Kisah Mistis: DUA NENEK SAHABAT PARA ARWAH
Perempuan tua yang masih enerjik itu dengan lincah menuruni lembah di belakang rumahnya untuk ke sungai mengambil air dan segala sesuatu untuk memenuhi kebutuhannya. Gerakannya yang lincah dan cekatan membuatnya tidak seperti seorang nenek yang telah berusia sangat udzur, lebih dari 70-an tahun.
Ketika itu penulis tengah berada di sungai, termenung menikmati kesejukan udara pedesaan yang masih segar. Eyang Radhin satu-satunya wanita tua penduduk desa Kali Gedhe yang paling berani hidup di tengah-tengah pemakaman umum yang terkenal karena kewingitannya. Saat penulis menyapanya, Eyang Radhin yang lancar berbahasa Indonesia itu tersenyum sumringah dan mengajak saya mampir ke rumahnya yang sederhana dan terletak di areal pemakaman umum yang dikatakan warga sekitarnya sangat angker. Wanita tua itu sepertinya tahu maksud kedatangan penulis yang Ingin tahu lebih banyak tentang perjalanan hidupnya. Melihat tatapan matanya yang sangat dalam, bahkan menembus hingga ke dasar hati, sejenak penulis ragu-ragu menerima tawarannya Itu.
“Eyang bukan hantu. Lagi pula hantu-hantu itu tidak akan berani mengganggu tamu Eyang,” cetusnya mengagetkan penulis dari keterpakuan. Gigi eyang yang tampak utuh di usia senja itu diperlihatkan pada saya lewat senyumannya yang lebar.
Matahari condong ke Barat, penulis akhirnya tiba di rumah Eyang Radhin yang terletak di bibir sungai yang membelah desa. Hembusan angin di senja itu membawa nuansa mistis yang mendirikan bulu roma, penulis tersentak ketika ekor rerimbunan pohon bambu tiba-tiba bergoyang-goyang dengan sendirinya seperti ada tangan-tangan misterius yang menghentak-hentakkannya.
Sepertinya, ada sosok yang tak terlinat tengah memperhatikan kedatangan kami ke rumah Eyang Radhin. Karuan, hati penulis dag dig dug, bahkan nyaris keluar keringat dingin. Beruntung, matahari masih mampu menyinari sekeliling tempat yang rimbun oleh pepohonan bambu itu, sehingga ketika mata saya dengan sekejap menoleh ke arah bayangan tadi, saya tidak menyaksikan sesuatu yang sebenarnya saya tunggu dengan harapharap takut. Saya memaksa tersenyum ketika Eyang Radhin menatap saya.
“Tidak apa-apa. Anggap Itu sebuah sambutan,” kata Eyang Radhin sambil menatap wajah saya yang (saya yakin) memucat.
Beberapa langkah kemudian kami sudah tiba di rumah Eyang yang sangat sederhana. Yang membuat saya terkejut, seorang wanita yang usianya tampak lebih tua menyambut kedatangan kamj berdua. Penulis menyalaminya dengan sedikit ragu.
“Oh ya, perkenalkan, Ini kakak saya. Panggil saja namanya Eyang Mojo!” cetus Eyang Radhin. Penulis pun mulal tak habis pikir, mengapa dua orang perempuan tua ini memilih tinggal di areal pekuburan yang angker.
“Sepertinya, tadi ada yang menyambut kedatanganmu ya, Nak?” ucap Eyang Mojo, seolah ia tahu peristiwa aneh di rumpun pohon bambu beberapa menit lalu. “Anak ini kan orang baru. Wajar toh kalau mereka ingin tahu dan kenalan sama kamu.”
Penulis tersenyum. Barangkali seulas senyuman yang kecut. Tapi, saya sadar sepenuhnya, untuk mendapat informasi sebanyak-banyaknya tentang kedua perempuan tua itu, maka yang pertama harus saya lakukan adalah membangun keakraban. Memang, terasa agak sulit membangun keakraban dj tempat misterius, dengan dua orang tua yang sama saja misteriusnya.
Bagi kedua perempuan tersebut, keanehan yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa gaib bukanlah sesuatu yang merisaukannya. Hampir setiap saat, terutama pada malammalam kKeramat, Eyang Radhin dan Eyang Mojo selalu mendengar suarasuara aneh dari kuburan menjadi tetangga kedua wanita renta inl. Bagi mereka, hal tersebut merupakan nyanyian alam yang dapat menghibur di kala hati tengah sumpek. Bahkan, kedua wanita tua Itu tidak pernah betah untuk menetap dl rumah cucu atau pun anak-anaknya yang telah beruman tangga mereka tinggal dl pemukiman penduduk pada umumnya.
“Sudah kerasan di sini. Lagi pula siapa yang akan mengurus kuburan itu nantinya kalau kami pergi. Kasihan kan mereka,” jelas Eyang Mojo dengan suara agak serak, Begitu entengnya wanita tua ini menyebutkan arwah-arwah penghuni kuburan itu dengan kata ganti “mereka”, seolah memang arwah-arwabh itu telah menjadi sahabat yang harus senantiasa dekat dengan dirinya.
Apa yang menakutkan bagi kita, bisa jadi akan menjadi hiburan, atau bahkan tanda persahabatan dari makhluk alam gaib terhadap kedua wanita ini. Berbagai kejadian misterius pernah mereka alami. Salah satunya, pernah di suatu malam yang sepi, ketika itu lampu yang terbuat dari kaleng dan satu-satunya media penerangan di rumah sederhana itu kehabisan minyak tanah, sehingga lampu itu padam secara perlahanlahan. Akan tetapi aneh bin ajaib, Eyang Radhin yang terjaga dari tidurnya menyaksikan seseorang tengah mengisi minyak tanah ke dalam lampu kaleng itu sehingga lampu Itu tidak jadi mati, bahkan nyalanya yang meredup tiba-tiba menjadi terang benderang kembali. Eyang Radhin yang menyaksikan hal ganjil itu mengucapkan terima kasih pada makhluk hitam si pemberi minyak. Lalu Eyang Radhin meneruskan tidurnya kembali. Anehnya, ketika pagi harinya ia memeriksa lampu kaleng tersebut tidak ada minyak tanahnya.
Beberapa kali, Eyang Radhin dan Eyang Mojo juga melihat ada kuburan yang terbelah dengan sendirinya setelah didahului suara-suara ledakan seperti petir, tapi anehnya tidak ada hujan saat itu. “Saya dan Eyang Mojo tidak pernah merasa takut hidup berdampingan dengan orang yang sudah meninggal Itu,” tegas Eyang Radhin.
Sekaitan dengan keberadaan tanah kuburan yang mereka diami, banyak warga desa yang melapor pada Eyang Radhin maupun Eyang Mojo, Ketika tengah melewati daerah pemakaman angker itu sering ditakuti dan diganggu makhluk-makhluk halus penghuni kuburan. Pernah terjadi seorang ibu rumah tangga yang tengah melintasi kuburan itu dilempari tanah kuburan oleh seseorang, ketika diperiksa ternyata tidak ada seorang manusiapun berada di situ. Kontan saja ibu rumah tangga yang tengah membawa belanjaan itu lari lintang pukang meninggalkan belanjaannya di kuburan. Di saat yang sama wanita itu pun sempat mendengar suara cekikikan panjang yang pindah dari satu pohon ke pohon yang lain.
Sampai sekarang jarang ada orang yang berani melewati kuburan itu seorang diri meskipun di slang hari. Pemakaman umum yang terletak di sungai Kali Gedhe itu memang hanya sebidang tanah yang tidak terlalu luas untuk sebuah areal pemakaman umum. Menurut sejarahnya, keberadaan tanah kuburan ini sudah sejak dahulu kala. Ketika itu lurah Kali Beji sebagai pemilik lahan tanah kosong itu tidak lagi mempergunakannya sebagai kantor Kepala Desa, sehingga akhirnya tanah kosong itu diwakafkan untuk seluruh warga desa agar dipergunakan sebagai tempat pemakaman umum (TPU).
Eyang Radhin dan Eyang Mojo adalah pewaris sah tanah-tanah sekitar TPU tersebut, termasuk aliran sungai yang terdapat di belakang rumah Eyang Radhin. Karena kedua wanita tua ini merupakan keturunan langsung lurah Kali Beji yang telah lama wafat dan meninggalkan banyak lahan kosong di desa itu.
Banyak warga desa yang menguburkan keluarganya yang telah meninggal di TPU tersebut. Namun tidak dipungut bayaran sesenpun oleh Eyang Radhin dan Eyang Mojo. Karena kebaikan mereka ini, maka mereka sering didatangi oleh arwah-arwah penghuni kuburan. Eyang Radhin-lah yang mengaku paling sering didatangi penghuni alam kubur untuk menyampaikan sesuatu pada keluarga maupun ahli warisnya. Hal semacam ini kerap berlangsung apabila ada segala sesuatu yang dirasakan tidak berkenan oleh penghuni alam kubur alias si mayat yang baru dikuburkan.
Pernah terjadi, sebuah keluarga selalu ditimpa kesialan terus menerus. Rupanya, Pak Sanu yang telah menguburkan seorang anaknya yang telah meninggal dunia melupakan keluarganya yang dimakamkan di TPU itu. Pak Sanu tidak pernah berziarah ke makam anaknya. Dia juga tidak pernah mengirimkan doa kepada arwah keluarganya, Karena kesibukannya sebagai petani yang merangkap sebagai pedagang maka membuat Pak Sanu tidak sempat mengurusi makam salah seorang almarhum anaknya, apalagi berdoa dan menziarahinya.
Karena kenyataan tersebut, akhirnya di suatu malam Eyang Radhin ditemui arwah penunggu salah satu nisan. Arwah tersebut meminta pada Eyang Radhin untuk menemui keluarganya dan menyampaikan pesan-pesan yang dimintanya. Pagi harinya tanpa menunggu matahari tinggi, Eyang turun ke desa untuk menemui keluarga Pak Sanu. Lalu Eyang menyampaikan pesan-pesan sesuai perintah arwah keluarga Pak Sanu itu.
Sejak kejadian tersebut, di hari-hari tertentu Pak Sanu rajin mendatangi kuburan keluarganya, bahkan selalu membersihkannya setiap hari Jum’at dan Selasa Wage. Bahkan, sekali waktu penulis pernah bertemu dengan Pak Sanu yang tengah membawa sapu lidi, serta bunga-bunga dan akan mengunjungi makam itu. Kepada penulis Pak Sanu membenarkan apa yang telah dialami oleh Eyang Radhin itu.
Kedua perempuan renta yang menjaga pemakaman itu memang tak ubahnya sebagai mediator antara alam gaib dan alam nyata. Mereka menjadi penghubung antara arwah orang mati dengan yang masih hidup. Tak hanya Pak Sanu dan almarhum anaknya yang sempat bertukar pesan lewat perantaraan Eyang Radhin dan Eyang Mojo, tapi juga masih banyak warga lainnya. Bahkan, keanehan yang dijalani oleh kedua nenek ini tak berhenti sampai di situ. Pada saatsaat tertentu, apabila ada seorang yang akan meninggal dan dikuburkan di pemakaman itu, maka Eyang Radhin dan Eyang Mojo sering mendengar pesan melaiui bunyi ledakan yang terus menerus bagai suara petasan. Ledakan-ledakan ini seakan merupakan suatu cara penyambutan para arwah penghuni kuburan bagi kedatangan penghuni baru. Aneh, memang. Tapi, itulah kenyataan yang terjadi.
Saking wingit dan angkernya pemakaman umum itu sehingga Eyang Radhin dan Eyang Mojo dijuluki oleh warga desa sekitar sebagai “dua wanita tua yang pemberani.” Bahkan, karena keberaniannya pula Eyang Radhin dan Eyang Mojo malah ditakuti olen para dedemit dan hantu serta dhanyang penghuni kuburan wingit itu.
Bagi Eyang Radhin, dedemit, arwan penasaran ataua apapun namanya, pada hakekatnya mereka adalah makhlukmakhluk seperti manusia juga. “Ada hantu wanita, hantu anak-anak dan hantu laki-laki yang hidup berdampingan dengan sesama hantu di ruang kehidupan alam gaibnya,” tegas Eyang Radhin.
Hantu-hantu itu tidak pernah mengganggu Eyang Radhin dan Eyang Mojo, meski banyak warga sekitar yang sering diganggu dan dijahili oleh makhluk penghuni alam gaib di pemakaman umum itu.
Karena begitu sayangnya Eyang Radhin dan Eyang Mojo kepada arwah atau hantu-hantu itu, maka mereka pun sering menjadi tempat mengadu bagi mereka. Eyang Radhin menuturkan kisah lain yang tak kalah menyeramkan. Pernah di suatu malam, ia didatangi arwah gadis perawan ting-ting dan belum tersentuh laki-laki, Arwah itu mengaku penasaran, sehingga dia selalu mengganggu kaum adam yang sedang melintas di jalan sekitar pemakaman. Eyang menanyakan, apa yang sebenarnya dikehendaki oleh sang perawan agar dia tidak lagi mengganggu lelaki yang lewat di situ?
Arwah itu mengatakan pada Eyang Radhin agar menyampaikan pesan pada kedua orang tuanya supaya secepatnya menggoreng tanpa minyak (sangrai-Red) kacang hijau sampai gosong. Kemudian sarana itu ditaburkan di atas makamnya.
Ketika Eyang Radhin menyampaikan pesan itu pada kedua orang tua arwah perawan yang menemuinya, barulah diketahui oleh keluarga tersebut mengenai syarat dan sesaji yang terlupa itu. Setelah persyaratan itu dipenuhi oleh keluarganya, syukurlah arwah penasaran itu tidak lagi mengganggu kaum lelaki: yang sering lewat atau mencari kayu bakar di sekitar pemakaman itu.
Eyang Radhin juga kerap mendengar suara menangis sesenggukan dari dalam kubur. Kejadian seperti ini terutama berlangsung saat suasana gelap gulita, tak ada setitikpun cahaya bintang, apalagi cahaya rembulan. Hanya suara desau angin malam mengiringi suara gemerisik dedaunan pohon bambu yang rimbun.
Suatu malam gulita, Eyang Radhin coba menghampiri kuburan yang terdengar suara orang menangis. Di atas pusara itu Eyang Radhin bertanya apa yang sedang terjadi. Suara wanita yang tengah tersedu-sedu di dalam kubur itu meminta pada Eyang Radhin agar menyampaikan pada kKeluarganya untuk mengadakan selamatan tujuh hari atas meninggalnya si ahli kubur tersebut serta mendoakannya. Seperti yang sudah-sudah, esok harinya Eyang pun dengan tergopoh-gopoh menelusuri jalan desa untuk menyampaikan pesan dan amanat. itu pada keluarga si mayat. Sejak pesan dan amanat itu dijalankan oleh keluarga si mayat, hingga kini tak pernah lagi terdengar dari dalam kubur tersebut suara orang menangis tersedu-sedu.
Sungguh, Allan SWT Maha Pengampun lagi Maha Penyayang pada hambahambaNya yang durhaka sekalipun. Ternyata, perhatian dan kasih sayang teramat besar manfaatnya bagi manusia, meskipun mereka telah meninggal dunia. Kenyataan seperti inilah setidaknya yang dapat kita petik dari kisah hidup Eyang Radhin dan Eyang Mojo.
“Bagi arwah yang telah berpisah dari raga, doa merupakan makanan dan vitamin yang amat berguna baginya di alam Baqa sana. Sayangilah orang tua, saudara dan sahabat yang telah mendahului berpulang kepangkuanNya dengan doa-doa yang tulus dari kita semua,” cetus Eyang Radhin dengan bernada lirih.
Dengan doa pula kita masih dapat menjalin cinta dengan orang-orang terkasih yang telah mendahului. Semoga doa-doa yang kita panjatkan kehadiratNya dapat diterima. Aamiin. Wallahu a’lam bissawab. ©️
Kami Jasa Solusi Problem Hidup. Masalah Tuntas Tanpa Bertentangan dengan Hukum Agama dan Negara.
MACAM PROBLEM DALAM PELAYANAN KAMI:
Solusi Problem Asmara, Rumah Tangga, Back Up Karir, Back Up Usaha, Jual Beli, Aura Pemikat, Bersih Diri / Ruwat / Ruqyah / Buang Sial, dll.
KAMI TIDAK MELAYANI SEGALA HAL YANG MELANGGAR HUKUM AGAMA DAN NEGARA.
Contoh: Bank Gaib, Uang Balik, Harta Gaib, Pesugihan, Aborsi / Menggugurkan Kandungan, Perjudian / Togel / Judi Online, Mencelakakan Orang / Santet / Teluh, dll.
ALAMAT PONDOK RUQYAH:
Dusun Kasemen, No.50, RT.05, RW.03, Desa Wangkalkepuh, Kecamatan Gudo, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Kodepos 61463.
🌐 https://pondok-ruqyah.com/
☎️ +6285708371817
PERINGATAN!
Hati-hati dan waspada terhadap penipuan online yang mengatasnamakan kami. Diutamakan datang langsung ke alamat kami untuk menghindari segala hal negatif. Terimakasih.
DATANG DENGAN NIAT BAIK
TIDAK UNTUK KEJAHATAN!