Ngaji Bareng: WEJANGAN NABI KHIDIR KE SUNAN KALIJAGA

0
9

Ngaji Bareng: WEJANGAN NABI KHIDIR KE SUNAN KALIJAGA

Raden Mas Syahid atau juga disebut Lokajaya atau Syekh Malaya, adalah nama lain Sunan Kalijaga, putra Tumenggung Wilatikta, bupati Tuban.

 

Syahdan, setelah Lokajaya menempuh perjalanan yang begitu jauh dari Demak, akhirnya dia sampai di Keraton Pakungwati, Cirebon. Kebetulan Kanjeng Sunan Gunung Jati pada waktu itu tidak ada di tempat, sehingga dia harus menunggu, sampai berhari-hari. Saat menunggu, di pojok ruangan, terlihat oleh Lokajaya sepasang cangkir mirah berisi minuman. Lalu dia menjulurkan tangannya untuk mengambil cangkir itu karena saking hausnya, Belum lagi tangan tersebut menyentuh cangkir, lebih dahulu cangkir itu berkata, “Belum ada yang mengijinkan, kok berani minum.”

 

Mendengar suara cangkir itu, Lokajaya melongo terheran-heran, ada cangkir bisa bicara. Tenggorokan yang tadinya terasa kering saking hausnya, tidak terasa sama sekali malah merasa malu dan mengurungkan niatnya untuk minum.

 

Tak lama kemudian Sunan Gunung Jati datang menemui Lokajaya. Lokajaya segera sungkem. Setelah itu Lokajaya memohon, “Saya mohon kemurahan Paduka untuk diwejang sejatinya Syahadat dan sempurnanya Tauhid.” Mendengar permohonan Lokajaya, Kanjeng Sunan terdiam sebentar.

 

Gunung Jati berkata, “Adik, ini buah kemiri banyaknya seratus biji untuk bilangan selama berdzikir. Selain itu adik jangan pergi dari sini sebelum waktunya diwejang. Dan adik saya beri nama Kalijaga.” Lalu Sunan Gunung Jati meninggalkannya. Sejak itulah Lokajaya disebut Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga mematuhi perintah gurunya. Kalau malam in tiba dia naik ke atas pohon Andul dan siangnya berkebun. Sepanjang malam dihabiskannya untuk berdzikir, memuji kebesaran Illahi, Dzat Maha Pencipta Seru Sekalian Alam. Ini berlangsung hingga berbulan-bulan. Pada suatu malam, buah kemiri yang dipakai sebagai tasbih tersebut berjatuhan ke dalam sungai. Mengingat amanat guru, dia segera terjun ke dalam kali untuk memungut buah kemiri yang berjatuhan. Di tengah kesibukannya mencari buah kemiri di dasar kali, secara tiba-tiba datang banjir bandang yang menghanyutkannya sampai ke dasar laut. Dia timbul tenggelam terbawa arus hingga pingsan.

 

Di saat kritis itu, Kanjeng Nabi Hidir segera menangkapnya, lalu Kanjeng Sunan Kalijaga siuman. Begitu sadar, dia merasa ada di sebuah negeri yang subur makmur. Keadaan yang terang benderang tapi tidak menyilaukan pandangan.

 

“Duhai Eyang, mohon kemurahan Eyang, agar hamba dapat melihat lain jaman,” kata Sunan Kalijaga.

 

Nabi Hidir berkata sambil tertawa, “Jebeng Kalijaga, sekarang aku akan memberi kantung dan pisau pangaot sebagai alat tulis, terimalah ini sebagai ganjaran bagi orang yang setia mematuhi perintah guru. Terimalah! Selanjutnya silahkan makan sekenyangnya!”

 

Sunan Kalijaga segera makan hidangan pemberian Nabi Hidir. Makanan yang luar biasa lezatnya. Setelah selesai makan, kemudian di wejang ilmu Sejatining Syahadat dan Sampurnanya Tauhid.

 

“Duhai Eyang, hamba mohon petunjuk, Ilahi itu ada di mana?” tanya Sunan Kalijaga.

 

Nabi Hidir menjawab, “Kalau anda sungguh sungguh ingin tahu, pejamkan mata anda, dalam perasaan sirnakanlah wujud anda tinggal mata hati saja. Dan janganlah melihat apa-apa, hilangkahlah mata hati anda kepada segala sesuatu sehingga tidak terlihat apa-apa dalam padang yang luas tanpa batas, itulah Dia pribadi, bukan manusia. Dapatkan sanubari anda menangkap wejangku ini?”

 

Lalu Sunan Kalijaga membuka matanya, menghormat dan berkata, “Terima kasih Eyang, hamba dapat menerima dan menangkap sari wejangan Eyang. Penglihatan hamba sekarang jernih terang benderang. Hamba sekarang tahu kepada Ilahi Yang Maha Esa yang wajib disembah.”

 

Selanjutnya, Sunan Kalijaga merasa berada di suatu padang yang luas tanpa batas, tidak Selatan, Utara, Barat, dan Timur. Tidak matahari dan bulan. Kenyataan tersebut di hadapan Nabi Hidir. Kemudian melihat cahaya empat warna Cahaya yang begitu gemerlapan dan indah, yaitu cahaya merah, kuning, putih dan hitam. Setelah ditanya, Nabi Hidir memberi wejangan, “Cahaya yang empat warna itu ada di tubuh anda. Cahaya yang merah adalah cahaya nafsu amarah sifatnya buruk, panasan dan marahmarah, menutup kepada eling kepada kewaspadaannva budi. Cahaya kuning adalah cahayanya nafsu sufiyah, sifatnya buruk menghalangi cita-cita yang baik, serta menyenangi pekerjaan yang merusak. Sedangkan cahaya hitam adalah cahayanya nafsu Luwamah, sifatnya buruk, senantiasa menyesali dan kesukaran. Yang terakhir cahaya putih adalah cahayanya nafsu Mutmainah, sifatnya baik menyenangi ketenangan jiwa, cita-cita kepada budi pekerti yang luhur, kejayaan, keprawiraan, menuju kepada kemuliaan. Itulah yang dapat menerima sasmita yang terpenting sejatinya rupa itu. menerima anugrah, lestari Manunggalnya Kaula Gusti. Namun nafsu Mutmainah itu senantiasa dikeroyok oleh nafsu yang tiga itu. Kalau kurang kuat kesabaran, dapat tergoda oleh iblis, niscaya terbawa oleh setan yang sesat. Sebaliknya kalau lebih kuat cahaya putih itu, dapat mengatasi ketiga cahaya yang buruk akibatnya, nafsu Mutmainah menjadi Ratu yang utama. Nafsu yang ketiga itu berbalik memperkuat kedudukan nafsu Mutmainah.”

 

Setelah itu Sunan Kalijaga melihat sebuah nyala bersinar terang benderang serta mempunyai delapan warna cahaya laksana mutiara.

 

Kemudian Nabi Hidir memberi wejangan, “Itu adalah bibitnya nyala budi yang sejati, pancaran sinar cahaya Ilahiyah menghidupkan budi manusia. Tegasnya, segenap warna yang ada pada anda. Pula isinya alam semesta atau alam Kabir dan alam Sagir tidak ada perbedaannya sama sekali. Yang keempat cahaya pun sama, sehingga petanya alam Kabir dan alam Sagir ialah manusia.

 

Namun itu bukan Tuhan Yang Maha. Esa. Tuhan Yang Maha Esa adalah tanpa rupa, tanpa warna. Tapi bisa mewarnai, tiada bayangan tiada terlihat, tidak ada menempat di satu tempat. Keadaanya terlindung yang awas waspadanya semu, menggenapi, meliputi isinya semesta jagat raya. Menyeluruh kepada segenap kejadian. Keadaannya kalau diraba tidak kena.”

 

Kemudian Nabi Hidir melanjutkan wejangannya, “Kalau diumpamakan ilmu rasa ini, ibarat bumbu yang dicampur dengan ikan. Untuk menyatakan lezatnya itu, ya rasa. Rasa itu hati suci yang nyata. Yaitu Nurbuat sejatinya. Permulaan ada, sifat Jamal namanya. Kalau sudah keluar dinamakan Johar Awal. Selanjutnya yang dinamakan Syahadat itu penerima Ruh. Dari hatinya memancar rasanya kepada Allah. Sedangkan yang dinamakan Iman itu ialah tanpa putus-putusnya penglihatan rasanya kepada Allah. Apabila anda belum mencapai derajat seperti itu, belum sempurna imannya.

 

Harap diingat wahai Kalijaga, bahwa di dalam ruh itu ada rasa. Rasa itu ya rasa Allah. Sedangkan badan jasmani ini dikuasai oleh hati. Hati dikuasai oleh rasa. Rasa dikuasal oleh Allah. Setiap gerak-geriknya badan jasmani adalah tingkah gerak-geriknya rasa. Hakikatnya rasa, ya rasa, yaitu penerima yang tetap pad Dzatullah, Sifatullah dan Af’alullah. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW. bahwa golbunya orang mu’min itu gedungnya Allah.”

 

Setelah mendapat wejangan yang begitu mendalam dari Nabi Hidir, Sunan Kalijaga merasa tenang dan terbuka hatinya. Ilmu yang barusan diwejangkan merupakan anugerah yang tak ternilai harganya. Namun dalam sekejap perasaannya sekonyong-konyong telah berganti tempat. Dia melihat balai emas luhur yang bercahaya terang benderang begitu indahnya.

 

Nabi Hidir lalu menjelaskan apa yang dilihat itu, “Tempatnya batin adalah di situ. Sejatinya ya itulah. Keraton yang Agung Linuhung. Kalau diterima dan diizinkan Illahi, tidak perlu dicari lagi. Itu sejatinya ilmu. Walaupun manusia itu telah mati itu akan tetap abadi. Karena ilmunya telah merasuk dan dapat diterapkan di mana-mana. Pindah kemana pun juga tetap membawa Keraton.

 

Yang dibawa itu sungguh Keraton yang sudah ada pada diri anda. Karena jatinya pati. yang mati itu nafsu, sukmanya kembali kepada Yang Hag. Makanya beda dengan manusia yang belum tahu migeg-migeg blegedeg tidak berdaya, keras seperti batu, hanya jadi nasfu saja. hidup itu kalau meluncur dan keliru masuk, akhirnya diseret iblis, yang bukan-bukan yang dicari, akhirnya matinya seperti mati hewan.”

 

Setelah selesai diwejang sejatinya Syahadat dan sempurnanya Tauhid, Sunan Kalijaga menghaturkan terima kasih. Tak lama kemudian dia mohon diri untuk segera meninggalkan keratonnya Nabi Hidir. Pada saat itu pula balai kencana emas, tidak terlihat. Lenyap bersama Nabi Hidir. Sunan Kalijaga sudah kembali ke alamnya sendiri.


PENGOBATAN ALTERNATIF
"PONDOK RUQYAH"
(SOLUSI PASTI DI JALAN ILLAHI)

Kami Jasa Solusi Problem Hidup. Masalah Tuntas Tanpa Bertentangan dengan Hukum Agama dan Negara.

MACAM PROBLEM DALAM PELAYANAN KAMI:
Solusi Problem Asmara, Rumah Tangga, Back Up Karir, Back Up Usaha, Jual Beli, Aura Pemikat, Bersih Diri / Ruwat / Ruqyah / Buang Sial, dll.

KAMI TIDAK MELAYANI SEGALA HAL YANG MELANGGAR HUKUM AGAMA DAN NEGARA.
Contoh: Bank Gaib, Uang Balik, Harta Gaib, Pesugihan, Aborsi / Menggugurkan Kandungan, Perjudian / Togel / Judi Online, Mencelakakan Orang / Santet / Teluh, dll.

ALAMAT PONDOK RUQYAH:
Dusun Kasemen, No.50, RT.05, RW.03, Desa Wangkalkepuh, Kecamatan Gudo, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Kodepos 61463.
🌐 https://pondok-ruqyah.com/
☎️ +6285708371817

PERINGATAN!
Hati-hati dan waspada terhadap penipuan online yang mengatasnamakan kami. Diutamakan datang langsung ke alamat kami untuk menghindari segala hal negatif. Terimakasih.
DATANG DENGAN NIAT BAIK
TIDAK UNTUK KEJAHATAN!