Kisah Nyata: TRAGEDI SITU GINTUNG DAN FIRASAT ALAM
TRAGEDI SITU GINTUNG, DALAM HITUNGAN KALENDER JAWA, TERJADI PADA JUM’AT WAGE, 30 MULUD (27 MARET). INI ADALAH HARI NAHAS TALI WANGKE, SUATU SAAT YANG MENURUT PETUNG JAWA, MENEMPATKAN HARI TERSEBUT SEBAGAI SAAT YANG MERUPAKAN PALING SERING MEMBAWA SIAL. APA YANG TERJADI LAGI SETELAH INI…?
ADA keraguan untuk menggerakkan jemari ini guna menjabarkan kejadian-kejadian gaib akhirakhir ini yang mampir dalam kehidupanku. Berulangkali kugagalkan rencana untuk menyusun ke dalam sebuah tulisan. Setelah berulang kali hal itu kulakukan, akhirnya kutorehkan juga secuil catatan berikut ini. Kuawali dengan sebuah peristiwa yang terjadi pada malam Senin Legi, 9 Maret 2009, yang kebetulan bertepatan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Malam itu, ada kejadian unik yang kualami. Di alam bawah sadar, penulis merasa telah di datangi oleh seseorang ksatria muda yang berpakaian model prajurit tempo dulu. Sosok itu datang dengan membawa senjata berupa tombak panjang. Dia juga sedikit memaksa agar penulis ikut bersamanya.
Penulis memang mengikuti ajakan sang ksatria muda pembawa tombak. Sekian lama berjalan, akhirnya penulis diajak memasuki sebuah bangunan keraton. Astaga! Keraton ini sepertinya sangat penulis kenal. Yakni, tak lain dan tak bukan adalah Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat.
Anehnya lagi, di balai pertemuan itu sudah berkumpul para punggawa keraton. Khidmat sekali suasananya, sehingga nuansa pertemuan seperti tak ubahnya semacam pasewakan agung. Dan yang membuat penulis tak kalah terkejutnya, ternyata Raja Yogyakarta sekarang ini, Sri Sultan Hamengkubuwono X, sedang duduk berkhidmat di dampar agungnya.
Sepertinya “penjenenganipun” akan memberi anugerah pada warganya yang dianggap berjasa kepada kesultanan. Dalam pertemuan astral ini, yang pertama dipanggil adalah seorang petani desa dari Gunung Kidul. Sang petani diberi anugerah jabatan sebagai Bekel. Sedangkan berikutnya adalah seorang yang juga dari desa, persisnya sebuah desa di sekitar Prambanan, juga diberi anugerah gelar sebagai Demang.
Yang hampir membuat jantungku copot, orang ketiga yang dipanggil tak lain dan tak bukan adalah penulis sendiri. Setelah mendapatkan panggilan, penulis pun duduk menghaturkan bekti. Ketika itulah Sri Sultan Hamengkubuwono X bertitah, “Karena jasajasamu pada Ingsun, maka “sun” anugerahkan gelar Tumenggung…”
Yang membuatku bingung dan tegang, sebelum selesai Ngarso Dalem menyampaikan titahnya, tiba-tiba Sri Sultan diserang oleh seseorang dengan menggunakan sebilah belati. Beruntung sekali, Sri Sultan Hamengkubuwono X dapat menghindari serangan yang secepat kilat itu. Walau demikian, dia harus terjengkang dari kursi agungnya.
Karena peristiwa ini, pasewakan agung pun bubar seketika. Dan entah bagaimana, penulis pun tersadar dari perjalanan astral yang sepertinya penuh dengan sejuta makna itu.
Ada apa ini? Apa sebenarnya yang akan terjadi?
Selang beberapa waktu kemudian, seolah menyambung sebuah kisah, penulis kembali mengalami sensasi gaib serupa. Seorang ksatria muda bertombak datang menjemput penulis. Namun kali ini penulis melihat huru-hara yang terjadi di sekitar keraton yang kemudian dapat diredam. Akhirnya penulis kembali ke ruang pertemuan. Di sana, juga tengah diadakan pasewakan agung. Kali ini Sri Sultan Hamengkubuwono X mengenakan pakaian kebesaran seorang raja, dengan berbagai ornamen yang terbuat dari emas. Sangat megah, gagah dan mengagumkan. Baru di pisowanan inilah penulis akhirnya di wisuda dengan gelar “Tumenggung.”
Setelah mendapatkan wisuda tersebut, secara keseluruhan, nama gaib penulis adalah Raden Tumenggung Sayidinah Kumiter Puspowidjojo. Yang jadi pertanyaaan dalam benak penulis, kenapa sosok yang memberi anugerah gelar itu adalah Ingkang Sinuhun Sri Sultan Hamengkubuwono X? Lalu, jasa apa yang penulis berikan pada beliau? Rasanya hampir tak ada?
Walau semua adegan itu hanya berlangsung dalam dimensi astral, namun bagi seorang penghayat dunia kebatinan seperti penulis, maka, jelas hal tersebut mengandung sebuah rahasia. Berbagai pertanyaan itu memang masih menggantung dan belum terjawab.
Tetapi yang paling membuat penulis resah, kenapa Sri Sultan HB X, dalam seluet gaib tersebut diserang oleh seseorang yang membawa belati hingga beliau terjungkal dari kursi agungnya? Apakah dalam kehidupan berpolitiknya kali ini atau kedepannya, Sri Sultan Hamengkubuwono X akan mendapat ganjalan yang hebat, meski ganjalan itu akhirnya gagal dilakukan oleh lawan politiknya? Setidaknya hal tersebut akan menjadi semacam schok terapi yang cukup hebat.
Lantas, akan ada kejadian apa selanjutnya?
Menurut hemat penulis, setiap kali ada fenomena alam yang ganjil, pasti akan berkaitan dengan kehidupan manusia pada umumnya. Yang sangat mencengangkan, pada malam Kamis Pon, 26 Maret 2009, yang bertepatan dengan Hari Raya Nyepi, di malam itu alam sekitar Musteri benar-benar seperti tengah menghadapi kiamat. Hujan deras, angin berhembus kencang yang makin lama semakin menggila. Dan yang paling mencekam, di atas langit kilat berpijar tiada henti. Kegelisahan alam ini berlangsung lebih dari satu jam lamanya. Benar-benar mencekam. Padahal, pada malam yang sama, sejumlah warga muslim sedang menggelar pengajian di Masjid Bambu Kanton, yang memang berdiri di tengah sawah. Secara kebetulan Misteri juga hadir di tengah perhelatan ini.
Allah SWT Maha Agung. Walau hujan membadai dan angin mengamuk, namun tidak terjadi apa-apa di sekitar masjid kecil tersebut. Pak Sehat yang berceramah malam itu, selalu berdoa dengan khusyuk mohon perlindunganNya.
Setelah pulang menghadiri pengajian di masjid Bambu Kanton, pas tengah malam penulis masuk ruang meditasi dan memohon kepada Allah untuk membuka sedikit rahasia mengenai apa yang akan terjadi di balik fenomena alam yang ganjil ini. Apakah akan ada kejadian penting?
Dan dalam manekung tersebut tergambar dengan jelas sekali gambaran yang penulis peroleh. Dari arah timur, tepatnya dari Gunung Semeru, keluar seekor naga yang dari mulutnya selalu mengeluarkan api. Mungkin, naga inilah sering disebut para waskita sebagai Naga Geni, penguasa api.
Sementara, dari Gunung Lawu, persisnya dari kawahnya, keluar seekor naga hitam yang sangat besar. Dialah Naga Bumi atau Naga Tanah, yang sering disebut para waskita sebagai Naga Windu.
Dari Selatan, tepatnya di Parang Endog, muncul naga air menuju barat. Dari pegunungan Dieng muncul Naga Bayu, penguasa angin. Mereka semua bertemu dan membantuk pusaran dahsyat yang berefek pada kehidupan manusia. Otomatis, angin puting beliung menumbangkang pohon, bangunan dan fasilitas lainnya yang menjadi korban terjangannya.
Jawa Timur, Jawa Tengah, banyak menerima risiko kekuatan mereka yang disimbolkan. dengan para naga itu. Akan banyak lagi kerusakan dan kehancuran yang menimpa warga.
Yang lebih mencengangkan, di pinggiran Ibu Kota, sebuah danau tua bernama Situ Gintung, tiba-tiba airnya membuncah dan menyebabkan tanggulnya jebol. Air tumpah menghantam segala yang menghalanginya. Aneh, peristiwa serupa tsunami terjadi di tengah-tengah pemukiman padat penduduk.
Akibat jebolnya tanggul Situ Gintung, harta benda, dan yang lebih fatal lagi nyawa melayang hingga hampir menyentuh angka 100 jiwa, dan mungkin nantinya melebihi 100 jiwa. Miris sekali, hanya berselang sehari dari fenomena alam yang terjadi di Surakarta tersebut.
Tragedi Situ Gintung, dalam hitungan kalender Jawa, terjadi pada hari Jum’at Wage, 30 Mulud (27 Maret) ini, entah kebetulan atau tidak, yang jelas jatuh pada hari Nahas yaitu TALI WANGKE. Suatu saat yang menurut petung Jawa, menempatkan hari tersebut sebagai saat yang paling sering membawa sial, yang terkadang sampai membuat banyak nyawa melayang.
Padahal, sebenarnya perwatakan hari Jum’at Wage itu adalah baik: Aras Kembang, Sumur Simba, yang artinya: Aras Kembang yaitu mudah mendapatkan simpati. Sedangkan Sumur Simba artinya dapat dijadikan pengungsian.
Namun, karena tersampir naas Tati WANGKE, kedua perwatakan yang baik itu seakan: akan hilang. Begitulah yang terjadi. Semoga setelah Tati Wangre ini menelan korban, kedua perwatakan hari yang baik itu segera menggugah umat manusia lainnya yang tak terkena bencana, segera cancut taliwanda, bersimpati dan memberi pertolongan pada mereka yang tertimpa bencana yang sekarang berada dalam pengungsian. Dan ini memang nyata telah terjadi. Banyak simpati dan empati yang mengalir untuk korban tragedi Situ Gintung.
Lalu apa yang terkandung dengan pertemuan 4 naga seperti yang penulis beberkan di atas? Apa rahasia jaringan Sang Naga yang bersarang di Naga Hari dengan daya kesaktiannya tersebut?
Syahdan, zaman dahulu, leluhur kita berusaha memberikan info pada generasi penerus dengan bahasa simbol dan sasmitasasmita. Termasuk info tentang cuaca, suhu udara, perpindahan musim, hembusan arah angin, bahkan curah hujan, yang dalam bahasa keren sekarang ini disebut sebagai Ramalan Cuaca. Semua symbol tersebut diwujudkan dengan satu binatang yakni Sang Naga. Atau yang kemudian dikenal dengan istilah Naga Dina (Naganya Hari).
Naga bersayap, yang sering disebut Naga Siwi. Naga paling ganas dan dari mulutnya yang terbuka selalu memancarkan hawa panas dan beracun. Siapa yang menghampiri mulutnya, pasti akan timbul bencana. Perpindahannya selalu menimbulkan bencana yang berwujud dalam bentuk prahara hembusan angin kencang, atau puting beliung, atau badai barat.
Pertemuan naga (Naga Jatingarang dan Naga Tahun) akan menimbulkan hembusan angin dahsyat yang dapat menghancurkan dan memporak-porandakan bangunan, menumbangkan pohon, badai topan dan badai samudera. Dan kejadian kilat udara hujan deras dan angin dahsyat itu tampaknya merupakan amukan pertemuan naga-naga tersebut. Dan banyak wilayah di Jawa Tengah dan Timur yang mulai merasakan amukanya.
Jika ditarik benang merah, tak pelak, semua peristiwa bencana alam yang terjadi tersebut di atas hanyalah penghantar akan munculnya sosok pemimpin agung yang akan menduduki dampat kencono kursi orang nomor satu RI.
Namun, langkah untuk duduk di singgasana itu tidak mudah. Karena akan banyak ganjalan dan hambatan untuk melanggengkan kekuasaan di kursi panas tersebut. Apakah sosok itu Sri Sultan Hamengkubuwono X? Bisa jadi “Ya”, tapi juga bisa “Tidak” kalau beliau hanyalah disimbolkan sebagai bahasa isyarat.
Akhir kata, penulis hanya bisa menghaturkan turut berbelasungkawa atas jatuhnya korban jiwa pada tragedi di Situ Gintung. Semoga arwah para korbah mendapatkan tempat yang layak di sisi-Nya. Dan, semoga kita semua dapat mengambil hikmah dari peristiwa ini. Wallahu a’lam bissawab. ©️.

Kami Jasa Solusi Problem Hidup. Masalah Tuntas Tanpa Bertentangan dengan Hukum Agama dan Negara.
MACAM PROBLEM DALAM PELAYANAN KAMI:
Solusi Problem Asmara, Rumah Tangga, Back Up Karir, Back Up Usaha, Jual Beli, Aura Pemikat, Bersih Diri / Ruwat / Ruqyah / Buang Sial, dll.
KAMI TIDAK MELAYANI SEGALA HAL YANG MELANGGAR HUKUM AGAMA DAN NEGARA.
Contoh: Bank Gaib, Uang Balik, Harta Gaib, Pesugihan, Aborsi / Menggugurkan Kandungan, Perjudian / Togel / Judi Online, Mencelakakan Orang / Santet / Teluh, dll.
ALAMAT PONDOK RUQYAH:
Dusun Kasemen, No.50, RT.05, RW.03, Desa Wangkalkepuh, Kecamatan Gudo, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Kodepos 61463.
🌐 https://pondok-ruqyah.com/
☎️ +6285708371817
PERINGATAN!
Hati-hati dan waspada terhadap penipuan online yang mengatasnamakan kami. Diutamakan datang langsung ke alamat kami untuk menghindari segala hal negatif. Terimakasih.
DATANG DENGAN NIAT BAIK
TIDAK UNTUK KEJAHATAN!