Panggonan Wingit: MISTERI SISA KEMEGAHAN PULAU PENYENGAT
DI PULAU INI SISA-SISA KEMEGAHAN DAN KEBESARAN KERAJAAN MELAYU MASIH TERLIHAT. MASJIDNYA TERBILANG UNIK. RAJA MENGHADIAHKAN PULAU INI KEPADA PERMAISURINYA. BAGI WANITA YANG INGIN SEGERA BERTEMU JODOH KERAP MENGUNJUNGI MAKAM SANG PERMAISURI…
PULAU mungil yang terletak di muara Sungai Riau ini tampak sepi di siang nan terik itu. Lantunan ayat suci Al Qur’an menyambut kedatangan penulis. Suaranya menyelusup merdu lewat pengeras suara dari masjid yang telah berdiri sekitar 1832 itu. Inilah salah satu masjid peninggalan Kesultanan Riau yang masih megah berdiri.
Luas pulau penyengat hanya 3,5 kilometer persegi dan berada di sebelah barat Kota Tanjungpinang, Bintan, Kepulauan Riau. Suasana perkampungan mungil itu tampak bersih dan teratur rapi, meski jalannya terbilang kecil, hanya cukup untuk sebuah mobil.
Tata letak bangunan dan rumah penduduk pun betul-betul diatur rancak. Penulis berkeliling menumpang kendaraan sejenis becak. Selain piawai mengemudi, si abang becak pun bisa berlakon sebagai pemandu.
Menurut sahibul hikayat, nama pulau itu, meminjam nama binatang penyengat (semacam lebah). Semula, Penyengat dikenal sebagai tempat pelaut mengambil air saat berlayar di kawasan ini dan konon, suatu kali para saudagar yang mengambil air di sana diserang penyengat.
Pemerintah Belanda sendiri menjuluki pulau ini dengan dua nama, yakni Pulau Indera dan Pulau Mars. Tapi kini pulau itu lebih dikenal dengan nama Penyengat Inderasakti.
Pada 1805, Sultan Mahmud menghadiahkan Pulau Penyengat kepada istrinya, Engku Putri Raja Hamidah, atau acap disebut Engku Putri saja. Sejak itulah pulau ini mendapat perhatian khusus ketimbang sebelumnya.
Kisah tersebut mengingatkan penulis pada Shah Jehan yang membangun makam indah bernama Taj Mahal di Agra, India, yang dipersembahkan bagai permaisurinya, Mum Taz Mahal.
Tak seperti turis yang biasanya lebih dahulu mengunjungi Masjid Penyengat, penulis malah memulainya dari kompleks pemakaman. “Nanti kita memutari tempat ini dan singgah di semua bangunan bersejarah. Masjid itu paling akhir kita datangi,” ujar Mansyur, 32 tahun, si pengemudi becak, menyarankan kepada penulis dengan logat Melayu yang cukup kental.
Warna kuning mendominasi bangunan di kompleks pemakaman Engku Putri yang bersemayam di bangunan utama. Di kompleks makam juga terdapat pusara figur kerajaan Riau-Lingga, termasuk di antaranya Raja Ali Haji, kemenakan Engku Putri. Pada tembok bangunan utama makam, terpaku syair-syair Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji yang terkenal.
Selain kompleks pemakaman Engku Putri, ada juga kompleks pemakaman lain yang terletak di lokasi berbeda. Asap kemenyan yang dibakar oleh penjaga makam kian menambah kental suasana magis.
“Banyak juga perempuan yang datang ke sini untuk meminta segera dapat jodoh,” kata salah seorang penduduk yang tinggal di sekitar makam.
Kendati kami tak bisa lagi menikmati keindahan istana raja, syukurlah kami masih dapat bertamu ke rumah adat Riau yang terletak di pinggiran laut. Di sana, seorang penjaga rumah yang sudah lanjut usia menyambut kehadiran kami. Dengan ramah dia mempersilahkan kami melihat-lihat isi ruangan.
Tulisan tangan banyak terpampang di situ. Beberapa di antaranya dalam aksara Arab-Melayu, yang isinya menjelaskan silsilah keluarga kerajaan. Pada ruang utama rumah panggung itu terdapat pula pelaminan tempat muda-mudi berfoto.
Penulis melihat beberapa anak muda tengah mengerumuni sebuah sumber air tawar yang terletak di bawah rumah panggung. Mata air yang tak kunjung kering airnya ini bisa langsung diminum. Satu ember air mereka timba. Penulis pun membasuh muka. Pori-pori langsung terasa terbuka, dan Alhamdulillah segera merasakan kesejukan yang cukup untuk menausir hawa menyengat di siang itu.
Perjalanan berikutnya menuju Benteng Bukit Kursi. Benteng yang dibangun pada 1782-1784 semasa pemerintahan Raja Haji Fisabillah ini dimaksudkan sebagai benteng pertahanan untuk menghadang serdadu Belanda.
Letaknya berada di lereng bukit menghadap ke laut. Di bawahnya ada gudang mesiu yang masih kukuh berdiri. Orang menyebutnya Gudang Obat Bedil. Tak jauh dari gudang mesiu, terdapat pula kompleks pemakaman kerabat kerajaan.
Jalan mendaki menuju benteng hampir mencapai satu kilometer dan teratur rapi. Bunga-bunga dan rumput liar mengapit di sisi jalan. Tak tama berselang Misteri pun sampai di puncak bukit. Angin sepoi-sepoi membelai tubuh yang dibanjiri peluh. Dari puncaknya, lukisan alam terpampang begitu indah.
Di sekeliling benteng dibangun parit-parit besar dilapis batu kali yang kuat sebagai strategi pertahanan menghadapi musuh. Beberapa meriam masih teronggok di pojok benteng. Konon, benteng ini dulunya memiliki 80 meriam.
Dari salah satu sudut, kita dapat melihat hilir mudik kapal pesiar dan kapal dagang menuju Singapura. Dari sini jugalah pasukan Raja Haji pernah merengkuh kejayaan mempertahankan kerajaan Melayu Riau dari serbuan tentara Belanda.
Perahu motor menjadi sarana tercepat dan tersingkat menuju pulau mungil yang bersejarah ini. Perjalanan penulis, seperti yang dijanjikan Mansyur, berujung di Masjid Penyengat. Areal masjid kuno ini berukuran sekitar 55 x 33 Meter yang terdiri atas beberapa bangunan. Selain bangunan utama seluas 30x 20 Meter yang ditopang empat tiang beton yang kukuh, masjid megah berkelir kuning ini juga terdiri atas empat menara dengan tiga belas kubah. Semuanya berjumlah 17, melambangkan jumlah rakaat dalam shalat sehari semalam.
Lantainya terbuat dari batu bata tanah liat. Di pekarangan masjid, berdiri dua buah bangunan kecil yang disediakan bagi musafir dan tempat musyawarah. Di samping itu terdapat juga dua buah balai, tempat orang biasanya menghidangkan makanan saat kenduri atau saat berbuka di bulan suci Ramadhan.
Pada sebuah dinding tergantung bagan silsilah kerajaan dan sejarah pembuatan masjid yang dilakukan secara gotong-royong, termasuk para perempuannya. Semuanya bertulis tangan dengan tinta yang hampir memudar.
Di ruang masjid terdapat mimbar berukir indah dan warisan kitab suci Al Qur’an yang juga bertulis tangan.
Konon, saat pembangunan masjid ini, tidak saja tenaga, penduduk juga menyumbangkan makanan, seperti beras, lauk-pauk, sagu dan telur ayam. Hidangan itu begitu melimpahruah, sampai-sampai putih telur pun tidak habis dimakan.
Atas saran arsitek bangunan waktu itu, putih telur tadi akhirnya dicampur dengan semen untuk perekat batu. Makanya, banyak masyarakat menyebut masjid tersebut dibuat dari putih telur.
Lembayung senja menggantung di langit di atas Sungai Riau, saat penulis beranjak dari Penyengat. Perahu pun hampir merapat kembali di Pelabuhan Tanjungpinang. Nun jauh di sana, Pulau Penyengat kian mengecil. Namun, nusa mungil itu tetaplah besar di mata Sultan Mahmud, sebesar cintanya pada Engku Putri. Wallahu a’lam bissawab. ©️.

Kami Jasa Solusi Problem Hidup. Masalah Tuntas Tanpa Bertentangan dengan Hukum Agama dan Negara.
MACAM PROBLEM DALAM PELAYANAN KAMI:
Solusi Problem Asmara, Rumah Tangga, Back Up Karir, Back Up Usaha, Jual Beli, Aura Pemikat, Bersih Diri / Ruwat / Ruqyah / Buang Sial, dll.
KAMI TIDAK MELAYANI SEGALA HAL YANG MELANGGAR HUKUM AGAMA DAN NEGARA.
Contoh: Bank Gaib, Uang Balik, Harta Gaib, Pesugihan, Aborsi / Menggugurkan Kandungan, Perjudian / Togel / Judi Online, Mencelakakan Orang / Santet / Teluh, dll.
ALAMAT PONDOK RUQYAH:
Dusun Kasemen, No.50, RT.05, RW.03, Desa Wangkalkepuh, Kecamatan Gudo, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Kodepos 61463.
🌐 https://pondok-ruqyah.com/
☎️ +6285708371817
PERINGATAN!
Hati-hati dan waspada terhadap penipuan online yang mengatasnamakan kami. Diutamakan datang langsung ke alamat kami untuk menghindari segala hal negatif. Terimakasih.
DATANG DENGAN NIAT BAIK
TIDAK UNTUK KEJAHATAN!