Panggonan Wingit: CONDET, KAMPUNG TUA BETAWI

0
6

Panggonan Wingit: CONDET, KAMPUNG TUA BETAWI

Condet, di Kecamatan Kramatjati, Jakarta Timur merupakan kawasan perkampungan tua masyarakat Betawi. Di sebelah baratnya mengalir Sungai Ciliwung yang memisahkan wilayah ini dengan wilayah Jakarta Selatan. Hasil ekskavasi arkeologi yang dilakukan pada tahun 1970 merupakan bukti kuat dugaan itu. Dalam penggalian arkeologi yang dilakukan sejumlah peneliti di tepi Ciliwung di kawasan Condet Balekambang ditemukan kapak, beliung, dan pahat dari batu. Sedangkan di Pejaten yang berada di seberang Condet Balekambang ditemukan lampu kuil yang membuktikan di sini telah ada peradaban.

 

Sekitar 1970 sampai dengan 1980-an, Condet terkenal sebagai penghasil buahbuahan terbesar di Jakarta, terutama buah duku dan salak. Salak Condet terkenal manis dan masir (gurih). Tak kalah dengan salak pondoh atau salak Bali.Sedangkan dukunya besar-besar dengan biji yang kecil. Rasanya pun tak kalah dengan duku Palembang. Namun seiring pesatnya pembangunan perumahan, kebun-kebun salak dan duku yang dulu tersebar di seluruh Condet pun hampir lenyap.

 

Di masa kini orang hanya mengenal wilayah Condet sebatas Kelurahan Condet Balekambang, Condet Batuampar, dan Kelurahan Kampung Tengah yang termasuk Kecamatan Kramatjati, Jakarta Timur. Tetapi sebenarnya wilayah Condet dulu membentang sampai Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Batasnya meliputi sebelah Barat berbatasan dengan Jalan Buncit Raya, Jalan Raya Bogor di sebelah Timur, Kecamatan Pasar Rebo di sebelah Selatan hingga wilayah Cililitan di sebelah Utara. Di Jakarta Selatan, nama Condet masih tersemat dinama sebuah jalan, yaitu Jalan Condet Pejaten di daerah Warung Buncit.

 

Untuk masuk ke wilayah Condet sangat mudah. Dari Utara dan Timur bisa melalui Pusat Grosir Cililitan (PGC) melalui Jalan Raya Condet dan dari arah Selatan dan Barat bisa melalui Jalan Raya TB. Simatupang lalu masuk Jalan Raya Condet.

 

Data tertulis pertama yang menyinggung Condet adalah catatan perjalanan Abraham van Riebeck, ketika masih menjabat Direktur Jenderal VOC di Batavia (sebelum menjadi Gubernur Jendral). Dalam catatan tersebut, pada tanggal 24 September 1709 Van Riebeck beserta rombongannya berjalan melalui anak sungai Condet menuju Parung: “Over mijin lant Paroeng Combale, Ratudjaja, Depok, Sringsing naar het hooft van de spruijt Tsji Condet” (De Haan 1911: 320).

 

PANGERAN CONDET

Menurut cerita tutur masyarakat setempat, nama Condet berasal dari kata codet yang berarti luka melintang di pipi. Konon, di Condet pada masa dahulu, berdiam seorang pangeran dan istrinya yang tidak diketahui asal-usulnya. Pangeran itu bernama Geger, sedangkan istrinya bernama Polong. Pangeran Geger memiliki bekas luka memanjang di pipinya yang oleh penduduk setempat disebut codet, Dari bekas luka yang dimilikinya itulah akhirnya Pangeran Geger disebut juga Pangeran Codet. Pangeran Geger dan Nyi Polong mempunya beberapa orang orang anak. Salah satunya yang tercantik bernama Siti Maimunah. Selain cantik, Maimunah juga ramah, baik budi, dan rajin.Suatu hari keluarga pangeran itu kedatangan tamu seorang pangeran dari sebelah Timur Condet (kini Kampung Makasar dan Kramatjati) bernama Pangeran Astawana. Pangeran Astawana merupakan putra Dato Tonggara seorang bangsawan dan ulama dari Makasar.

 

Maksud kedatangannya ke kediaman keluarga Pangeran Geger adalah untuk melamar Siti Maimunah menjadi istrinya. Karena ia telah lama mendengar tentang kecantikan maupun budi pekerti sang putri. Sebagai orangtua yang bijaksana, Pangeran Geger menyerahkan keputusan lamaran itu sepenuhnya kepada putrinya.

 

Maimunah yang sejak awal juga memang sudah terpikat kepada Astawana, bersedia menjadi istri sang pangeran tetapi dengan syarat, sang pangeran harus membuatkan dua buah rumah dalam satu malam. Rumah yang pertama harus memiliki kolam yang di atasnya didirikan balai-balai tempat bersantai dan dari rumah itu jalan menuju rumah yang kedua harus ditaburi batu koral.

 

Semua syarat itu disanggupi Pangeran Astawana. Malam itu juga ia bekerja memenuhi permintaan Siti Maimunah. Esok harinya, kedua buah rumah yang diminta oleh Maimunah telah berdiri lengkap dengan balai-balai di atas kolam dan jalan di antara kedua rumah tersebut ditaburi atau dalam bahasa Betawi diampari batu. Lokasi dimana rumah yang memiliki kolam dan balai-balai itu kemudian diberi nama Condet Balekambang. Sedangkan lokasi di mana rumah kedua berdiri dinamakan Condet Batuampar.

 

KAMPUNG TENGAH

Berbeda dengan dua kelurahan di atas yang sama-sama berawalan Condet, kelurahan yang terletak di sebelah Timur Balekambang dan Batuampar ini bernama Kampung Tengah atau sekarang dikenal dengan sebutan Kelurahan Tengah saja. Asal-usul nama atau toponimnya memang berbeda dengan kedua wilayah Condet lainnya. Ada dua versi tentang asal-usul nama Kampung Tengah.

 

Versi pertama, menurut cerita masyarakal nama Kampung Tengah aslinya adalah Kampung Karang Tengah, Nama ini merujuk Haji Abdul Salam pada sebuah batu menyerupai karang berwarna putih yang berada di tengah sawah milik warga setempat.Ukurannya kira-kira sebesar truk.Tidak ada seorangpun penduduk yang tahu dari mana asal batu tersebut.

 

“Yang jelas, kata almarhum orangtua saya, batu itu sudah ada sejak dia kecil,” terang seorang warga Kampung Tengah yang ditemui penulis.

 

Kini batu karang tersebut telah tidak ada lagi, karena terpendam ke dalam tanah. Sawah di mana batu karang itu berdiri pun telah berganti rupa menjadi Komplek Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres). Sejak batu karang itu terkubur di dalam tanah, warga pun mulai melupakan kata karang yang pernah melekat pada nama kampungnya, sehingga yang tertinggal hanya nama tengahnya saja. Sampai sekarang nama kampung itu lebih dikenal dengan Kampung Tengah.

 

Sementara itu, versi kedua menyebutkan bahwa nama Kampung Tengah erat kaitannya dengan kisah Sunan Gunung Jati yang melakukan perjalanan dari Cirebon ke Banten atau sebaliknya.

 

Konon, menurut cerita masyarakat, dulu ketika Sunan Gunung Jati melakukan perjalanan dari Cirebon menuju Banten, ia selalu membawa nasi yang dibungkus. dengan daun pisang atau nasi timbel. Perjalanan itu ditempuhnya tidak melalui pesisir atau laut, tetapi melalui daerah pedalaman. Nasi timbel yang dibawanya itu selain untuk mengisi perut juga untuk mengetahui sudah seberapa jauh perjalanan yang ditempuhnya. Dalam perjalanannya itu, ketika sampai di wilayah yang sekarang bernama Kampung Tengah, ia merasa lapar. Maka, nasi timbel bekalnyapun dibuka untuk dimakan.

 

Ternyata, saat dibuka, nasi itu masih mengepulkan asap dan hangat. Sunan pun berucap, “Rupanya aku sudah berada di tengah-tengah antara Cirebon dan Banten.” Maka, kampung di mana ia membuka timbelnya itu dinamakan Kampung Tengah.

 

Demikianlah asal-usul nama Kampung Tengah. Benar atau tidaknya, wallahu a’lam. Yang jelas, di Condet Balekambang memang terdapat petilasan yang menurut kabar merupakan lokasi para wali anggota

Walisongo bermusyawarah. Di sekitar lokasi di mana petilasan itu berada, sekarang dibangun sebuah pesantren bernama Pesantren Tapak Sunan. Pendirinya adalah KH. Nuruddin Munawwar seorang keturunan Sunan Gunung Jati yang berasal dari Pesantren Buntet Cirebon.

 

Selain Tapak Sunan, di Condet Balekambang juga terdapat Kramat Growak dan Makam Ki Balung Tunggal. Sayangnya kedua tempat tersebut kini terhimpit oleh rumah-rumah penduduk sehingga agak sulit didatangi. Padahal, sebelum rumah penduduk serapat sekarang, kedua tempat itu merupakan tempat yang dianggap angker dan dihuni oleh gaib yang memiliki kekuatan tinggi.

 

“Dulu kalau ada burung yang terbang di atas Kramat Growak, pasti jatuh kayak ada yang menarik dari bawah,” kisah Haji Abdul Salam, warga Condet yang mengetahui cerita-cerita seputar tempat tinggalnya dengan logat Betawi yang kental. Namun, seiring meningkatnyg pemahaman agama masyarakat, kedua lokasi wingit tadi sudah dianggap biasa saja.

 

Sementara itu, menurut Ridwan Saidi, budayawan Betawi yang sering melakukan penelitian sejarah Betawi berdasarkan sumber-sumber lokal menyebutkan, bahwa Kramat Growak adalah sebuah makam seorang resi dari Kerajaan Pajajaran. Di atas makam sang resi memang tumbuh pohon growak, sebuah pohon yang berbuah seperti buni tetapi rasanya asam. Sedangkan, Ki Balung Tunggal menurut Ridwan adalah seorang panglima perang Pajajaran yang sakti yang pernah berperang membantu Prabu Sanghyang atau Prabu Surawisesa.

 

KERAJAAN SALAKANAGARA

Masih menurut Ridwan, Condet pada abad kedua Masehi adalah lokasi tempat berdirinya kerajaan Salakanagara. Kerajaan ini merupakan kerajaan yang pertama berdiri di tanah Jawa. Rajanya bernama Dewawarman yang menikah dengan Nhay Larasati, putri Aki Tirem, seorang pedagang priuk yang tinggal di Kampung Warakas (kini di Jakarta Utara). Dalam bahasa Kawi, Warakas artinya sakti. Tak heran, karena Aki Tirem yang jadi penghulu kampung itu sering menghadapi bajak laut yang menjarah kampungnya.

 

Seorang diri Aki Tirem mampu menghadapi 100 orang bajak laut yang hendak merampok priuk-priuk yang dijualnya kepada para pedagang dari Tiongkok, India, dan beberapa daerah di Nusantara. Karena merasa kewalahan mengatasi para perampok, Aki Tirem memutuskan mendirikan kerajaan yang dapat melindungi perdagangannya. Kerajaan itu tidak didirikar di daerah pesisir, namun di pedalaman.

 

Aki Tirem memilih lokasi yang sekarang bernama Condet untuk kerajaannya itu dengan pertimbangan wilayahnya dilalui Sungai Ciliwung yang bermuara ke Teluk Jakarta, Seperti kita ketahui, peradaban manusia memang bertempat tak jauh dari air. Sebut saja kerajaan Mesopotamia yang berada di tepi Sungai Eufrat dan Tigris. Atau Kerajaan Mesir yang berlokasi di tepi Sungai Nil. Sungai selain dimanfaatkan airnya untuk keperluan mandi, minum, mencuci, juga dapat digunakan sebagai sarana transportasi dan perdagangan.

 

Aki Tirem menamakan kerajaan yang dibangunnya itu dengan nama Salakanagara. Salaka dalam bahasa Kawi berarti perak. Kerajaan itu dinamakan Salakanagara dimungkinkan berkaitan dengan sistem kepercayaan penduduk waktu itu yang menganggap gunung menyimpan kekuatan spiritual yang amat dahsyat.

 

Sebuah gunung di dekat Leuwiliang, dimana priuk dibuat, sering terlihat berwarna keperak-perakan (bila sinar matahari sedang memancar terang), sehingga gunung itu diberi nama Gunung Salak. Keberadaan Kerajaan Salakanagara juga disebut oleh Sumber Tiongkok. Disebutkan bahwa pada tahun 123 M raja Ye Tiau bernama Tiao Pien mengirim utusan ke Cina pada zaman Dinasti Han. Dalam hal ini Ye Tiau ditafsirkan Jawa dan Tiau Pien adalah Dewawarman. Meskipun raja-raja Salakanagara beragama Hindu, namun masyarakat tetap berpegang pada kepercayaan nenek moyang.

 

Kerajaan Salakanagara bertahan hingga 233 M tahun. Setelah Dewawarman I, kemudian digantikan oleh puteranya Dewawarman II dan seterusnya sampai Dewawarman Vili. Pada tahun 363 M Kerajaan Salakanagara berakhir saat diperintah oleh Dewawarman VIII yang memegang kekuasaan sejak tahun 340 M. Kemudian Salakanagara menjadi “kerajaan bawahan” Tarumanagara saat diperintah olehDewawarman IX. Wallahu a’lam bissawab. ©️.


PENGOBATAN ALTERNATIF
"PONDOK RUQYAH"
(SOLUSI PASTI DI JALAN ILLAHI)

Kami Jasa Solusi Problem Hidup. Masalah Tuntas Tanpa Bertentangan dengan Hukum Agama dan Negara.

MACAM PROBLEM DALAM PELAYANAN KAMI:
Solusi Problem Asmara, Rumah Tangga, Back Up Karir, Back Up Usaha, Jual Beli, Aura Pemikat, Bersih Diri / Ruwat / Ruqyah / Buang Sial, dll.

KAMI TIDAK MELAYANI SEGALA HAL YANG MELANGGAR HUKUM AGAMA DAN NEGARA.
Contoh: Bank Gaib, Uang Balik, Harta Gaib, Pesugihan, Aborsi / Menggugurkan Kandungan, Perjudian / Togel / Judi Online, Mencelakakan Orang / Santet / Teluh, dll.

ALAMAT PONDOK RUQYAH:
Dusun Kasemen, No.50, RT.05, RW.03, Desa Wangkalkepuh, Kecamatan Gudo, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Kodepos 61463.
🌐 https://pondok-ruqyah.com/
☎️ +6285708371817

PERINGATAN!
Hati-hati dan waspada terhadap penipuan online yang mengatasnamakan kami. Diutamakan datang langsung ke alamat kami untuk menghindari segala hal negatif. Terimakasih.
DATANG DENGAN NIAT BAIK
TIDAK UNTUK KEJAHATAN!