Panggonan Wingit: TUJUH BUBUNGAN, PENAHLUK KERAJAAN SILUMAN BUAYA

0
13

Panggonan Wingit: TUJUH BUBUNGAN, PENAHLUK KERAJAAN SILUMAN BUAYA

Mereka adalah tujuh bersaudara yang sangat sakti mandraguna. Dengan kesaktian yang mereka miliki, kerajaan siluman buaya Ratu Sangklang di Sungai Ogan dapat mereka taklukkan. Namun, rpereka harus takluk di bawah seorang kakek renta. Bagaimana kisah lenakapnya…?

 

Tujuh Bubungan, atau dalam bahasa Indonesia berarti Tujuh Atap Rumah merupakan julukan untuk tujuh orang bersaudara kandung yang kesemuanya berilmu tinggi dan sakti. Mereka berasal dari Kuningan, Cirebon, Jawa Barat.

 

Julukan Tujuh Bubungan ini konon sangat melegenda pada zamannya. Lantas, siapa sajakah tokoh-tokoh yang tergabung dalam Tujuh Bubungan tersebut?

 

Disebutkan, mereka terdiri dari namanama berikut ini: Jaya Sempurna, Doyo Kromo, Hassanhusin, Sokto Kromo, Masnuhun, Masnihin, dan Sandang Kenanyang. Ketujuh bersaudara itu terdiri dari lima laki-laki dan dua orang perempuan. Sayangnya tidak jelas nama yang mana yang menunjukkan laki-laki, dan siapa yang perempuan.

 

Nama-nama tersebut merupakan nama setelah memeluk agama Islam. Menurut informasi yang Misteri dapatkan dari salah seorang sesepuh dari Desa Pemulutan OKI yang enggan disebutkan identitasnya, disebutkan bahwa Tujuh Bubungan itu datang ke pulau Sumatera tidak melalui jalan darat ataupun air. Namun mereka melewati jalur udara. Lalu, bagaimana caranya?

 

Sulit sekali diterima oleh logika, sebab di zaman itu belum ada pesawat terbang. Lalu, apakah mungkin mereka terbang? Dengan kesaktian yang mereka miliki, bisa jadi memang demikianlah adanya. Setidaknya, legenda menyebutkan bahwa ketujuh bersaudara itu memang memiliki ilmu yang bisa menaklukkan angin, sehingga mereka bisa terbang di angkasa.

 

Diceritakan, setibanya di pulau Sumatera, mereka menjejakkan kaki untuk pertama kali di sebuah hutan belantara. Hutan tersebut kini telah menjadi desa yang dianggap angker oleh warga kota Palembang khususnya, dan daerah-daerah Sumatera Selatan pada umumnya. Desa tersebut berada di tepian sungai Ogan.

 

Saat mendarat di sana Tujuh Bubungan beristirahat di tepian salah satu anak sungai Ogan yang besar itu. Daerah itu memang dikenal angker oleh penduduk yang kala itu masih berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Tak ada seorang pun penduduk yang berani melewati kawasan sungai yang kini dikenal dengan nama Sungai Buaya tersebut.

 

Setelah beberapa lama beristirahat, salah seorang dari ketujuh bersaudara itu berkeinginan untuk menangkap ikan di sungai. Setelah disetujui oleh keenam saudaranya yang lain, maka dia segera membuat keranjang dengan menggunakan tanting-ranting pepohonan yang ada di sekitarnya. Setelah itu, dengan kesaktiannya, tiba-tiba banyak ikan yang mendekatinya. Sambil berdiri di tepian sungai, dia segera memasukkan ikan-ikan itu ke dalam keranjang yang dibuatnya.

 

Namun, ketika dia sedang asyik menangkapi ikan, tiba-tiba dari dalam sungai muncullah seekor buaya besar yang kelihatan sangat marah. Buaya ini tidak senang akan kehadiran tujuh bersaudara tersebut, terlebih salah satu di antara mereka telah berani menangkap ikan dengan tanpa seijin dirinya.

 

Melihat kemunculan buaya ini, salah seorang dari tujuh bersaudara itu yang, kebetulan mengerti akan bahasa hewan. Merasa tak terima akan ancaman dari sang buaya. Maka dia langsung menyerang buaya itu dengan salah satu ilmu kanuragan yang dimilikinya.

 

Pertarungan pun terjadi. Namun, karena tidak sanggup menahan serangan, sang buaya langsung melarikan diri dengan menyelam ke dalam sungai. Tak dinyana, di dalam sungai itu ternyata terdapat pusat kerajaan siluman buaya. Bisa dibilang seluruh kerajaan siluman buaya yang berada di wilayah Sriwijaya (sekarang Sumatera Selatan) berada di bawah kekuasaan kerajaan yang dipimpin oleh rajanya yang bernama Ratu Sangklang. Sementara, putra sang ratu yang sakti mandraguna dikenal dengan Raden Kuning.

 

Mengetahui adanya pengacau, maka Raden Kuning pun murka. Bersama pengikut-pengikutnya, Raden Kuning segera naik ke permukaan. Akhirnya, terjadilah adu mulut di antara dua jenis makhluk Allah yang berlainan alam tersebut.

 

Raden Kuning tidak terima tujuh bersaudara itu memasuki wilayah kekuasaannya, serta mengambil ikan tanpa seijinnya. Begitu juga dengan Tujuh Bubungan, yang tak mau mengalah karena merasa benar dan juga memiliki kesaktian.

 

Karena tidak ada titik temu di antara mereka, akhirnya terjadilah pertempuran di antara kedua belah pihak. Tujuh orang bersaudara melawan satu kerajaan siluman buaya yang jumlahnya tak terbayangkan.

 

Konon pertempuran itu berlangsung selama empat puluh satu hari empat puluh satu malam. Meski jumlahnya sangat tidak seimbang, namun berkat kesaktiannya pertempuran itu berhasil dimenangkan oleh Tujuh Bubungan. Berkat kemenangan ini tentu saja membuat para siluman buaya bertekuk lutut pada tujuh orang bersaudara tersebut.

 

Kerajaan siluman buaya Ratu Sangklang akhirnya mengijinkan Tujuh Bubungan untuk tinggal di daerah kekuasaannya. Bahkan, ketujuh orang bersaudara itu kemudian mendirikan tujuh buah rumah untuk mereka masing-masing. Kini lokasi rumah dari tujuh orang bersaudara itu dikenal dengan nama Desa Pemulutan, terdapat di wilayah Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan.

 

Kemenangan Tujuh Bubungan atas para siluman buaya itu juga berpengaruh hingga kini. Mereka yang merupakan keturunan dari Tujuh Bubungan tidak akan pernah diganggu buaya, baik buaya siluman ataupun buaya asli. Namun dengan catatan, mereka masih berada di dalam wilayah Sumatera Selatan atau wilayah yang pernah di bawah kekuasaan kerajaan Sriwijaya.

 

Demikian juga dengan mereka yang merupakan pewaris ilmu siluman buaya tidak pernah berani mengganggu para keturunan Tujuh Bubungan.

 

PUSAKA PENINGGALAN TUJUH BUBUNGAN

 

Dalam perjalanan jurnalistik meliput kisah dari tujuh bubungan ini, beruntung sekali penulis berkesempatan melihat dan memegang salah satu senjata peninggalan dari tujuh bersaudara itu yang berupa sebilah pedang. Begitu pusaka itu berada di genggaman penulis, getaran-getaran magis langsung terasa menjalar ke seluruh tubuh.

 

Sungguh, penulis merasakan getaran magis yang begitu kuat dari salah satu pusaka peninggalan Tujuh Bubungan tersebut. Dikatakan oleh sesepuh yang masih keturunan Tujuh Bubungan bahwa pusaka itu juga bisa mempengaruhi mental siapapun yang memegangnya. Hal ini memang terbukti. Ketika sedang memegang pedang pusaka itu penulis langsung merasakan kekuatan mental yang luar biasa. Ya, penulis langsung merasakan, kalau diri ini adalah sesosok yang paling berani, paling hebat, dan paling gagah.

 

“Makanya, benda pusaka seperti ini jangan sampai jatuh ke tangan orang yang berhati iblis. Sebab dia bisa merajalela menebar aksi kejahatan dengan sifatnya yang tidak mengenal rasa takut,” kata H. Yusuf.

 

Selain itu, untuk menambah keberanian pedang pusaka tersebut juga mampu membuat si pemegangnya menjadi kebal, walaupun sebelumnya si pemegang sama sekali tidak memiliki ilmu kebal. Namun yang lebih menyeramkan, pada bilah pedang pusaka tersebut masih berbekas darah manusia yang telah menghitam dan menebarkan bau amis.

 

Di samping sempat melihat dengan mata kepala sendiri senjata pusaka berupa pedang milik salah seorang anggota Tujuh Bubungan, penulis juga berkesempatan mengunjungi situs makam kuno yang dipercaya sebagai makam ketujuh tokoh sakti mandraguna tersebut.

 

Hari itu, selepas sholat Jum’at, dengan ditemani beberapa orang lainnya, Misteri menyewa sebuah perahu untuk menyeberangi sungai Ogan. Kami memilih jalur anak sungai Ogan, karena jalur itu membuat kami berjalan tak terlalu jauh menuju makam Tujuh Bubungan.

 

Setibanya di daratan seberang sungai, penulis beserta rombongan berjalan kaki menuju makam keramat Tujuh Bubungan. Ternyata, perjalanan ditempuh melalui medan yang lumayan berat, karena daerah hutan belantara itu hampir tidak pernah dilalui orang. Jalanan yang menanjak membuat kami harus berhemat tenaga, belum lagi selama perjalanan beberapa kali kami dilintasi oleh berbagai jenis ular, yang sesekali mengagetkan kami dan membuat nyali ciut.

 

Setelah berklio-kilo meter berjaian kaki, akhirnya kami tiba di situs makam yang diyakini sebagai makam keramat Tujuh Bubungan. Setelah mengirimkan Al Fatihah untuk para ahli kubur, penulis bermaksud segera mengambil beberapa gambar untuk dokumentasi. Sayangnya, hal ini tidak diijinkan oleh sesepuh masyarakat yang memandu penulis beserta rombongan.

 

Sebagai bentuk penghormatan, disamping menghadiahi Fatihah, penulis dan rombongan juga berkesempatan membersihkan makam-makam tersebut, karena sebagian besarnya memang sudah tertutup ilalang. penulis sendiri sempat tak habis pikir, sebab ketujuh makam itu setiap makamnya kira-kira berukuran panjang rata-rata tiga meter. Apakah memang setinggi itu para tokoh yang tergabung dalam kelompok Tujuh Bubungan tersebut? Memang, tak ada yang bisa menjawabnya.

 

Yang pasti, keanehan terjadi ketika hari telah sore. Ketika itu penulis beserta rombongan berniat untuk pulang. Akan tetapi sebuah keanehan terjadi. Anak sungai yang kami lewati tiba-tiba surut airnya. Hanya lumpur yang ada di sana. Karena itu perjalanan tentu saja tertunda, sebab kami harus menunggu air pasang supaya perahu bisa berlayar, dan kami pun bisa pulang.

 

Setelah menunaikan shalat Maghrib, ternyata air tak kunjung pasang. penulis dan rombongan lainnya mulai cemas. Beberapa orang bahkan tampak kelelahan hingga akhirnya tertidur di atas perahu.

 

Penulis duduk sendirian diantara semak belukar. Aneh, tiba-tiba dari arah belakang penulis dikagetkan oleh sebuah suara yang menyapa dan menyampaikan sesuatu. Setelah penulis telusuri lebih jauh, ternyata sosok misterius itu adalah salah satu khodam atau Qarin dari Tujuh Bubungan.

 

Qarin itu mengatakan bahwa penulis diminta untuk menjalankan ritual di makam Tujuh Bubungan, yang dikatakan bahwa Insya Allah suatu hari kelak akan bermanfaat bagi penulis.

 

Setelah mengetahui ritual yang akan dijalankan, ternyata hanya membaca ayat-ayat suci dan beberapa amalan, maka penulis pun mengikuti anjuran dari salah satu Qarin Tujuh Bubungan itu. Anehnya, setelah ritual selesai dijalankan, tiba-tiba air sungai yang tadi surut kini telah pasang kembali.

 

Sungguh sebuah keajaiban yang tidak masuk akal. Namun hal semacam ini setidaknya dapat kita jadikan sebuah pembelajaran yang berharga akan kebesaran-kebesaran Allah SWT. Wallahu a’lam bissawab. ©️.


PENGOBATAN ALTERNATIF
"PONDOK RUQYAH"
(SOLUSI PASTI DI JALAN ILLAHI)

Kami Jasa Solusi Problem Hidup. Masalah Tuntas Tanpa Bertentangan dengan Hukum Agama dan Negara.

MACAM PROBLEM DALAM PELAYANAN KAMI:
Solusi Problem Asmara, Rumah Tangga, Back Up Karir, Back Up Usaha, Jual Beli, Aura Pemikat, Bersih Diri / Ruwat / Ruqyah / Buang Sial, dll.

KAMI TIDAK MELAYANI SEGALA HAL YANG MELANGGAR HUKUM AGAMA DAN NEGARA.
Contoh: Bank Gaib, Uang Balik, Harta Gaib, Pesugihan, Aborsi / Menggugurkan Kandungan, Perjudian / Togel / Judi Online, Mencelakakan Orang / Santet / Teluh, dll.

ALAMAT PONDOK RUQYAH:
Dusun Kasemen, No.50, RT.05, RW.03, Desa Wangkalkepuh, Kecamatan Gudo, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Kodepos 61463.
🌐 https://pondok-ruqyah.com/
☎️ +6285708371817

PERINGATAN!
Hati-hati dan waspada terhadap penipuan online yang mengatasnamakan kami. Diutamakan datang langsung ke alamat kami untuk menghindari segala hal negatif. Terimakasih.
DATANG DENGAN NIAT BAIK
TIDAK UNTUK KEJAHATAN!