Panggonan Wingit: WISATA ALAM GAIB DI JAKARTA

0
5

Panggonan Wingit: WISATA ALAM GAIB DI JAKARTA

Masih ada sejumlah keraton di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Tapi, keraton. keraton dan segenap isinya itu hanya ada dalam dimensi gaib. Penulis sempat mengunjunginya. Tapi, benarkah tempat-tempat itu memang ada, atau apa yang menimpa penulis hanya semacam ulangan peristiwa lampau…?

 

lni adalah pengalaman spiritual penulis yang benar-benar tak pernah terlupakan sepanjang hidup. Betapa tidak, dengan bimbingan arif Abah Wilastaki dan Abah Ainul Yakin, kali ini penulis diajak bersama-sama untuk melakukan wisata spiritual ke tiga tempat yang merupakan kadipaten gaib dari bekas kerajaan Pajajaran, suatu kerajaan di belahan Jawa Kulon yang pernah berjaya pada zamannya. Bahkan, Pajajaran dianggap sejajar dengan kerajaan Wilwatikta atau Majapahit.

 

Tutur yang berkembang di tengahtengah masyarakat tentang kekuasaan kerajaan Pajajaran dan para tokohnya sampai sekarang seolah tak lekang di makan waktu. Agaknya ini pulalah yang menyebabkan, masyarakat awam tak pernah menyangka jika keraton gaib yang setingkat dengan Kadipaten sampai kini masih berdiri dengan megah di bilangan Babelan (Bekasi), Ancol (Jakarta Utara), Tanjung Barat, Jagakarsa. Sementara, yang terdapat di bilangan Pondok Gede, Jakarta Timur, telah hancur akibat peperangan.

 

Sampai tulisan ini diturunkan, ketiga pusat pemerintahan berdimensi gaib itu masih menjalankan roda pemerintahan sebagaimana layaknya. Tetapi yang pasti, ketiga keraton itu telah ngahyang (menjadi gaib) seiring dengan hilangnya keraton Pajajaran, yang kabarnya kini juga menjadi suatu pusat pemerintahan gaib yang ada di daerah sekitar Kota Hujan, Bogor.

 

Tanpa sesaji, puasa atau ubo rampe, kecuali secuil kemenyan putih yang bahannya terbuat dari getah sebatang pohon yang hanya tumbuh di alam gaib, diiringi pembacaan kidung keramat Danghyang Agung (Danghyang Ageung Buhun) sebanyak 39 pupuh yang dilantunkan lirih dan mendayu-dayu dengan irama snradana. Usai itu, seiring dengan akhir pembacaan dari doa pertahanan diri terucapkan dan berhentinya pusaran angin yang sejak dimulainya lantunan kidung langsung saja mengelilingi tubuh, sayup-sayup penulis mendengar suara uluk salam yang dilakukan hampir secara bersamaan oleh Abah Wilastaki dan Abah Ainul Yakin, “Sampurasun!”

 

“Rampes!” demikian terdengar suara sahutan yang berat dan berwibawa. Kini, tabir gaib pun terbuka! Di depan penulis tampak berdiri gapura yang megah dan indah. Gapura yang terbuat dari batu bata dengan ukuran besar berbentuk Semar Tinandu. Gapura itu dijaga oleh dua punggawa yang berdiri tegap sambil menyilangkan tombak. Sementara tak jauh, tepatnya di belakang kedua punggawa itu berdiri dengan takzim Panglima Kumbang, Senopati Perang sekaligus kepercayaan Eyang Saepi Mainah, wanita jelita yang memerintah dengan arif serta bijaksana kerajaan Sunda Kabuyutan (kini terletak di seputar Babelan, Bekasi. Maaf, untuk menjaga kesucian tempat itu, areal tepatnya tak dapat kami sebutkan). Tempat ini adalah suatu pusat pemerintahan yang selalu dipakai sebagai ajang untuk penobatan bagi mereka yang akan memerintah di berbagai tempat yang ada di bawah kebesaran panji-panji Siliwangi.

 

Dengan amat hormat, Panglima Kumbang membawa kami bertiga menghadap Eyang Saepi Mainah yang duduk dengan anggun di dampar Kencana tersaput emas dengan butiran-butiran besar ratna mutu manikam yang tampak berkilauan. Setelah saling menanyakan kabar dan kesehatan masing-masing, penulis kembali mendapatkan kesempatan untuk melihat-lihat berbagai keindahan.

 

Kesibukan yang ada di sekitar Keraton Sunda Kabuyutan. Decak kekaguman dan gelengan kepala, hanya itulah yang dapat penulis lakukan. Sungguh sulit dipercaya, kehidupan di sana terasa begitu tenteram dan damai, Bahkan tak lerlihat adanya kemiskinan. Ketika penulis menanyakan hal itu, dengan lugas Panglima Kumbang menjawab, “Eyang Saepi Mainah mampu menegakkan hukum dengan adil. Beliau akan memberi hadiah kepada yang berjasa, dan memberi peringatan keras bahkan menghukum siapa pun yang berani melanggar aturan yang telah digariskan. Oleh karena itu, agar tidak terkena peringatan ataupun mendapatkan hukuman, maka mereka selalu saling mengingatkan dan hormat menghormati antara satu dengan yang lainnya. Dengan kata lain, mereka mampu memegang teguh azas saling asih, asah dan asuh.” Agaknya, azas inilah yang membuat kenapa masyarakat Sunda Kabuyutan bisa hidup dengan tenteram dan sejahtera.

 

Manakala sedang termangu-mangu, Abah Wilastaki dan Abah Ainul Yakin menggamit lengan penulis sambil berbisik mengingatkan, “Hati-hati, jangan terlalu lama di sini. Apalagi kita masih harus menyambangi Eyang Syech Putih dan Eyang Suryakancana.”

 

Bersamaan dengan itu Panglima Kumbang muncul. “Jika putra dhalem akan segera berangkat ke Kadipaten Purwajaya, kereta kencana beserta saisnya sudah disiapkan oleh Khanjeng Adipati. Silahkan putra dhalem manfaatkan,” demikian kata Panglima Kumbang dengan senyum. Tanpa sadar kembali penulis berdecak kagum. Sungguh tak dinyana, suara yang begitu lirih dan jarak yang lumayan jauh ternyata tak berpengaruh sama sekali bagi sang panglima.

 

Dengan didahului olen Kumbang, kembali kami bertiga ke ruang pasewakan agung untuk mohon diri dan mengucapkan terimakasih kepada Eyang Saepi Manah. Suara merdu, tegas dan penuh wibawa kembali terlontar dari Eyang Saepi Mainah yang anggun dan jelita. “Pergilah! Adipati Syech Putih telah menunggu putra dhalem dan sampaikan pula salam takzim dariku. Doaku akan selalu mengiringi putra dhalem bertiga.”

 

Setelah kami berpamitan, di depan pendopo Kadipaten Sunda Kabuyutan, penulis melihat sebuah kereta kencana yang ditarik empat ekor kuda hitam berbadan tegap lengkap dengan saisnya. Setelah sais yang mengaku bernama Ki Jayayudha menutup pintu kereta dan seiring dengan terdengarnya geletar cambuk yang membelah angkasa, kereta pun bergerak dengan kecepatan yang sulit untuk dilukiskan. Kereta itu seperti terbang mengawang, hingga tak lama kemudian, kereta kencana pun berhenti di depan pendopo Kadipaten Purwajaya, yang menyatu dengan bangunan sebuah Klenteng.

 

Semilir angin pantai langsung saja menyapu tubuh dan deburan ombak pun lamat-lamat tertangkap oleh telinga penulis. Abah Wilastaki berbisik, “Jika di alam kita, tempat ini berada di kawasan Ancol.”

 

Sesaat penulis merasa heran dan tak percaya. Dengan senyum penuh arti, Abah Ainul Yakin menganggukkan kepala tanda mengiakan. Belum sempat penulis bertanya hal yang lain, Ki Jayayudha telah membukakan pintu kereta dan mempersilahkan kami untuk turun. Lalu, datanglah kehadapan kami seorang pria gagah memakai busana kebesaran tempo dulu.

 

“Selamat datang di Kadipaten Purwajaya. Putra dhalem bertiga memang telah ditunggu-tunggu oleh Khanjeng Adipati Syech Putih,” demikian sambut lelaki itu yang kemudian penulis ketahui sebagai Ki Mas Kumambang, Senopati Perang Kadipaten Purwajaya. la kemudian mempersilah kami bertiga masuk ke ruang pasewakan agung.

 

Di tengah-tengah ruangan yang telah dipenuhi oleh petinggi Kadipaten, kami bertiga disambut dengan hangat dan diperkenalkan dengan mereka yang ada. Sementara itu dikursi kebesaran tampak seseorang yang benar-benar kharismatik. Dengan rambut putih keperakan yang digelung keatas wajah yang selalu tersenyum dan memancarkan kedamaian, akan membuat siapapun senang berlama lama menatapnya. Rupanya, dialah yang disebut sebagai khanjeng Adipati Syech Putih.

 

“Selamat datang putra dhalem bertiga. Maafkanlah jika penyambutan kami kurang berkenan di hati,” ujar sang Adipati merendah.

 

“Terimakasih, Khanjeng Adipati. Kami balikan merasa mendapatkan pengharmatan yang luar biasa atas sambutan yang dilakukan di sini,” jawab Abah Wilastaki berbasa-basi dan sekedar melepaskan penat, kami pun dibawa oleh Khanyeng Adipati Syech Putih untuk berjalan jalan di sekitar kadipaten yang indah dan banyak ditumbuhi pepohonan kelapa yang tersusun rapih.

 

“Tugas kami adalah mengamankan bandar dan mencegah musuh. Dulu, pasukan laut kamu berbasah memukul amanda dan bahkan menenggelamkan puluhan Jung (kapal) Cina ketika mereka akan berbuat onar di sini,” ujar Syech Putih ketika kami tiba di dermaga yang penuh dengan kesibukan bongkar muat.

 

“Kebanyakan isi Jung itu adalah, senjata, candu, batu giok, gading gajah, tembikar dan kepeng (mata uang yang terbuat dari emas atau perak). Makanya jangan heran jika belakangan ini banyak manusia serakah yang mendatangi tempat ini untuk mencuri berbagai barang yang ada di dalam Jung itu. Kebanyakan mereka tak mendapatkan hasil apa-apa, bahkan ada pula yang celaka. Tetapi bila yang datang benar-benar berhati suci dan tidak serakah, maka kami akan memberikan ala kadarnya. Hanya sebagai kenang-kenangan dan sekedar membuktikan keberadaan kami. Lain tidak!” sambungnya panjang lebar.

 

“Yang kami sesalkan, mereka tak lagi mengenal tata krama, Dengan seenaknya mereka datang untuk mencuri barang-barang itu. Padahal Paduka Siliwangi telah menggariskan kebijaksanaan atas berbagai barang berharga yang ada di dalam wilayahnya. Kebijakan itu jelasjelas tersurat di. dalam ranji-ranji keraton. Ada pun salah satu kalimatnya berbunyi: barang-barang itu harus segera diberikan jika untuk kemaslahatan orang banyak, syiar agama, melestarikan budaya leluhur dan mempertahankan Pancasila. Tolong aturan ini ditulis dengan jelas. Jangan ditambah atau dikurang. Mudah-mudahan bisa menjadi penerangan bagi mereka yang ingin mencoba-coba menguasai barang-barang berharga yang ada di hawah kekuasaan Prabu Silwangi. Dan ingat, atunan itu bukan hanya untuk barang yang ada di Jawa bagian Kulon. Sebab kekuasaan Paduka Silwangi melingkupi dua pertiga belahan dunia,” imbuh Kanjeng Adipati lagi.

 

Setelah usai mengeluarkan pesan- pesan moral untuk seluruh manusia yang terlahir di belakangan hari, Adipati Syech Putih mengantarkan kami bertiga kembali menuju kereta kencana milik Kadipaten Sunda Kabuyutan yang telah siap mengantarkan kami bertiga ke Kadipaten Tanjungjaya. Setelah saling mengucapkan sesanti jaya-jaya untuk kesehatan dan keselamatan masing-masing, kereta pun bergerak menuju ke Selatan.

 

Menurut perhitungan penulis, belum sampai satu menit, kami bertiga telah tiba di Kadipaten Tanjungjaya. Sungguh suatu hal yang amat membanggakan. Betapa tidak, kami bertiga langsung disambut oleh Eyang Suryakancana, Khanjeng Adipati yang berkuasa di Kadipaten Tanjungjaya. Menurut Abah Wilastaki jika di alam nyata Kadipaten gaib ini berada di pertemuan dua sungai yang terletak di bilangan Tanjung Barat, Jagakarsa.

 

“Selamat datang… selamat datang! Semoga putra dhalem bertiga tak kurang suatu apa. Dan segera saja masuk!” demikian kata Khanjeng Adipati Suryakancana seraya mempersilahkan kami bertiga masuk ke ruang pasewakan agung.

 

Ini suatu kehormatan besar bagi penulis karena bisa bertatapan, menjabat tangan bahkan berdialog langsung dengan Eyang Suryakancana, salah satu tokoh legendaris tatar Pasundan. Dan setelah saling menanyakan kabar kesehatan dan keselamatan masing-masing, dengan tulus Eyang Suryakancana mengajak kami berjalan-jalan di taman sari sambil berbincang mengenai berbagai hal.

 

Dari perbincangan yang sempat terdengar, penulis benar-benar dibuat tak habis pikir. Sebab sungguh di luar dugaan, para sepuh yang selama ini hanya dianggap hidup di dalam dongeng ternyata masih terlibat secara aktif di dalam percaturan ketatanegaraan yang terjadi sekarang ini. Bahkan dengan nada prihatin dan lirih Eyang Suryakancana berkata, “Kami sungguh-sungguh tak habis pikir, kenapa bangsa yang semula demikian santun kini berubah menjadi tak beraturan. Anehnya, para pemimpin sekarang berani nekad mengatakan, bahwa apa yang mereka perjuangkan adalah untuk kepentingan rakyat, rakyat dat rakyat. Padahal, apa yang mereka lakukan tak lebih untuk kepentingan dirinya, golongan dan kekuasaannya saja. Akibatnya, dimana-mana timbul pertumpahan darah.”

 

Abah Wilastaki yang ternyata merupakan petinggi, tepatnya pimpinan sandi e di keraton gaib Pajajaran hanya tersenyum hambar. Dengan lugasnya pun turut Menambahkan, “Orang melihat, bangsa memang harus terpecah-pecah dulu, baru bisa kembah utuh seperti semula.”

 

Penulis benar-benar sulit memahani kata-katanya.

 

“Agar kita dapat selamat dari kejadian yang mengerikan, maka sejak sekarang mulailah berlomba-lomba untuk berbuat kebaikan terhadap sesama. Bukan untuk saling jatuh menjatuhkan. Dan jika kila puas dengan apa yang telah dilakukan oleh para pemimpin, lakukanlah kritik dengan cara yang beradab. Ingatlah laku protes yang dilakukan oleh para pendahulu kita,” imbuh Abah Wilastaki seraya menerangkan bagaimana sebelum pasewakan agung berlangsung, sambil mengenakan pakaian serba putih, seseorang duduk dengan takzim di tengah-tengah beringin kembar keraton guna menanti datangnya putusan keadilan dari Sang Nata.

 

“Itukah salah satu ciri dari Sang Ratu Adil?” bisik hati penulis.

 

Bisikan ini ternyata tertangkap oleh kepekaan batin Abah Ainul Yakin yang tak lain adalah salah satu cucu kinasih Paduka Siliwangi dari Pangeran Cakrabuana, “Betul, beliaulah yang akan membawa pencerahan dalam segala bidang bagi bangsa ini. Saat itu, dengan berpegang kepada hukum yang adil, beliau akan tampil dengan sosok serta sistem yang benar-benar dapat diterima oleh suku, golongan dan agama apapun.”

 

Apalagi, menurutnya, sejarah hanyalah merupakan pengulangan dari suatu peristiwa yang terjadi sebelumnya. Dan contoh perilaku tentang kearifan seorang pemimpin yang berpegang pada azas saling asah, asih dan asuh pernah dibuktikan oleh Prabu Siliwangi saat menyelesaikan peristiwa yang semula dianggap sebagai pageblug (kematian beruntun) yang terjadi di Kadipaten Waringin Puri yang waktu itu diperintah oleh Adipati Purbacaraka. Dari laporan pasukan tel/k sandi akhirnya diketahui, ternyata Kadipaten Waringin Puri selalu dipakai sebagai tempat berkumpul oleh para penganut ilmu hitam. Untuk kesempurnaan ilmu Kala Durga yang mereka anut, maka tiap saat mereka harus melakukan persembahan darah dan nyawa manusia. Agaknya inilah sebab utama kenapa penduduk kadipaten itu banyak yang mati secara mendadak dengan badan yang penuh sayatan senjata tajam.

 

Keadaan ini telah memaksa Paduka Siliwangi untuk segera mengirimkan surat teguran keras kepada sang Adipati. Tetapi apa lacur. Walau telah tiga kali melayangkan surat teguran dan dilanjutkan dengan tiga kali pula mengirimkan utusan, tetapi kelakuan mereka tak juga berubah, Akhirnya, diputuskanlah untuk menyerang Kadipaten Waringin Puri. Di dalam perang itu, Adipati Purbacaraka gugur di tangan Senopati Perang Pajajaran yang kala itu dipercayakan pada Raden Jaladara, Gedung kadipaten pun langsung dibakar Tak ada yang tersisa, kecuali sebuah kereta kencana. Kini, kereta tersebut masih tetap berada di tempatnya. Hanya saja, di alas kereta kencana itu telah berdiri sebuah bangunan megah yang dikenal sebagai Pondok Gecia Mall. Sungguh ini suatu keadaan dalam dimensi gaib yang secara terperinci sulit diurai dengan kata-kata.

 

Setelah dianggap cukup, sambil mengucapkan terimakasih atas kesediaan Ki Jayayudha mengantarkan kami bertiga, kami pun dikembalikan ke tempat semula.. Aneh, saat penulis sadar kembali, ternyata kami bertiga telap ada di tengah tengah keheningan sawethan Babelan, Bekasi. Seiring dengan lenyapnya Suara gemerincing kuda yang menarik kereta kencana milik Kadipaten Sunda Kahuyutan tabir gaib pun kembali tertutup.

 

“Alhamdulillah!” hanya kata itulah yang terucapkan saat kami bertiga melakukan sujud syukur kehadirat Tuhan Seru Sekalian Alam yang telah memberikan izin untuk dapat melihat salah satu dari sekian banyak kebesaran-Nya. Wallahu a’lam bissawab. ©️.


PENGOBATAN ALTERNATIF
"PONDOK RUQYAH"
(SOLUSI PASTI DI JALAN ILLAHI)

Kami Jasa Solusi Problem Hidup. Masalah Tuntas Tanpa Bertentangan dengan Hukum Agama dan Negara.

MACAM PROBLEM DALAM PELAYANAN KAMI:
Solusi Problem Asmara, Rumah Tangga, Back Up Karir, Back Up Usaha, Jual Beli, Aura Pemikat, Bersih Diri / Ruwat / Ruqyah / Buang Sial, dll.

KAMI TIDAK MELAYANI SEGALA HAL YANG MELANGGAR HUKUM AGAMA DAN NEGARA.
Contoh: Bank Gaib, Uang Balik, Harta Gaib, Pesugihan, Aborsi / Menggugurkan Kandungan, Perjudian / Togel / Judi Online, Mencelakakan Orang / Santet / Teluh, dll.

ALAMAT PONDOK RUQYAH:
Dusun Kasemen, No.50, RT.05, RW.03, Desa Wangkalkepuh, Kecamatan Gudo, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Kodepos 61463.
🌐 https://pondok-ruqyah.com/
☎️ +6285708371817

PERINGATAN!
Hati-hati dan waspada terhadap penipuan online yang mengatasnamakan kami. Diutamakan datang langsung ke alamat kami untuk menghindari segala hal negatif. Terimakasih.
DATANG DENGAN NIAT BAIK
TIDAK UNTUK KEJAHATAN!