kira yang disampaikan Rhenald Kasali dalam bukunya yang berjudul “Self Driving”. Jadi, jangan biarkan penilaian orang lain mengendalikan diri kita dalam menjelajahi kehidupan hanya karena kita tidak bisa menerima kekurangan diri sendiri sebagai berkat.
Banyak orang yang merasa dirinya sudah “baik” di mata masyarakat justru tidak menemukan inti kebahagiaan dari hidupnya. Mereka merasa cap atau label yang diberikan oleh orang lain itu sudah cukup untuk “menjual” kapasitasnya di lingkup yang lebih luas. Padahal, yang mereka tawarkan itu bukan kapasitas dirinya sendiri melainkan hanya “label” atau “topeng” yang disematkan oleh orang lain kepadanya. Ia tidak berani hadir ke tengah masyarakat dengan sebenar-benarnya kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya.
Lalu salahkah jika kemudian ia merasa tidak bahagia karena lelah dengan segala label dan topeng yang dipakai dalam hidupnya? Orang-orang semacam ini yang perlu dipahamkan bahwa memiliki kekurangan dan kesalahan bukanlah sebuah bentuk kecacatan yang harus ditutupi. Memiliki kekurangan dan melakukan kesalahan adalah sesuatu yang mutlak dilakukan manusia. Kita bukan malaikat. Justru orang yang tidak pernah melakukan kesalahan sesungguhnya adalah orang yang tidak pernah berbuat apa-apa.
Kami Jasa Solusi Problem Hidup. Masalah Tuntas Tanpa Bertentangan dengan Hukum Agama dan Negara.
MACAM PROBLEM DALAM PELAYANAN KAMI:
Solusi Problem Asmara, Rumah Tangga, Back Up Karir, Back Up Usaha, Jual Beli, Aura Pemikat, Bersih Diri / Ruwat / Ruqyah / Buang Sial, dll.
KAMI TIDAK MELAYANI SEGALA HAL YANG MELANGGAR HUKUM AGAMA DAN NEGARA.
Contoh: Bank Gaib, Uang Balik, Harta Gaib, Pesugihan, Aborsi / Menggugurkan Kandungan, Perjudian / Togel / Judi Online, Mencelakakan Orang / Santet / Teluh, dll.
ALAMAT PONDOK RUQYAH:
Dusun Kasemen, No.50, RT.05, RW.03, Desa Wangkalkepuh, Kecamatan Gudo, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Kodepos 61463.
🌐 https://pondok-ruqyah.com/
☎️ +6285708371817
PERINGATAN!
Hati-hati dan waspada terhadap penipuan online yang mengatasnamakan kami. Diutamakan datang langsung ke alamat kami untuk menghindari segala hal negatif. Terimakasih.
DATANG DENGAN NIAT BAIK
TIDAK UNTUK KEJAHATAN!