Kisah Mistis: MISTIS DI RUMAH SAKIT

0
29

Kisah Mistis:
MISTIS DI RUMAH SAKIT

Namaku Ines, umurku 36 tahun. Kalau mau dibilang tinggi, apalagi langsing sih enggak juga. Tapi, biasanya kalau aku berdiri di antara kerumunan orang banyak, orang gampang mencari aku. Bukan! Bukan karena aku lebih tinggi dari mereka, tapi lebih karena aku nggak bisa tenang di tengah orang banyak. Makin banyak orang, makin sempit ruangan, makin banyak orang berebut oksigen. Itu membuatku sesak napas.

 

Aku fobia ruang sempit. Bahasa kerennya claustrophobia. Sebetulnya, aku tahu penyebabnya, dan seharusnya, kata dokter psikiatri, dengan pengetahuan itu, aku bisa menterapi diri sendiri. Namun, setelah mencoba berkali-kali, tetap saja nggak ada hasilnya. Pernah ada yang menyarankan untuk mencoba hipnoterapi, tapi Mama nggak setuju.

 

Waktu kecil, mungkin aku bukan anak manis yang penurut. Karena itu, aku sering dihukum dengan cara dikunci di dalam gudang yang gelap, yang letaknya di belakang rumah, atapnya tinggi, banyak debu… dan… apa aku tadi sudah bilang soal gelap??? Jadi, aku bukan hanya terkena claustrophobia, sekaligus nyctophobia atau fobia kegelapan.

 

Itu pun masih ditambah lagi waktu kecil dulu aku pernah nyaris kecebur sumur. Sumur itu entah berapa meter dalamnya, tapi dari atas memang tidak pernah terlihat dasarnya. Bibir sumur berdiameter kurang lebih 80 cm. Aku terjungkal ke dalamnya, untung beberapa teman cepat menangkap kakiku dan menariknya keluar dari sumur. Aku syok, di dalam tidak kelihatan apa-apa. Yang ada hanya gelap… GELAP.

 

Kejadian ini terjadi dua puluh tahun lalu di sebuah kota kecil. Pada suatu hari, Lulu, adikku yang bungsu diopname di rumah sakit. Beda dengan kota besar, yang di sana rumah sakit swasta menjamur, bahkan pada tahun itu sudah ada satu-dua buah rumah sakit internasional, di kota tempat tinggalku, rumah sakit terbaik adalah sebuah rumah sakit Katholik. Karena itu yang terbaik, maka sering penuh. Jadilah Lulu diopname di rumah sakit swasta yang lain.

 

Kamar rawat Lulu berisi dua tempat tidur, tapi yang satunya sedang kosong. Gordennya berwarna hijau terang membatasi antara dua tempat tidur. Karena salah satu kosong, gorden pun dibiarkan terbuka. Di samping tempat tidur, ada meja kecil dan kursi untuk pengunjung. Kamar mandi ada di dekat pintu masuk.

 

Malam pertama aku tertidur di kursi dengan kepala menelungkup ke tempat tidur Lulu. Itu bukan posisi yang nyaman, dan sebenarnya, juga aku bisa berbaring di tempat tidur yang kosong itu. Tapi, memikirkan bahwa malam-malam akan ada perawat yang masuk lalu salah pasang infus di lenganku…, aku memilih tidak melakukannya.

 

Kantuk yang amat sangat membawaku ke alam mimpi. Dalam mimpiku aku melihat seorang perempuan berpakaian serbaputih menepuk bahuku. Aku sempat terlonjak kaget, tapi senyuman perempuan itu segera mengusir pikiran-pikiran buruk yang sempat muncul. Wajahnya bersih dan rambutnya panjang terurai. Tatapannya lembut meski menyiratkan penderitaan. Perempuan itu mengulurkan sesuatu kepadaku.

 

“Mbak, saya titip surat ini buat dokter Lubis” katanya sambil menyerahkan amplop putih ukuran 10×5 cm.

 

Setelah menyerahkan sebuah amplop putih tersebut, perempuan itu menghilang. Aku mengucek-ucek mata karena pandangan merasa pandanganku buram. Perasaanku mengatakan bahwa baru saja ada orang berdiri di samping kiriku, sekarang ini sudah pergi. Apa yang salah?

 

Apa betul tadi itu cuma mimpi?

 

Ah…, mungkin sebaiknya aku keluar kamar untuk menghirup udara segar.

 

Sesuatu terjatuh menimpa kaki kananku saat aku mencoba berdiri, aku membungkuk untuk memungutnya, ternyata sebuah amplop. Amplop putih yang diberikan perempuan dalam mimpi tadi. Seperti ada sebuah selimut lembap dilempar dan menutup tubuhku, perutku terasa mulas.

 

Itu tadi mimpi apa bukan?

 

Aku berjalan keluar ke arah ruang perawat, mereka sedang berkumpul mengerumuni sesuatu, tak seorang pun menyadari kedatanganku. Aku berdehem untuk melongarkan tenggorokan karena rasanya sangat kering. Salah satu dari mereka mengangkat kepalanya dan tersenyum ramah.

 

“Ada martabak, Mbak, mau? Ini dari keluarga pasien kamar sebelah.”

 

Martabak? Apa aku kelihatan seperti orang kelaparan?

 

“Nggak usah, makasih, Sus, barusan yang masuk kamar adik saya siapa ya?”

 

”Barusan?” Mereka saling pandang lagi. Komunikasi nonverbal yang aku tidak tahu apa gunanya, toh yang menjawab perawat yang tadi juga, tidak ada perawat lain yang berpartisipasi. “Nggak ada, Mbak, sepi aja dari tadi.”

 

“Itu yang pake baju putih panjang. Dia nitip surat buat Dokter Lubis.” Aku mengangkat tanganku tinggitinggi supaya bisa melampaui meja counter tempat mereka berkerumun, lalu menyerahkan amplop yang dari tadi aku pegang.

 

Perawat itu sekali lagi berpandangan dengan temannya, menerima amplop itu dan mencoba tersenyum dengan susah payah. Aku jadi serbasalah, perawat itu sebenarnya bukan tersenyum, tebih mirip orang meringis kesakitan. Kenapa harus meringis begitu kalau cuma terima surat? Apa Dokter Lubis galak?

 

Ah, mimpi atau bukan, rasanya lega sudah menyampaikan amanat perempuan berbaju putih tadi. Biasanya, kalau orang nitip sesuatu dan tahu bahwa titipan sudah sampai, dia juga akan lega dan tidak akan bertanya-tanya lagi. Aku berbalik ke kamar Lulu. Sebaiknya, memilih nonton teve daripada tidur lagi. Lebih aman terjaga. Paling tidak, kalau ada yang seram, bisa lari.

 

Aku sedang memencet-mencet tombol remote teve, mencari acara musik yang lebih aman ditonton sendirian malam hari ketika sebuah suara yang sangat familiar masuk ke telingaku. Suaranya seperti air yang sedang mengalir, tapi di mana? Satu-satunya yang memungkinkan adalah kamar mandi.

 

Suaranya, itu seperti suara kran wastafel di kamar mandi menyala.

 

Aku melirik Lulu yang sedang tidur pulas, apa mungkin tadi dia ke kamar mandi dan lupa mematikan kran? Perlahan, aku melangkah ke kamar mandi, perlahan mendorong pintunya yang berat itu sampai terbuka. Pintu ini memang sangat berat, mungkin karena dari kayu dan sering tersiram air. Aku mengintip dari celah pintu yang terbuka separuh, dan… benar saja kran wastafel itu menyala. Tanpa berpikir panjang, aku meraih kran dan memutarnya ke kanan.

 

Nggak salah lagi, ini pasti Lulu yang penakut itu. Mungkin dia ke kamar mandi saat aku keluar tadi. Pasti dia lari keluar kamar mandi sampai lupa matiin kran.

 

Aku menutup pintu kamar mandi dengan hati-hati, takut membangunkan Lulu. Baru saja tiga langkah dari kamar mandi, terdengar suara kran wastafel itu lagi. Perasaanku mulai tak keruan. Antara takut dan marah, entah mana yang lebih dominan.

 

Aku masuk lagi ke kamar mandi, termangu memandangi kran yang belum lama aku matikan. Kok bisa-bisanya sekarang nyala lagi? Lama-lama, rumah sakit ini serem juga… apa mungkin ada pasien yang pernah mati di kamar ini? Tiba-tiba, aku merasakan bulu kudukku berdiri, sepertinya di dalam kamar mandi ini aku tidak sendirian. Aku merasa di dekat kloset itu, ada yang berdiri mengawasi. Dengan gerakan cepat, aku matikan sekali lagi kran wastafel itu lalu dengan penuh waspada berjalan mundur menuju pintu, membuka dengan hati-hati dan menutupnya kembali.

 

Rasanya sangat tertekan harus melewati malam ini di dalam kamar bersama Lulu yang terus-menerus tidur, mungkin karena pengaruh obat. Tapi, mau bagaimana? Membangunkan Lulu? Yang ada juga nanti malah merepotkan Lulu itu penakut, kalau ketakutan terus malah nggak sembuh-sembuh?

 

Beberapa saat ada yang berdebat di dalam kepalaku:

 

Bilang Lulu? Enggak? Bilang aja? Jangan!

 

Ah, mungkin sebaiknya aku sholat saja. Kata guru agama, setan badannya terasa panas terbakar mendengar doa-doa. Jadi, mudah-mudahan, dia pergi dan mencari korban yang lain. Tapi…, kan mesti masuk kamar mandi lagi untuk ambil air wudlu? Ah, setan mana berani sama orang yang sedang salat? Koreksi, belum sholat ya! Baru mau ambil air wudlu!

 

Arrrgh….

 

Dengan hati-hati, aku membuka pintu kamar mandi perlahan, masih seperti tadi, lantai kering… wastafel sudah tidak menyala lagi krannya. Ya kan? Sudah pergi dia! Aku mulai membasuh kedua tangan tiga kali, berkumur tiga kali, membasuh wajah tiga kali, lalu mencuci tangan sampai siku, lalu kepala dan telinga. Sampai giliran membasuh kaki…, ekor mataku menangkap kelebat hitam di sebelah kiri. Aku cepat-cepat menyudahi kegiatan wudhu ini dan keluar kamar mandi tanpa mengeringkan tangan, kaki, dan wajah. Yang ada dalam pikiranku cuma satu, cepat-cepat sholat. Setan pasti takut pada manusia yang sedang berdoa.

 

Sambil berjongkok, aku meraba laci bagian bawah dari lemari kecil di samping tempat tidur Lulu untuk mengambil mukena. Tanganku menyentuh kain yang lunak dan aku menariknya keluar. Mukena two pieces itu terlipat rapi di depanku dan perlahan aku mulai mengenakan bagian bawahnya. Aku baru sadar, kok tasbih yang biasanya ada tda ada dalam mukena lagi, aku merogoh laci paling bawah, tapi tasbih tidak ada. Aku coba mencarinya di laci kedua, juga tidak ada tasbih. Lalu taci pertama, meskipun aku tidak yakin karena laci pertama isinya cuma obat dan buku kecil beserta bolpoinnya. Tetap saja tasbih itu tidak ada di mana-mana.

 

Aku merasa ada tepukan lembut di bahuku. Ah Lulu bangun juga akhirnya. Saat akan menoleh ke belakang, kepalaku terhalang tangan yang terulur berisi tasbih yang dari tadi aku cari-cari. Rupanya, Lulu yang ambil.

 

Hm… baguslah kalau dia rajin dzikir. Aku mengambil tasbih itu dan bangkit berdiri untuk mulai sholat. Dari tempatku berdiri aku tertegun, Lulu masih tertidur lelap dan tidak bergerak sama sekali.

 

Tasbih tadi? Rasanya, bukan dari Lulu.

 

Masa iya dia bisa cepat kembali tertidur seperti itu?

 

Lalu kalau bukan Lulu siapa? Ah, sudahlah!

 

Akhirnya, aku salat tanpa bisa konsentrasi. Beberapa kali salah bacaan doa, kebanyakan rakaat, keburu duduk dan lain-lain. Aku baru berhasil melakukan sholat dengan benar pada percobaan yang ke enam. Untuk menenangkan hati, aku lalu melanjutkan dengan dzikir sampai tertidur di atas sajadah.

 

Dalam keadaan antara tidur dan terjaga itu, aku bermimpi lagi. Di ambang pintu kamar, Lulu berdiri perempuan berpakaian putih dengan rambut panjang yang terurai rapi. Ya! Itu perempuan yang menitipkan surat untuk Dokter Lubis tadi. Kakiku jadi gemetar, sekarang aku tahu kalau sejak awal ini bukan sekadar mimpi biasa. Aku ingin bangun dan berlari keluar kamar mengakhiri ini semua. Tapi, kakiku yang gemetar ini rasanya juga lemas. Susah sekali digerakkan, sepertinya sudah dicor menyatu dengan lantai kamar. Perempuan itu memandangiku sambil tersenyum, seolah-olah dia bilang “jangan takut”. Tapi, aku tetap takut.

 

“Aku sudah titipkan suratnya ke perawat,” aku mencoba memecahkan ketegangan hatiku sendiri. Perempuan itu menggelengkan kepalanya.

 

“Bener kok, tadi pukul… aduh pukul berapa ya?” Aku mulai panik, kenapa dia nggak mau percaya? “Aku lupa jamnya, tapi aku tadi ke ruang perawat dan sudah menitipkan surat itu.”

 

Ayo dong… percaya… aku jarang bohong kok….

 

Lagi-lagi, perempuan itu menggelengkan kepalanya. Rasa panik mulai menyergapku, dan tiba-tiba sadar. Ini mimpi kan? Kalau aku bangun, pasti semuanya selesai. Aku membuka mata, tapi kelopak mata atas rasanya sangat berat. Aku coba menggerakkan jari telunjuk, tapi juga tidak berhasil. Aduh… bagaimana ini? Kalau kelopak mata dan jari saja sulit, bagaimana menggerakkan yang lain? Atau mungkin aku bisa menjatuhkan diri?

 

Aku mencoba beberapa kali menggulingkan badan ke kanan atau ke kiri tanpa hasil. Sementara perempuan itu masih saja berdiri di ambang pintu. Aku mulai putus asa.

 

Samar-samar, dari jauh, aku dengar suara lonceng yang panjang dan berulang-ulang. Lalu, badanku seperti diguncang-guncang. Waktu membuka mata, aku lihat langit sudah terang, terlihat dari jendela yang dibuka gordennya. Seorang perawat sibuk memandikan Lulu.

 

“Ketiduran ya, Mbak?” sapa perawat itu lembut. Itu salah satu dari para perawat yang semalam aku hampiri. Aku jadi malu, tidak tahu harus menjawab apa. Bayangkan, dengan masih mengenakan mukena, aku tertidur di sajadah sampai pagi.

 

Sambil melepas mukena dan membereskan sajadah, aku memikirkan mimpi semalam. Perempuan itu menggelengkan kepala setiap kali aku bilang kalau suratnya sudah aku berikan, apa maksudnya? Dia tidak percaya aku sudah menyampaikan suratnya?

 

Oh, iya! Aku baru ingat, surat itu kan untuk Dokter Lubis?

 

“Sus, Dokter Lubis nanti waktu berkunjung pukul berapa?”

 

“Sebentar lagi, Mbak, pukul enam.”

 

Cepat-cepat, aku berlari ke ruang perawat, memaksa meminta lagi surat yang aku titipkan semalam. Mereka memandangiku seolah aku baru turun dari piring terbang. Seorang perawat malah berbisik ke teman di sebelahnya. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi dari ekspresi wajahnya, sepertinya mereka menganggap aku kurang kerjaan atau malah gila.

 

Dokter Lubis datang pukul 6:12 versi jam di ponselku. Beliau memeriksa Lulu, lalu menuliskan sesuatu di kartu status pasien. Aku tadi sudah berpesan kepada suster yang mengikutinya itu kalau aku mau bicara sebentar. Dari belakang, dokter ini tampak tegap. Tinggi badannya mungkin seratus delapan puluhan, posturnya bagus? dan perutnya tidak buncit di usianya yang kata Papa hampir 60 tahun. Dokter Lubis adalah langganan kantor Papa. Rambutnya sudah memutih, tampaknya dia bukan penggemar cat rambut. Tapi, itu justru memberi kesan berwibawa dan berpengalaman.

 

Tiba-tiba, Dokter Lubis membalikkan badannya dan mengagetkan aku yang sedang diam-diam mengamatinya dari belakang.

 

“Adiknya baik-baik aja kok, kalau kondisinya stabil dua hari lagi boleh pulang.”

 

“Tapi, Dok…” Dokter Lubis memotong kalimatku dengan sentuhan lembut di pundakku.

 

“Nggak usah khawatir, yang tempo hari kita duga ternyata salah.”

 

“Bukan itu, Dok, saya boleh bicara sebentar.“ Aku sengaja berhenti sebentar, kata pakar komunikasi itu gunanya untuk memberi tekanan bahwa yag mau aku katakan memang penting. “Kalau bisa, di ruangan dokter aja,” lanjutku.

 

Dokter Lubis menangguk meskipun kelihatan heran. Aku membayangkan kalau jadi dia, ada anak umur 16 tahun sok penting mengajak bicara empat mata. Aku sendiri pun akan bereaksi sama, malah lebih parah lagi aku tidak akan meladeninya. Jadi, dokter ini cukup baik hati dan bijaksana. Aku akan mencatat dalam hati, kelak aku akan meniru sikapnya dalam menghadapi situasi seperti ini.

 

Aku mengikuti langkah Dokter Lubis beserta susternya itu dari belakang. Di depan sebuah pintu, dokter itu menyuruh susternya pergi sebentar, tersenyum padaku, lalu mengajakku duduk di ruang kerjanya.

 

“Begini, Dok, semalam ada pasien dokter yang titip surat ini.”

 

Dokter Lubis menerima amplop putih itu dan langsung membukanya. Keningnya berkerut-kerut, matanya berganti-ganti memandangi surat itu dan aku.

 

Memangnya, apa isi surat itu?

 

“Kamu dapat dari mana surat ini?”

 

Aku pun mengulangi cerita yang sama, persis yang aku ceritakan pada suster-suster semalam. Dokter Lubis dengan sabar mendengar ceritaku, dan sepertinya dia juga tidak ingin menertawakan aku. Kalau begitu, aku masih tergolong normal, tidak mengada-ada. Atau…, mugkin, menurut dokter ini justru sebaliknya?

 

“Kamu tahu siapa orang ini?”

 

Aku cuma bisa menggelengkan kepala. Tahu dari mana?

 

“Ibu Mira ini sudah koma selama delapan bulan. Sejak kecelakaan lalu lintas yang menimpanya, beliau tidak pernah sadar kembali.”

 

Jadi…, dia juga tidak mungkin jalan-jalan ke kamar Lulu memberikan amplop ini?

 

“Tapi, Dok, dia muncul tiga kali dalam mimpi saya dalam satu malam….” Aku tak mau dibilang pembohong. Lagian, surat itu kan buktinya?

 

“Ayo, ikut saya. Saya ingin tahu apa yang datang dalam mimpi kamu adalah orang yang sama.”

 

Lalu, kami pun pergi ke ruang ICU. Aku harus berganti pakaian steril begitu juga Dokter Lubis dan seorang suster lain yang berjaga di sana. Setelah itu, aku melepas sepatu berganti dengan sandal yang juga steril.

 

Di atas tempat tidur, terbujur sosok Ibu Mira. Semuanya persis dengan yang hadir dalam mimpiku kecuali selang oksigen yang sekarang menancap ke dalam hidungnya serta kabel infus, kateter, dan entah apa lagi. Wajahnya sama bersihnya dan rambutnya juga sama.

 

“Apakah ibu ini yang kamu maksud?” Dokter Lubis berdiri di sisi kanan tempat tidur, dengan tangan kirinya dia menunjuk ke wajah Ibu Mira.

 

Aku mengangguk bingung, bagaimana mesti meyakinkan doter kalau surat itu asli bukan tulisan tangannya. Lagian, aku mana tahu ada pasien koma yang ingin menulis surat? Dokter Lubis berbicara dengan nada rendah pada suster tadi, lalu suster itu meninggalkan ruangan. Sesaat kemudian, suster itu masuk lagi sambil memberi laporan kalau sebentar lagi orangnya datang ke sini.

 

Siapa yang datang?

 

Aku ingin memastikan sekali lagi bahwa aku tidak salah mengenali wajah Ibu Mira. Aku mendekat di sisi kiri tempat tidur, tanganku memegang pinggiran tempat tidur, lalu membungkuk untuk melihat wajahnya lebih dekat. Tiba-tiba, aku terkesiap dan tanpa sadar mengeluarkan jeritan kaget. Dokter Lubis dan susternya serentak menoleh ke arahku. Suster itu menarikku menjauh dari tempat tidur sambil bertanya, “ada apa tadi?”

 

“Sus, Bu Mira… Bu Mira… tadi… tadi… tangannya mencengkeram tangan saya… terus… bibirnya… Bib… bib… bibirrnyyya… tersenyum.”

 

Suster itu meninggalkanku, lalu berbisik ke Dokter Lubis. Selanjutnya adalah serangkaian kejadian yang aku tidak mengerti. Dokter Lubis memeriksa denyut nadi Ibu Mira, lalu memeriksa perempuan itudengan stetoskopnya. Aku keluar dari kamar dan berlari kembali ke kamar Lulu masih dengan baju steril berwarna hijau pastel itu.

 

Mungkin hampir setengah jam aku duduk berdiam diri di bangku yang ada di luar kamar Lulu. Aku bingung mengurutkan kejadian terkait Ibu Mira sejak tadi malam. Aku benar-benar tidak tahu apakah orang bisa pura-pura koma tanpa dokter tahu. Mau bertanya rasanya juga nggak bakalan ada jawabnya. Tapi, tekateki ini bagaimana menjawabnya?

 

Tahu-tahu, Dokter Lubis sudah berdiri di depanku. Pasti karena aku tenggelam dalam lamunan teka-teki sampai tidak mendengar langkah orang datang.

 

“Ines, kamu pulang aja sekarang. Nanti saya bicara dengan papa kamu supaya yang jaga Lulu mamamu saja ya? Mungkin kamu kurang tidur.”

 

Aku lagi-lagi cuma bisa mengangguk. Pasti sulit bagi orang seumuran dokter ini untuk percaya bahwa apa yang aku ceritakan semuanya benar.

 

Tiga hari kemudian, Lulu sudah pulang. Sejak kejadian itu, aku memang sama sekali tidak diizinkan ke rumah sakit. Jadi, baru bisa melihat Lulu saat dia turun dari mobil sepulang dari rumah sakit. Hari ini, aku bisa menagih janji Mama untuk menceritakan isi surat misterius itu. Kemarin-kemarin kalau aku tanya, Mama selalu bilang, “Tunggu Lulu pulang.”

 

Aku mengikuti mama ke kamar Lulu sambil berharap mama ingat janjinya. Selama tanda tanya itu masih menggantung, aku tak pernah bisa tidur nyenyak, aku takut mimpi Ibu Mira lagi. Mama yang melihatku cuma berdiri di pintu akhirnya menyeretku ke ruang makan.

 

Ternyata, isi surat Bu Mira itu adalah dia ingin mati! Ibu Mira minta tolong Dokter Lubis melepas semua life support yang menancap di tubuhnya, sudah lelah, katanya. Kalau nanti ternyata keluarganya tidak setuju, Dokter Lubis diminta menunjukkan surat itu.

 

Hah, mana bisa begitu? Sementara surat itu saja masih diragukan datangnya dari mana? Barangkali aku malah jadi tersangka pemalsuan tulisan dan tanda tangan!

 

Seperti membaca pikiranku, Mama tersenyum “Tulisan di surat itu sudah dikonfirmasi suami Ibu Mira, Nes, itu memang tulisan Ibu Mira.” Entah kenapa, penjelasan itu malah membuat aku merinding ketimbang lega. Bagaimana mungkin orang yang sedang koma mencari kertas dan bolpoin, lalu menulis surat, setelah itu berkeliling ke rumah sakit mencari kurir….

 

”Sudahlah, hal-hal yang kita nggak ngerti, nggak usah dipikirin. Itu kan di luar batas logika,” kata Mama sambil membelai kepalaku. Benar juga sih… bagaimana Caranya mencari logika atas kejadian seperti itu?

 

“Terus, alat-alat bantu Ibu Mira jadi dicabut, Bu?”

 

“Nggak, Nes, ilmu kedokteran kan nggak bisa mencari pembenarnya. Kecuali, itu permintaan keluarga.”

 

“Terus, Ibu Mira nanti nyari aku lagi dong, Ma? Kan tempo hari waktu suratnya aku kasih suster, dia datang lagi.” Terus terang, aku ngeri. Aku tidak mau kalau sepanjang Ibu Mira hidup aku dijadikan kurirnya.

 

“Jangan khawatir, yang diminta dari kamu kan cuma antar surat itu ke Dokter Lubis, dan itu sudah selesai kan?”

 

Aku memeluk Mama, lega rasanya bisa terlepas dari masalah aneh ini. Di balik punggung Mama, ada jendela menghadap ke taman samping. Samar-samar, aku melihat ada bayangan orang berdiri di luar jendela. Sebelumnya, pandanganku tidak begitu jelas karena terhalang Mama yang duduk di depanku. Dengan posisi memeluk Mama sekarang, aku bisa langsung melihat ke jendela itu.

 

Astaga….

 

Bu Mira berdiri di luar jendela, wajahnya masih saja bersih seperti dalam mimpiku, bibirnya tersenyum ke arahku.

 

Tidaaaaaaakk….


PENGOBATAN ALTERNATIF
"PONDOK RUQYAH"
(SOLUSI PASTI DI JALAN ILLAHI)

Kami Jasa Solusi Problem Hidup. Masalah Tuntas Tanpa Bertentangan dengan Hukum Agama dan Negara.

MACAM PROBLEM DALAM PELAYANAN KAMI:
Solusi Problem Asmara, Rumah Tangga, Back Up Karir, Back Up Usaha, Jual Beli, Aura Pemikat, Bersih Diri / Ruwat / Ruqyah / Buang Sial, dll.

KAMI TIDAK MELAYANI SEGALA HAL YANG MELANGGAR HUKUM AGAMA DAN NEGARA.
Contoh: Bank Gaib, Uang Balik, Harta Gaib, Pesugihan, Aborsi / Menggugurkan Kandungan, Perjudian / Togel / Judi Online, Mencelakakan Orang / Santet / Teluh, dll.

ALAMAT PONDOK RUQYAH:
Dusun Kasemen, No.50, RT.05, RW.03, Desa Wangkalkepuh, Kecamatan Gudo, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Kodepos 61463.
🌐 https://pondok-ruqyah.com/
☎️ +6285708371817

PERINGATAN!
Hati-hati dan waspada terhadap penipuan online yang mengatasnamakan kami. Diutamakan datang langsung ke alamat kami untuk menghindari segala hal negatif. Terimakasih.
DATANG DENGAN NIAT BAIK
TIDAK UNTUK KEJAHATAN!