Kisah Mistis: DERITA SUSUK WANITA MALAM
Titin adalah bunga di lokalisasi itu, tiap hari, entah berapa lelaki yang berhasil dipuaskan olehnya. Walau semua keluar dari kamar dengan wajah pucat pasi dan lesu, namun, senyum penuh kepuasan selalu menguar dari bibir mereka…
Mulanya, kamar di sudut kompleks lokalisasi itu selalu diwarnai dengan erangan kenikmatan tiada tara. Namun, seiring dengan berjalannya sang waktu, Titin, sang bunga di tempat itu tak lagi mampu, memberikan surga dunia bagi setiap lelaki yang datang dan ingin merasakan kehangatan tubuhnya. Tubuh renta itu, kini seolah hanya tinggal menunggu malaikat maut yang bakal menjemputnya sewaktu-waktu…
1982, saat itu, tepatnya 5 Mei, Gunung Galunggung yag dikenal dengan julukan macan tidur kembali memuntahkan laharnya. Semua yang ada di dekatnya pasti merasakan kedahsyatan amukan gunung yang satu ini. Dari sekian banyak korban, salah satunya adalah Titin, anak petani miskin yang rumahnya hancur dan kedua orang tuanya hilang entah di mana. Sejak itu tinggallah ia seorang diri.
Tubuhnya yang padat sintal, ditambah kulitnya yang putih dan senyumnya yang menawan, membuat banyak lelaki jatuh cinta pada pandangan pertama. Salah satunya adalah Tohir, sopir truk yang biasa mengangkut sayur mayur ke Pasar Induk Caringin, di Bandung.
Tak sampai setahun keduanya hidup bersama membangun mahligai rumah tangga. Tohir yang lebih mencintai minuman keras, akhirnya harus rela diceraikan oleh Titin.
Sejak itu, entah sudah berapa kali Titin menikah. Namun, semuanya berakhir dengan percerajan. Alasan mantan para suaminya mengiris hati perempuan cantik itu: “Percuma aku menikah dengan perempuan mandul!”
Dendamnya kepada para lelaki, membuat Titin nekat kembali ke kampung halamannya untuk menemui Mak Ijah, dukun kampung yang dikenal banyak orang banyak memiliki ilmu gaib. Beberapa gelang emas yang dimilikinya, rela dijual untuk membeli berbagai macam keperluan ritual. Akhirnya, pada suatu purnama, Titin bersama Mak Ijah berjalan menyusuri tengah sawah hingga sampai ke pinggir hutan. Tak perlu lagi berjalan jauh, di depan sana, tampak sebuah beringin tua yang rimbun dan sebuah telaga kecil di bawahnya.
Mak Ijah langsung saja meletakkan berbagai macam sesajian yang dibawanya di pinggir telaga itu. Setelah itu, ia pun duduk bersila dan dengan takzim melakukan uluk salam dalam bahasa yang sulit dimengerti. Yang tertangkap oleh telinga Titin hanya: “Hung… hem… hung…”
Tak lama kemudian, Mak Ijah tampak membakar sabut kelapa kering dan menaburkan kemenyan berwarna hitam di atasnya. Bau sangit, seolah bau darah, pun langsung menguar di tempat keramat itu. Rembulan yang semula bersinat terang langsung tertutup tebaknya awan, suara binatang malam, seolah suara ribuan setan sedang mentertawakan kebodohan manusia. Sementara, tiupan angin yang berputar-putar di tengah telaga kecil itu seolah mengantarkan birahi yang tak pernah terpuaskan.
Perlahan-lahan, tampak batu hitam bergurat gambar kalajengking pun tersibak oleh angin tadi. “Duduki batu itu seperti naik kuda,” demikian kata Mak Ijah cepat. Titin mengangguk. Ketika dirasa duduknya sudah tepat, ia merasakan ada sesuatu yang masuk ke bagian intimnya…
Beberapa waktu kemudian, Mak Ijah pun berkata, “Naik… selesai.”
Keduanya berjalan menuju rumah Mak Ijah. Tak ada yang berkata-kata. Tubuh keduanya terasa begitu letih, maklum, jalan yang ditempuh lumayan jauh. Setibanya di rumah Mak Ijah, setelah sejenak beritirahat dan minum segelas teh hangat, sang surya pun memancarkan sinarnya. Titin langsung mohon diri untuk pulang. Namun, tujuannya bukan pulang ke rumah, melainkan ke Jakarta. Ke rumah salah seorang sahabatnya ketika SMP, pemilik rumah bordil yang ada di bilangan Jakarta Utara.
Singkat kata, setelah beberapa hari beristirahat, Titin pun mulai bekerja sebagai pemuas nafsu lelaki hidung belang. Sebagai orang baru serta memiliki pelayanan yang berbeda dengan yang lain, sudah barang tentu, banyak lelaki yang ingin mencobanya. Tak jarang, di antara lelaki yang datang harus baku pukul untuk memperebutkan kehangatan Titin, sang bunga di lokalisasi itu.
Boleh dikata, dalam waktu singkat, Titin sudah memiliki segalanya. Uang yang didapat, dikumpulkan dan dibelikan beberapa petak sawah di kampungnya, ia juga memelihara beberapa ekor sapi dan kambing. Semua miliknya, dipercayakan kepada Pak Muhsin, tetangga, yang begitu sering menolong ketika ia masih kecil dulu. Tidak cukup sampa di situ, Titin juga membeli sebidang tanah untuk rumah pribadinya di kompleks lokalisasin itu.
Sejak itu, ia bak ratu. Setiap tamu langsung datang ke rumahnya. Boleh dikata, di sudut lokalisasi, tiap saat, selalu dipenuhi dengan tenguhan kenikmatan. Tak ada yang bersungut, semua lelaki yang keluar dari rumah Tiitin, walau wajahnya pucat pasi dan tubuhnya lunglai, namun, semuanya menguarkan senyum kepuasan tiada tara. Bagaimana dengan Titin? Semakin banyak ia melayani lelaki, maka, semakin bercahaya seluruh bagian tubuhnya.
Tiap purnama penuh yang jatuh pada Jumat Kliwon, maka, Titin tak pernah mau melayani tamunya. Di malam itu, ya… di malam itu, ia selalu duduk di pembaringan untuk menanti datangnya sang kekasih gaib. Biasanya, tepat tengah malam, lewat asap tipis yang masuk ke kamarnya lewat celah yang ada di bawah pintu kamarnya, sang pangeran, lelaki berwajah tampan dengan tubuh atletis, langsung mendekati Titin yang memang sudah menantinya. Kecupan dan belaian keduanya seolah tak mau berhenti. Saling memagut dan membelai, dan tak lama kemudian, seluruh pakaian pun berserak di lantai. Titin yang biasanya mempermainan lelaki, kini dipermainkan. Dengan lembut dan sesekali ganas, sang pangeran terus memacu Titin. Entah berapa kali Titin mengerang dan melenguh kenikmatan…
Ketika pagi menjelang, seiring dengan sang pengeran menghilang dari kamarnya, barulah Titin merasakan, isi seluruh tubuhnya benar-benar terkuras habis. Dengan pandangan lesu dan nanar, ia melihat seprei yang berantakan dan dipenuhi dengan bercak-berak yang mulai mengering.
Entah berapa lama Titin terlibat dalam perjanjian itu. Namun kini, akibat suatu kesalahan, Titin membunuh seekor kalajengking yang masuk ke dalam rumahnya setelah hujan, kulitnya pun mulai keriput. Para lelaki yang datang pun mulai berkurang. Semuanya bahkan mengumpat, “Sialan… sudah gak kaya dulu lagi! Becek!”
Kini, untuk menutupi kebutuhannya sehari-hari, Titin pun mulai menjual satu-satu perhiasan miliknya. Beberapa bulan kemudian, harta miliknya hanya tinggal rumah yang ditempatinya saja. Ia sengaja bertahan untuk tidak menjual sawah, sapi dan kambing miliknya yang dipercayakan oleh Pak Muhsin. “Biarlah untuk balas budi. Mudah-mudahan, Pak Muhsin dan keluarganya, mau mendoakan bila aku mati nanti,” gumamnya.
Kini, Titin mulai hidup dari belas kasihan teman maupun tetangganya. Ketika ia sedang menangisi nasibnya, mendadak, Pak Muhsin dan salah seorang cucunya datang. Dengan perasaan malu yang teramat sangat, maklum, Titin mengaku sebagai istri kedua seorang pejabat dan mukim di perumahan mewah, ia pun menyambut tamunya sambil berbaring dengan perasaan tak menentu. Setelah sejenak saling menanyakan kabar keselamatan masing-masing, cucu Pak Muhsin yang ternyata mengerti tentang gaib, langsung saja berkata: “Ceu Titin lebih baik pulang, mudah-mudahan saya bisa 5 menolong.” Wajah Titin memerah. Namun, tak ada alasan baginya untuk menolak tawaran itu. Ia langsung menjual rumah miliknya kepada temannya dengan harga murah, esoknya, ketiganya pun pulang ke desa, tempat Titin dilahirkan. Titin bahkan tak pernah menyangka, diatas tanah miliknya, kini berdiri sebuah rumah kecil yang asri. Menurut Pak Muhsin, “Ini dari hasil menjual padi selama ini. Setelah dipotong zakat, sebagian saya tabung, sekarang jadi rumah Neng Titin, sebagian untuk beli benih dan pupuk, sebagian untuk menyambung hidup saya”. Kembali, tangis Titin pun meledak, ketika Pak Muhsin menyerahkan buku tabungan. “Ini sisa uang Neng Titin, sengaja saya tabung.” Cucu Pak Muhsin yang sejak tadi tidak kelihatan, kini sudah datang dengan membawa sebuah kelapa hijau yang masih segar. Usai mendirikan salat taubat dan dilanjutkan dengan salat Isya berjamaah, cucu Pak Muhsin mengajak Titin yang hanya berbalut kain putih, ke belakang rumah. Mulutnya berkomat-kamit, tak lama kemudian, ia pun mengangsurkan kelapa hijau yang telah diberi lubang sambil berkata: “Ceuceu, duduki kelapa ini tepat pada lubangnya. Mudah-mudahan, atas izin Allah, susuk itu bisa keluar dengan sendirinya”. Setelah empat puluh lima menit, tiba-tiba, terdengar suara Titin yang kesakitan. Dari pangkal pahanya, mengalir darah hitam. Cucu Pak Muhsin segera saja bertindak. Ia langsung membungkus kelapa hijau itu dengan kain putih yang memang sengaja telah disiapkan, sementara, Pak Muhsin dan istrinya memapah Titin kembali ke rumahnya. Tak ada yang berkata-kata. Seminggu setelah kejadian itu, Titin pun sembuh. Kini, ia lebih banyak berdiam diri di kamar. Selain malu, ia juga ingin menebus segala kesalahannya dengan banyak mendirikan salat dan mengaji…
Kami Jasa Solusi Problem Hidup. Masalah Tuntas Tanpa Bertentangan dengan Hukum Agama dan Negara.
MACAM PROBLEM DALAM PELAYANAN KAMI:
Solusi Problem Asmara, Rumah Tangga, Back Up Karir, Back Up Usaha, Jual Beli, Aura Pemikat, Bersih Diri / Ruwat / Ruqyah / Buang Sial, dll.
KAMI TIDAK MELAYANI SEGALA HAL YANG MELANGGAR HUKUM AGAMA DAN NEGARA.
Contoh: Bank Gaib, Uang Balik, Harta Gaib, Pesugihan, Aborsi / Menggugurkan Kandungan, Perjudian / Togel / Judi Online, Mencelakakan Orang / Santet / Teluh, dll.
ALAMAT PONDOK RUQYAH:
Dusun Kasemen, No.50, RT.05, RW.03, Desa Wangkalkepuh, Kecamatan Gudo, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Kodepos 61463.
🌐 https://pondok-ruqyah.com/
☎️ +6285708371817
PERINGATAN!
Hati-hati dan waspada terhadap penipuan online yang mengatasnamakan kami. Diutamakan datang langsung ke alamat kami untuk menghindari segala hal negatif. Terimakasih.
DATANG DENGAN NIAT BAIK
TIDAK UNTUK KEJAHATAN!