Kisah Nyata: TIKUS GAIB PERUSAK SAWAH

0
37

KISAH UNIK DAN MENARIK INI DIALAMI OLEH DIDING, 31 TAHUN, WARGA DESA SITUWANGI, KECAMATAN CILILIN, KABUPATEN BANDUNG, JAWA BARAT. SEBAGAI SOPIR TRUK, SUATU HARI DIA MENDAPAT ORDER UNTUK MENGANGKUT SEJUMLAH ITIK KE DAERAH CIANJUR SELATAN. NAMUN, DIA MENGALAMI KEJADIAN ANEH YANG MENGGETARKAN. BETAPA TIDAK, TERNYATA DIA MENGANGKUT TIKUS SILUMAN YANG AKAN “HIJRAH” UNTUK MERUSAK TANAMAN PADI… 

Aku bekerja sebagai supir truk. Menjadi supir truk memang sangat melelahkan dan membosankan. Namun, karena truk yang kukemudikan milik sendiri, terpaksa pekerjaan inipun kujalani. Truk yang bak belakangnya dihiasi dengan tulisan “Si Leunyay” dan gambar wanita cantik, yang dadanya membusung, sambil setengah berbaring ini adalah warisan dari ayahku. Aku sendiri tak tahu apa arti tulisan itu, pernah bertanya pada ayah. Sampai ayahku meninggal, tak diterangkan apa arti tulisan dengan cat warna merah darah dan siapa perempuan yang berpose menantang dengan senyum menawan itu.

 

Ah, aku lupa. Aku sebenarnya pernah kuliah di seni rupa ITB selama dua tahun. Tetapi, kuliahku gagal karena ayah keburu meninggal. Saat kuliah, aku mengontrak rumah di daerah Cibuntu, Kota Bandung. Tetapi, setelah ayah meninggal, aku pulang kampung. Ke Cililin.

 

Sebenarnya, bukan aku tak percaya kepada orang lain, tetapi beberapa kali “Si Leunyay” dipegang supir lain setorannya tak pernah beres. Jorok lagi. Sehingga truk cepat rusak. Malah yang bikin aku mengkal, tulisan “Si Leunyay” diganti dengan tulisan “Nyi Nahnay”

 

Sudah lebih dari lima tahun truk warisan ayahku ini kukemudikan untuk mengangkut berbagai macam hasil bumi, hasil hutan, dan barang-barang kebutuhan pokok. Bahkan, sering juga digunakan untuk mengangkut “bobotoh” Persib bila tim “Maung Bandung” makalangan (bertanding).

 

Kadang-kadang untuk mengangkut bobotoh Persib aku tak pernah memungut ongkos karena aku juga pecinta Persib. Meskipun kesebelasan kesayanganku itu sering kalah dalam bertarung, namun cintaku tak pernah luntur. Temanku Jajang, sering berkata, “Eleh meunang, Persib nu aing (Kalah menang, Persib punyaku).

 

Selain memiliki truk yang semata wayang ini, aku juga punya sebidang tanah warisan dari orang tuaku. Sawah yang kutanami padi itu cukup luas, sehingga dengan seorang istri dan tiga orang anak, hidupku berkecukupan. Sawah itu letaknya di Desa Situwangi.

 

Masing terngiang-ngiang di telingaku pesan ayah sebelum meninggal, “Ding, peliharalah truk ini. Sayang kalau dijual. Dan jangan dikemudikan oleh orang lain. Cepat rusak.”

 

Oleh karena itu, aku tak pernah lepas dari “Si Leunyay”, Ada truk, ada Diding. Setiap hari, aku mangkal bersama “Si Leunyay” di pinggir alun-alun. Namun, tak jarang aku juga mendapat pesanan untuk mengirimkan sesuatu barang. Pemesannya pun langsung datang ke rumahku.

 

Kala itu, para petani di tempatku resah. Karena, tanaman padi mereka rusak dimangsa tikus. Termasuk tanaman padi di sawahku. Anehnya, tikus-tikus tersebut tidak memakan padi yang sedang bunting, tetapi merusak batangnya sehingga tanaman padi itu jadi binasa.

 

Dan sawah yang dirusak si monyong itu luasnya puluhan hektar. Banyak petani yang menangis karena padi yang ditanamnya rusak. Padahal, hidup mereka hanya mengandalkan dari hasil sawahnya.

 

Sawah warisan orangtuaku juga turut menjadi korban amukan tikus. Aku sangat benci kepada si monyong yang serakah itu. Di musim tanam ini, padi di sawahku tak bisa dipanen. Anehnya, kawanan tikus yang memusingkan tersebut tidak mempan oleh racun. Binatang yang menjijikan itu tak mau makan umpan yang sudah ditaburi endrin atau racun yang sejenisnya. Sehingga, para petani termasuk aku pusing dibuatnya.

 

Gerakan membasmi hama tikus juga tak membuahkan hasil. Karena, di siang hari tikus-tikus itu lenyap seperti ditelan bumi.

 

Pada suatu malam, aku bersama warga desa lainnya berkumpul di masjid dan berdoa bersama agar hama tikus cepat lenyap dari sawah kami. Doa bersama yang diawali dengan pembacaan surat Yasin lima belas kali, yang dipimpin oleh ajengan ini berlangsung dengan khusuk selama hampir tiga jam.

 

Esok harinya, aku duduk termenung di teras rumahku. Hari itu, aku tidak mangkal, karena istriku sedang hamil tua. Anak keempat buah cinta kami, sebentar lagi akan lahir ke dunia. Tadi pagi, truk kesayanganku kucuci bersih. Aku menunggu orang yang akan menyewa “Si Leunyay”.

 

Matahari kemarau menunjukkan sinarnya yang garang di langit biru bersih. Aku makin enggan ke luar rumah. Tak seperti biasanya, dari pagi tak ada orang yang datang untuk menyewa trukku.

 

Aku masih terpaku di teras rumah. Rembang petang mulai membayang. Cuaca menjadi samar dan langit biru perlahan-lahan mulai ranum memuat warna senja. Atap langit sebelah barat dipenuhi warna lembayung. Tiba-tiba angin kencang datang mengembus, terasa menampar-nampar wajahku. Hawa dingin melingkupi bumi membuat aku menggigil. Bulu kudukku berdiri. Aneh memang, padahal senja masih menjelang dan malam belum datang.

 

“Mang Diding damang?” Sapa seseorang.

 

Aku terkejut. Suara itu terdengar sengau. Seorang lelaki setengah baya tahu-tahu sudah berada di hadapanku. Aku tak tahu dari mana dia datang.

 

Kuamati wajah tua keriput itu. Wajah yang aneh. Hidungnya pesek dan matanya tampak jalang. Dari bola matanya yang kecil itu, kadang-kadang terpancar warna merah menyilaukan. Wajahnya sedingin es.

 

“Saya butuh truk Mang Diding,” katanya, tanpa menunggu jawabanku.

 

Aku masih terpana. Dari matanya berkaca air bening bercampur warna merah. Seolah-olah mata itu mengeluarkan cairan darah bercampur air bening.

 

“Oh… oh… eu.. eu.. perlu truk?” Aku tergagap, hampir tak percaya, di rembang petang ini ada orang yang akan menyewa trukku.

 

“Saya butuh truk mamang untuk mengangkut itik ke Cianjur” katanya masih dengan nada sengau yang aneh.

 

Aku sebenarnya enggan ke luar rumah, apalagi harus pergi mengemudikan truk ke Cianjur. Namun, sekadar basa-basi, supaya dia membatalkan niatnya menyewa trukku, kujawab seenaknya.

 

“Kalau mau satu juta rupiah mah, itik-itik itu saya tarik,” kataku pelan.

 

“Baiklah, saya bayar” Tegasnya.

 

Aku sangat terkejut mendengar kata-kata lelaki tua itu. Karena, biasanya aku mengangkut hasil bumi atau barang-barang kebutuhan pokok dari Cililin ke Cianjur hanya dibayar 200 ribu. Ini lima kali lipat. Gila, barangkali orang ini?

 

Kemudian, lelaki aneh itu mengeluarkan dua puluh lembar uang kertas pecahan lima puluh ribu rupiah bergambar pahlawan nasional Gusti Ngurah Rai. Dengan wajah dingin, uang satu juta rupiah itu diserahkannya kepadaku. Aku bimbang. Memang, aku sangat membutuhkan uang untuk menyambut datangnya si jabang bayi. Tapi, sepertinya ada yang aneh dengan transaksi ini.

 

Namun, akhirnya aku hanya bisa menggangguk lemah. Aku masuk ke dalam rumah, dan memberi tahu istriku bahwa aku akan berangkat membawa muatan itik ke daerah Sawahlega, Cianjur Selatan.

 

Istriku hanya mengangguk. la berpesan agar aku berhati-hati dalam mengemudikan Si Leunyay. Ketika aku kembali ke teras rumah, aku sangat terkejut karena kulihat di halaman, ribuan ekor itik sudah memasuki trukku. Cara naiknya mudah sekali. Seperti terbang! Sehingga, dalam sekejap bak truk pun sudah dipenuhi dengan itik.

 

“Ingat, Mang! Antarkan itik-itik ini ke daerah Sawahlega. Saya sendiri akan segera menyusul,” pesan lelaki itu.

 

Setelah berpesan, lelaki aneh itu ngeloyor dari hadapanku dan kemudian lenyap di balik pohon nangka yang tumbuh tak jauh dari rumahku.

 

Singkat cerita, truk pun meluncur dengan membawa itik-itik itu. Namun, sambil memegang kemudi, aku masih tak habis pikir. Siapa lelaki itu? Karena, selama puluhan tahun aku berdiam di Cililin, belum pernah melihat lelaki dengan hidung pesek dengan mata yang selalu berair. Ya, air mata yang warnanya merah seperti darah.

 

Aku juga merasa heran karena selama perjalanan tak ada seekor itik pun yang berbunyi. Padahal, biasanya kalau aku mengangkut itik, sepanjang jalan binatang itu tak henti-hentinya ribut.

 

Tiba di Cianjur bagian Selatan, malam sudah sangat larut. Daerah yang kulalui bagaikan berubah menjadi sejuta kegelapan. Di kejauhan terdengar burung hantu terus merintih. Hatiku kacau. Perasaan takut mulai merayapi batinku. Kadang-kadang kilat menggelagar di angkasa. Tapi tak ada hujan. Di antara kilat yang berapi itu nampak sebuah bintang yang memancarkan cahaya kekejaman. Entah bintang apa namanya. Namun hanya nampak sekejap, karena kembali kegelapan menyungkup bumi.

 

Sawahlega itu akhirnya terjamah juga oleh trukku yang kelelahan. Aku dan Si Leunyay memang sangat lelah. Perjalanan yang kutempuh terasa sangat jauh. Seolah aku pergi ke ujung dunia. Atau mungkin ke ujung langit yang tak bertepi.

 

Perlahan-lahan kubuka pintu belakang truk dengan maksud menurunkan muatanku. Namun, aku sangat terkejut. Karena yang keluar dari bak truk bukan itik melainkan tikus. Binatang-binatang penggerek itu keluar seolah berlomba adu cepat.

 

Aneh sekali! Tikus-tikus sebesar kelinci seperti bergelombang turun dari trukku. Tak ada habis-habisnya. Jumlahnya ribuan, puluhan ribu, atau mungkin juga jutaan ekor. Warna bulunya ada yang hitam, abu-abu, cokelat, putih keperak-perakan, dan ada juga yang warna biru kehijau-hijauan.

 

Mata binatang menakutkan itu warnanya merah membara bercampur cairan putih bening. Tapi, anehnya tak ada suara sedikitpun. Mereka berlomba menuju sawah yang padinya sedang menguning. Sawah itu cukup jauh dari trukku.

 

Namun, sebelum mencapai tanaman padi, tikus-tikus itu lenyap tak berbekas. Rasa takut kembali menjalar di hatiku. Kakiku terasa lemas tak mampu menopang tubuhku. Dan di ujung takutku, aku jatuh pingsan.

 

Aku tak tahu berapa lama aku tak sadarkan diri. Ketika mata kubuka, keheningan melingkupi bumi. Tak lama kemudian, sayup-sayup kudengar jeritan menyayat hati dari kejauhan, seolah-olah suara para arwah yang ingin keluar dari neraka. Burung hantu terdengar suaranya menyeramkan seperti nenek tua terkekeh-kekeh.

 

Dalam keadaan setengah sadar, kularikan trukku. Aku juga heran, mengapa aku dan Si Leunyay bisa sampai ke rumah dalam keadaan selamat. Padahal, aku mengemudikan trukku dengan kepala dipenuhi dengan bayangan tikus-tikus siluman.

 

Tiba di rumah yang pertama kulakukan adalah memeriksa uang yang diberikan oleh lelaki aneh itu untuk membayar sewa truk. Aku sering mendengar kalau seseorang diberi uang oleh hantu atau siluman, pasti uang kertas itu akan berubah menjadi daun kering.

 

Namun, ternyata uang itu masih utuh. Masih bergambar Gusti Ngurah Rai. Dan masih berupa uang kertas biasa. Aku termangu.

 

Beberapa hari kemudian, aku mendengar kabar bahwa puluhan hektar tanaman padi di Cianjur Selatan rusak dimangsa tikus. Sedangkan tikus tikus yang memangsa tanaman itu, lenyap tanpa bekas.

 

Uang kertas satu juta rupiah itu sampai saat ini masih kusimpan di kamarku. Aku tak mau membelanjakannya. Aku takut menjadi wadal siluman tikus.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here