HADIR DI JUMENENG BUPATI COKRONEGORO BUAT BACKUP KARIR
RAA Cokronegoro 1 merupakan bupati pertama Purworejo, yang hidup ratusan tahun silam. Untuk mengenang beliau, setahun sekali diadakan acara jumenengan. Siapapun yang hadir dalam acara jumenengan itu akan mendapatkan banyak berkah. Tidak heran, jika setiap kali acara jumenengan diadakan, akan selalu dihadiri banyak tamu undangan, terutama para pejabat. Mereka seakan tak mau ketinggalan, untuk ikut-ikutan mendapatkan sawahnya. Diyakini, pejabat yang menghadiri acara jumenengan kariernya akan selalu moncer…
Acara jumenengan itu diadakan setiap tanggal 27 Februari. Tujuan utamanya sebagai bentuk penghormatan pada RAA Cokronegoro, atas jasa-jasanya dalam membangun Purworejo. Jumenengan juga dimaksudkan untuk peringatan atas dilantiknya RAA Cokronegoro sebagai bupati pertama Purworejo pada 18 Desember 1830. Acara yang awalawalnya diadakan oleh keluarga besar trah Cokronegoro ini, dikemas secara menarik. Kini, acara jumenengan telah diambil alih oleh pemerintah daerah.
Tak jauh beda dengan acara jumenengan kraton, pada jumenengan Cokronegoro juga dipentaskan tarian Bedhayan Cokronegoro, yang merupakan adaptasi tari Bedhaya yang biasa dipentaskan/ditarikan di kraton, sebagai tarian sakral yang sarat muatan cerita/ kisah spiritual, dan hanya disajikan pada acara-acara tertentu. Tarian Bedhayan Cokronegoro sendiri merupakan tarian yang menggambarkan ‘ruh’ kewibawaan, kearifan, ketagwaan, semangat dan karya RAA Cokronegoro I untuk Purworejo. Tarian Bedhayan Cokronegoro sendiri, ditarikan oleh 7 orang penari putri, bukan 9 seperti pada tari bedhaya kraton, karena posisi Kabupaten/kadipaten ada dibawah kraton (sejarah budaya).
Jumenengan pada tahun ini, yang dilaksanakan pada 27 Februari 2015 lalu di pendopo kabupaten, jatuh pada malam Sabtu Pon. Dari kaca mata mistis, ternyata Jumenengan kali Ini, jauh beda dengan jumenengan sebelumnya.
“Malam Sabtu Pon memiliki arti alam nyata tertinggi. Bisa juga diartikan, merupakan alam kedudukan atau kekuasaan tertinggi pada alam manusia, khususnya untuk Purworejo,” ungkap Ki Samar (50), paranormal ahli matematik metafisik dari Purworejo, yang selalu hadir dalam acara jumenengan Cokronegoro ini.
Jumengan tahun 2015 ini, kata Ki Samar, sangatlah istimewa, apalagi jika dikaitkan dengan aroma politik, mengingat kabupaten Purworejo akan menggelar pesta demokrasi pemilihan bupati.
Dari pandangan Ki Samar, saat jumenengan inilah, RAA Cokronegoro I, sebagai bupati Purworejo pertama, datang secara gaib, mengambil kembali wahyu kekuasaannya dari bupati sekarang, yang selanjutnya akan diberikan wahyu keprabon ini pada calon bupati terpilih nantinya.
Tak heran, jika saat jumenengan kali ini, jauh istimewa, karena dihadiri para ‘bintang’, atau para calon bupati yang akan maju dalam pilkada 2015. Beberapa nama yang disebut-sebut akan maju dalam pilkada, hadir dalam jumenengan.
Dari terawang Ki Samar! para calon bupati, atau yang merasa akan mencalonkan diri ini, didampingi penasehat spiritual masing-masing. Tujuan mereka hanya satu, mengharap sawab/berkah dari Cokronegoro, agar bisa terpilih nantinya.
Karena malam Sabtu Pon memiliki arti Alam Nyata Tertinggi, maka Ki Samar memastikan, kalau calon bupati terpilih nantinya, pastilah salah satu dari mereka yang hadir dalam jumenengan Cokronegoro itu.
“Kedatangan mereka ke acara jumenengan sangat penting. Sebagai bentuk isyarat/lampu hijau, supaya niat mereka direstui Eyang Cokronegoro. Mereka semua berharap, agar wahyu keprabon bisa jatuh ke tangan mereka (salah satu calon),” jelas Ki Samar, paranormal keturunan Cina ini.
Dan nantinya, Eyang Cokronegro akan memberikan wahyu kekuasannya pada calon terpilih. Untuk itu, kata Ki Samar, ada beberapa syarat yang harus bisa dipenuhi untuk bisa mendapatkan wahyu keprabon ini.
Salah satunya, ungkap Ki Samar, harus bisa melaksanakan pembangunan sesuai visi misi Eyang Cokronegoro saat memerintah dulu, yakni membangun demi kesejahteraan rakyat, bukan untuk kepentingan pribadi atau golongan.
Tak hanya itu. Eyang Cokronegoro secara mistis akan memberikan restu pada calon yang selalu ingat akan leluhurnya. Hal itu, sesuai wangsit yang diterima Ki samar saat menjalani ritual di makam Cokronegoro beberapa waktu lalu.
Bunyi wangsit gaib itu, ‘Sopo wae nek raiso ngregani, ngormati Sing truko mbiyen/ pendahulu leluhure, ora bakal urip mulyo’. Isyarat gaib itu bisa juga diartikan, bahwa siapapun yang ingin hidup mulia, harus. ingat sama leluhurnya.
“Karena Eyang Cokronegoro ini leluhur masyarakat Purworejo, bupati pertama Purworejo, maka kita harus selalu mengingatnya, dan jangan pernah melupakannya. Siapapun yang berani melanggar ini, pasti akan kualat. Ada saja akibatnya,” jelas Ki Samar lebih jauh.
Salah satu bentuk pengingat itu, dengan rutin berziarah di makam Bupati Cokronegoro, yang ada di Desa Bulus, Kecamatan Gebang, Purworejo. Dari kota Purworejo, arah utara kurang lebih 5 km. Makam Cokronegoro merupakan salah satu daerah tujuan untuk wisata religi.
Kata Ki Samar, banyak peziarah dan pengalap berkah datang ke makam Bupati Cokronegoro ini. Mereka-mereka ini, datang dari berbagai daerah, tak hanya warga lokal Purworejo saja. Ada Udin, si juru kunci yang siap melayani pengalap berkah sewaktu-waktu. ”
Menurut Ki Samar, yang didampingi juru kunci Udin, yang dimakamkan di komplek pemakaman Cokronegoro ini adalah Cokronegoro I, bupati pertama Purworejo dan anak turunnya. Makam Cokronegoro I ini berada di sebuah cungkup yang sangat megah.
Selain beliau, ada juga makam Cokronegoro Ili, Cokronegoro IV, serta beberapa kerabat dan orang-orang dekatnya. Namun dari kesekian makam yang ada, diakui oleh Udin, bahwa yang paling sering dikunjungi para peziarah dan pengalap berkah, makamnya Cokronegoro.
Sebagai bupati pertama Purworejo, yang memerintah tahun 1830-1856, RAA Cokronegoro I merupakan orang yang sangat berjasa bagi Purworejo. Karena jasa dan perjuangan beliaulah, Purworejo bisa menjadi pesat seperti sekarang ini.
Sebagai orang yang pertama ‘babad alas’, mendirikan kabupaten Purworejo, keberadaan makam RAA Cokronegoro | ini sangatlah dikeramatkan oleh seluruh warga Purworejo. Sangat dilarang bertingkah sembrono dan tidak sopan di makam Cokronegoro ini.
“Orang yang melanggar pantangan di makam ini, pasti akan kesurupan harimau gaib penunggu makam. Jadi kami selalu mengingatkan para peziarah dan pengalap berkah, agar menjaga kesopanan dan tata krama selama berada di makam,” terang Udin, yang juga selalu hadir di acara jumenengan Cokronegoro tiap tahunnya.
Nah, dari kesekian tujuan para pengalap berkah, menurut Udin, yang paling dominan adalah pinuwunan untuk urusan derajat pangkat atau jabatan. Mitos menyebutkan, bahwa pinuwunan yang ada kaitannya dengan derajat pangkat atau jabatan, akan banyak terkabulnya setelah diawali dengan ritual di makam Cokronegoro | ini.
Dari pengakuan juru kunci, sudah tak terhitung lagi, orang yang telah berhasil mencapai jabatan tertentu setelah ngalap berkah di makam Cokronegoro ini. Itu karena, sawab atau aura yang ada di makam ini memang khusus untuk derajat pangkat.
Dalam struktur pemerintahan, Bupati adalah jabatan tertinggi. Orang yang bisa menjadi bupati, tentu bukan orang sembarangan. Pada jaman dulu, jamannya kerajaan, orang bisa menjadi bupati pastilah orang yang hebat segalanya, baik itu ilmu kesaktiannya (spiritual , maupun kemampuan lainnya. Dan itu yang dialami Cokronegoro ini.
“Tentunya orang yang ngalap berkah di sini punya tujuan, agar aura atau sawab yang ada pada Eyang Cokronegoro bisa menitis pada dirinya. Jadi memang sangat pas, jika khusus untuk pinuwunan derajat pangkat, terutama menjelang pilihan bupati saat ini,” ujar Ki Samar menimpali.
Lantas, syarat apa saja untuk ngalap berkah di makam Cokronegoro ini? Menurut Ki Samar, uborampe yang biasa digunakan adalah bunga telon dan bunga tabur. Dengan syarat tadi, peziarah dan pengalap berkah bisa menemui juru kunci, Udin, yang tinggal tak jauh dari makam.
Lewat perantara juru kunci, pengalap berkah bisa menyampaikan apa tujuannya. Nah, setelah niat atau tujuan disampaikan, maka tak lama kemudian, juru kunci akan mendapatkan suatu wisik atau bisikan gaib dari Cokronegoro I.
Juru kuncilah, yang akan menyampaikan petunjuk gaib yang diterimanya itu pada pengalap berkah. Petunjuk gaib ini, dari pengakuan Udin, bisa berupa hal-hal yang harus dilakukan pengalap berkah, atau juga perlambang-perlambang gaib, sebagai penanda keberhasilan atau kegagalan dari tujuan yang akan dicapai.
“Eyang Cokronegoro itu waskito. Beliau tahu karakter dan kepribadian dari tiap pengalap berkah yang datang. Secara tak kasat mata, dengan kelebihan beliau, Eyang akan tahu, apakah tujuan pengatap berkah berhasil atau tidak nantinya. Sudah banyak yang terbukti,” terang Ki Samar, yang juga rajin berziarah di makam Cokronegoro ini.
Sebagai pendiri Kabupaten Purworejo, atau orang yang babad alas pertama kalinya, keberadaan makam Cokronegoro I ini sangat dihormati para bupati Purworejo selanjutnya. Bahkan muncul mitos, bahwa siapa saja yang akan menjadi bupati Purworejo, harus mendapat restu dulu dari Cokronegoro I ini. Dan Udin, membenarkan hal ini.
“Siapapun yang mau nyalon bupati Purworejo, biasanya akan ngalap berkah di sini. Dan calon yang mendapat restu dari Eyang Cokronegorolah yang akan jadi. Dan selama 5 tahun kedepan, akan bisa dibaca, apa yang akan terjadi dengan Purworejo ini,” terang Udin, yang sudah paham betul akan hal ini.
Makam Cokronegoro I ini memang terlihat unik. Beliau ini dimakamkan satu liang lahat dengan adiknya, KRT Prawironegoro, yang meninggal terlebih dahulu. Kedua kakak beradik ini semasa hidupnya memang sudah bersumpah untuk sehidup semati. Jadi ketika meninggalpun, dimakamkan dalam satu liang lahat.
Di dalam makam, terdapat juga beberapa buah pusaka peninggalan RAA Cokronegoro I, yakni, sebuah tombak pusaka, dua buah payung kebesaran, serta sebuah bantal dari’kayu, yang dulu biasa digunakan Cokronegoro untuk tidur ketika sedang tirakat.
Cerita Udin, perjuangan dan ritual berat dilakukan Eyang Cokronegoro sebelum akhirnya menjadi penguasa Purworejo pertama kalinya. RAA Cokronegoro | ini memiliki nama asli R Ng Resodiwiryo, lahir pada Rebo Pahing 17 Mei 1779. R Ng Resodiwiryo merupakan putra sulung dari pasangan R Ng Singowijoyo – R Ay Nosingo.
Secara garis keturunan, R Ng Resodiwiryo ini masih anak turun Brawijaya, karena kedua orangtuanya juga anak turun Brawjaya. Ayahnya, anak turun Brawijaya V dari garis Bondan Kejawan. Ibunya trah Brawijaya dari garis Bupati Blambangan.
Semasa mudanya, R Ng Resodiwiryo ini mengabdi di kraton Surakarta, dengan jabatan Mantri Gladag, menggantikan Orangtuanya, R Ng Singowijoyo. R. Ng Resodiwiryo sendiri dikenal sebagai abdi yang cerdas dan tangkas. Setiap tugas yang diembannya, selalu bisa diselesaikannya dengan baik. Karena itu, R Ng Resodiwiryo sangat disayang Raja Surakarta, Sunan Pakubuwono. Pangkatnya naik dari Mantri Gladag ke Panewu Gladag.
Namun karjer R Ng Resodiwiryo tak berjalan mulus Hanya karena sebilah kers pemberian Sunan Pakubuwono yang bernama Kyai Bintoro, membuatnya harus berselisih paham dengan Patih Surakarta. Hal ini menjadikan R Ng Resodiwiryo akhirnya diturunkan jabatannya dari Panewu Gladag ke Mantri Gladag.
Karena malu, akhirnya R Ng Resodiwiryo ini memilih mengundurkan diri, dan menyerahkan jabatan Mantri Gladag itu pada anaknya, R Ng Cokrosoro. Sejak itu, beliau mengurung diri di rumah, tak pernah keluar.
Nah, selama mengurung diri itu, R Ng Resodiwiryo melakukan serangkaian ritual, seperti puasa mutih, ngadhem, pati geni, dan tirakat puji dino. Dari serangkaian ritual itu, yang paling berat adalah tirakat puji dino. Dan selama menjalani semua ritual itu, R Ng Resodiwiryo selalu tidur dengan beralaskan kayu.
Setelah lima tahun menjalani tirakat puji dino, akhirnya R Ng Resodiwiryo kembali ke kampung halamannya di Bagelen, di desa Ngasinan Banyuurip, untuk menemui ibunya, R Ay Nosingo. Di sini, R Ng Resodiwiryo melakukan ritual lagi, yakni tirakat ngluwat, dengan cara dikubur selama 40 hari di dalam tanah.
Saat semua itu terjadi, di Jawa pecah perang Diponegoro pada tahun 1825, yang merambah hingga wilayah Bagelen. Wilayah Bagelen sendiri, tempat dimana R Ng Resodiwiryo tinggal merupakan wilayah Kasunan Surakarta. Karena tak ingin wilayah Bagelen menjadi wilayah peperangan, maka Sunan Pakubuwono menugaskan P. Kusumoyudo untuk mengamankan wilayah Bagelen.
Selama bertugas mengamankan wilayah Bagelen, P. Kusumoyudo didampingi R Ng Resodiwiryo sebagai senopati pendamping Dan selama peperangan, R Ng Resodiwiryo lah yang ada di lapangan, sementara P. Kusumoyudo lebih banyak berada di tangsi Kedung Kebo. Karena dipandang sukses dengan tugasnya, akhirnya R Ng Resodiwiryo mendapat anugerah, dan diangkat menjadi Tumenggung di daerah Tanggung pada tahun 1828, dengan gelar KRT Cokrojoyo.
Setelah Perang Diponegoro usai dengan ditangkapnya pahlawan Goa Selarong ini pada tahun 1830 di Magelang, membuat Belanda mengalami banyak kerugian. Akhirnya, Belanda meminta ganti rugi pada Kraton Yogyakarta dan Surakarta, dengan cara menyerahkan wilayahnya yang ada di Bagelen dan Banyumas, dengan segala isinya (pejabatnya). Itu terjadi pada 22 Juni 1830.
Para pejabat dengan wilayah kekuasaan masing-masing yang diserahkan pada Belanda, antara lain, KRT Cokrojoyo Tumenggung Tanggung, Adipati Sawunggalih II Kutoarjo, KRT Mangunnegoro Bupati Ngaran, Pangeran Blitar Bupati Karangduwur, dan Arungbinang Bupati Kutowinangun.
Dengan penyerahan itu, semua tata cara pemerintahan harus mengikuti pemerintahan Hindia Belanda, tapi secara adat istiadat dan keagamaan tetap mengikuti aturan kraton Surakarta. Seminggu setelah penyerahan itu, akhirnya KRT Cokrojoyo yang semula menjabat menjadi Tumenggung Tanggung, akhirnya diangkat menjadi bupati yang membawahi wilayah Tanggung dan Brengkelan.
Sebelum dilantik menjadi bupati ini, KRT Cokrojoyo usul agar nama Brengkelan diubah menjadi Purworejo, karena dianggap memiliki makna kurang baik. Dan pada tanggal 13 Desember 1830, KRT Cokrojoyo resmi menjabat sebagai Bupati Purworejo dan bergelar RAA Cokronegoro i. Dan selama memerintah Purworejo dari tahun 1830-1856, RAA Cokronegoro banyak melakukan pembangunan Ontuk kemajuan Purworejo, antara lain, membangun jalan raya MagelangPurworejo sepanjang 40 km, membangun Masjid Agung, membuat bedug terbesar di dunia, membuat saluran irigasi, membangun alun-alun Purworejo, serta masih banyak lagi.
Pada tanggal 23 September 1862, RAA Cokronegoro | wafat dalam usia 83 tahun. Jenasahnya dimakamkan di makam Bulus Hadi Purwo, desa Bulus, Gebang. RAA Cokronegoro I memiliki 9 istri dan 24 anak salah satu istri dari Cokronegoro adalah wanita keturunan Cina bernama Tan Suen Pin (Nonik). Dari istri Cinanya ini Cokronegoro memiliki 4 anak, yakni, Su Dung, SulLung Sui Joan, serta Nan Suen. Wallahu a’lam bissawab. ©️.

Kami Jasa Solusi Problem Hidup. Masalah Tuntas Tanpa Bertentangan dengan Hukum Agama dan Negara.
MACAM PROBLEM DALAM PELAYANAN KAMI:
Solusi Problem Asmara, Rumah Tangga, Back Up Karir, Back Up Usaha, Jual Beli, Aura Pemikat, Bersih Diri / Ruwat / Ruqyah / Buang Sial, dll.
KAMI TIDAK MELAYANI SEGALA HAL YANG MELANGGAR HUKUM AGAMA DAN NEGARA.
Contoh: Bank Gaib, Uang Balik, Harta Gaib, Pesugihan, Aborsi / Menggugurkan Kandungan, Perjudian / Togel / Judi Online, Mencelakakan Orang / Santet / Teluh, dll.
ALAMAT PONDOK RUQYAH:
Dusun Kasemen, No.50, RT.05, RW.03, Desa Wangkalkepuh, Kecamatan Gudo, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Kodepos 61463.
🌐 https://pondok-ruqyah.com/
☎️ +6285708371817
PERINGATAN!
Hati-hati dan waspada terhadap penipuan online yang mengatasnamakan kami. Diutamakan datang langsung ke alamat kami untuk menghindari segala hal negatif. Terimakasih.
DATANG DENGAN NIAT BAIK
TIDAK UNTUK KEJAHATAN!