Kisah Mistis: TELUH RAMBAT HABISI SELURUH KELUARGAKU

0
34

Kisah Mistis: TELUH RAMBAT HABISI SELURUH KELUARGAKU

Baru tujuh langkah meninggalkan makam sang ayah, terdengar berita lewat telepon bahwa ibunya meninggal tanpa sebab, begitu juga yang terjadi pada kedua kakaknya secara beruntun. Tak dapat disangkal, keluarga ini dipaksa harus habis tanpa meninggalkan bekas…

 

Kampung di mana aku tinggal, sebenarnya, tergolong aman, damai, dan kami semua merasa bagai suatu keluarga besar yang tak mungkin dapat terpisahkan antara satu dengan lainnya. Oleh karena itu jangan’heran, saya bisa saja tidur di kamar Ahmad, yang rumahnya di pinggir kampung atau di rumah Burhan, yang tak lain adalah rumah kepala desa kami.

 

Kenyataan itu adalah hal yang biasa, mengingat orang-orang tua kami, lahir dan tumbuh kembang di desa yang asri ini. Sehingga, mereka pun saling mengenal dengan baik antara satu dengan lainnya. Suasana yang penuh kekeluargaan itu terbangun sudah berbilang tahun. Semua merasakan berat sama dipikul dan ringan sama dijinjing.

 

Agaknya sudah menjadi kodrat dunia yang serba mendua, ketenangan mulai terusik ketika keluarga Arya, yang mengaku keturunan menak itu mukim di sebelah rumahku. Sejak itu, hampir tiap hari, terdengar teriakan keras atau ejekan yang semula belum pernah kemi dengar sama sekali. Dengan tanpa perasaan, hampir tiap saat, mulut Arya selalu saja melontarkan kata yang menurut kami sangat pedas, “Anjing… sapi… bodoh… dungu atau orang kampung.”

 

Lama kelamaan, kami pun menjadi biasa, yang paling menyakitkan adalah Arya selalu saja mau menang sendiri. Dengan seenaknya ia mengganggu kami yang sedang bermain, dan tak jarang, ada di antara kami yang sampai terluka. Tak pelak, orang tua pun jadi ikut campur.

 

Biasanya, semuanya berakhir dengan saling memaafkan. Namun, karena merasa sebagai keturunan menak yang harus dihormati, apalagi sang ayah memangku jabatan penting di kabupaten, maka, Arya pun tumbuh sebagai pemuda yang tak tahu tata krama. Ia tak pernah berkumpul bersama yang lain jika ada kegatan di desa, bahkan, jika malam liburan, ia selalu pulang malam sambil mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi karena mabuk.

 

Ketika hal itu disampaikan kepada kedua orang tuanya, bagai tanpa dosa, sang ayah dan ibu selalu berkata: “Biasa anak muda, nanti pada masanya, akan berhenti sendiri.”

 

Seiring dengan perjalanan sang waktu, aku lebih memilih untuk meneruskan pendidikan di Pondok Pesantren. Ketika hal itu kusampaikan kepada ayah, ibu dan kedua kakakku, aku hanya menjawab: “Ingin meneruskan cita-cita uyut”.

 

Mendengar itu, semuanya hanya mengangguk tanda setuju. Memang, menurut ayah, Uyut Sukri, adalah ustadz pertama di desa kami. Ia mengajar di surau yang letaknya di seberang jalan di depan rumah kami, konon, ia amat ingin membangun sekolah agama di desa ini.

 

Singkat kata, aku pun berangkat menuju Jawa Timur. Beruntung, setelah melewati tes yang cukup berat dan panjang, akhirnya, aku diterima sebagai santri di pondok pesantren itu. Tak ada waktu untuk bermain apalagi bersenang-senang, aku harus belajar, belajar dan belajar dengan giat agar cita-cita keluarga untuk menjadikanku sebagai pendidik yang islami dapat tercapai.

 

Aku hanya pulang kampung tiap hari Raya led. Saat itulah, aku bisa berkumpul dengan keluarga dan teman-teman…

 

Malang tak dapat ditolak dan mujur pun tak dapat diraih. Menginjak tahun ketiga, entah kenapa, keluarga Arya langsung menuding ayah menggeser pagar pembatas hingga menjorok satu meter ke tanahnya. Ayah hanya diam, ia langsung membongkar pagar yang sudah puluhan tahun berdiri itu. Melihat itu, beberapa tetangga yang kebetulan tahu asal-usul tanah itu langsung saja melarangnya.

 

“Jangan Kang… kenapa harus dibongkar. Kenapa baru sekarang ributnya, duluan mana tembok sama pindahnya dia.”

 

Ayah yang pendiam hanya tersenyum. Tak ada sepatah kata pun yang meluncur dari mulutnya.

 

Beberapa tetangga sengaja ke balai desa untuk melaporkan hal itu. Ketika Kepala Desa datang dan mencocokkan ukuran tanahnya, ayah Arya hanya bisa tersenyum kecut. Ia tak bisa menjelaskan, bagian mana dari tembok kami menjorok satu meter ke tanahnya. “Awas… karena saya dibuat malu, nanti saya habisi kalian!” demikian kata ayah Arya sambil masuk ke rumah dan membanting pintu. Semuanya mencibir…

 

Esoknya, beberapa orang melihat, ayah Arya dan istrinya pergi entah kemana. Tak lama setelah itu, Arya pun pergi dengan motornya sambil membawa ransel besar di punggungnya.

 

Tak sampai seminggu, aku dikejutkan dengan telepon yang menyatakan ayah mendadak meninggal. Dengan ditemani Husaini, sahabatku yang berasal dari Banten, aku menghadap kyai pemimpin pondok Untuk meminta izin. “Silakan, tapi, jangan sekali-kali menggunakan emosi. Pakai akal sehat dan serahkan semuanya kepada Allah,” demikian kata sang kyai sambil tersenyum.

 

Di perjalanan, bukan hanya aku, Husaini juga merasakan ada keganjilan dengan ucapan kyai tadi. Sengaja aku tak mau mengusik ketenangan Husaini yang terus saja melantunkan ayat-ayat suci Al Quran yang ditujukan khusus kepada almarhum ayahku. Dengan perasaan tak menentu, aku pun mengikuti apa yang dilakukannya.

 

Tiba di rumah, ibu dan kedua kakakku menyambut kedatanganku dengan tangis. Husaini memberikan isyarah, agar ayah langsung dimakamkan. Aku setuju, setelah salat jenazah di surau di depan rumahku, ayah pun dimakamkan di pemakaman umum yang terletak di pinggir desa. Kecuali ibu dan beberapa tetangga yang menemani, semuanya turut mengantarkan ayah ke peristirahatannya yang terakhir.

 

Usai pemakaman, baru tujuh langkah kami berjalan untuk pulang, mendadak teleponku bordering. Begitu kuangkat, dari seberang sana terdengar suara lirih: “Hasan… Ibumu meninggal.”

 

“Astaghfirullah…” hanya itu kataku.

 

Kedua kakak dan Husaini menatapku dengan wajah kebingungan. Dengan setengah berlari, aku berteriak kepada kedua kakakku, Husen dan Umar, “Kang… ibu meninggal.”

 

Semua langsung berlarian menuju ke rumahku. Dan benar, sesampainya di sana, ibu masih terbaring di karpet di ruang tamu. Tak ada yang berani menyentuhnya. Aku, Husen dan Umar langsung memeluk ibu. Husaini mencoba menenangkan kami: “Sabar… serahkan semuanya kepada Allah.”

 

“Bukankah begitu pesan Mbah Kyai?” Sambungnya balik bertanya.

 

Karena waktu masih panjang, baru sekitar pukul 10.00, maka, aku berniat untuk memakamkan ibu pada hari itu juga. Semua setuju. Tanpa banyak tanya, para tetangga pun langsung mengerjakan apa yang bisa mereka lakukan. Lepas Dzuhur, ibu sudah bisa dimakamkan. Keanehan kembali terjadi, begitu rombongan berjalan pulang, mendadak, Husen yang sejak tadi duduk di sebelahku terjatuh dan menghembuskan nafasnya yang terakhir.

 

Semuanya menjasi semakin panik. Betapa tidak, ayah, ibu dan Husen, boleh dikata wafat dalam waktu yang berdekatan. Sebagaimana kebiasaan di desaku, jika semua keluarga sudah hadir dan disetujui, walau tengah malam, maka, pemakaman bisa saja dilangsungkan. Lepas isya, jasad Husen pun dimakamkan. Umar yang begitu terpukul, sengaja menjauh dari makam. Ia duduk menyendiri sambil menghisap rokok. Tak ada yang berani mengusik, semuanya mafhum, Umar amat terpukul dengan kematian keluarganya yang beruntun.

 

Begitu usai, beberapa orang sengaja mendekati Umar untuk mengajaknya pulang. Dan apa yang terjadi, ternyata, Umar juga sudah meninggal dalam keadaan duduk, sementara, sisa rokok masih menyala di depannya.

 

“Allahu Akbar… Allahu Akbar… Allahu Akbar…” hanya itu yang kuteriakkan untuk melepaskan pepat.

 

“Makamkan Kak Umar malam ini juga, tapi, semua yang mengantar dilarang keras pulang atau melangkah dari kubur Umar,” kata Husaini.

 

Semuanya terdiam. Tak ada yang berkata-kata.

 

Singkat kata, usai memakamkan jenazah Umar, semuanya pun duduk diam. Husaini pun berkata: “Kelihatannya, kita bakal perang besar, mohon bantu saya dan Hasan. Cukup baca Al Ikhlas sebanyak-banyaknya.” Tanpa banyak bicara, Husaini pun mengajakku untuk membaca Surat Yasin, sementara, yang lain dengan khusyuk membaca Al Ikhlas. Pembacaan surah terhenti untuk mendirikan salat Subuh. Kemudian dilanjutkan lagi. Tepat matahari sepenggalah, tiba-tiba, semua ibu-ibu dan anak-anak berlarian ke makam sambil berteriak-teriak minta tolong: “Kebakaran… Kebakaran… kebakaran… rumah Arya kebakaran…!”

 

Tak sampai sepuluh menit, api yang berasal dari hubungan arus pendek, menghanguskan seluruh bangunan mewah itu. Ketika berhasil dipadamkan, mereka menemukan tiga jenazah yang hangus, Arya dan kedua orang tuanya.

 

“Itulah kehebatan dari teluh rambat, bisa menghabisi semua yang dituju, atau menghabisi orang yang membelinya,” kata Husaini.

 

Semua hanya diam. Sejak itu, desa kami kembali tenang dan damai seperti semula. Dan aku bersama Husaini menjadi ustadz di pondok pesantren kecil yang ada di sana. Wallahu a’lam bissawab. ©️


PENGOBATAN ALTERNATIF
"PONDOK RUQYAH"
(SOLUSI PASTI DI JALAN ILLAHI)

Kami Jasa Solusi Problem Hidup. Masalah Tuntas Tanpa Bertentangan dengan Hukum Agama dan Negara.

MACAM PROBLEM DALAM PELAYANAN KAMI:
Solusi Problem Asmara, Rumah Tangga, Back Up Karir, Back Up Usaha, Jual Beli, Aura Pemikat, Bersih Diri / Ruwat / Ruqyah / Buang Sial, dll.

KAMI TIDAK MELAYANI SEGALA HAL YANG MELANGGAR HUKUM AGAMA DAN NEGARA.
Contoh: Bank Gaib, Uang Balik, Harta Gaib, Pesugihan, Aborsi / Menggugurkan Kandungan, Perjudian / Togel / Judi Online, Mencelakakan Orang / Santet / Teluh, dll.

ALAMAT PONDOK RUQYAH:
Dusun Kasemen, No.50, RT.05, RW.03, Desa Wangkalkepuh, Kecamatan Gudo, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Kodepos 61463.
🌐 https://pondok-ruqyah.com/
☎️ +6285708371817

PERINGATAN!
Hati-hati dan waspada terhadap penipuan online yang mengatasnamakan kami. Diutamakan datang langsung ke alamat kami untuk menghindari segala hal negatif. Terimakasih.
DATANG DENGAN NIAT BAIK
TIDAK UNTUK KEJAHATAN!