Kisah Mistis: PENGHUNI GAIB DAGO PAKAR
LIMA TAHUN LAMANYA HUBUNGAN ASMARA NAN MUSYKIL ITU TERJALIN. YA, PERCINTAAN ANTARA SEORANG GADIS DENGAN SESOSOK PRIA INDO YANG TERNYATA JELMAAN JIN PENUNGGU HUTAN DAGO PAKAR. BAGAIMANA HUBUNGAN MESRA ITU DAPAT DIAKHIRI…?
SENJA ITU di Bandung Utara. Hawanya sejuk, menyegarkan jiwa dan ragaku. Sejak dari siang tadi aku berada di sini, di hutan lindung Ir. Djuanda, atau lebih dikenal dengan sebutan Dago Pakar.
Di sini, bagi pengujung selain dapat menikmati bersih dan segarnya udara di sekitar hutan, juga kita dapat menambah ilmu Botani bagi yang berminat belajar aneka tumbuhan tropis dan subtropis.
Selain dimanjakan oleh suasana pegunungan, di sana kita juga dimanjakan oleh aneka kuliner khas Sunda. Seperti ikan mas bakar, pepes gurame, cobek lele, keripik tempe atau oncom. Lalu dipadukan dengan lalaplalapan ciri warga Parahiangan.
Kita juga dapat melihat-lihat goa peninggalan Jepang. Menurut cerita, pada masa pendudukan Nippon di Indonesia, tempat itu sengaja dibuat Jepang dengan menggunakan tenaga para Romusha. Selain dipergunakan sebagai basis pertahanan tentara Jepang al Bandung, di dalam goa tersebut juga dilengkap dengan sel-sel. Banyak yang jadi korban di sel-sel ini, baik tentara Belanda maupun para inlander yang membangkang. Mereka mati di dalam penjara.
Kembali ke kisahku. Aku dengan kedua rekan yang masing-masing didampingi pacarnya, berkunjung ke obyek wisata ini hanya untuk refresing setelah menghadapi aktifitas kerja sebulan penuh. Saat itu, kami bekerja di Bandung. Persisnya di sebuah perusahaan swasta asing yang bergerak di bidang garmen. Sudah dua tahun aku kerja di kota kembang, sejak lulus di SMU di kota kelahiranku di Cilacap, Jawa Tengah.
Kami bertiga, sesama rekan perempuan, tinggal di mess yang sudah disediakan perusahaan. Satu kamar untuk bertiga. Nina dan Siska, keduanya asli warga Jawa Barat, tepatnya dari Garut. Kami sudah seperti saudara sendiri, saling membantu apabila di antara kami menghadapi kesulitan. Selera kami pun hampir sama, makan dengan tempe.
Hanya untuk soal asmara kami berjalan sendiri-sendiri, tidak berani saling mengusik atau mencela pasangannya masing-masing. Ya, kedua rekanku itu sudah memiliki kekasih. Hanya aku yang masih jomblo. Selain belum ada yang cocok, aku juga belum ada niatan untuk menjalin cinta sebelum adikku menyelesaikan pendidikannya di SMU.
Walaupun banyak yang mengatakan aku memiliki paras dan tubuh aduhai, namun aku tidak merasa besar hati untuk meraih cinta dari lelaki yang coba menaklukan hatiku. Aku tetap kukuh pada niatku ketika berangkat dari kampung, ingin membantu membiayai sekolah adikku. Aku merasa kasihan kepada kedua orangtuaku yang sudah terbebani dengan kebutuhan sehari-hari. Maklum, bapakku hanya buruh tani, yang tidak seberapa upahnya. Sedangkan ibuku hanya sebagai tukang cuci pakaian tetangga.
Sementara kedua rekanku dengan pacarnya masing-masing. sejak tadi entah sedang pergi kemana, dan aku dengan setia menunggu di bangku taman di bawah rindangnya pohon tua. Biarlah aku disini saja, tak mau mengganggu keasyikan mereka.
Jam tanganku menujukkan pukul lima lebih sedikit. Lama menunggu akhirnya rasa kesal pun datang menghapiri. Aku pun teringat lagi penuturan pedagang es siang tadi. Bila siang hari memang tempat ini menyenangkan, namun apabila memasuki waktu malam hari, tidak ada yang berani dagang di sini. Katanya, Sudah sering dialami oleh para pedagang, melihat penampakan serdadu-serdadu Belanda sedang berbaris dengan tubuh tanpa kepala.
Mendadak aku merasa tercekam saat teringat penuturan pedagang es siang tadi.
Ah, ini hanya perasaanku saja! Hiburku sendiri.
Mungkin dia hanya menakut-nakuti aku saja, karena aku perempuan.
Di tengah rasa takut yang mulai menjalar dalam batinku, mendadak aku jadi serba salah ketika ada seseorang pria yang sepertinya sedang memperhatikanku. Dia berdiri dengan jarak kurang lebih dua puluh lima meter dari bangku yang kududuki.
Lama-lama diperhatikan, aku jadi salah tingkah. Sulit dilukiskan dengan kata-kata bagaimana perasaanku, ketika pemuda itu berjalan menghampiriku. Tampan sekali. Wajah dan perawakannya mirip dengan pria di Eropa sana. ,
“Menunggu siapa, Neng?” Sapanya dengan halus kepadaku. Aku terkejut dia bisa berbahasa Sunda (sudah diartikan).
“Aku sedang menunggu teman, Kang!” Sahutku pendek.
“Tidak keberatan Akang duduk di sini?”
“Silakan!” sahutku, kikuk dibuatnya.
Setelah ngobrol beberapa saat, pemuda itu memperkenalkan dirinya dengan nama Daniel, asli dari Bandung. Tepatnya dari Banceuy.
Akhirnya, aku dengan Daniel terlibat perbincangan santai sambil menanti kedatangan rekan-rekanku. Entahlah, tiba-tiba aku merasa enjoy berada disisinya. Selain dia tampan juga sangat enak diajak bicara dan berwawasan. Mungkin karena itu aku berharap semoga kedua rekanku tidak cepat-cepat datang, biar kami bisa lama-lama kongkow.
Jujur kuakui, lelaki di sampingku sangat menggetarkan hatiku. Baru kali ini jantungku berdetak kencang saat didekati laki-laki. Padahal biasanya, dingin-dingin saja.
“Benarkah Kang Daniel dari Bandung asli?” tanyaku, untuk menjawab kesangsianku akan dirinya.
“Memangnya kenapa, apakah karena najahku layaknya orang bule?” Ujarnya balik bertanya, sambil tertawa.
“Iya!” Sahutku singkat.
“Akang lahir dan besar di sini,” ungkapnya terus terang.
Anehnya, bersamaan dengan datangnya rekan-rekanku, Daniel tiba-tiba sudah tidak ada di sebelahku, raib entah kemana. Penasaran aku mencari-cari ke seputar taman, tetap tidak ada.
Kusimpan rapat-rapat kepada rekanku, tentang pertemuanku dengan pemuda bule itu. Walaupun sosok Daniel masih misterius, tapi ketika itu daya pikirku seperti tidak bekerja sebagaimana mestinya orang waras.
Ketika aku sedang bekerja, aku mendengar bisikan ditelingaku, “Mita, datanglah ketempat kita bertemu.” Aku hafal betul dengan pemilik suara itu, Daniel. Langsung ketika itu hatiku berontak ingin menemuinya. Ya, di Dago Pakar.
Anehnya, bisikan itu seperti mengandung kekuatan gaib untuk menarikku keluar dari tempat kerja. Bagaikan kerbau dicucuk hidung yang selalu menuruti kemauan tuannya kemanapun dia pergi.
Lalu aku meminta ijin kepada mandorku dengan berbohong sakit. Nina dan Siska yang satu shift denganku hanya bisa menatapku dari jauh, menyaksikan aku seperti tergopoh-gopoh keluar ruangan kerja. Tidak sempat bertanya kepadaku, atau sekedar menghampiriku. Layaknya seperti hari-hari yang lalu, bila kami menghadapi suatu masalah, saling membuka diri. Tapi pada hari itu, aku tertutup kepada mereka.
Setengah berlari, aku mengejar angkot” yang mangkal di depan tempat kerja. Aku tidak pulang ke mess dulu, melainkan cabut ke Dago Pakar, di Bandung Utara. Satu jam perjalanan dari tempat kerja, akhirnya aku sampai di tempat tujuan. Tidak seperti hari Minggu yang lalu, banyak yang berkunjung kesini, tapi sekarang sepi.
Mungkin selain hari sudah menjelang senja, juga bukan hari libur. Makanya sepi pengunjung. Di sana, di bawah rindangnya pohon, di atas bangku tempat dulu aku duduk, Daniel tersenyum menyambut kedatanganku.
Pada pertemuan yang kedua, kami sudah seperti layaknya sejoli sedang kasmaran. Kami melepaskan rasa rindu, kendati baru beberapa hari yang lalu bertemu di tempat ini. Rasanya seperti sudah berminggu-minggu tidak bertemu.
Kurang lebih pukul delapan matam, kami baru berpisah. Daniel mengantarku di batas gerbang Dago Pakar. Kenapa hanya sampai sebatas gerbang? Bukankah dia Banceuy” Kenapa tidak sama sama? Bukankah daerah Banceuy itu ada di pusat kota? Bisa saja kami pulang bersama-sama, sementara dia turun di Banceuy, aku melanjutkan ke Cijerah?
Tapi kenapa malam itu, Daniel malah kembali lagi ke dalam kawasan hutan lindung itu? Mungkin, seandainya diriku tidak sedang dirasuki kekuatan gaib yang dipancarkan oleh sepasang sorot matanya, aku akan merasa curiga dengannya. Aku terhipnotis, tidak berdaya. Ketika itu, benakku tertutup kabut hitam, sulit untuk berpikir jernih. Kemisteriusan Daniel, kuanggap wajar-wajar saja. Ditambah aku tidak membuka diri, mengenai pemuda yang bernama Daniel itu kepada dua rekanku. Perasaan malu dan takut bercampur aduk menjadi satu bila harus bercerita sosok Daniel kepada mereka.
Aku memilih merahasiakannya. Entah sampai kapan.
Waktu terus berjalan. Lima tahun sudah aku mengenal sosok Daniel, dan selama itu pula aku merahasiakannya kepada rekan-rekanku, juga kepada kedua orangtuaku.
Sementara itu satu persatu, rekan-rekanku menikah, meninggalkan aku. Nina menikah dengan pemuda sekampungnya, dan menetap di Garut. Sedangkankan Siska menikah dengan teman seprofesinya. Mereka mengontrak rumah di luar lingkungan perusahaan.
Kini di mess tinggal aku seorang diri. Hanya saat kerja saja aku bertemu Siska, selebihnya waktuku diisi dengan kesendirian. Tak ada lagi canda riang Nina, atau serunya cerita-cerita asmara Siska.
Mulanya, kujalani kesendirian ini dengan wajar. Tetapi ketika Bapakku berkunjung ke mess dan beliau sudah mulai mengusik status yang masih senang hidup sendiri, maka ketenanganku pun mulai terusik.
Usia 28 tahun memang cukup matang unt berumbah tangga. Apalagi aku sudah tidak memiliki beban tanggung jawab biaya sekolat adikku yang sudah lulus SMU. Bahkan, adik sudah bekerja.
Sempat terpikir olehku, kenapa sampai detik ini, aku tak punya keinginan mengajak Daniel untuk kuperkenalkan kepada kedua orang tuaku di kampung. Sudah beberapa kali kurencanakan itu, tetapi selalu mentah lagi bila sudah berhadapan dengannya. Lidahku tiba-tiba jadi kelu, dan keinginan itupun sirna seketika.
Belakangan, aku juga terkejut karena orangorang yang kukenal sering membicarakan diriku yang kian hari kian bertambah kurus. Tak hanya itu, keceriaanku juga hilang. Demikian juga dengan keramahanku. Bahkan, aku juga hilang keimanan kepadaNya. Aku sudah lama meninggalkan shalat lima waktu.
Lebih celaka lagi, selain jiwa dan ragaku rapuh, aku jarang masuk kerja sehingga sering mendapat teguran dari atasanku. Sepertinya aku lebih mendahulukan bisikan Daniel, yang sembarang waktu datangnya. Kadang-kadang bisikan itu datang siang, sore atau malam hari.
Akibat sering tida masuk kerja, otomatis gajiku pun berkurang. Dan, untuk menutupi kekuaranganya aku suka pinjam sana-sini, kadang ke Siska. Mungkinkah, ketika itu aku lebih pantas disebut orang mati sebelum mati. Atau hidup enggan matipun tak mau. Sepertinya dimataku hanya ada satu lelaki yang paling tampan didunia ini, Daniel.
Sampai suatu ketika, tidak seperti biasanya malam itu Daniel mengajakku jalan-jalan sepulang kami menumpahkan gelora asmara di Dago Pakar. Sekitar pukul 21.00, aku keluar dari gerbang hutan lindung. Terus berjalan di jalan yang mulai sepi dari kesibukan lalu lintas.
Sepanjang jalan yang kami lalui tak lepas dari canda dan tawa. Tetapi anehnya Seiring itu pula, setiap orang yang berpapasan denganku menghindar jauh-jauh. Bahkan selintas umpatan terdengar ditelingaku, “Kasihan cantik-cantik gila!”
Kepada siapakah kalimat itu ditujukan? Sedangkan di sekitar jalan yang kami lalui cuma ada aku dan Daniel, juga si pengumpat itu.
Malam itu, antara sadar dan tidak, aku terus berjalan mengikuti apa yang Daniel inginkan. Daniel mengajakku mampir ke rumahnya, untuk mengenalkan aku kepada kedua orangtuanya. Aku merasa terkejut. Bertahun-tahun kami berpacaran, baru malam itu Daniel mengajakku ke rumahnya.
Aku bilang, antara sadar dan tidak. Malam itu, kami berjalan cukup jauh untuk ukuran teraga wanita yang jarang olah raga. Ya, dari Bandung utara menuju ke pusat kota. Jauhnya sekitar kurang lebih 15 km. Padahal angkot ada yang masih beroperasi, tapi Daniel tidak mengajakku naik angkutan itu. Dan akupun tidak memintanya.
Singkat cerita, kami akhirnya tiba di depan sebuah rumah dengan arsitektur model Eropa dan berpagar tinggi.
“Mari masuk, Mita!” Ajak Daniel sambil menarik lenganku.
Aku mengikuti Daniel, Baru beberapa langkah masuk ke dalam rumahnya, aku terkagum-kagum menyaksikan perabotan di dalamnya. Dan yang membuat aku terpana, ketika aku diperkenalkan kepada orang tua Daniel.
Ya, betapa tidak! Busana yang dikenakan kedua orang Daniel itu seperti di dalam film-film klasik zaman bangsawan Eropa abad 19. Kalau saja malam itu dalam kondisi sadar sepenuhnya, tidak mustahil aku akan terbirit-birit menjauhi tempat itu. Mana mungkin yang kulihat itu adalah realita.
Tapi ketika itu aku memang dirasuki kekuatan gaib. Tidak kuasa mengontrol diri sendiri. Semua itu terjadi di alam bawah sadarku. Bahkan, sudah bertahun-tahun aku dikungkung oleh sesuatu kekuatan tak kasat mata, dan aku terpengaruh oleh kesemuan itu.
Malam itu, akhirnya aku memang tidak berdaya melawan kantukku. Setelah menyantap hidangan yang di hidangkan orang tua Daniel, aku pun tertidur pulas. Dan ketika terbangun, di sekelilingku sudah ada rekan-rekan kerja. Di antaranya Siska yang duduk di pinggir ranjang yang kutiduri.
“Aku sedang berada di mana, Sis?” Tanyaku heran. Suaraku serak dan lemah.
“Tenang aja. Kamu di rumah sakit, Mita!” Ujar Siska.
“Nanti ceritanya. Yang penting sembuh dulu, ya!” Timpal Rini.
Beberapa hari kemudian, keadaanku sudah cukup sehat. Aku diperbolehkan meninggalkan rumah sakit, dan kembali ke mess. Kedua orangtuaku datang ke Bandung, setelah dikabari Siska lewat surat.
Menurut penuturan Siska, malam itu aku dalam keadaan pingsan diantarkan oleh angkot ke depan perusahaan. Setelah sebelumnya aku ditemukan oleh seorang yang sedang berjalan kaki tergeletak di depan sebuah Pabrik Farmasi peninggalan Kolonial Belanda yang terletak di Jalan Cicendo.. Kebetulan orang mengenalku dari seragam dan kartu pengenal yang ada di saku bajuku, karena memang pada saat menuju ke Dago Pakar aku tidak pulang dulu ke mess untuk ganti pakaian,
Setelah keadaanku pulih kembali, sahabat yang selalu menjengukku hanyalah Siska. Dan meski dengan perasaan yang campur aduh, aku membuka diri kepadanya.
Mulai dari awal pertemuan dengan bemuka indo bernama Daniel, beberapa tahun yang lalu, hingga aku terkapar disebuah pabrik peninggalan kolonial Belanda, semua kuceritakan padanya.
“Kenapa tidak sejak dulu kamu ngomong, Mit? Kamu sudah dirasuki pengaruh kekuatan jahat dari bangsa demit di Dago Pakar,” Siska menyesalkan sikapku yang selalu menutup diri.
Atas saran kedua orangtuaku, aku diboyong ke Cilacap. Di kampung halaman, aku dibawa ke seorang paranormal yang dapat mengobati luka jiwaku. Di kamar ukuran tiga kali tiga itu, dengan disaksikan Bapakku, aku disuruh tiduran di atas tikar pandan, dan selanjutnya aku tidak ingat apa-apa lagi. Namun, dalam dunia bawah sadarku, samar-samar terlukis padang yang luas, dan aku berdiri disana. Sementara di ufuk langit sana, Daniel berjalan ke arahku, dengan senyumannya yang menawan. Tapi, saat itu aku beringsut mundur, untuk menghindarinya.
Tidak biasanya pada saat itu aku merasa takut menyaksikan sosoknya. Mungkin pengaruh dari doa-doa penolak bala yang dibacakan sang paranormal, sehingga aku memiliki kekuatan aneksasi dari makhluk yang selama ini mempengaruhi jiwaku. Aku berusaha melawannya.
“Kenapa, Mita? Ini Daniel, kekasihmu… pangeranmu?” Rayu Daniel, ketika aku berusaha menghindari pelukannya.
“Tidak! Ini harus dihentikan sekarang juga. Jangan menemuiku lagi! Pergi… pergi dari kehidupanku makhluk terkutuk!” Bentakku sambil mundur beberapa langkah.
Bersamaan dengan bentakanku, tiba-tiba sosok Daniel berubah. Kini di depanku berdiri makhluk berbulu, telinganya panjang dan di kepala, persis di ubun-ubunnya keluar tanduk. Selain sekujur tubuhnya berbulu lebat, sosok gaib itu berekor seperti kuda. Terjadilah kejarkejaran antara aku yang ingin menghindar dengan makhluk itu yang ingin memelukku.
Ketika aku berdiri di tepi jurang yang terjal, aku putus asa. Tidak mungkin aku melompat ke dalarg jurang sana, sebab pasti tubuhku akan tercabik-cabik oleh tajamnya bebatuan. Celakanya, makhluk yang menakutkan itu semakin merangsek mendekatiku.
Ketika aku putus asa, tiba-tiba ada kilat yang menyambar ke tubuh makhluk itu, kuat sekali suaranya. Lalu aku mendengar lengkingan yang membuat merinding sekujur tubuhku, disusul pemandangan sepert bara berterbangan yang akhirnya padam di tiup angin. Suasana pun kembali menjadi hening. Aku bersimpuh di sebuah batu karena kelelahan.
“Alhamdulillah, makhluk dari bangsa jin itu sudah musnah!” Kata orang pintar itu. Disusul suara bapakku mengucapkan puji syukur kepada Tuhan.
Perlahan-lahan kubuka kelopak mataku, dan kembali aku sadar. Namun badanku terasa lunglai tak berdaya.
Sejak itu, kuputuskan untuk keluar dari pekerjaan, dan sementara waktu menetap di kampung untuk memulihkan kondisiku. Alhamdulillah, aku kembali tekun menjalankan ibadah lima waktu yang sempat beberapa tahun kutinggalkan. Sosok gaib itu pun tidak pernah lagi datang untuk memengaruhi diriku.
Kini, aku sudah menjadi isteri dari seorang pria bernama Junaedi. Ya, aku Nyonya Junaedi dengan dua orang anak yang lucu-lucu. Terima kasih, Tuhan! Wallahu a’lam bissawab. ©️.

Kami Jasa Solusi Problem Hidup. Masalah Tuntas Tanpa Bertentangan dengan Hukum Agama dan Negara.
MACAM PROBLEM DALAM PELAYANAN KAMI:
Solusi Problem Asmara, Rumah Tangga, Back Up Karir, Back Up Usaha, Jual Beli, Aura Pemikat, Bersih Diri / Ruwat / Ruqyah / Buang Sial, dll.
KAMI TIDAK MELAYANI SEGALA HAL YANG MELANGGAR HUKUM AGAMA DAN NEGARA.
Contoh: Bank Gaib, Uang Balik, Harta Gaib, Pesugihan, Aborsi / Menggugurkan Kandungan, Perjudian / Togel / Judi Online, Mencelakakan Orang / Santet / Teluh, dll.
ALAMAT PONDOK RUQYAH:
Dusun Kasemen, No.50, RT.05, RW.03, Desa Wangkalkepuh, Kecamatan Gudo, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Kodepos 61463.
🌐 https://pondok-ruqyah.com/
☎️ +6285708371817
PERINGATAN!
Hati-hati dan waspada terhadap penipuan online yang mengatasnamakan kami. Diutamakan datang langsung ke alamat kami untuk menghindari segala hal negatif. Terimakasih.
DATANG DENGAN NIAT BAIK
TIDAK UNTUK KEJAHATAN!