Panggonan Wingit: LOKASI KAWIN AIR DI JALAKSANA, KUNINGAN
Karena kekurangan dana, upacara kuno yang telah dilakukan sejak ribuan tahun silam ini nyaris ditinggalkan. Lantas, apa makna Kawin Air yang sebenarnya…?
Hari itu, sekitar pukul lima sore, Misteri tiba di obyek wisata Pemandian Cibulan, yang berlokasi di Desa Maniskidul, Kecamatan Jalaksana, Kuningan, Jawa Barat. Penulis segera mencari orang yang bisa dihubungi, yaitu Pak Suhada, yang menurut informasi mengetahui banyak hal tentang seluk beluk Kawin Air, suatu tradisi yang erat hubungannya dengan keberadaan situs Pemandian Cibulan.
Maklum, dia termasuk salah seorang tokoh masyarakat setempat yang sudah sangat terkenal. Saat pertama kali berjumpa dengannya, Misteri menyangka bahwa lelaki berusia 50 tahunan dan berambut gondrong itu seorang yang berwatak keras. Namun setelah kenal dekat, ternyata dia seorang yang sangat ramah serta sikapnya penuh kekeluargaan. Bahkan malam harinya, dengan segala senang hati Pak Suhada mengantar kami ke tempat-tempat yang ada kaitannya dengan upacara Kawin Air, baik yang berada di Desa Maniskidul maupun di Desa Babakan Mulya.
“Sudah cukup lama saya dipercaya sebagai pemelihara Situs Sumur Tujuh dan Buyut Manis, yang berlokasi di obyek wisata Pemandian Cibulan, Desa Maniskidul. Di sini jabatan itu disebut sebagai Kuwu Balong (penguasa kolam). Surat keputusan pengangkatannya dikeluarkan oleh Keraton Cirebon. Jadi tidak sembarangan. Dan perlu diketahui bahwa jabatan Kuwu Balong berbeda dengan juru kunci,” cerita Pak Suhada yang juga pengusaha angkutan.
Dia lalu menambahkan, “Sebagai Kuwu Balong, saya sudah sangat sering menjadi ketua panitia pada upacara Kawin Air. Terutama dari pihak Maniskidul, yakni pihak desa yang dimintai air untuk dikawinkan. Begitu juga pada upacara Kawin Air yang belum lama dilaksanakan, saya ketua dari desa ini.”
Menurut Pak Suhada, Kawin Air dilaksanakan setiap bulan Ruwah menurut kalender Islam. Adapun harinya adalah Kamis Wage, menjelang Jum’at Kliwon pukul 16.00 sore. Dan upacara yang sudah berjalan selama ratusan tahun itu kemudian berakhir di obyek wisata Balong Dalem, di Desa Babakan Mulya, Jalaksana.
“Di waktu yang sudah-sudah, upacara ini diadakan secara besar-besaran. Bahkan, satu minggu sebelumnya biasanya keramaian sudah mulai terasa. Namun pada penyelenggaraan yang baru lalu, karena ketiadaan dana maka upacara Kawin Air kami gelar dengan sederhana sekali,” ungkap Suhada.
Karena itu dirinya mengaku sangat berharap, pada tahun-tahun yang akan datang ada pihak-pihak.yang bersedia membantu, agar acara langka dan unik yang sudah berjalan turun-temurun tersebut bisa kembali meriah. “Bagi saya, upacara ini bukan hanya merupakan bagian dari budaya bangsa, namun juga di dalamnya sarat dengan pesan moral. Memang, sekarang upacara Kawin Air tinggal berupa simbol, tapi tetap memiliki nilai yang luhur. Ketika di tempat lain sering terdengar tawuran antara desa, di sini kami mencontohkan tentang bagaimana mesranya hubungan antara satu desa dengan lainnya. Kami mencontohkan bagaimana kedua desa saling tolong-menolong, dengan penuh tata tertib dan tata krama,” papar Pak Suhada panjang lebar.
Mengenai ketiadaan dana ini, ternyata juga dialami oleh panitia di Babakan Mulya, yakni pihak desa yang meminta. air. Hal tersehut seperti diungkapkan oleh Pak Udi Suhaedi, guru SD dan ketua BPD Desa Babakan Mulya, yang sering menjadi lengser pada acara Kawin Air. Yang dimaksud lengser sendiri adalah sebutan untuk pesuruh keraton/raja dalam legenda Tanah Pasundan. Sosok ini sering digambarkan sebagai lelaki yang cukup tua berwatak kocak, lincah, cerdik, dan pandai menari. Meskipun kedudukannya dalam
kerajaan sangat rendah, namun dia dikenal dekat dengan raja dan keluarganya. “Biasanya, yang sudah-sudah, permintaan air dilakukan dengan iring-iringan yang berpakaian ala keraton, lengkap dengan kelengkapannya. Rombongan ini berjalan kaki sampai tiba di Sumur Tujuh yang berada di Cibulan, Maniskidul. Jarak yang ditempuh sekitar lima kilometer. Suasananya, tentu saja sangat meriah,” cerita lelaki ramah berusia 50 tahun itu. Dia pun sangat berharap, instansi yang berkait ikut turun tangan agar upacara yang bersejarah serta dapat menarik para wisatawan ini tidak sampai punah.
“Syukur-syukur kalau ada investor yang bersedia menata tempat-tempat yang ada hubungannya dengan upacara Kawin Air,” harap Pak Udi, yang sikapnya juga penuh rasa kekeluargaan.
SEJARAH KAWIN AIR
Menurut cerita Pak Suhada, prosesi Kawin Air bermula ketika suatu ketika hampir seluruh desa dan kerajaan di Jalaksana kekurangan air, tidak terkecuali kerajaan Manis yang dipimpin oleh Eyang Siliwangi II.
Dikisahkan, untuk mengatasi hal tersebut Eyang Siliwangi II kemudian melakukan tapa brata di suatu tempat di sekitar Cibulan. Atau persisnya, di lokasi yang sekarang dikenal dengan sebutan petilasan Eyang Siliwangi, tempat di mana Sumur Tujuh berada.
Setelah beberapa lama melakukan tapa brata, akhirnya keinginan Eyang Prabu Siliwangi lil terkabul. Di sekitar tempatnya bertapa tiba-tiba muncul tujuh sumur kecil, berair sangat jernih dan tidak pernah kering. Sejak saat itu, kerajaan Manis tidak pernah lagi kekurangan air.
Sementara itu, di tempat lain keadaan rawan air masih sangat dirasakan, termasuk di kerajaan Babakan (yang ketika itu belum bernama desa Babakan Mulya). Untuk mengatasi masalah tersebut, Baginda Raja dari Babakan bermaksud meminta air dari kerajaan Manis (yang saat itu belum bernama Desa Maniskidul dan Manislor), untuk dikawinkan dengan air dari kerajaannya.
Air dari kerajaan Manis diibaratkan sebagai air laki-laki, sedangkan yang dari Babakan diibaratkan air perempuan. Pengibaratan ini dikaitkan dengan kisah cinta yang pernah terjadi, antara Putera Mahkota dari kerajaan Manis dan Puteri Raja dari kerajaan Babakan.
Karena pihak yang akan meminta adalah seorang raja, demikian pula pihak yang akan dimintai, maka sudah barang tentu caranya pun tidak sembarangan. Apalagi air tersebut untuk suatu keperluan yang cukup sakral.
Untuk keperluan itu, raja dari Babakan mengirimkan beberapa orang utusan berpakaian resmi model kerajaan setempat, diiringi oleh serombongan punggawa yang juga berpakaian resmi. Yang berjalan paling depan, tiada lain adalah si Lengser yang terkenal kocak namun penuh sopan santun.
Setibanya di tempat tujuan, tuan rumah segera melakukan penyambutan secara resmi. Setelah itu air yang dibawa oleh utusan dari kerajaan Babakan dikawinkan, agar di Babakan tidak sampai terjadi rawan air seperti saat itu.
Sang tuan rumah mengabulkan keinginan tamunya. Para utusan diajak menuju ke Sumur Tujuh untuk mengambil air. Setelah sebelumnya diadakan doa bersama. Sebagai wadah air, digunakan kendi yana terbuat dari tanah.
Setelan pengambilan air selesai, para utusan berpamitan mau pulang. Sebagai tuan rumah yang baik, raja dari kerajaan Manis menugaskan beberapa orang punggawa kerajaan untuk mengantarkan tamunya sampai tiba di Babakan, sekaligus menyaksikan acara puncak Kawin Air.
Singkat cerita, setelah tiba kembali di kerajaan Babakan, lalu air dari Kerajaan Manis dan Babakan diguyurkan ke mata air Balong Dalem, yang terletak dekat Bat, Kawin. Dengan menyatukan kedua air dari tempat yang berbeda, maka usailah sudah acara inti dari kegiatan tersebut.
Sebagai rasa gembira sekaligus ngalah berkah, beberapa orang menyiduk air dari mata air itu, lalu diguyurkan kepada beberapa petinggi kerajaan, yang memegang jabatan tertentu. Sebagai penutup dari seluruh rangkaian acara, diadakan doa bersama lalu makan-makan dengan mengambil tempat di sekitar Balong Dalem.
Sejak saat itu, upacara Kawin Air menjadi kegiatan rutin yang diadakan setahun sekali, dan waktunya sebagaimana telah dijelaskan di atas oleh Pak Suhada. Tata caranya, juga selalu begitu.
Kecuali pada acara Kawin Air yang diadakan tahun kemarin, sebagaimana dijelaskan oleh Pak Suhada dan rekannya yakni Pak Udi, terpaksa disederhanakan karena dana yang ada sangat minim. Pengambilan airnya pun hanya dilakukan oleh beberapa orang, dan itu dilakukan dengan naik sepeda motor.
Percaya atau tidak, konon setelah Kawin Air dilaksanakan, biasanya, air dari sumber mata air lainnya menjadi berlimpah. Sementara, oleh orang-orang tertentu, sumur ini sangat dikeramatkan dan dianggap memiliki khasiat yang berbeda antara satu sumur dengan lainnya.
Menurut keterangan Pak Suhada, kegunaan atau manfaat Sumur Tujuh adalah sebagai berikut: air sumur ke-1 untuk pengasihan, air sumur ke-2 untuk kepangkatan atau naik derajat, air sumur ke-3 untuk kejayaan, air sumur ke-4 untuk kepercayaan atau agar dipercaya, air sumur ke-5 untuk kemulyaan, air sumur ke-6 untuk kecukupan atau agar hidup berkecukupan, dan air sumur ke-7 untuk keselamatan.
“Sebagai tempat yang wingit, tidaklah mengherankan apabila di sini sering terjadi penampakan gaib. Misalnya, seorang pengunjung tiba-tiba melihat seekor hewan berupa kepiting emas, di lokasi sekitar sumur,” imbuh Pak Suhada yang rumahnya tidak jauh dari tempat Sumur Tujuh berada.
Masih menurut Pak Suhada, orang-orang yang datang ke sini bukan hanya dari Kuningan, melainkan banyak juga dari daerah lain. Mereka yang datang itu adalah pihak yang ingin mengambil manfaat dari air Sumur Tujuh.
Adapun yang disebut Balong Dalem adalah suatu tempat yang luasnya sekitar 6 hektar, terdapat di desa Babakan Mulya (kira-kira 5 km dari Cibulan). Di sini terdapat bermacam-macam sisa peninggalan kerajaan Babakan. Salah satunya adalah yang berbentuk kolam, namanya Balong Desa.
“Balong artinya kolam, sedangkan Dalem dari kata Kedaleman yang berarti keluarga raja. Jadi Balong Dalem biasanya diartikan, kolam tempat mandi keluarga raja. Memang, menurut cerita, tempat ini dulunya merupakan taman kerajaan Babakan. Bahkan, alat bekas para puteri
raja bermain dakon, tentunya ketika mereka masih kanak-kanak, masih dapat kita saksikan sekarang,” ungkap Pak Udi yang dengan tulus menyatakan bahwa selalu siap untuk memandu Misteri ke tempat-tempat menarik yang ada di daerahnya.
Sementara itu yang disebut Batu Kawin, menurut Pak Udi, adalah dua bongkah batu yang masing-masing besarnya kira-kira dua kali gajah. Yang satu dengan lainnya saling terpisah dengan jarak sekitar 600 meteran.
Pada suatu saat keduanya saling mendekati, sampai akhirnya berdempetan hingga saat ini. Itulah sebabnya, kedua bongkah batu raksasa itu kemudian disebut Batu Kawin.”
“Ke mata air yang berada dekat Batu Kawin itulah kedua air ditaburkan hingga menyatu, pada acara Kawin Air,” imbuh Pak Udi.
Nah, dengan memakan waktu agak lama, akhirnya selesai jugalah tugas untuk menelusuri sejarah dan lokasi Kawin Air. Namun seperti kata pepatah mengatakan, tiada gading yang tak retak! Demikian pula dalam perjalanan ini, tiada mustahil terdapat banyak kekeliruan.
Oleh karena itu dalam kesempatan ini, tidak lupa penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya, terutama kepada para sesepuh dan ahli sejarah di Kabupaten Kuningan, apabila dalam tulisan ini memang banyak terdapat kesalahan. Kita tentu maklum, bahwa menelusuri kebenaran dari suatu sejarah lama, bukanlah perkara yang mudah dilakukan. Wallahu a’lam bissawab. ©️.

Kami Jasa Solusi Problem Hidup. Masalah Tuntas Tanpa Bertentangan dengan Hukum Agama dan Negara.
MACAM PROBLEM DALAM PELAYANAN KAMI:
Solusi Problem Asmara, Rumah Tangga, Back Up Karir, Back Up Usaha, Jual Beli, Aura Pemikat, Bersih Diri / Ruwat / Ruqyah / Buang Sial, dll.
KAMI TIDAK MELAYANI SEGALA HAL YANG MELANGGAR HUKUM AGAMA DAN NEGARA.
Contoh: Bank Gaib, Uang Balik, Harta Gaib, Pesugihan, Aborsi / Menggugurkan Kandungan, Perjudian / Togel / Judi Online, Mencelakakan Orang / Santet / Teluh, dll.
ALAMAT PONDOK RUQYAH:
Dusun Kasemen, No.50, RT.05, RW.03, Desa Wangkalkepuh, Kecamatan Gudo, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Kodepos 61463.
🌐 https://pondok-ruqyah.com/
☎️ +6285708371817
PERINGATAN!
Hati-hati dan waspada terhadap penipuan online yang mengatasnamakan kami. Diutamakan datang langsung ke alamat kami untuk menghindari segala hal negatif. Terimakasih.
DATANG DENGAN NIAT BAIK
TIDAK UNTUK KEJAHATAN!