Kisah Mistis: NESTAPA DIANTARA DOSA DAN PENYESALAN

0
17

Kisah Mistis: NESTAPA DIANTARA DOSA DAN PENYESALAN

LUPAKAN kekecewaan, karena harapan di masa depan masih terbentang luas dan cerah. Kata-kata ini mungkin hanya mudah diucapkan, sedang pada kenyataan susah dilakukan. Ya, betapa semua kekecewaan yang telah kualai, kegagalan selalu kuhadapi. Berkali-kali kucoba, berulang kali pula langkah terbentur dinding-dinding nestapa. Nasib buruk seakan-akan telah menjadi bagian yang menaungi perjalanan hidupku…

 

Aku memang masih muda dan tak pantas berputus asa. Usiaku baru 28 Sebagai wanita, aku terbilang memiliki paras yang lumayan cantik. Banyak yang mengatakan wajahku mirip Angelina Sondakh, mantan Ratu Kecantikan yang menjadi anggota DPR.

 

Sebagai perempuan berdarah Minang aku juga ditakdirkan lahir dari keluar cukup terhormat dan berada. Ayahku pejabat di Daperteman Keuangan dengan kedudukan yang relatif tinggi. Ibuku seorang yang pandai mengelola keuangan sehingga dari penghasilan ayah kam memiliki kebun sawit yang lumayan, sesuai aturan adat, secara tidak langsung aku diserahi tanggungjawab yang cukup besar. Maklum saja, kelak dikemudian hari akulah yang harus memelihara seluruh catatan milik keluarga, beserta harta pusaka peninggalan kedua orang tuaku. Tugas yang sama juga diemban oleh dua adik perempuanku yang lain sebab hanya satu adikku yang laki-laki.

 

Karena aku adalah anak pertama, maka, kedua orang tuaku tentu saja sangat berharap agar aku menjadi anak yang bisa menjaga nama baik keluarga, dan tentunya dapat membanggakan mereka. Karena itulah, sejak kecil mereka telah menanamkan nilai-nilai keagamaan dan tradisi yang sangat ketat. Bahkan, berulang kali ayah bercerita padaku, bahwa nenek moyang keturunannya bukanlah berasal dari kalangan orang kebanyakan. Masih kuingat bagaimana Ayah selalu menceritakan Syech Jamka, seorang ulama terkenal yang pernah hidup di daerah Talangbabungo, yang disebutkan sebagai Uyutku, atau ayah dari kakek ayahku.

 

“Uyutmu yang bernama Syech Jamka itu bukanlah ulama biasa. Beliau adalah ulama zuhud yang sudah bertaraf sebagai wali,” begitulah cerita ayah. Dia menceritakan bahwa Uyut Jamka ini sewaktu menunaikan haji ke Tanah Suci Mekkah kehabisan ongkos dan perbekalan. Beliau kemudian berdoa di depan Baitullah. Maka ketika itulah datang seorang kakek yang ternyata adalah Nabi Khidir AS. Oleh, Nabi Khidir, Uyut Jamka disuruh mengamalkan Ayat Kursy, Surat Al Hasyr dan Surat Al Mudatsir. Setelah mengamalkannya sesuai petunjuk Nabi Khidir AS, Uyut Jamka kemudian memejamkan matanya selama beberapa waktu. Berkat izin Allah, ketika membuka matanya kembali, beliau sudah sampai di depan tangga rumah gadangnya….

 

Begitulah yang kerap diceritakan ayah padaku. Entah benar atau tidak, yang pasti, aku merasa bagaikan cicit Uyut Jamka yang ditakdirkan untuk dekat dengannya. Setidaknyini berdasarkan dari fakta-fakta yang kualami. Sejak kecil, aku amat senang bangun malam untuk menunaikan sholat Tahajjud. Pas pukul 2 dinihari aku selalu terjaga, sebab aku merasa ada seseorang yang membangunkanku. Aku yakin ini terjadi, karena sebelum tidur aku tak pernah lupa untuk mengatakan sebaris kalimat dalam bahasa Minang yang artinya seperti ini “Wahai malaikatku, bangunkan aku malam nanti, sebab aku ingin bermesraan dengan Allah!” Menurut ayah, kalimat ini merupakan semacam mantera yang diwariskan oleh Syect Jamka secara turun-temurun.

 

Tak hanya itu, aku juga sering mengalami mimpi bertemu dengan seorang kakek berjubah putih yang amat baik dan begitu menyayangiku. Apakah kakek ini adalah Syech Jamka, Uyutku? Hanya Allah SWT yang mengetahuinya. Namun yang kurasakan, kakek ini memang begitu dekat dengan diriku, bahkan di antara kami sepertinya telah saling mengenal.

 

Dalam sejumlah mimpi yang kualami, si kakek kerap memberiku begitu banyak uang. Lalu, beliau memintaku membagi-bagikan uang ini kepada anak-anak yatim piatu dan fakir miskin yang berbaris di sepanjang tangga masjid yang begitu indah yang keindahannya tak bisa kulukiskan dengan kata-kata.

 

Dalam mimpi yang lain, aku merasa tengah bertafakur di atas sajadah. Lalu, tubuhku terangkat, dan kemudian sajadah itu terbang membawaku melintasi lautan dan negerinegeri yang sangat indah. Aku kemudian tiba di depan Ka’bah, dan si kakek berjubah itu telah menantiku di sana. Seperti laiknya para jamaah haji, sang kakek mengajak tawaf mengelilingi rumah Allah nan agung dan suci itu.

 

Begitu seringnya mimpi-mimpi seperti itu kualami, hingga aku senantiasa selalu rindu menantikannya. Namun, kini, mimpi indah penuh makna itu telah berlalu, berganti dengan mimpi-mimpi yang membuatku sengsara. Kakek itu masih kerap datang menemuiku. Namun, beliau tak lagi memberiku uang untuk kubagi-bagikan kepada anak-anak yatim dan fakir miskin, atau mengajakku terbang dengan sajadah melintasi negeri-negeri yang indah dan akhirnya sampai di muka Ka’bah. Sang kakek datang tak lagi dengan wajah berbalut senyum penuh kasih sayang. Dia datang dengan wajah sedih berbalut kecewa. Dia melemparkanku ke padang rumput yang amat luas menghijau. Di tengah savana itu aku sendirian. Tak ada teman, tak ada setitik air yang bisa menghilangkan dahagaku. Bahkan, angin pun terasa berhenti berhembus. Ketika terjaga dari tidur, aku pun menangis.

 

Mengapa semua ini terjadi? Karena aku telah berbuat dosa. Dosa kepada Tuhan, juga dosa kepada kedua orang tua yang sangat menyayangiku. Semua ini terjadi karena cinta.

 

Benarkah cinta telah membutakan mata hatiku? Aku tak bisa menjawabnya, sebab aku memang terlalu bodoh untuk memahami apa sesungguhnya cinta. Namun aku tahu pasti, cinta telah menjerumuskanku ke dalam kesengsaraan ini.

 

Mungkinkah dosaku sudah setinggi langit dan sedalam samudera? Aku telah melakukan hubungan terlarang itu dengan WEN. Dia adalak cinta pertamaku, lelaki yang telah merenggut kesucianku. Ketololan ini terjadi semata-rnata karena pemberontakkan pada adat dan tradisi yang mengungkungku. Aku begitu mencintai WEN, namun keluarga serta kedua orang tuaku tidak menyetujuinya. Mereka menganggap WEN tidak sepadan denganku, dan mereka memintaku untuk melupakannya.

 

“Pokoknya, kau harus mencari calon suami yang lebih pantas denganmu. Bukan dengan si WEN yang keluarganya materialistis itu. Apalagi dia jauh lebih muda dibandingkan denganmu. Cari calon suami itu harusnya yang lebih dewasa dari kamu, bukan kebalikannya.”

 

Kritik pedas itu disampaikan oleh Tante EN, adik ayahku yang memang dikenal sebagai perempuan yang totok memegang tradisi Minangkabau. Bahkan, Tante EN-lah yang pernah mengusir WEN dari rumah kami, dengan kata-kata yang sangat tidak pantas.

 

Memang, Tante EN tidak bisa seratus persen disalahkan. Sebagai seorang tante, tentu dia tidak ingin kemenakannya salah dalam memilih calon suami. Lagi pula, apa yang dikatakannya itu memang benar. Setidaknya aku pernah mendengar bahwa keluarga WEN itu sangat materialistis, padahal dalam adat Minang berlaku aturan calon mempelai perempuan melamar calon mempelai laki-laki dan harus bersedia memenuhi tuntutan pinangan yang disampaikan pihak mempelai laki-laki. Mungkin, Tante EN kuatir, atau paling tepat tidak suka, jika nanti aku berjodoh dengan WEN dan pihak keluarganya mengajukan ‘ permintaan yang macam-macam.

 

Tante EN juga benar kalau usia WEN terpaut jauh lebih muda denganku. Mungkin beda sekitar 3-4 tahunan. Bahkan, WEN adalah teman main Asril, adikku. Aku mengenalnya karena beberapa kali Asril mengajak WEN main ke rumah, sampai kemudian aku jatuh cinta padanya. Walau bukan syarat mutlak, namun tak bisa dipungkiri bahwa sudah. selaiknya calon suami itu harus lebih tua dibanding calon isterinya, sehingga sang suami bisa mendidik isterinya menjadi wanita dewasa. Bukan kebalikannya.

 

Kedua pertimbangan itulah yang membuat Tante EN bersikap sangat keras dalam melarang hubunganku dengan WEN. Ayah dan ibuku pun bersikap sama setelah mendengar semua penjelasannya. Maka, jadilah aku gadis yang dipingit. Kendati begitu, aku selalu punya akal untuk bisa bertemu dengan WEN. Karena kebohongan yang terus kubuat di hadapan kedua orang tua, akhirnya setan begitu mudah menjerumuskanku. Rasa asmara yang begitu menggila, membuatku rela menyerahkan mahkotaku kepada WEN.

 

Benar, cinta adalah penyakit jiwa yang mengasyikan. Lebih dari itu, cinta juga membuat hamba-hambanya menjadi semakin tolol dalam menentukan pilihan, atau mungkin batasan mana yang benar dan mana yang tidak. Itulah yang terjadi dengan diriku. Bukannya menyesali perbuatan dengan WEN, aku malah semakin lupa daratan dalam memujanya. Hubungan kami terus berlanjut meski dengan cara sembunyi-sembunyi.

 

Ayah yang mengendus ketidakberesan ini kemudian “membuangku” ke Bandung. Disuruhnya aku kuliah di sana. Aku tak bisa melakukan perlawanan. Kuturuti kemauan ayah, meski aku cuma bisa bertahan selama 3 semester. Setelah itu aku kembali ke tengahtengah keluarga. Namun, kepulanganku bukan ke Solok lagi, sebab saat itu ayahku sudah dimutasi ke Bengkulu. Jadi, aku pulang ke kota ini, dan untuk sekian lamanya aku tetap tak bisa bertemu dengan WEN.

 

Bagi seorang pecinta, tak ada alasan untuk menyerah pada tantangan yang menghadang, Itulah yang kulakukan. Walau tinggal di Bengkulu, sesekali aku bisa pergi ke Padang untuk bertemu dengan WEN. Kesempatan ini kami gunakan untuk saling melepas rindu dengan sepuas-puasnya.

 

Sepertinya, ayah juga mengendus pelarianku ini. Namun, dia coba menyelesaikan persoalan ini dengan sikap yang lebih lunak.

 

Dia melarangku untuk terus berhubungan dengan WEN, namun dia juga memberikan aku kesempatan untuk memilih.

 

“Aku ingin bekerja di Jakarta, Ayah!” Inilah pilihan yang kuajukan.

 

“Bekerja? Untuk apa? Ayah bisa mencukupi semua kebutuhanmu?” Sahut ayah penuh keraguan.

 

Dengan nada datar kuungkapkan alasanku, “Tak mungkin aku selamanya bergantung pada Ayah. Suatu saat nanti aku harus menikah dan punya anak. Karena itu aku butuh pengalaman hidup. Walau mungkin gajiku tidak seberapa, tapi setidaknya, nanti aku akan bisa bercerita dengan bangga pada anak-anakku bahwa ibunya pernah hidup mandiri di tanah rantau. Bukankah sikap kemandirian ini yang selalu Ayah ajarkan kepada kami?”

 

Ayah menyerah dengan pilihanku. Walau dengan berat akhirnya dia mengijinkanku untuk. pergi ke Jakarta. Demikian pula halnya dengan ibu. Tante EN? Pada episode ini dia tak lagi turut Campur mengurusi diriku. Maklum, dia masih tinggal di Solok sana.

 

“Cuma satu pesan Ayah, jaga dirimu baikbaik. Satu hal lagi, kau harus bisa memilih calon suami yang dapat membanggakan keluarga kita. Walau dia bukan orang berada, tapi paling tidak dia cukup terpelajar dan sudah sarjana,” . pesan ayah ketika aku berpamitan pergi.

 

Ringkas cerita, di Jakarta aku bisa mendapatkan pekerjaan yang relatif lumayan untuk ukuran seorang yang hanya berbekalkan ijazah D2. Paling tidak, aku bisa membiayai semua kebutuhan hidupku, dan bisa menyisihkan sedikit untuk tabungan. Tetapi ini bukan bagian penting dari perjalanan hidupku. Justeru ketika di Jakarta inilah Tuhan memertemukan jodohku dengan Bang Andri, lelaki yang kini menjadi suami, sekaligus ayah dari Raka, anakku yang baru berusia 4 tahun.

 

Perkenalanku dengan Bang Andri terjadi karena secara kebetulan tempat kostku terletak di belakang rumahnya. Hampir tiap hari, sepulang dari kantor, Bang Andri selalu memerhatikanku. Dari sorot matanya, aku tahu pasti kalau laki-laki ini jatuh hati padaku. Diam-diam, aku juga merasakan hal yang sama. Apalagi manakala kusadari kalau lelaki ini amatlah tampan, bahkan ada setingkat di atas WEN, pacarku dulu. Wajah Bang Andri mirip bule, sebab belakangan aku tahu kalau dia memang masih punya darah keturunan Belanda. Tapi yang paling penting, dia mengaku seorang Sarjana Ekonomi, lulusan dari sebuah Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) yang cukup ternama di Jakarta, dan mengaku sudah bekerja di sebuah Bank Swasta Nasional yang juga cukup bonafide.

 

Tuhan, Meski aku telah berbuat dosa besar kepadaMu, namun Engkau telah memberikan jodoh yang terbaik buatku. Terima kasih, Tuhan!

 

Demikian sepenggal doa yang kuucapkan ketika aku dan Bang Andri memutuskan untuk melanjutkan hubungan kami ke jenjang pernikahan. Sebuah harapan yang belakangan hari menjadi serakan keping-keping nestapa.

 

Memang, pada awalnya tak ada sesuatu yang menjadi kendala antara aku dan Bang Andri. Bahkan, ayah dan ibu langsung setuju ketika kuutarakan rencana pernikahan kami. Terlebih ayah. Dia begitu bangga ketika kukatakan bahwa Bang Andri adalah seorang Sarjana Ekonomi dan sudah bekerja di sebuah Bank Swasta Nasional yang cukup ternama.

 

Dengan restu ayah dan bunda, kami pun bersanding di pelaminan seperti laiknya pasangan raja dan permaisuri. Pesta pernikahan kami dilangsungkan di sebuah gedung bertaraf lumayan mewah. Tetapi gedung ini bukan di Bengkulu atau di Padang, melainkan berada di Jakarta. Ayah yang merencanakan semua ini, dengan pertimbangan agar aku tidak bisa bertemu lagi dengan WEN. Ayah takut jika pesta pernikahan itu dilangsungkan di Padang atau Bengkulu, maka diam-diam aku akan menemui WEN, atau sebaliknya. Apalagi, beberapa hari sebelum pernikahan itu, WEN masih sempat meneleponku.

 

“Aku tidak rela melihatmu bersanding dengan lelaki lain. Sampai kapan pun aku akan tetap setia menunggumu!” Begitu sumpahnya.

 

Walau mataku menangis dan jiwaku sempat menjadi goyah, namun aku tak mungkin berbuat nekad menggagalkan pernikahan itu. Sebab aku tak ingin menyakiti hati ayah dan ibu untuk kesekian kalinya. Dan, syukur Alhamdulillah, pesta pernikahan itu berjalan lancar. Penuh dengan kemeriahan.

 

Kata-kata bijak mengatakan begini, . “Percintaan adalah fajar suatu perkawinan, sedangkan perkawinan adalah senja dari suatu percintaan,” Mungkin, kandungan makna sebait kalimat ini tidak sepenuhnya benar bagi semua orang. Tetapi tidak demikian halnya dengan diriku. Bagiku, perkawinan itu bukan sematamata senja dari suatu percintaan, namun adalah neraka bagi kehidupanku.

 

Sorga rumah tangga yang kudambakan, ternyata jahanamlah yang kurasakan. Sejak menikah dan tinggal menumpang di rumah mertua, aku diperlakukan tak ubahnya seperti seorang pembantu. Semua tugas rumah harus aku yang mengerjakan seorang diri. Mulai beres-beres di dapur, mengepel, hingga mencuci pakaian akulah yang mengerjakannya. Bila semua pekerjaan itu tidak bisa kuselesaikan, atau kurang rapih, maka ibu mertuaku langsung menghardikku dengan kata-kata yang sangat kotor dan menistakan. Tak jarang dia menyebutku dengan kata-kata yang sangat tidak patut seperti Anjing atau Babi. Hal yang sama Juga sering Atakukan oleh kakak suamiku. Bahkan, dia tak segan-segan melemparkan | (maaf) celana dalamnya ke mukaku dan minta dicucikan olehku.

 

Lantas, kemana suamiku? Bagaimana sikapnya setelah melihat aku, isterinya, diperlakukan seperti seorang pembantu seperti itu?

 

Pria tampan yang sangat kupuja ini ternyata tak lebih dari seekor kerbau dungu. Dia tak pernah berusaha membelaku, apalagi memeringatkan ibu dan kakaknya, ketika mereka memerlakukanku secara tidak senonoh. Paling-paling Bang Andri hanya bisa bengong, dan dia akan segera pergi bila dibentak ibu atau kakaknya.

 

Masih ada kenyataan lain yang tidak kalah menyakitkan. Ternyata, selama ini Bang Andri telah membohongiku. Dia tidak pernah meraih gelar Sarjana Ekonomi. Dan dia juga tidak bekerja di sebuah Bank Swasta Nasional yang ternama itu. Suamiku ini hanyalah seorang petugas sekuriti. Persisnya, seorang satpam di sebuah apartemen mewah di kawasan elit Sudirman, Jakarta.

 

Semua kenyataan ini benar-benar telah menghancurkan separuh dari hidupku. Aku dihadapankan pada situasi yang sangat dilematis. Di satu sisi aku merasa sangat tersak dan berharap bisa segera bercerai dengan Bang Andiri. Namun, di sisi yang lain aku juga harus berusaha memertahankan keutuhan rumah tangga, sebab saat itu, aku tengah mengandung anak pertama kami.

 

Tetapi…hidup adalah pilihan, dan tiap orang harus bertanggungjawab dengan pilihannya. Manis atau pahit, dia sendiri yang harus menanggungnya. Kenyataan inilah yang kuhadapi. Dengan getir, aku terpaksa harus memilih yang kedua. Ya, aku harus memertahankan keutuhan rumah tangga dem si kecil yang ada dalam kandunganku. Aku juga bertekad tidak akan menunjukkan kehancuran ini kepada keluargaku, khususnya ayah dan ibuku. Sulit kubayangkan, bagaimana sikap mereka nanti bila mendengar semua cerita kegetiran ini langsung dari mulutku.

 

Walau badai begitu kuat mengempas, aku masih mencoba untuk tetap bertahan. Setidaknya, aku masih bisa berharap, setelah anakku lahir nanti sikap ibu mertua dan kakak iparku akan berubah menyayangiku. Bukankah mereka juga sama-sama perempuan seperti diriku yang tentunya memiliki sikap lembut sebagai seorang ibu?

 

Untuk kesekian kalinya harapanku kandas. Aku bak pungguk merindukan bulan. Perubahan yang kuharapkan ternyata hanya khayal tak berkesudahan. Sikap ibu mertua dan kakak iparku justeru semakin menjadi-jadi. Mereka hanya menunjukkan kasih sayangnya kepada si kecil Raka, anakku.

 

Aku tak habis pikir, mengapa kedua perempuan ini bisa bersikap sangat tega padaku, orang yang telah menjadi bagian dari keluarganya? Apakah hal ini memang sudah menjadi karakter mereka? Atau mungkin karena ada sesuatu hal yang diperbuat oleh keluargaku, seperti ayah dan ibuku, yang telah menyinggung perasaan mereka, sehingga mereka membalaskan sakit hatinya itu padaku?

 

AKu memang tak pernah bisa menjawabnya secara pasti. Hanya yang tampak di depan mataku Mina, kakak Iparku itu, usianya sudah 35 tahun, namun tak juga Menemukan pasangan hidup. Mungkin, keadaan ini yang membuatnya depresi, sehingga dia sangat Mudah sekali marah. Dibandingkan ibu mertuaku, Mina jauh – lebih kejam dalam memerlakukanku, Bila aku bangun sedikit kesiangan karena si kecil Raka rewel tidurnya, maka Mina bisa mencak-mencak dengan gayanya yang seperti nyonya besar.

 

Dia tidak segan-segan menudingku: “Sudah menumpang, tidak tahu diri lagi! Menantu macam apa kau ini? Nggak punya otak!”

 

Betapa menyakitkan kata-kata itu. Namun, aku tak bisa mengharapkan pembelaan dari siapa pun. Sama seperti Bang Andri, suamiku, di rumah itu, ayah mertuaku yang pensiunan pegawai negeri sipil itu pun tak lebih dari seekor kerbau dungu. Paling-paling dia hanya memandang iba padaku. Setelah itu dia berlalu tanpa sepatah kata pun. Entah mengapa dia bisa bersikap seperti ini. Nampaknya, dia sangat takut pada isterinya yang nyinyir itu.

 

Jika sebongkah karang di pantai lamalama akan tergerus oleh ganasnya gelombang samudera, maka begitu pula dengan diriku. Setelah sekian lama bertahan, akhirnya aku tak kuat lagi memendam deraan perasaan. Dengan sikap tegar, kucoba memberikan pengertian pada suamiku, bahwa kini sudah saatnya kami hidup mandiri walau harus tinggal di rumah kost-an dengan hanya sepetak kamar.

 

“Gaji Abang sudah cukup untuk membiaya kehidupan kita. Tidak ada alasan laai untuk

 

terus NIGup Menumpang di rumah ini, Bang! Aku malu pada tetangga kiri kanan rumah. Kita kan sudah menikah hampir empat tahun lamanya, bujukku, mencoba meyakinkan Bang Andri.

 

“Kalau itu memang maumu, baiklah! Mudah-mudahan kita bisa bertahan tinggal di rumah petak yang sempit,” jawab Bang Andri dengan nada dingin hampir tanpa ekspresi. Walau begitu, aku tetap bahagia mendengarnya.

 

Aku tak peduli dengan sikap Kak Mina dan ibu mertuaku yang begitu sinis melihat keputusanku meninggalkan rumah. Bagiku, akan jauh lebih baik tinggal di rumah petak yang sempit daripada tinggal di rumah dua lantai namun aku diperlakukan seperti laiknya seorang babu. Dengan hidup mandiri, aku berharap bisa lebih menata lagi keadaan rumah tangga yang selama ini carut marut hampir tanpa masa depan yang pasti.

 

Tetapi, untuk kesekian kalinya harapanku ini kembali kandas. Selang tiga bulan tinggal di rumah kontrakkan, Raka yang baru berusia 2 tahun tiba-tiba sakit. Walau sudah dibawa ke dokter, namun panasnya tak kunjung turun, bahkan beberapa kali dia mengalami step.

 

“Lingkungan rumah petakmu itu terlalu kumuh, banyak tikus gotnya. Itu nggak baik buat Raka. Biar dia tinggal di sini saja bersama ibu. Kalau isterinya tetap ingin bertahan tinggal di sana, biarkan saja dia tinggal sendirian. Biar mampus sekalian!” Geram ibu mertuaku, ketika aku dan Bang Andri membawa Raka ke rumahnya. Sejak hari itu, Raka diharuskan tinggal di rumah neneknya. Karena tak tahan jauh dari anak, aku pun terpaksa kembali tinggal di rumah neraka itu.

 

Pemberontakanku yang kedua terjadi sekitar 7 bulan kemudian. Ketika itu aku benar-benar tak tahan pada kelakukan Kak Mina yang semakin kejam memerlakukanku. Karena itu aku nekad pergi membawa Raka. Kali ini, aku pulang ke Medan, sebab saat itu ayahku memang sudah dimutasi ke ibu kota provinsi Sumatera Utara.

 

Ayah, ibu, juga seluruh keluarga menyambut kedatangan kami dengan penuh suka cita. Maklum, mereka sangat jarang melihat Raka. Apalagi saat itu Raka sedang lucu-lucunya. Memang, sesekali kalau kebetulan ayah ada tugas di Jakarta, aku membawanya ke hotel tempatnya menginap. Demikian pula kalau ibu sedang mengunjungi keluarga di Jakarta bersama adik-adik. Mereka menyempatkan diri bertemu dengan anak semata wayangku. Namun yang pasti, selama ini aku tak pernah bercerita tentang keadaanku yang sebenarnya. Aku juga tak pernah bercerita bahwa Bang Andri, suamiku, bukanlah seorang Sarjana Ekonomi yang bekerja di sebuah Bank Swasta. Aku sengaja merahasiakan semua ini. Di samping malu, aku juga tak ingin melihat murka ayah yang merasa tertipu oleh menantunya.

 

Semula, aku ingin tinggal lama di Medan, sambil mencari waktu yang tepat untuk menceritakan penderitaan yang kualami. Walau ayah pasti akan marah besar, namun kemarahannya itu akan terobati dengan kehadiran Raka, cucu pertamanya. Sekalian, aku juga berniat akan menitipkan Raka pada ibu, sedang aku akan kembali ke Jakarta untuk memulai kehidupan baru. Bagiku, Raka jauh lebih penting andai nanti aku harus bercerai dengan Bang Andri. Setidaknya, dia aman dalam perlindungan kedua orang tuaku.

 

Tetapi apa yang terjadi? Baru empat hari menginap di rumah neneknya, Raka mendadak terserang demam. Dia selalu mengigau memanggil-manggil nama ayahnya. Di saat yang sama, entah apa sebabnya, aku juga merasakan kerinduan yang teramat dalam pada Bang Andri. Padahal ketika itu aku sedang begitu membencinya. Sekali lagi, entah apa sesungguhnya yang telah terjadi?

 

Karena desakan perasaan yang kuat, ditambah Raka yang selalu menangis bila ingat ayahnya, akhirnya kuputuskan untuk kembali ke Jakarta. Lebih tepat lagi kerumah mertuaku.Tentu saja Kak Mina dan ibu mertuaku menyambut kedatangan kami dengan sikap sedingin salju, sedangkan Bang Andri dan ayahnya hanya diam. Persis seperti kerbau dungu.

 

Kini, Raka telah berusia 4 tahun. Dia tentu tak pernah mengerti penderitaan yang dialami mamanya. Setiap hari aku harus bangun jam setengah lima pagi dan membereskan semua bagian rumah dari dapur hingga halaman, belum lagi menyiapkan sarapan, mencuci pakaian dan menyelesaikan pekerjaan lainnya. Karena kelelahan fisik dan perasaan, kini aku tak bisa khusyuk lagi beribadah kepada Tuhan. Padahal dulu, semasa remaja dan tubuhku belum ternoda, aku selalu menangis di tengah malam sambil khusyuk di atas sajadahku.

 

Nasib buruk sepertinya sulit enyah dari kehidupanku. Apakah ini hukuman Tuhan atas dosa besar yang telah kulakukan? Atau mungkin, semua ini terjadi karena masa lalu suamiku yang kelam?

 

Ya, aku tahu Bang Andri pernah mengalami suatu masa yang sangat buruk dalam hidupnya. Dulu, dia memang pernah kuliah di sebuah STIE, meski hanya dua semester saja. Bang Andri terpaksa berhenti kuliah karena dia mendadak jadi gila akibat diguna-gunai oleh Rena, teman sekampusnya.

 

Rena yang juga berdarah Minang seperti diriku memang jatuh cinta berat pada Bang Andri yang tampan. Namun, Bang Andri tak mungkin sudi membalas cintanya, sebab Rena gadis dengan penampilan di bawah rata-rata. Di samping pendek dan hitam, wajahnya juga berjerawat dengan mulut tonggos. Aku sempat melihat fotonya yang disembunyikan.

 

Bang Andri merespon ungkapan perasaan Rena dengan penghinaan. Rena yang tersakiti akhirnya membalas dengan gunaguna. Dia sempat menculik Bang Andri dan menyembunyikannya di sebuah villa di daerah Cipanas. Setelah seminggu hilang, polisi menemukan Bang Andri yang tengah berduaan dengan Rena. Karena dianggap bukan kasus penculikan, ditambah orang tua Rena yang kaya raya dan memiliki beberapa jaringan restoran padang terkenal, akhirnya kasus ini dianggap selesai.

 

Malangnya, setelah kejadian itu, Bang Andri langsung hilang ingatan. Dia baru sembuh setelah ditangani seorang Kyai dari daerah Kuningan, Jawa Barat. Namun, dia tidak seratus persen sembuh, sebab sesekali sikapnya seperti tak peduli dengan suasana di sekitarnya. Setidaknya, kenyataan inilah yang belakangan hari kusadari. Suamiku itu memang gagah dan tampan, namun psikisnya masih sering labil.

 

Walau penuh dengan ketidakberesan, tak terasa tahun ini usia perkawinan kami memasuki tahun ketujuh. Aku sudah berusaha memerbaiki keadaan rumah tangga dengan nekad bekerja. Namun sialnya, aku tak pernah bisa lama bekerja, sebab selalu saja ada masalah yang mengganjalku. Mungkinkah ini juga menjadi bagian dari karma yang harus kujalani?

 

Aku tak bisa menjawabnya. Namun, jika aku harus memilih, betapa inginnya aku bercerai dengan Bang Andri. Walau dia suamiku, sesungguhnya dia tak pernah memberikan kebahagiaan apa-apa selain derita yang datang silih berganti. Aku rindu pada WEN, Cinta pertamaku. Meski jasadku adalah milik Bang Andri, namun hatiku sesungguhnya tak pernah berpaling dari WEN. Mungkinkah Tuhan akan memertamukan kami kembali di dalam kehidupan dunia nan fana ini?

 

“Aku tidak rela melihatmu bersanding . dengan lelaki lain. Sampai kapan pun aku akan tetap setia menunggumu!”

 

Itulah sumpah WEN yang masih selalu terngiang-ngiang di telingaku. Dan aku yakin WEN tidak akan pernah mangkir dari janjinya, sebab dia tetap menganggapku sebagai cinta sejatinya…

 

Demikianlah Catatan Hitam yang kualami. Dengan curahan perasaan yang tulus, aku berharap semoga kiranya pengasuh rubrik kesayangan ini bisa memberikan solusi yang terbaik buat diriku. Demi Tuhan, aku tak kuat lagi menjalani hari-hari yang penuh derita ini. Andai putus asa bukanlah dosa, andai kematian adalah jalan terbaik, maka aku akan memilih keduanya. Tetapi, setidaknya aku masih punya sedikit keyakinan, seperti apa yang kutuhskan di awal ceritaku ini: “Lupakan kekecewaan, karena harapan di masa depan masih terbentang luas dan begitu cerah” Semoga!


PENGOBATAN ALTERNATIF
"PONDOK RUQYAH"
(SOLUSI PASTI DI JALAN ILLAHI)

Kami Jasa Solusi Problem Hidup. Masalah Tuntas Tanpa Bertentangan dengan Hukum Agama dan Negara.

MACAM PROBLEM DALAM PELAYANAN KAMI:
Solusi Problem Asmara, Rumah Tangga, Back Up Karir, Back Up Usaha, Jual Beli, Aura Pemikat, Bersih Diri / Ruwat / Ruqyah / Buang Sial, dll.

KAMI TIDAK MELAYANI SEGALA HAL YANG MELANGGAR HUKUM AGAMA DAN NEGARA.
Contoh: Bank Gaib, Uang Balik, Harta Gaib, Pesugihan, Aborsi / Menggugurkan Kandungan, Perjudian / Togel / Judi Online, Mencelakakan Orang / Santet / Teluh, dll.

ALAMAT PONDOK RUQYAH:
Dusun Kasemen, No.50, RT.05, RW.03, Desa Wangkalkepuh, Kecamatan Gudo, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Kodepos 61463.
🌐 https://pondok-ruqyah.com/
☎️ +6285708371817

PERINGATAN!
Hati-hati dan waspada terhadap penipuan online yang mengatasnamakan kami. Diutamakan datang langsung ke alamat kami untuk menghindari segala hal negatif. Terimakasih.
DATANG DENGAN NIAT BAIK
TIDAK UNTUK KEJAHATAN!