Kisah Mistis: TEROR HANTU PEMBUNUH

0
24

Kisah Mistis: TEROR HANTU PEMBUNUH

Tidak pernah kubayangkan, pada suatu hari di dalam hidupku, bahwa aku akan hidup di rumah hantu. Hidup berdampingan secara kasatmata dengan arwah gentayangan. Roh orang mati yang menjadi hantu, yang sewaktu-waktu mauju dan menampakkan diri. Yang bukan saja membuat kami takut, tapi sosok itu sudah membuat anak-anakku sakit jantung dan mati. Kami selalu dibuatnya deg-degan, cemas dan gundah gulana setiap saat.

 

Pada rumah baruku, di Cimacan, Cianjur, Jawa Barat, arwah itu setiap malam bermain biola dan memainkan musik-musik klasik. Selain memainkan alat musik gesek itu, arwah itu juga maujud dengan memainkan instrumen petik gitar akustik, mernainkan lagu-lagu berirama latin, La Spiola Elkasica. Aku, suami dan anak-anakku pun, menjalani hari-hari kami dalam teror. Teror arwah gentayangan yang benar-benar menakutkan.

 

Begitu Kang Agun Gunadi pensiun kerja di perusahaan pemerintah BUMN Surcapindo, Sebutlah begitu, pada tahun 2009, kami pindah rumah. Rumah pribadi kami yan Sudah selama 25 tahun kami tempati di Jala Kemang Raya, Kemang, Jakarta Selatan XI No. 889 CA, dijual dan kami membeli sebuah rumah bangunar tua abad 17 bekas kediaman asisten resider Belanda Cimaran Sidal, dekat dari istana Presigen Cipanas.

 

Ketika rencana membeli rumah ini dajukan Kang Agun, aku dan anak-anak Sudah menentang keras. Apalagi cara membel, rumah itu adalah dengan menjual rumah kesayangan Kami di Kemang, Jakarta Selatan itu. Selain aku, lina anakku juga menentang. Mereka tidak mau pindah dani rumah Kemang ini dan pindah ke luar kota. Tapi Kang Agun yang keras kepala, otoriter, tidak peduli dengan tentangan ini. Bahkan, untuk rencananya itu, Kang Agun melakukan usaha tangan besi agar gagasan itu tetap terlaksana.

 

Karena Kang Agun tetap ngotot, maka aku pun akhirnya terpaksa mengalah, sebab ancaman Kang Agun, dia akan pindah sendirian ke Cimacan dan kami akan dikontrakkan rumah kecil di Kemang juga, bila kami tidak mau ikut bersamanya. Dengan susah payah, akhirnya aku mengajak anak-anak untuk pindah dan sekolah mereka semuanya dipindahkan ke Cianjur. Bahkan, yang kuliah di Jakarta, terpaksa membawa kendaraan pulang balik Jakarta-Cimacan setiap hari, Jarak tempuh hanya dua jam dan dijalani dengan jarak sekitar 90 kilometer.

 

Tidak ada daya buat seorang istri jika suami yang diktator dan sangat keras dengan prinsipnya, saat sudah memutuskan keputusannya. Setiap keputusan Kang Agun, memang tidak bisa diganggu gugat, termasuk hal keputusan beli rumah dan pindah ke bangunan kuno di kota kecil itu.

 

Rumah bekas kediaman dinas asisten residen perkebunan di Cimacan itu, berukuran 4500 meter. Posisi rumah itu berada di atas Bukit Kaparu, menghadap timur, pas menghadap ke matahari terbit. Rumah yang dibeli seharga Rp 5 milyar ini bukan saja besar dan kuat, tapi juga sangat estetis dan artistik. “Pada masa depan nanti, saya akan membuat rumah ini sebagai museum patung kuno. Semua koleksi patung saya, saya akan pamerkan di rumah tua ini,” desis Kang Agun.

 

Sebenarnya Kang Agun Gunadi sudah mengincar rumah itu sudah cukup lama.Yartu sekitar dua tahun sebelum dia pensiun kerja. Begitu juga dengan penjualan rumah kami di Jakarta, juga sudah lama ditawarkan pada Tan Tri Tantono, pemilik lima pabrik rokok di Kudus Begitu saatnya tiba, Kang Agun langsung menjual rumah itu kepada Tan Tri Tantono dan beli lagi rumah yang lain di Cimacan tersebut. Setelah terjual dan terjadi pembayaran, Kang Agun langsung membayar rumah bangunan Belanda abad lampau ini dengan Putra Ibrahim Suminta tanpa merenovasinya sama sekali.

 

Pada dasarnya, aku, Santi, Erna, Bima, Sandy dan Dita, tidak mau tinggal di rumah tua di atas bukit itu. Kami lebih senang tinggal di rumah lama dan di Kota Jakarta yang ramai. Apa yang harus aku lakukan di rumah tua dan terpencil itu? Kataku, dalam hati. Tapi, Si Tangan Besi, Kang Agun, suamiku, tidak perduli kepada keluhan istri dan anakanaknya Yang penting baginya, adalah menempati rumah antik yang menggulati angannya sejak lama itu.

 

Tanggal 18 Desember 2009 pukul 00.08 pagi kami beranjak meninggalkan Jakarta, pindah ke Cimacan Beberapa warga dekat rumah mengantarkan kami dan memelukku erat dengan isak tangis Aku dan dua anakku juga menangis meninggalkan mereka yang terlihat sangat berat berpisah denganku. Kupandangi rumah bekas kami yang telah 25 tahun lebih ditempati itu dengan batin yang lelah.

 

Setelah meluncur beberapa jam di jalan tol dan jalan Puncak Pass, mobil kami sampai di rumah Cimacan. Setelah berbenah beberapa saat, aku dan ke Irma anakku tertidur di kamar mas ng masing. Sementara Kang Agun, mas h s buk mengatur letak sofa, meja, kurs dan lemari bersama warga setempat, Mang Ujang Hermana, yang dibayarnya secara harian.

 

Rumah itu berkamar 20 buah dan terdiri dari sepuluh karnar di bawah dan 10 kamar lannya di balkon. Anak-anakku yang lebih tua mengambil Kamar di atas, sedang aku, suami dan anak-anak berumur mudaan, memilih kamar di bawah. Sandy, Dita dan Bima di kamar atas, sedangkan aku, Kang Agun, Santi dan Erma, mengambil kamar di bawah.

 

Setelah terbangun sore hari, aku langsung mengambil wudhu dan melakukan sholat Ashar, Setelah sembahyang, aku membangunkan semua anakku yang terlelap siang itu dan mengajak mereka untuk sholat. Tapi karena belakangan ini Kang Agun tidak sholat, maka anak-anakpun akhinnya malas disuruh sembahyang. Semua anak-anakku selalu berdalih bila diminta sholat, hingga akhirnya aku jadi kewalahan memaksa mereka sholat.

 

Setelah makan malam bersama, aku meminta anak-anak untuk taat Ibadah, jangan lagi melalaikan sembahyang lima waktu yang diwajibkan agama. Tapi Kang Agun matah menertawaiku, bahkan meminta aku untuk tidak bicara lagi soal sembahyang “Soal sholat itu urusan masing-masing, semuanya sudah dewasa dan punya cara sendiri berhadapan dengan Tuhan, kecuali Ema dan Santi yang masih kecil, merekalah yang harus ditekan!” bentak suamiku, saat aku bicara hal sembahyang tersebut.

 

Memang, akhirnya, hanya Sati dan Ema yang mas h SD yang mau sembahyang. Usai makan malam, mereka berdua bersamaku sholat Isya’ dan kami berfikir setelah sembahyang Pada saat bulan Ramadhan lalu pun, hanya aku, Santi dan Ema lah yang berpuasa. Sedang Kang Agun dan anak-anakku yang lain, semuanya tidak puasa dan terang-terangan makan di meja makan kami di Kemang.

 

Malam pertama kami tinggal di rumah Bukit Kamaru itu, semua anak-anak tidur cepat. Begitu juga Kang Agun, suamiku, dengan cepat dia rebah di permbanngan dan tertidur puas karena lelah. Sementara itu, aku mengambil air wudlu dan melakukan sholat sunah dua rekaat setelah itu melakukan wirid dan berzikir.

 

Pada saat aku konsentrasi berzikir, tiba-tiba telingaku mendengar sesuatu, suara yang tidak lazim di bagian loteng Aku mendengarkan suara musik klasik, gesekan biola yang membawakan lagu-lagu tua karya Bethoven, judul Fantasia, yang pernah aku pelajari saat aku masih sekolah di Akademi Musik Indonesia (AMI) Jogjakarta yang kini dilebur menjadi Institut Seni Indonesia, ISI di Jalan Parangtritis, Jogja Selatan.

 

Dzikir terus aku jalani, suara biola bukan mereda, tapi malah semakin keras. Semakin aku mengabaikan suara itu, irama musik klasik dari biola pun semakin menguat. Karena penasaran, aku lalu bangkit meninggalkan sajadah di ruang shotat, lalu berdiri, berjalan menaiki balkon dengan mengenakan pakaian sholat. Tubuhku masih dibaluti mukena dan menapaki anak tangga menuju ruang atas. Sementara suara musik gesek itu pun makin membahana.

 

Perasaan takut mulai bergelayut di dalam hatiku Rasa was-was dan gundah pun, mulai menggerayangi tubuhku mendengar suara aneh itu. Tak ayal, bulu kuduk meremang di sekujur tanganku. Pikirku, siapakah pemusik yang sedang memamkan biola dan membawakan lagu-lagu begitu indah dari Koleksi masa lalu.

 

Pada saat kakiku sampai di lantai atas, dani keremangan lampu ruang, aku melihat sosok pria berdin sedang memainkan gesekan biola. Tubuhnya tegak lurus berdin secara sempuma Sebagaimana musisi pada umumnya. Jantungku berdebar-debar dan keberanianku pun serta merta sirna saat Itu juga.

 

Karena takut yang teramat sangat, aku bertan kembali ke bawah. Aku menghambur ke kamar dan membangunkan Kang Agun yang sedang tertidur pulas. Kang Agun tersentak dan terkaget lalu buru-buru berdiri, ingin tahu apa yang aku hadapi. Setelah aku ceritakan tentang adanya pria yang main biola di loteng, dia membentakku. “Mana ada orang yang memainkan biola di rumah ini. Jangankan pemain biola, biola pun, tidak ada di dalam rumah ini,” tekan Kang Agun, kepadaku. “Mama ngigau, mimpi kali ya?” tambahnya pula.

 

Aku segera menarik tangan Kang Agun, berkeras mengajaknya untuk melihat ke balkon. Dengan rasa malas ogah-ogahan, Kang Agun terpaksa juga, ikut besamaku menaiki tangga menuju kamar atas. Sesampainya di balkon, suara musik biota itu tidak ada lagi. Jangankan sosok pemainnya, suara biola pun, tidak ada lagi di situ. “Mana, mana? Mana ada orang bermain biola di rumah ini, apalagi selarut ini, gila kali ya?” tanya Kang Agun, tak menuntut jawabku.

 

“Demi Allah Kang, tadi laki-laki bermain biola itu berdiri di situ, dia bermain biola di pojok itu, dekat lampu meja!” kataku. “Mana? Buktinya mana? Percuma Mama bersumpah, buta apa, karena Mama sedang bermimpi, ngigau dan lagi berhalusinasi!” desis Kang Agun.

 

Sontoloyo, pikirku, makhluk bermain biola itu kok tiba-tiba raib. Kemana dia dan siapa dia sebenarnya? Batinku. Mengapa dia menghilang saat Kang Agun naik ke atas dan kuajak untuk melihat dia? Mengapa pria itu seperti menolak untuk bertemu Kang Agun?

 

Karena merasa salah dan kalah, akhirnya aku mengalihkan perhatian Kang Agun, yaitu dengan mengajaknya untuk melihat kamar anak-anak di bagian atas. Kami membuka kamar Sandy, Dita dan Bima. Namun pada sosok Bima, anakku tertua ini, terlihat suatu keanehan yang terjadi. Mulut Bima yang nampak tertidur pulas, mengeluarkan busa putih nampak seperti sedang mabuk minuman beralkohol.

 

Karena aneh, aku segera membangunkan Bima, Kang Agun juga menggoyang-goyang kaki Bima agar terbangun. Tapi Bima tidak bergeming Tubuhnya kaku dan dia tidak berkutik sedikitpun. Aku menjadi panik, begitu juga dengan Kang Agun. Begitu Kami angkat, tubuh Bima sudah kaku dan anakku itu sudah tidak beryawa lagi. Duh Gusti!

 

Bima telah tiada. Anakku itu meninggal dalam keadaan tidur. Setelah diperiksa oleh tim dokter rumah sakit Cianjur, anakku Bima ternyata terkena serangan jantung. “Anak ibu terkena penyakit jantung dan dia wafat karena penyakit gagal jantung,” ungkap dokter Karnadi, kepada kami.

 

“Anak kami ini tidak ada riwayat penyakit jantung, dok, bagaimana bisa dia meninggal karena sakit jantung?” tanyaku, mendesak.

 

“Anak ibu jelas meninggal karena jantung, walau selama ini yang ibu tahu dia tidak punya penyakit jantung. Masalahnya, bisa saja karena penyakit itu tidak pernah terdeteksi, karena belum pernah dilakukan general check up terhadap dirinya,” desis dr. Karnadi.

 

Setelah seminggu Bima dimakamkan, kini giliran anak kedua, Sandy yang meninggal. Keadaan meninggalnya, nyaris sama dengan Bima, mulut berbusa dan hal itu terjadi di saat tidur. Dalam waktu kurang dari sebulan tiga anakku meninggal karena serangan jantung. Sebab, sepuluh hari setelah Sandy tewas, Dita juga terkena kasus yang sama, tewas mendadak di tempat tidur dengan mulut berbusa putih.

 

“Semua anak ibu meninggal karena sakit jantung, hal itu sudah dapat diketahui dari hasil penelitian kami secara menyeluruh,” kata Karnadi lagi.

 

Karena rasa takut yang besar, takut dua anakku yang lain tewas pula, maka aku mendatangi ahli supranatural untuk mempertanyakan hal itu. Seorang paranormal, atau ahli perdukunan, Kyai Pamungkas, 50 tahun, mendeteksi secara gaib bahwa ada makhluk gaib pembunuh di rumah kami.

 

“Di rumah tua kalian itu, ada hantu asisten residen Belanda yang biasa memainkan biola dan dialah yang mengoyak jantung tiga anak ibu. Nama asiten residen itu adalah Brain Betner, dialah hantu pembunuh yang sangat berbahaya bagi kalian. Targetnya, semua penghuni rumah kalian akan dihabisi. Bila mau selamat, hantu itu harus diinvalidkan, dia tetap ada di situ tapi tidak lagi membunuh,” ungkap Kyai Pamungkas kepadaku.

 

Walau Kang Agun menentang dukun ini, aku segera menghadirkannya untuk melakukan ritual di rumah kami. Aku tidak mau lagi hantu itu membunuh, tidak mau lagi hantu itu mengambil nyawa anak kami yang lain, tidak mau lagi hantu itu menakut-nakuti kami. Dengan keyakinan seratus persen, aku menggantungkan harapan kepada dukun ini. Kyai Pamungkas punya kemampuan lebih, kemampuan linuwih, seseorang yang tahu sesuatu yang tersembunyi dan tidak kami ketahui. Seseorang yang weruh sadurunge winarah, tahu sesuatu yang belum terjadi di depan mata.

 

Buktinya, walau Kyai Pamungkas belum pernah ke rumah kami, tapi dia tahu betul bahwa di rumah kami ada hantu bermain biola. Bahkan, sosok hantu yang saya lihat itu, secara tepat dia gambarkan dengan cara disiplin ilmu gaibnya dan semuanya itu benar, sama persis dengan apa yang saya saksikan. Malah, nama jelas hantu asisten residen itu, Kyai Pamungkas tahu dan dari mana asal, serta siapa nama anak-anaknya pun, Kyai Pamungkas tahu.

 

Pada malam Jum’at kliwon tengah malam, Kyai Pamungkas melakukan ritual di rumah kami. Upacara itu dilakukan di kamar atas dengan mambakar dupa, nasi kuning, jajanan pasar, apel jin, madat Turki, kemenyan Arab dengan bunga melati serta kantil yang ada di dalam baskom berair. Setelah dua jam bertafakur, bermeditasi, tiba-tiba loteng rumah bergemuruh. Suara hembusan angin kencang dan puting beliung menggoyang pepohonan depan rumah kami.

 

Bebarapa saat kemudian, tiba-tiba bunyi gedebuk ke ruang loteng. Suara itu seperti suara kepala yang terjatuh menimpa keramik. Sesuatu sosok pria kulit putih membawa biola dengan pakaian kebesaran asisten residen Belanda. Warna busana biru-biru dengan oranamen kepangkatan di bahu, berjumbai-jumbai menunjukkan bahwa dia seorang pejabat Nederlande Indie.

 

“Rumah ini rumah saya, kenapa kalian masuk ke rumah ini tanpa ijin saya dan menempati rumah ini seenaknya!” bentak makhluk itu, dalam bahasa Belanda, yang diterjemahkan oleh Kyai Pamungkas yang karena kemampuan linuwihnya, tiba-tiba sangat lihai berbahasa Belanda.

 

Dengan disiplin ilmu gaibnya Kyai Pamungkas bernego dengan makhluk itu. Hantu orang Belanda itu diajak berdamai dan dengan baik-baik Kyai Pamungkas meminta maaf, meminta kan maaf kami dan berharap tidak ada lagi pembunuhan di rumah ini. Setelah panjang lebar berdialog, akhirnya dicapai kata sepakat, bahwa kami diijinkan tinggal di rumah Bukit Kamaru itu dan arwah asiten residen itu berjanji tidak akan menganggu lagi. Tapi, hanya sesekali dia bermain biola dan harus didengarkan dengan baik. Para penghuni rumah Bukit Kamaru, harus menghargai saat biola gaib dimainkan, mendengarkannya dengan baik dan tidak melecehkannya. “Toh suara permainan saya baik dan nikmat untuk diperdengarkan,” desisnya.

 

Sejak ritual itu, rumah kami benar-benar aman dan tenteram. Tidak ada lagi penampakan, tidak ada lagi pembunuhan, hanya sesekali, terutama pada malam Jum’at Kliwon, terdengar suara biola yang digesek arwah asisten residen dan memainkan musik Beethoven dengan manis. Wallahu a’lam bissawab. ©️.


PENGOBATAN ALTERNATIF
"PONDOK RUQYAH"
(SOLUSI PASTI DI JALAN ILLAHI)

Kami Jasa Solusi Problem Hidup. Masalah Tuntas Tanpa Bertentangan dengan Hukum Agama dan Negara.

MACAM PROBLEM DALAM PELAYANAN KAMI:
Solusi Problem Asmara, Rumah Tangga, Back Up Karir, Back Up Usaha, Jual Beli, Aura Pemikat, Bersih Diri / Ruwat / Ruqyah / Buang Sial, dll.

KAMI TIDAK MELAYANI SEGALA HAL YANG MELANGGAR HUKUM AGAMA DAN NEGARA.
Contoh: Bank Gaib, Uang Balik, Harta Gaib, Pesugihan, Aborsi / Menggugurkan Kandungan, Perjudian / Togel / Judi Online, Mencelakakan Orang / Santet / Teluh, dll.

ALAMAT PONDOK RUQYAH:
Dusun Kasemen, No.50, RT.05, RW.03, Desa Wangkalkepuh, Kecamatan Gudo, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Kodepos 61463.
🌐 https://pondok-ruqyah.com/
☎️ +6285708371817

PERINGATAN!
Hati-hati dan waspada terhadap penipuan online yang mengatasnamakan kami. Diutamakan datang langsung ke alamat kami untuk menghindari segala hal negatif. Terimakasih.
DATANG DENGAN NIAT BAIK
TIDAK UNTUK KEJAHATAN!