Kisah Mistis: MANDUNG, RITUAL KEMATIAN DARI DAYAK
KETIKA SEORANG DAYAK MENINGGAL, MAKA, KELUARGANYA MELAKUKAN UPACARA BALIAN TANTULAK MATEI, KEMUDIAN ACARA TIWAH, DENGAN MAKSUD AGAR ROHNYA DAPAT LANGSUNG MASUK SORGALOKA TANPA HARUS MENUNGGU PENGADILAN TERAKHIR ATAU HARI KIAMAT…
RITUAL Mandung merupakan salah satu rangkaian ritual kematian sebelum dilaksanakan Tiwah, Sedangkan upacara Tiwah merupakan upacara terakhir pada prosesi kematian Hindu Kaharingan yang akan menjadi penyempurna bagi pengantaran arwah menuju Sorgaloka. Tiwah ini mirip dengan upacara ngaben di Bali.
Ritual ini biasanya diawali dengan tari-tarian ritmis mengikuti tetabuhan ketabung atau kendang kecil mirip tifa. Pemimpin tari-tarian ini disebut Basie atau beberapa suku dayak lainnya menyebutnya sebagai Basir. Gerakan ritmis itu secara bertahap berubah menjadi tak terkontrol, liukan tubuhnya melambai-lambai ringan dan terlihat luwes seolah hendak terbang. Tubuh itu terus meliuk-liuk mengelilingi pandung, tempat sesaji dipusatkan.
Basie dan kadang juga beberapa orang yang ikut serta akan mengalami trance (kesurupan) hingga menyebabkan tubuhnya menari-nari dengan sendirinya. Tugas basie sebagai pimpinan upacara agama atau imam dalam agama Hindu Kaharingan adalah mengantarkan arwah orang-orang yang meninggal menjuju ke kesempurnaan, berpisah dengan keluarganya di Bumi menuju Sorgaloka atau Lewu Tatau.
Biasanya para basie ini diundang secara khusus untuk melaksanakan hajat Mandung, yaitu upacara kematian khas Dayak Siang Murung dan Dayak Punan di desa Tumbang Topus, Kecamatan Sumber Barito, Kabupaten Murung Jaya, Kalimantan Tengah (Kalteng).
Gerakan-gerakan yang seperti tak terkontrol tadi sebenarnya adalah proses penuh konsentrasi untuk memanggil Sangiang, yaitu roh-roh leluhur. Sambil tetap mengitari pandung, sesekali basie tadi mengambil minuman anding, yaitu minuman tradisional khas pedalaman untuk menyembuhkan orang atau basie lain dari pengaruh kesurupan. Berbagai sesaji dihampar di sekitar pandung tersebut, mulai dari hewan korban seperti babi, ayam, hingga berbagai sesajl lainnya. Warga satu desa pun turut mengitari pandung tersebut guna menyaksikan ritual mengantar roh menuju Sorgaloka.
Pada sutu kesempatan, basie akan mengambil tembakau yang sudah dirajang halus. Tak seperti biasanya, tembakau tersebut digulung dalam daun sirih, lantas dibakar layaknya orang menghisap rokok. Uniknya meski menggunakan daun sirih yang masih hijau, tembakau itu juga terbakar dan asap tebal mengepul dari basie sambil terus melafalkan mantra-mantra khusus. Asap dari tembakau tersebut ternyata adalah sebuah sesaji untuk mengantar arwah dalam ritual Mandung.
Puncak ritual dilakukan dengan menyembelih babi sebagai hewan persembahan. Darah babi kemudian digunakan untuk mencuci boneka yang menjadi simbol orang yang akan menjalani Mandung. Darah itu kemudian juga digunakan anggota keluarga yang masih hidup untuk syarat mandi guna melepaskan segala keterikatan dengan sang arwah.
pada tahapan ini, kadang terjadi hal-hal yang istimewa. Karena pada tahapan ini basie akan menyampaikan ramalannya pada pemilik hajat. Keunikan dari acara ini adalah media ramal yang dipakai oleh basie bukan bola kristal, atau bejana berair, melainkan dari hati babi korban yang telah disembelih. Meski terkesan sangat sederhana, namun ramalan atau prediksi para basie dengan hati tersebut terkenal sangat tokcer. Dengan ramalan itu, orang dayak bisa bersiasat dengan masa depannya.
Walaupun ritual Mandung bukan tahapan akhir upacara kematian, tapi menurut kepercayaan, dengan penyelenggaraan ritual ini, arwah yang meninggal sudah memiliki jalan lapang menuju Lewu Tatau Je dia Rumpang Tulang, Rundung Raja Isen Kamalesu Uhate, yaitu tempat yang mahamulia yang disedikan Tuhan. Dan tiwah diyakini untuk lebih menyempurnakan jalan lapang tersebut.
Biasanya upacara mandung digelar selama lima hari lima malam. Setiap harinya sang basie terus menerus melantunkan mantra-mantra dalam bahasa Sangiang, yang hanya dimengerti oleh orang tertentu. Siang malam, Warga satu desa juga turut menari-nari mengelilingi pandung untuk ikut menyemarakan upacara.
Menurut antropolog Marko Mahin tujuan akhir dari rangkaian upacara kematian Dayak Kaharingan adalah untuk menyatukan tiga unsur penyusun manusia. enganut Dayak Kaharingan menyakini, apabila manusia mati, maka rohnya akan terbagi menjadi tiga unsur.
Unsur pertama adalah Salumpuk teras liau atau penyelumpuk jau, utama hidup ada saat meninggal langsung yang menghidupkan manusia, yang ada adalah kembali ke Ranying Mahatala, Langit Sang pencipta.
Unsur kedua Liau balawang panjang ganan bereng, yaitu roh dalam tubuh yang dalam upacara balian tantulak Ambun Rutas matei diantar menuju Lewu Balo Indu Rangkang Penyang.
Unsur ketiga adalah Liau karahang tulang, silu, tuntang balau, yaitu roh yang mendiami tulang, kuku, dan rambut. Pada saat mati, roh kini tinggal di dalam peti mati. Tiwah merupakan acara terakhir untuk menyatukan kembali ketiga roh tadi dan mengantarkannya ke Sorgaloka atau Lewu Tatau, tutur Marko seraya meluruskan anggapan tiwah bukanlah upacara bagi roh leluhur yang bergentayangan. Tiwah, menurut Marko, merupakan upacara suci mengantar roh keluarga yang meninggal menuju Sorgaloka, dan tak ada kaitannya dengan memanggil roh-roh leluhur untuk keperluan lainnya.
Dalam upacara kematian roh-roh leluhur atau Sangiang Utama yang dipanggil ada dua, yaitu Sangiang Duhung Mama Tandang-Langkah Sawang Mama Bangai dan Rawang Tempon Telu. Kedua Sangiang utusan Tuhan itu turun untuk melepaskan pali atau tabu dari pribadi atau keluarga atau desa yang melaksanakan upacara. Melepaskan pali juga untuk membebaskan orang yang mati dari kesalahan selama dia hidup.
Penganut Hindu Kaharingan tidak mengenal teologi hari kiamat dan konsepsi pengadilan terakhir. “Ketika seorang Dayak meninggal, maka, keluarganya melakukan upacara Balian Tantulak Matei, kemudian acara tiwah, hingga rohnya dapat langsung masuk Sorgaloka tanpa harus menunggu pengadilan terakhir atau hari kiamat” papar Marko.
Dibandingkan dengan Dayak di Kalimantan Selatan, Dayak di Kalimantan Tengah memang memiliki banyak ritual kematian. Sebaliknya, Dayak di Kalimantan Selatan lebih mementingkan ritual-ritual dalam penyelenggaraan kehidupan di dunia, seperti ritual Aruh yang digelar tiga kali dalam setahun untuk mengawali menanam padi, memelihara padi yang tumbuh, dan mensyukuri hasil panen.
Dayak di Kalimantan Tengah juga memiliki banyak versi upacara kematian. Dayak Ngaju di tepi Sungai Kahayan, misalnya menyebut upacara kematian terakhir sebagai tiwah. Dayak di tepi Sungai Barito seperti Barito Utara menyebutnya sebagai Wara. Namun ada juga yang menyebutnya sebagai Ijambeh bagi Dayak di Barito Timur Wallahu a’lam bissawab. Wassalamualaikum ©️.

Kami Jasa Solusi Problem Hidup. Masalah Tuntas Tanpa Bertentangan dengan Hukum Agama dan Negara.
MACAM PROBLEM DALAM PELAYANAN KAMI:
Solusi Problem Asmara, Rumah Tangga, Back Up Karir, Back Up Usaha, Jual Beli, Aura Pemikat, Bersih Diri / Ruwat / Ruqyah / Buang Sial, dll.
KAMI TIDAK MELAYANI SEGALA HAL YANG MELANGGAR HUKUM AGAMA DAN NEGARA.
Contoh: Bank Gaib, Uang Balik, Harta Gaib, Pesugihan, Aborsi / Menggugurkan Kandungan, Perjudian / Togel / Judi Online, Mencelakakan Orang / Santet / Teluh, dll.
ALAMAT PONDOK RUQYAH:
Dusun Kasemen, No.50, RT.05, RW.03, Desa Wangkalkepuh, Kecamatan Gudo, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Kodepos 61463.
🌐 https://pondok-ruqyah.com/
☎️ +6285708371817
PERINGATAN!
Hati-hati dan waspada terhadap penipuan online yang mengatasnamakan kami. Diutamakan datang langsung ke alamat kami untuk menghindari segala hal negatif. Terimakasih.
DATANG DENGAN NIAT BAIK
TIDAK UNTUK KEJAHATAN!