Kisah Mistis: PULANG SETELAH 7 HARI DIKUBUR

0
58

Kisah Mistis: PULANG SETELAH 7 HARI DIKUBUR

SETELAH DIKUBUR SELAMA TUJUH HARI, WAHID, BOCAH PENGGEMBALA ITU TIBA-TIBA PULANG DI MALAM TAHLILAN YANG TERAKHIR. KETIKA KUBURANNYA DIBONGKAR, YANG ADA HANYA BATANG POHON PISANG…

 

KISAH yang cukup fenomenal ini merupakan sebuah peristiwa nyata yang dialami oleh seorang anak manusia. Kisahnya sendiri terjadi di akhir tahun 1989, tepatnya pada tanggal 7 Oktober. Kejadian yang sudah lama ini sengaja penulis angkat dan dijadikan bahan cerita agar kita tahu bahwasanya para penghuni alam gaib juga mempunyai semacam toleransi dan balas budi pada kita. Makhluk nyata.

 

Di sebuah perkampungan yang tatanan masyarakatnya masih mengenal adat istiadat tentana pemahaman arti sebuah kebudayaan dan leluhurnya, hiduplah sebuah keluarga petani yang sangat sederhana. Kepala keluarga itu bernama Munarman, dan isterinya Komala. Mereka mempunyai seorang anak laki-laki berusia 15 tahun bernama Wahid.

 

Kehidupan Pak Munarman hanyalah mengandalkan dari hasil bercocok tanam padi. Dia mempunyai tiga ekor kerbau yang diurus oleh Wahid, dan digembalakan di sebuah tegalan di dekat sungai di ujung desa.

 

Pada suatu hari, di pagi yang cerah, Wahid bersama teman-temannya pergi menggembalakan kerbau ke tegalan di ujung desa itu. Sesampainya di sana seperti biasa mereka saling bercanda, bernyanyi-nyanyi, atau ada juga yang meniup seruling. Di antara yang lainnya, Wahid merupakan anak yang berbadan paling besar. Kerjanya sering malasmalasan. Hanya tidur dan tidur, sehingga hewan ternak yang digembalakannya sering kali pergi menjauh tanpa sempat lagi dihiraukannya.

 

Ketika hari menjelang sore, semua temannya memandikan kerbau. Setelah memandikan kerbau-kerbau, mereka bergegas pulang dan tidak lupa membawa kerbau Wahid, karena mereka tahu bahwa Wahid paling malas membawa kerbaunya pulang. Sementara teman-temannya pulang, si Wahid ternyata masih asyik mendengkur di bawah pohon yang sangat rindang yang ada di tegalan rumput itu. Bahkan ketika teman-temannya sudah sampai di rumah, Wahid belum juga datang. Hal ini tentu membuat orang tuanya merasa sangat khawatir.

 

Setelah hari mulai gelap dan Wahid belum juga datang, dengan rasa cemas Pak Munarman mendatangi salah seorang teman anaknya yang bernama Tarwan. Maksudnya sudah tentu untuk menanyakan keberadaan Wahid.

 

“Kamu nggak lihat Wahid, Tar?” Tanya Pak Munarman.

 

“Memangnya Wahid belum sampai rumah, Pak?” Tarwan balik bertanya.

 

Pak Munarman menggelengkan kepala. Tarwan kemudian menjelaskan bahwa tadi – dia dan teman-temannya ketika mau pulang masih melihat Wahud tertidur di bawah pohon rindang di tegalan.

 

“Saya dan teman-teman tidak berani membangunkannya, sebab takut kena marah Wahid. Biasanya dia memang selalu begitu, Pak!” Jelas Tarwan.

 

Mendengar penjelasan Tarwan, Pak Munarman menarik nafas berat. Setelah itu dia bergegas ke tempat yang telah diberitahu oleh Tarwan, yakni, ke tegalan tempat biasa anakanak desa menggembalakan ternaknya.

 

Dengan perasaan kesal, marah dan khawatir, Pak Munarman ingin cepat-cepat menemukan anaknya. Walaupun Wahid itu nakal dan sangat pemalas, tetapi, dia tetaplah anaknya. Daraah dagingnya. Apalagi dia anak semata wayang.

 

Sesampainya di tegalan, Pak Munarman melihat sesosok tubuh gemuk yang sedang terbaring di bawah pohon rindang itu. Siapa lagi kalau bukan Wahid. Sambil geleng-geleng kepala, Pak Munarman mendekatinya. Untuk membangunkan Wahid yang tidur pulas itu, dia memanggil-manggil namanya sambil mengguncang-guncang bahunya.

 

“Kamu ini bagaimana sih, bukannya pulang malah tidur di sini. Kasihan Ibumu gelisah menunggu di rumah,” sungut Pak Munarman dengan kesal sambil mengguncang-guncangkan tubuh Wahid dengan keras.

 

Tapi alangkah terkejutnya Pak Munarman karena anak yang dimarahinya tidak bergeming sedikitpun. Bahkan, ketika dia coba mendorong tubuh Wahid untuk membalikkannya, maka, dia pun semakin terkejut karena ternyata sang anak sudah terbujur kaku tidak bergerak sama sekali. Ya, Wahid telah mati!

 

Dengan langkah gontai bercampur sedih, Pak Munarman segera menggotong anaknya dan membawanya pulang. Dengan susah | payah akhirnya sampai juga di rumahnya yang sederhana.

 

“Ada apa, kok wahid Bapak gendong seperti itu?” Tanya Komala yang menyambut kedatangan suaminya.

 

Pak Munarman tidak menjawab. Lidahnya kelu untuk berkata-kata. Dengan hati-hati dia baringkan tubuh Wahid yang besar itu di atas balai-balai bambu di ruang tengah rumah.

 

Melihat Wahid yang sama sekali tidak bergerak, sang Ibu menjerit histeris. Kini dia sadar kalau anak semata wayangnya sudah meninggal dunia.

 

Kabar meninggalnya Wahid ini cukup menggegerkan warga desa. Banyak orang, terutama para teman Wahid yang beberapa jam lalu melihat anak itu sehat wal’afiat sulit menerima kenyataan ini.

 

Ringkas cerita, dengan kesedihan yang sulit digambarkan lewat kata-kata, Wahid akhirnya dimakamkan pada keesokan harinya Dan setelah dikuburkan di pemakaman di kampung itu, maka malamnya diadakan tahlilan dari malam pertama sampai pada malam ke tujuh. Banyak sanak saudara dan para tetangga yang membantu keluarga Pak Munarman. Mulai dari menyumbangkan uangnya, tenaga maupun makanan. Mereka bergotong royong membantu meringankan beban keluarga Pak Munarman.

 

Tahlilan yang pertama sampai dengan yang ke enam berjalan dengan lancar. Tak ada sesuatu yang terjadi. Tapi menginjak tahlilan yang ke tujuh, yakni malam terakhir, semua orang yang sedang tahlilan di rumah Pak Munarman dikagetkan oleh suara orang yang memberi salam.

 

“Assalamuallaikum! Ada apa ini ramai-ramai di rumahku?”

 

Semua orang yang sedang tahlilan di rumah Pak Munarman menoleh ke arah datangnya suara yang mengucapkan salam itu. Setelah mereka melihat dengan jelas bahwa yang mengucapkan salam adalah Wahid, sebagian besar di antara mereka ada yang langsung berlari ketakutan. Bahkan, suasana yang semula khusyuk itu mendadak jadi kacau balau. Orangorang yang ketakutan itu ada yang menabrak dinding rumah, bahkan ada juga yang jatuh lalu terinjak-injak. Untunglah tidak sampai ada yang jadi korban.

 

Malam itu, suasana di rumah Pak Munarman berubah tak karuan. Para wanita yang tak sempat melarikan diri dari rumah Pak Munarman menjadi histeris. Mereka ada yang menjerit-jerit, sehingga keadaan menjadi hirukpikuk. Bahkan Pak Ustadz yang memimpin tahlil pun ikut lari terbirit-birit.

 

“Wahid hidup lagi! Wahid jadi setan!” Teriak mereka yang membuat gaduh perkampungan malam itu.

 

Pak Munarman yang diam terpaku melihat para tamunya berlarian dari rumahnya bersamaan dengan hadirnya Wahid. Dengan rasa haru bercampur takut dia berusaha untuk menangkap dan memeluk anaknya.

 

“Sudahlah, Nak! Pergilah dengan tenang. Bapak dan Ibumu rela. Jangan lagi kau buat malu Bapak dan Ibu ini, katanya dengan air mata yang hampir jatuh.

 

Wahid yang mendengar perkataan itu pun bengong, sebab dia tidak mengerti maksud Bapaknya. “Apa Bapak pikir saya sudah mati?” Tanya Wahid,

 

“Iya, Nak! Malam ini adalah malam ketujuh peringatan hari kematianmu,” jelas sang Ibu.

 

Wajah Wahid berubah pucat. Dengan setengah menangis dia kemudian menjelaskan pada orang tuanya bahwa dia sesungguhnya belum mati. Bahkan Wahid mengaku bahwa dirinya habis bekerja di sebuah kerajaan yang sedang mengadakan pesta kenduri selama tujuh hari tujuh malam. Di sana dia bekerja sebagai penggembata kerbau sesuai dengan pekerjaan Wahid selama ini.

 

“Aku di sana bekerja mengurus dan menjaga kerbau sebanyak 31 ekor,” tegas Wahid.

 

Dia juga menceritakan, selama seminggu bekerja di sana dirinya diberi upah seekor anak kerbau jantan serta sepikulan kue yang bermacam-macam jenisnya, Juga uang sebanyak Rp. 20.000.

 

“Saya belum mati, Pak. Ini saya, Wahid, anak Bapak!” Tegas Wahid sambil menangis.

 

Setelah mendengar penjelasan dari anaknya, Pak Munarman segera memeluknya. Setelah puas menumpahkan rasa rindu, dia lalu mengumpulkan kembali para tetangganya dan memberitahukan bahwa anaknya itu belum mati. Tak lupa dia pun menceritakan kejadian yang telah dialami oteh Wahid selama kepergiannya. Pada saat menceritakan kejadian itu tidak ada satupun dari tetangganya yang memakan hidangan kue yang disajikan isteri Pak Munarman, karena mereka takut bila memakannya mereka akan diambil oleh makhluk gaib yang membawa Wahid ke alamnya.

 

Pagi harinya, serempak masyarakat kampung beserta Wahid dan Pak Munarman pergi menuju areal pemakaman untuk kembali menggali makam Wahid. Selesai mereka menggali dan membuka papan penutup mayat dan mengeluarkan mayat yang masih terbungkus kain kafan, mereka pun membukanya. Alangkah. terkejut dan kagetnya setelah mereka lihat bahwa isi dari kain kafan itu hanyalah sebatang pohon pisang yang ukurannya sama dengan tubuh Wahid.

 

Setelah kejadian itu para tetangga pun percaya bahwa Wahid belum mati seperti yang mereka kira selama ini, dan Wahid bukanlah setan. Akhirnya keadaan rumah Pak Munarman yang tadinya sepi berubah menjadi ramai oleh para tetangganya yang ingin mendengar cerita Wahid.

 

Kini, Wahid telah tumbuh menjadi seorang pemuda yang giat beribadah. Dia pun menjalani kehidupan seperti biasanya, bergabung bersama teman-teman dan senang beternak kerbau. Bahkan kerbau Wahid yang berasal dari alam gaib pun telah beranak pinak.

 

Kepada penulis, Wahid menceritakan bagaimana keberadaan dirinya di alam gaib. Bila saja waktu itu pestanya tidak selesai atau bertambah dari tujuh hari kesepakatan Wahid dengan si makhluk gaib, mungkin saat ini dia tidak ada dan tidak pulang-pulang. Tapi karena kesepakatannya hanya tujuh hari, maka Wahid pun pulang dan dia kaget ketika pulang ternyata di rumahnya tengah diadakan acara tahlilan untuk kematiannya.

 

Wahid bercerita bahwa Raja dari kerajaan alam gaib tersebut sengaja menemuinya untuk menjaga kerbau-kerbaunya di istana. Bahkan dia ditawari untuk tinggal di alam gaib dan diangkat menjadi anak oleh sang Raja. Tapi Wahid menolaknya dengan alasan dia kasihan kepada kedua orang tuanya karena mereka hanya mempunyai seorang anak saja.

 

Di alam gaib, sewaktu Wahid menggembalakan kerbau di padang rumput yang luas, dia selalu ditemani oleh para dayang-dayang istana yang sangat cantik. Mereka mengantarkan makanan dan minuman untuknya. Yang membuat Wahid heran, di sana tidak ada matahari kalau siang hari, dan suasana baik pagi atau menjelang sore cuaca tidak berubah tetap saja mendung dan hembusan angin yang sepoisepoi membuat orang terkantuk-kantuk dibuatnya. Dan anehnya, hampir semua orang baik itu laki-laki maupun perempuan berwajah hampir mirip. Seperti kembar.

 

Kita hidup berdampingan dengan makhluk halus. Walau kita tidak bisa melihat mereka secara langsung, tapi kisah ini membuktikan bahwa mereka berada dekat dengan kehidupan kita. Dan mereka bisa berteman ataupun bekerja sama seperti halnya Wahid yang telah bekerja di alam gaib, dia mendapatkan upah dari hasil kerjanya itu. Memang, aneh! Wallahu a’lam bissawab. ©️.


PENGOBATAN ALTERNATIF
"PONDOK RUQYAH"
(SOLUSI PASTI DI JALAN ILLAHI)

Kami Jasa Solusi Problem Hidup. Masalah Tuntas Tanpa Bertentangan dengan Hukum Agama dan Negara.

MACAM PROBLEM DALAM PELAYANAN KAMI:
Solusi Problem Asmara, Rumah Tangga, Back Up Karir, Back Up Usaha, Jual Beli, Aura Pemikat, Bersih Diri / Ruwat / Ruqyah / Buang Sial, dll.

KAMI TIDAK MELAYANI SEGALA HAL YANG MELANGGAR HUKUM AGAMA DAN NEGARA.
Contoh: Bank Gaib, Uang Balik, Harta Gaib, Pesugihan, Aborsi / Menggugurkan Kandungan, Perjudian / Togel / Judi Online, Mencelakakan Orang / Santet / Teluh, dll.

ALAMAT PONDOK RUQYAH:
Dusun Kasemen, No.50, RT.05, RW.03, Desa Wangkalkepuh, Kecamatan Gudo, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Kodepos 61463.
🌐 https://pondok-ruqyah.com/
☎️ +6285708371817

PERINGATAN!
Hati-hati dan waspada terhadap penipuan online yang mengatasnamakan kami. Diutamakan datang langsung ke alamat kami untuk menghindari segala hal negatif. Terimakasih.
DATANG DENGAN NIAT BAIK
TIDAK UNTUK KEJAHATAN!