Kisah Mistis: TULAH KERIS NAGA KIKIK

0
22

Kisah Mistis: TULAH KERIS NAGA KIKIK

Setelah menemukan sebilah keris kecil berornamen naga mengenakan mahkota di halaman belakang rumahnya, dan seketika keris yang dianggap usang itu menjadi berornamen blarak sineret, perlahan namun pasti, tubuhnya dipenuhi dengan sisik mirip ular.

 

Kisan ini Adit dapatkan dari Mas Prayit, sahabat pamannya, seminggu setelah wafatnya Paklik Harto. Dan Adit yang mukim di bilangan Yogyakarta, sengaja menuturkannya kepada Misteri dengan harapan agar peristiwa yang serupa tidak menimpa pada orang lain. Setahun lalu, tepatnya pada rentang 2014. Paklik (paman-Jw) Harto Basuki, yang lebih akrab disapa dengan Paklik Harto dan kebetulan sedang membetulkan pagar tembok rumahnya, tanpa sengaja menemukan sebilah keris kecil berornamen naga yang mengenakan mahkota. Menurut masyarakat yang mafhum menyatakan bahwa benda tersebut lebih dikenal dengan sebutan Naga Kikik (Naga Kecil-Jawa).

 

Paklik Harto yang pensiunan PNS dan lebih banyak menghabiskan waktunya hany untuk menata rumah tuanya, langsung menyimpan keris temuannya di sebuah kotak yang biasa ia pakai untuk manaruh berbagai perkakas. “Sebelum kubuatkan rangkanya, lebih baik disimpan di sini saja”, demikian gumamnya.

 

Saat itu juga, Mas Prayit, salah seorang tukang batu yang mengetahui langsung mengingatkan: “Maaf Paklik Harto, lebih baik disimpan di dalam. Ora Ilok (tidak pantas-Jawa)”.

 

“Tidak apa-apa, saya rasa keris itu hanya besi tua karena selama ini sudah tidak terawat sebagaimana mestinya, jawab Paklik Harto.

 

Mas Prayit hanya bisa menggelenggelengkan kepala sambil pamit pulang ke rumahnya dan bergumam: “Saya hanya takut kalau nantinya Paklik Harto kesiku (kena tulah-Jawa) karena menyimpan keris itu di tempat perkakas.”

 

Esoknya, pekerjaan memperbaiki tembok rumah pun selesai, dan Mas Prayit menerima upahnya. Hari itu, sampai dengan menerima upah ketika akan pulang, keduanya tidak membahas barang sedikit pun tentang keris yang kemarin diketemukan oleh Paklik Harto. Keduanya benar-benar tenggelam dalam kesibukannva masing-masing.

 

Seminggu setelah penemuan itu, karena tak punya kesibukan lain, maka, Paklik Harto pun mengambil keris temuannya. Sambil menimang-nimang, mendadak, ia pun tersenyum sendiri. “Ah … lebih baik kubuatkan rangka dan pendok dari kayu cendana, selanjutnya, kikir bagian bilahnya agar berubah menjadi blarak sineret,” gumamnya sendirian.

 

Tanpa menunggu berlama-lama, Paklik Harto pun langsung memotong kayu cendan yang sengaja dibawakan oleh Adit ketika ia kembali dari bertugas di Timor Timur. Kemudian, dengan tekun, Paklik Harto pun mulai mengukir bagian pendoknya dengan bentuk buta, sementara, pada wrangka-nya, diukir inisial dan tahun pembuatannya. 2014.

 

Tiga hari kemudian, selain rangka dan pendok, bilah keris pun sudah berubah.

 

Tak ada lagi ornamen naga, kecuali blarak sineret. Walau dikerjakan dengan peralatan apa adanya, sebuah kikir kecil, namun, bentuknya tampak demikian halus. Hal. itu merupakan bukti betapa Paklik Harto memang dikenal memiliki ketekunan dalam mengerjakan segala sesuatu.

 

Hari terus berganti, tanpa terasa, lima bulan sudah dua sahabat, Mas Prayit dan Paklik Harto tidak pernah saling bertemu. Maklum, Mas Prayit sedang sibuk mengerjakan pembangunan tiga rumah baru di daerah Bantul. Namun entah kenapa, hari itu, Mas Prayit merasa sangat ingin bertemu dengan Paklik Harto. Sebagaimana adat yang muda mengunjungi yang lebih tua, sebelum singgah, Mas Prayit sengaja membelikan beberapa potong penganan dan dua bungkus rokok Djarum 76 untuk Paklik Harto.

 

Setelah saling berbalas uluk salam dan menanyakan keadaan masing-masing, maka, kedua sahabat itupun langsung terlibat dalam pembicaraan yang hangat. Tak berapa lama kemudian, Mas Prayit yang sejak tadi memperhatikan Paklik Harto langsung saja bertanya dengan nada prihatin: “Mas … kulitmu kenapa, kok jadi begitu?”

 

Paklik Harto hanya tersenyum sambil membalas dan memperlihatkan kedua belah tangannya yang di sana-sini mulai memerah semacam terkena penyakit herpes. “Kalau malam aku suka sesak napas dan gatal. Jangan-jangan reaksi obat asma.”

 

“Sudah ke dokter?” tanya Mas Prayit semakin khawatir.

 

“Tidak perlu, nanti juga sembuh sendiri. Biasa, penyakit tua,” kilah Paklik Harto.

 

Tidak seperti biasanya, sekali ini, Mas Prayit dengan penuh rasa khawatir mendesak Paklik Harto untuk berkonsultasi dengan Romo Hadi, salah seorang sesepuh yang mukim di kampung itu. Seperti biasanya, Paklik Harto selalu menolak dengan halus. “Sudahlah … aku sudah tua, kalau toh harus kembali, aku bakal menyusul dan berkumoul dengan Mbakyu-mu di alam kelanggengan,” katanya.

 

Karena tak mampu membujuk Paklik Harto, ketika pamit pulang, Mas Prayit sengaja singgah di kediaman Romo Hadi. Setelah sejenak berbasa-basi, Mas Prayit pun menceritakan segala kekhawatirannya. “Baik … Saya akan membantu. Mudah-mudahan, Gusti Allah mengabulkannya,” demikian kata Romo Hadi, “Tunggu sebentar”, lanjutnya sambil berdiri dan masuk ke dalam kamarnya.

 

Tak lama kemudian, tampak Romo Hadi keluar dari kamarnya sambil membawa sebuah benda. Begitu duduk, terdengar suaranya lirih sambil mengangsurkan benda yang dibawanya: “Ya … Kangmas Harto kesiku (kena tulah). Ia telah merubah dengan paksa pamor yang ada di keris ini.”

 

“Oh …” hanya itu yang terlontar dari mulut Mas Prayit.

 

“Biar keris ini di sini dulu, nanti, kalau sudah ada warisnya akan saya berikan,” ujar Romo Hadi. “Sekarang, bawa garam ini dan masukkan ke dalam sumurnya dengan diamdiam. Mudah-mudahan, usaha kita diijabah Gusti Allah,” lanjutnya lagi.

 

Tanpa berlama-lama, setelah menghaturkan terima kasih yang tak terhingga, Mas Prayit pun mohon diri untuk segera melaksanakan apa yang dikatakan oleh Romo Hadi. Usai itu, baru ia kembali ke rumahnya.

 

Tujuh hari kemudian, lepas tengah malam tak seperti biasanya, udara di dalam terasa demikian panas, pengap, sehingga membuat Paklik Harto terpaksa keluar dan duduk di beranda. Beberapa kali ia menyapa petugas ronda yang lewat di depan rumahnya. Tapi entah kenapa, walau tubuhnya mulai terasa dingin, namun, kantuk tak juga datang.

 

Kala itu, Paklik Harto merasakan badannya demikian bugar.

 

Sebelum memukul tiang listrik sebanyak dua kali, Mas Dul pun sempat mengingatkan: “Kok belum istirahat Paklik, nanti sakit lho?”

 

Paklik Harto hanya tersenyum sambil mengangguk.

 

Tak lama kemudian, diiringi dengan kesiur angin yang demikian lembut, antara sadar dan tidak, Paklik Harto merasa didatangi oleh sesosok tubuh tinggi besar dan mengenakan pakaian serba hitam yang berkata, “Kisanak, kenapa engkau merusak tubuhku?”

 

“Maksud Kisanak?” Jawab Paklik Harto balas bertanya.

 

“Kalau saja bukan keturunan Eyang Taru, maka, engkau sudah kuhabisi Kisanak,” jawab sosok bertubuh tinggi besar itu. kemudian, ia pun menceritakan, bahwa keberadaannya di tanah itu tak lain karena perintah Eyang Taru untuk menjaga pekarangan serta keturunannya dari segala bentuk marabahaya.

 

Paklik Harto tak mampu berkata-kata, ia menyadari segala kesalahannya. Bahkan ia pun menyesal, sebab, semasa hidup, lebih mementingkan sekolah ketimbang belajar olah rasa sebagaimana buyutnya, Eyang Taru, sehingga mampu bersahabat dengan makhluk dari alam lain.

 

Anehnya, pengalaman mistik yang dialami oleh Paklik Harto tak hanya sekali. Namun, tiga malam secara berturut-turut. Mulanya, seperti biasa, Paklik Harto menganggap peristiwa itu hanya sebagai mimpi belaka. Namun pada malam yang ketiga, Paklik Harto yang selama ini tidak begitu mempercayai dunia mistik, diam-diam, mulai meyakini keberadaannya. Bahkan ia sangat mafhum, kenapa Eyang Taru sampai meminta kepada makhluk tersebut untuk menjaga pekarangan dan seluruh keturunannya dari segala marabahaya. Akhirnya, pada malam itu, dengan ikhlas dan legowo Paklik Harto pun mengutarakan permintaan maafnya.

 

Usai itu, Paklik Harto pun tersadar dan mahkluk tinggi besar itupun mengyap bagaikan asap sambil meninggalkan pesan: “Berikan tubuhku pada menantumu yang di Jakarta. Hanya ia yang bisa dan bersedia merawat tubuhku yang sudah rusak ini.”

 

Sejenak Paklik Harto termenung. Tak lama kemudian, ia pun masuk, berwudhu dan mendirikan salat malam.

 

Sebulan setelah itu, Paklik Harto pun kembali kehadirat-Nya dengan tenang. Ketika pemakaman, Mas Prayit menggamit tubuh Adit untuk menyampaikan pesan yang didengarnya dari Paklik Harto. Adit yang mafhum langsung saja mengajak Mas Bari, demikian nama menantu Paklik Harto untuk mengambil keris Naga Kikik yang mulanya ditemukan oleh mertuanya untuk disimpan.

 

Sampai sekarang, Mas Bari tetap menyimpan benda itu di tempat yang selayaknya sebagai penghormatan terhadap mertua sekaligus empu yang membuatnya. “Dengan disimpan di tempat yang layak, semoga, aku tidak terkena tulahnya sebagaimana mertuaku,” katanya kepada Adit sambil tertawa. Wallahu a’lam bissawab. ©️.


PENGOBATAN ALTERNATIF
"PONDOK RUQYAH"
(SOLUSI PASTI DI JALAN ILLAHI)

Kami Jasa Solusi Problem Hidup. Masalah Tuntas Tanpa Bertentangan dengan Hukum Agama dan Negara.

MACAM PROBLEM DALAM PELAYANAN KAMI:
Solusi Problem Asmara, Rumah Tangga, Back Up Karir, Back Up Usaha, Jual Beli, Aura Pemikat, Bersih Diri / Ruwat / Ruqyah / Buang Sial, dll.

KAMI TIDAK MELAYANI SEGALA HAL YANG MELANGGAR HUKUM AGAMA DAN NEGARA.
Contoh: Bank Gaib, Uang Balik, Harta Gaib, Pesugihan, Aborsi / Menggugurkan Kandungan, Perjudian / Togel / Judi Online, Mencelakakan Orang / Santet / Teluh, dll.

ALAMAT PONDOK RUQYAH:
Dusun Kasemen, No.50, RT.05, RW.03, Desa Wangkalkepuh, Kecamatan Gudo, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Kodepos 61463.
🌐 https://pondok-ruqyah.com/
☎️ +6285708371817

PERINGATAN!
Hati-hati dan waspada terhadap penipuan online yang mengatasnamakan kami. Diutamakan datang langsung ke alamat kami untuk menghindari segala hal negatif. Terimakasih.
DATANG DENGAN NIAT BAIK
TIDAK UNTUK KEJAHATAN!