Kisah Mistis: GILA KARENA NGILMU PELET

0
10

Kisah Mistis: GILA KARENA NGILMU PELET

Peristiwa ini semoga saja dapat dijadikan pelajaran bagi yang ingin mempelajari ilmu gaib. Bila terjadi kesalahan atau tidak sanggup untuk menjalankan ritual suatu ilmu, maka bisa fatal akibanya. Kisah sejati ini terjad. di sebuah desa kecil di daerah Tegal, Jawa Tengah. Untuk melindungi privasi para pelakunya, baik nama maupun tempat kejadian sengaja kami samarkan…

 

Malam itu suasana desa di tepi sungai Kaligung itu sangat mencekam. Maklumlah sejak sore tadi gerimis turun tiada henti. Kendati demikian, di tengah udara dingin yang menggigit sekujur tubuh sampai ke tulang sum-sum itu tak mengurungkan niat Sunaryo. Sambil tertatih-tatih dalam gelap, dia berjalan sendirian menuju rumah Mbah Garno.

 

Sunaryo sepertinya memang tidak peduli dengan alam yang malam itu murung. Tanpa ada keraguan sedikitpun yang terselip di relung hatinya, kakinya yang lincah dan cekatan itu terus berjalan mengikuti jalan setapak menuju sebuah bukit. Sesekali dia terpeleset karena jalanan yang licin dibasuh air hujan. Namun, dia sepertinya memiliki keseimbangan tubuh yang begitu sempurna, sehingga tak sekalipun jalan licin itu menjatuhkannya, kecuali hanya sekedar terhuyung atau miring sesaat.

 

Ketika kabut semakin pekat, langkah Sunaryo semakin jauh meninggalkan desa. Suara-suara binatang malam yang menyeramkan tak membuat dia gentar. Semua itu sungguh tak berarti apa-apa jika dibandingkan dengan hinaan Ningsih terhadapnya dirinya. Ah, gadis itu sungguh sudah melampaui batas, sehingga telah menjadikan Sunaryo gelap mata. Penghinaan yang sungguh menyakitkan itu juga yang pada akhirnya melahirkan kenekatan Sunaryo untuk mempelajari ilmu pelet sebagai jalan pintas bagi orang yang sakit hati, atau juga putus asa.

 

Ya, Ningsih, gadis cantik berkulit kuning angsat itu menolak cinta Sunaryo dengan cara yang teramat keji bagi seorang pemuda miskin seperti Sunaryo. Dia telah menghina dan melecehkan Sunaryo di depan orang banyak. Sungguh terasa malu saat orang-orang tertawa mendengar cemohan Ningsih kepada dirinya. Kalimat-kalimat yang keluar dari bibir merah Ningsih mengores-gores ulu hatinya, menorehkan luka yang perih dan sangat dalam. Suara tawa terpingkal-pingkal dari semua orang yang menyaksikan penghinaan Ningsih terhadap dirinya, tak ubahnya bagai siraman cuka di atas hati yang terluka itu.

 

“Apa di rumahmu nggak ada kaca? Ngaca dong, pantas tidak kamu mencintai diriku? Kamu itu bukan tipeku, tidak selevel denganku!” ejek Ningsih sambil kemudian memercikkan ludahnya ke tanah.

 

Paras Ningsih yang halus itu ternyata memang tak sehalus perangainya. Dan, Sunaryo tidak pernah menduga akan mendapat perlakukan sekasar itu. Sebagai seorang lelaki, dia sebenarnya cukup siap untuk mendapat penolakan. Namun dia tidak pernah membayangkan akan mendapat penolakan sekasar itu.

 

“Ning, kau akan menyesal telah menghinaku. Dan aku bersumpah akan membuat kau bersujud menghiba cintaku. Lihat saja nanti,” bisik hati Sunaryo ketika mengingat peristiwa itu. Hatinya bagai diremas-remas. Sungguh menyakitkan.

 

Dengan diterangi cahaya dari moncong senter usang yang tergenggam di tangannya, Sunaryo terus berjalan dengan langkah yang mantap. Dia mendaki dan menuruni bukit, yang sebagian ditumbuhi hamparan semak belukar setinggi pinggang. Namun, lelah yang mendera seakan tak dirasakannya. Semangatnya tetap tak surut walau harus berjalan beberapa kilometer lagi.

 

Akhirnya, wajah yang penuh peluh itu dapat tersenyum lepas, ketika tiba di sebuah rumah kayu berdinding tepas. Tak ada kesan angker pada rumah itu, walau lokasinya di atas bukit yang angker, dan sangat terpencil letaknya. Rumah ini memang tidak seperti rumah dukun pada umumnya, yang suwung dan pengap, namun rumah ini tampak sangat asri dan bersahabat. Setiap sudutnya diterangi cahaya lampu petromak, yang sinarnya menetpa bunga-bunga yang ada di sekelilingnya.

 

Ketika Sunaryo belum sempat mengetuk pintu dan mengucap salam, tiba-tiba pintu telah terbuka. Lalu muncul sosok tua bertubuh kekar, penuh wibawa. Rupanya, sebelum pintu diketuk oleh Sunaryo, Mbah Garno sudah mengetahui kedatangannya. Hal itu meyakinkan Sunaryo bahwa ilmu kebatinan Mbah Garno memang cukup tinggi.

 

“Silahkan masuk, Anak Muda!” Ucapnya dengan suara yang berat.

 

“Ya… ya, Mbah, terima kasih,” sahut Sunaryo dengan sedikit tergagap.

 

“Aku suda tahu maksud kedatanganmu. Kamu pasti sedang patah hati, bukan? Ah, itu biasa. Banyak anak muda seperti kamu yang mengalami seperti itu. Oya, apa kamu siap menjalani semua ritual ilmu pelet yang akan diturunkan?” tanya Mbah Garno sambil menatap tajam tamunya.

 

Mendengar pertanyaan tersebut jantung Sunaryo pun berdetak keras. Mbah Garno begitu fasih membaca isi hatinya. Tanpa basa-basi dia langsung menebak dengan benar maksud kedatangannya. Ya, Mbah Garno dapat membaca isi hatinya. Atau mungkin, sebelum Sunaryo memang telah banyak pemuda lain yang berkunjung kepada untuk meminta hal yang sama? Memang, sepertinya demikian adanya.

 

“Bagaimana, Anak Muda. Kau siap?” suara Mbah Garno memecah keheningan.

 

Sekali ini, Sunaryo telah siap menjawab pertanyaan tersebut, “Saya sudah siap lahir batin, Mbah!” Perkataan ini tercetus dengan mantap dari mulutnya.

 

“Ha… ha… ha… bukan hanya siap lahir batin saja, tapi juga kamu harus siap mental. Karena ini bukan sembarang ilmu pelet. Ini mbahnya ilmu pelet yang ada di pulau Jawa. Karena itu kau harus sungguh-sungguh mengamalkannya, Anak Muda!” Ucap Mbah Garno menegaskan.

 

“Iya, saya siap, Mbah!” sahut Sunaryo, tegas.

 

“Baiklah kalau begitu, datanglah kembali pada hari kelahiranmu. Ingat, harus tepat. Jangan sampai kurang atau lewat atau lebih dari sehari pun!” tegasnya lagi.

 

esuai hari dan jam yang telah dijan jikan, Sunaryo kembali menemui Mbah Garno. Adapun persyaratan dari ilmu pelet Semar Wangi yang akan diturunkan oleh Mbah Garno kepada dirinya adalah bersemedi dan berpuasa selama 7 hari berturut-turut tanpa makan, minum dan tidur. Tempat bersemedi tersebut adalah di sebuah batu besar yang tidak jauh dari rumah Mbah Garno. Sebelum ritual tersebut dilakukan, Sunaryo telah dimandikan dengan bunga 7 rupa.

 

Setelah memberi mantra untuk dibaca selama bersemedi, Mbah Garno berpesan kepada Sunaryo agar berhati-hati terhadap godaan yang akan muncul selama bersemedi. Dikatakan olehnya, para bangsa jin yang ada di sekitar batu akan datang menggoda, tapi mereka tak akan dapat melukai jika Sunaryo tetap berada dalam posisi semedinya.

 

“Dalam menuntut ilmu pelet Semar Wangi kunci utamanya adalah sabar dan harus bisa menguasai diri dari segala godaan nafsu,” urai Mbah Garno. “Ingat, jangan berhenti bersemedi dan beranjak dari batu ini sampai aku sendiri yang membangunkanmu, Anak Muda!” Pesannya kemudian.

 

“Saya akan mematuhinya, Mbah!” JawWab Garno, mantap.

 

Setelah segala sesuatunya telah dipersiapkan, maka mulailah Sunaryo menjalan semedi. Pada hari pertama, memang tak ada halangan yang berarti bagi Sunaryo. Hanya angin semilir yang berhembus menggelitik tubuhnya, serta udara dingin yang menusuk-nusuk sampai ke sum-sum. Anehnya, terkadang hawa panas juga datang secara tiba-tiba, seakan berusaha mengusir Sunaryo dari tempatnya bersemedi.

 

Di malam kedua dan ketiga, godaan yang datang semakin kuat. Pada hari tersebut nyali Sunaryo seperti di uji. Persis tengah malam, telinganya mendengar suara-suara binatang buas berdengus kuat seperti berada sangat dekat dengannya. Suara auman macan, geraman serigala, desisan ular dan teriakan-teriakan kera terdengar begitu dekat di telinganya. Tapi hal itu tidak menyurutkan niat Sunaryo. Tekadnya telah bulat. Apa pun yang terjadi dia harus berhasil menguasai ilmu pelet Semar Wangi. Penghinaan Ningsih terhadap dirinya yang sedemikian menyakitkan harus dibalas. Bahkan dalam benak Sunaryo sudah membayangkan bagaimana Ningsih menangis menghiba-hiba cinta kepada dirinya.

 

Pada hari selanjutnya, apa yang dipesankan Mbah Garno ternyata benar. Wujud jin-jin berwajah seram dan menjijikan mulai muncul. Walau matanya dalam keadaan terpejam, namun Sunaryo dapat merasakan kehadiran makhluk-makhluk menyeramkan tersebut. Suara-suara mereka terdengar sangat nyata. Tertawa, menangis, dan menjerit-jerit sedemikian rupa. Bahkan, tubuh Sunaryo pun tak luput dari gangguan mereka. Misalnya saja ada cubitan, elusan, dan ciuman.

 

Yang paling menjijikan adalah sesosok makhluk hitam dan besar, mirip anjing, yang dengan penuh nafsu menjilat-ilat tubuh Sunaryo. Karuan, lendir dari air liur makhluk itu, yang berbau busuk menetesi tubuh Sunaryo.

 

Semua godaan yang menyeramkan ini membuat nyali Sunaryo benar-benar menciut. Dia gemetar ketakutan. Namun, makhluk menyeramkan seperti anjing, itu terus menjilati tubuhnya sambil tertawa terpingkal-pingkal. Dengusan nafasnya terasa menyapu seluruh wajah Sunaryo, menebarkan bau yang sangat busuk.

 

Ketika ketakutan yang dirasakan Sunaryo semakin memuncak, entah darimana tiba-tiba suara Mbah Garno datang dan berbisik kepadanya. Sangat dekat di telinganya.

 

“Jangan takut, Anak Muda. Mereka hanya menggoda tapi tak bisa mencelakaimu. Aku telah membentengimu. Ingat pesanku, jangan beranjak dari tempatmu bersemedi. Bila kau tak kuat dengan godaan mereka dan membatalkan ritual ini panggil saja namaku lalu tepuk pahamu tiga kali. Maka aku akan datang menjemputmu.” Demikian bisikan Mbah Garno.

 

“Aku masih kuat. Aku pasti akan bertahan, Mbah!” Jawab Sunaryo, mantap.

 

Memang Sunaryo tak bergeming. Di hari kelima dia masih tetap bertahan. Matanya erat terpejam. Nafasnya keluar secara teratur. Dia berkonsentrasi penuh pada mantra yang dirapalkannya. Pada hari itu tubunnya terasa semakin kuat. Setiap dia berhasil melewati rintangan atau godaan gaib, lapar dan dahaga justeru tak dia rasakan lagi. Sepertinya, ada suatu energi yang masuk ke tubuhnya saat dia melewati setiap rintangan dan godaan.

 

Namun, memasuki malam keenam, tiba-tiba tubuh Sunaryo berguncang hebat. Sekelebat angin kecang datang dari depan disertai kabut yang tebal. Di balik kabut itu muncul seorang nenek berbaju hitam dan berwajah sangat seram. Dari pipi si nenek yang penuh lubang, mirip lubang jerawat yang besar menganga muncul ulat-ulat yang berloncatan sedemikian rupa. Rambutnya yang panjang memutih tergerai diterbangkan angin yang berputar-putar. Sambil memegang tongkat kayunya, nenek itu menghampiri Sunaryo.

 

“Hei, Anak Muda! Apa maumu, sehingga kau menduduki istanaku?” hardik nenek itu, sambil membelalakkan matanya yang besar dan merah saga itu.

 

“Aku ingin menguasai ilmu pelet Semar Wangi,” jawab Sunaryo, tenang.

 

“Cuiiih!” Nenek itu meludah ke bumi. Makinya kemudian, ”Jangan bermimpi, manusia sepertimu tak pantas menguasai ilmu itu. Kau adalah manusia yang penuh dendam dan nafsu. Ilmu Semar Wangi bukan sembarang ilmu pengasihan, hanya manusia yang berhati bersih yang bisa menguasai. Sebaiknya kau enyah saja dari sini atau kau akan mendapat sial!”

 

Sunaryo sekali ini hanya diam. Dia kembali meneruskan semedinya dan tak menghiraukan umpatan yang terlontar dari mulut wanita jadi-jadian tersebut sampai wanita itu menghilang dari hadapannya.

 

Masih di malam ke enam, tubuh Sunaryo berubah terasa ringan. Energi yang didapatkannya pun bertambah, entah dari mana energi itu datang. Tapi berbeda dengan hari-hari sebelumnya kali ini Sunaryo merasakan lapar dan dahaga yang sangat dahsyat. Perutnya seperti berputar-putar dan tenggorokannya terasa kering dan pahit.

 

Suasana malam itu hening. Tak ada lagi suara-suara seram serta godaan atau gangguan dari makhluk-makhluk halus ataupun siluman. Hanya suara-suara pohon berderak ramai dihembus angin, diselingi dengan nyanyian jangkrik. Tinggal sehari lagi bagi Sunaryo untuk menyelesaikan semedinya. Hanya lapar dan dahaga yang terus menderanya.

 

Dari ujung sana suara langkah kaki yang menginjak ranting dan dedaunan layu terdengar berjalan mendekatinya. Semakin lama suara langkah kaki itu semakin jelas dan sangat dekat.

 

“Yo, bangunlah, ini aku!” Tiba-tiba suara perempuan terdengar di telinga Sunaryo. Suara itu seperti dikenalnya. Ya, Sunaryo hafal betul dengan suara itu. Suara itu adalah milik gadis yang menghina dan menolak cintanya. Siapa lagi kalau bukan Ningsih.

 

“Aku membawakan makanan kesukaanmu dan sebotol air yang segar,” ucap Ningsih berbisik lembut di telinga Sunaryo. Tubuh Sunaryo bergetar saat bibir Ningsih menyentuh daun telinganya.

 

“Tidak, kau pasti bukan Ningsih. Pergilah!” ujar Sunaryo, tegas.

 

“Ini aku, Naryo, aku Ningsih! Bagaimana kau dapat memastikan kalau aku bukan Ningsih jika kau tidak membuka mata dan melihatku. Lihatlah dan buka matamu. Aku disini telah datang untuk meminta cintamu. Maafkan atas kesalahanku tempo hari. Bukalah matamu, sayang!” Bujuk Ningsih sambil menangis.

 

Tapi Sunaryo tak bergeming walau sedikitpun. Dia diam dan tetap berkonsentrasi. Namun, karena tidak tahan mendengar tangisan Ningsih yang menyayat hati, batinnya akhirnya terusik juga. Perlahan, Sunaryo membuka matanya, untuk memastikan apakah yang menangis di hadapannya itu sungguh-sungguh Ningsih.

 

Dan ternyata benar. Perempuan itu adalah Ningsih. Dia telah berdiri tepat di depan matanya dengan membawa makanan serta minuman.

 

“Kemarilah, sayang! Mari kita santap bersama hidangan ini. Aku tahu kau lapar dan haus. Makanan ini khusus kubuatkan untukmu!”

 

Sunaryo seperti tersihir. Ada kekuatan magnit yang menariknya. Tatapan mata Ningsih membuatnya terpukau dan lupa diri. Ah, betapa cantik gadis itu.

 

“Akhirnya kau datang juga kepadaku, aku berhasil!” batin Sunaryo. Lalu dia beranjak dari tempatnya dan mendatangi Ningsih.

 

Dengan lahap kemudian Sunaryo menyantap dan meneguk minuman yang diberikan Ningsih. Setelah menyantap hidangan tersebut birahi Sunaryo bergejolak kuat. Lonjakan nafsu yang berkobar-kobar telah membakar dadanya. Bagai kobaran api yang membakar hutan Kalimantan. Liar tak terkendali. Sedangkan Ningsih hanya pasrah merebahkan tubuhnya di pelukan Sunaryo.

 

“Aku sudah menjadi milikmu, Naryo. Lakukanlah apa yang kau inginkan dariku,” ucap Ningsih sambil melingkarkan tangannya ke tubuh Sunaryo.

 

Malam itu Sunaryo tampil perkasa melahap setiap inci tubuh Ningsih yang polos. Sudah lebih dari tiga kali Sunaryo merengguk nikmat dan manisnya cinta yang diberikan Ningsih. Hingga akhirnya dia terbaring lemah di atas tubuh mungil Ningsih.

 

“Sudah puaskah engkau menikmati tubuhku, sayang?” Tanya Ningsih kepada Sunaryo. Namun, kali ini ada yang berbeda dengan suara Ningsih. Serak dan berat. Hal ini membuat jantung Sunaryo berdetak keras. Dia tersadar lalu bangkit dan melihat tubuh yang ditindihnya.

 

“Ha… ha… ha… sudah kukatakan kau tidak pantas mendapatkan ilmu Semar Wangi. Kau pemuda bodoh yang penuh dendam dan nafsu. Ha… ha… ha…” Ternyata tubuh yang tindih Sunaryo adalah sosok nenek yang mengusirnya tadi.

 

“Tidak… Tidak…! Ningsih, di mana kau Ningsih!?“ Jeritan histeris Sunaryo bergema membelah malam yang gulita. Sambil berlari terbirit-birit dan telanjang bulat dia menuruni bukti. Berteriak dan terus berteriak.

 

Sejak kejadian tersebut Sunaryo menjadi gila. Kegagalan untuk menguasai ilmu Semar Wangi telah membuat batinnya tertekan. Terguncang. Dia kerap tertawa dan menangis tanpa sebab. Setiap bertemu dengan wanita dari mulutnya akan terlontar mantra-mantra yang tak jelas. Diduga, mantra itulah yang dibacanya saat dia bersemedi. Wallahu a’kam bissawab. ©️.


PENGOBATAN ALTERNATIF
"PONDOK RUQYAH"
(SOLUSI PASTI DI JALAN ILLAHI)

Kami Jasa Solusi Problem Hidup. Masalah Tuntas Tanpa Bertentangan dengan Hukum Agama dan Negara.

MACAM PROBLEM DALAM PELAYANAN KAMI:
Solusi Problem Asmara, Rumah Tangga, Back Up Karir, Back Up Usaha, Jual Beli, Aura Pemikat, Bersih Diri / Ruwat / Ruqyah / Buang Sial, dll.

KAMI TIDAK MELAYANI SEGALA HAL YANG MELANGGAR HUKUM AGAMA DAN NEGARA.
Contoh: Bank Gaib, Uang Balik, Harta Gaib, Pesugihan, Aborsi / Menggugurkan Kandungan, Perjudian / Togel / Judi Online, Mencelakakan Orang / Santet / Teluh, dll.

ALAMAT PONDOK RUQYAH:
Dusun Kasemen, No.50, RT.05, RW.03, Desa Wangkalkepuh, Kecamatan Gudo, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Kodepos 61463.
🌐 https://pondok-ruqyah.com/
☎️ +6285708371817

PERINGATAN!
Hati-hati dan waspada terhadap penipuan online yang mengatasnamakan kami. Diutamakan datang langsung ke alamat kami untuk menghindari segala hal negatif. Terimakasih.
DATANG DENGAN NIAT BAIK
TIDAK UNTUK KEJAHATAN!