Kisah Mistis: JUMPA ARWAH SUAMI DI GOA KERAMAT

0
19

Kisah Mistis: JUMPA ARWAH SUAMI DI GOA KERAMAT

Alam di sekitarku gelap. Aku masuk sebuah ruang yang nyaris hampa udara. Tidak ada suara, tidak ada cahaya. Tanpa ada warna dan tanpa ada bebauan bunga. Wilayah itu masih aku kenali. Daerah Parang Kusumo, Parang Tritis, Yogyakarta Selatan. Goa? Ya, sebuah goa yang sangat dalam dan terjal. Tapi aku harus masuk di kedalaman goa itu.

Walau, tanpa pembimbing dan tanda juru kunci menemani.

 

Tuhan, hanya kepada Tuhan, Allah Yang Maha Kuasa aku berlindung. Meminta keselamatan dan petunjukNya. Pada goa keramat, sesuatu goa yang wingit, tempat para penganut supramistika bersemedi. Daerah yang bukan asing walau terasa asing bagiku. Ya, daerah yang bukan baru aku kenal dan sangat lama aku kenal. Goa Keramat, Goa Parang Endok, Goa Parang Kusumo dan banyak nama lagi. Namun, hanya satu inilah, goa paling angker sejagat. Goa yang dihuni banyak demit, hantu, wewe gombel dan kuntilanak. Tapi, semua kengerian itu harus aku halau dan aku harus mendapatkan apa yang aku cari di daerah itu.

 

Dulu, ketika aku kuliah di Akademi Keuangan dan Bank, AKB Timoho, Yogyakarta, aku pernah jalan dengan kekasihku ke sini. Kini, kekasihku itu menjadi suamiku dan setahun lalu meninggal karena kecelakaan pesawat Scuba Air di Chili, Amerika Selatan. Kami tidak mendapatkan anak maka itu aku dikenal sebagai janda tanpa anak. Istilahnya, janda tunggal.

 

Mengapa aku datang dan masuk goa angker ini? Panjang ceritanya. Sebaiknya aku ceritakan dulu tentang Abdul Gani Umar, suamiku. Pada tanggal 12 Mei 1979 hari Jum’at, kami main ke Parang Tritis. Sebagaimana yang diketahui, daerah pantai selatan ini menjadi tempat kesukaan mahasiswa berpacaran. Menikmati laut, main ombak, mengolah pasir di pinggir pantai. Tetapi, kami berbeda kala itu. Kami tidak ke pantai Parang Tritis, tapi ke goa angker yang konon banyak hantunya.

 

Kalah itu saya ketakutan. Goa ini berada di tengah hutan sepi. Jauh dari kampung dan penduduk. Aku dan Mas Gani Umar, kakak kelasku, mencoba mendekati goa. Kala itu senja merangkak petang. Matahari sudah menuju sunset, akan tenggelam di ufuk barat. Goa itu berada di atas Bukit Karang, kurang lebih delapan ratus meter dari Parang Tritis. Matahari kelihatan memerah dan burung laut hilir mudik di atas kepala kami.

 

Pada saat itu kami dikejutkan oleh bayangan gelap di balik pohon tua. Pohon mahoni umur ratusan tahun. Bayangan itu mengintip di balik pohon dan mirip kepala manusia namun tanpa kaki.

 

“Apaan itu Mas?” teriakku, sambil berpegangan tangan dengan Mas Abdul Gani Umar.

 

“Ya, mungkin makhluk gaib penghuni mulut goa ini,” desis Mas Abdul Gani Umar, sambil memeluk bahuku.

 

Karena takut yang teramat sangat, aku memeluk erat Mas Abdul Gani Umar. Sementara wajah misterius itu menghilang di kedalaman hutan belukar bawah mahoni.

 

“Cepat Mas, kita pulang aja. Saya takut!” pintaku, dengan bibir gemetar.

 

“Ayo, buruan, kita pulang,” kata Mas Abdul Gani Umar, sambal membalikkan badan dan kami berlari kencang menuju mobil kami yang terparkir dua ratus meter di lereng bukit.

 

Mobil segera dinyalakan mesin dan mogok. Mas Gani segera membuka kap mesin dan mencari sumber masalah. Ternyata selang karburator terlepas, bensin tumpah dan berbau tajam.

 

“Lha, siapa yang melepaskan selang bensin ke karburator ini?” Pekik Mas Gani.

 

“Aku yang melepaskannya, mau apa kalian?” Teriak kepala yang kami lihat di balik pohon mahoni tadi. kepala dengan mata sebesar bola bolong dan empat gigi taring di mulutnya.

 

“Allahu Akbar,” kataku. Mas Gani segera menutup kap mesin dan menstarter mobil. Alhamdulillah mesin menyala dan mobil mundur lalu maju berlari. Tetapi, kami tidak tau lagi kemana kepala misterius itu. Mungkinkah dia kembali ke hutan, atau, jangan-jangan ada di belakang Toyota kijang yang kami naiki. Aku segera melihat ke jok belakang. Syukurlah, dia tidak ada di situ.

 

Mobil berlari menuju imogiri kemudian melesat ke Yogyakarta. Sesampainya di Jalan Brigjen Katamso, THR, mesin mobil mati lagi. Mogok lagi dan ditepikan ke sebuah toko boneka. Aku mendekati penjaga toko dan minta maaf numpang parkir sebentar mau membetulkan mobil kami yang mogok. Penjaga memperbolehkan dan dengan ramah dia malah mendekati mobil. Dia Nampak mengerti mesin dan tau kerusakan yang sedang dihadapi. Maka itu, pada saat Mas Gani membuka kap mesin, dia ikut memperhatikan.

 

“Lha itu ada selang bensin yang terbuka, bensinnya ngucur tuh?” Desisnya. Selang kembali dimasukkan oleh Mas Gani dan pria penjaga toko boneka itu berteriak.

 

“Itu di bawah mesin ada kepala, siapa itu, makhluk apa itu?” teriaknya. Kala itu jam di tangan menunjuk angka sembilan malam dan toko boneka itu akan segera ditutup.

 

“Itu boneka kami, pernah ada di toko ini dan sudah lama menghilang,” teriak lelaki penjaga toko yang ternyata bernama Harjiman. Warga Ngasem dekat keraton yang memahami dunia supranatural.

 

“Hai, kemana saja kamu menghilang, ayo, Kembali ke toko!” perintahnya, kepada boneka kepala tanpa badan itu. Kepala menyeramkan itu ternyata boneka milik toko tempat Hardiman bekerja. Toko boneka bernama Lolipop.

 

“Tapi wajah ini kami temukan di goa Parang Tritis. Dia mengikuti mobil kami. Dia tadi bisa bersuara keras dan bergerak memainkan mata dan mulutnya yang bertaring,” kataku. Dengan santai Harjiman memungut boneka kepala itu dan memasukkannya ke dalam tokonya.

 

“Lha, itu bukan boneka biasa Mas, itu boneka hantu!” sorongku.

 

“Iya, saya tahu ini bukan boneka biasa. Dia piaraanku di toko ini dan ternyata lari ke Parang Tritis. Untung kalian menemukannya dan dia ikut kalian. Pas mogoknya di depan toko saya lagi,” ungkap Harjiman.

 

Hidup ini ternyata penuh misteri. Ada begitu banyak sesuatu yang tidak bisa dingkapkan dan diucapkan dengan kata-kata. Senja tadi, kami bertemu hantu. Hantu itu ternyata sebuah boneka jelmaan yang hidup. Yang menjadi hantu di sekitar goa keramat Parang Tritis.

 

Mesin distarter dan hidup lagi. Kami pamit kepada Harjiman dan meninggalkan boneka gaib itu. Kami melaju ke Gampingan Tiga dan mobil masuk ke garasiku. Sebuah rumah kontrakan milik Pak Sumarno dan saya sewa untuk tiga tahun. Mas Gani tidak jauh dari rumahku.

 

Dia tinggal di Serangan, seberang jalan, dekat pabrik Anim, PLN, yang menyetirkan mobilku bila kami bepergian. Aku sangat pandai menyetir, tapi aku meminta pria yang menyetir, bukan wanita seperti aku. Apalagi mobil pemberian ayahku ini kijang minibus, bukan sedan. Aku inginkan sedan, tapi ibuku tidak memberi sedan itu. Sedan ternyata kesukaan ibu untuk jalan-jalan di Jakarta dan ibuku juga pandai menyetir.

 

Sebagai anak perantau, aku berusaha berbaik-baik dengan semua tetangga. Dampaknya, tetangga semua baik kepadaku. Mereka selalu membantu aku bila aku kesulitan. Apalagi Mas Gani, kakak kelasku, sangat memperhatikan semua kebutuhan dan kesulitanku hingga kami berpacaran.

 

Setelah lulus akademi, aku melanjutkan kuliah strata satu di Jakarta. Mas Gani kembali ke Palembang, kampung halamannya. Namun, Allah sudah menentukan kami berjodoh.

 

Pada tahun 1991 kami bertemu lagi di saat kami sudah bekerja. Aku bekerja di sebuah bank Amerika Serikat di Jakarta sedangkan Mas Gani membuka Bank Pasar di daerah Pasar Enam belas di Palembang kota. Bank miliknya itu tidak jauh dari jembatan Ampera di tepi Sungai Musi. Mas Abdul Gani Umar dengan berani dan jantan melamar aku ke orangtuaku. Dia datang ke rumah kami di Cempaka Putih, Jakarta Timur. Ayahku Senang mendengar lamaran itu dan ayahku meminta aku menjawab, menerima atau tidak lamaran itu. Aku terdiam sejenak. Aku berfikir beberapa saat, lalu berkata menerima.

 

“Iya Pa, aku menerima,” kataku.

 

Papa menatap tajam kepada Mas Abdul Gani Umar dan meminta agar keluarganya datang resmi melamar.

 

“Kita butuh bertemu antar keluarga biar saling mengenal sebelum dilakukan ijab kobul,” pinta ayahku. Mas Abdul Gani Umar mengangguk cepat dan mengatur pertemuan antar keluarga itu. Kami ‘ pun saling menerima dan memberi, lalu melakukan ijab kobul dan resepsi di hall Hotel Borobudur, Jakarta Pusat.

 

Mungkin sudah menjadi kodratku dengan peranakan, maka aku tidak dapat anak dengan Mas Abdul Gani Umar. Kami berobat ke mana-mana namun aku tidak mengandung juga. Hingga akhirnya, ” suamiku itu tewas dalam perjalan dari Chili ke Peru, saat melakukan study Bank Pasar di Amerika Selatan. Pesawat Scuba Air yang ditumpanginya menabrak bukit Pegunungan Andes dan semua penumpang tewas, termasuk Mas Abdul Gani Umar suamiku.

 

Kini aku hidup sendiri di Jakarta Timur. Namun, aku masih bekerja dan terus bekerja untuk kehidupanku sendiri. Rasa rindu, rasa cinta, rasa kasihku kepada almarhum, hingga kini tidak lekang.

 

Tidak luntur karena hujan dan tidak mengering karena panas. Aku selalu mengirim doa untuknya. Aku sering datang ke pemakamannya di Candiwalang, Palembang dan berziarah. Aku selalu bicara di makamnya, seakan aku sedang bicara dengannya. Anehnya, aku juga seperti mendengar pembiacaraan darinya. Pesannya, kata cintanya, kata sayangnya kepadaku. Aku mendengar suara dari kuburan. Suaranya, persis suaranya ketika hidup. Mengiang di telingaku dan aku meresapinya.

 

“Bila Adinda Maya Sagita mau bertemu Kangmas, datanglah ke goa Parang Tritis, jangan takut, Kangmas akan maujud di sana dan kita bisa berinteraksi,” desisnya, merayap Ke saringan telingaku.

 

Mulanya aku ragu-ragu. Apa iya sih? Namun setiap kali aku datang ke pemakaman Candiwalang Palembang itu, Kangmas selalu meminta begitu, terus menerus ke telingaku. Di Yogyakarta, orang manapun biasa dipanggil Mas. Batakpun, dipanggil Mas, bukan Abang. Maka itu, aku biasa memanggil Mas kepada suamiku yang orang Palembang. Orang Palembang yang sudah menjadi Jawa karena tutur bahasannya lembut dan orangnya begitu halus.

 

“Iya Mas, aku akan coa bila aku mengambil cuti panjang, nanti,” janjiku.

 

Begitu aku libur panjang, cuti tahunan, aku terbang ke Yogyakarta. Aku berangkat dengan pesawat Lion Air dari bandara” ‘ Soekarno-Hatta dan turun di bandara Adi Sucipto, Sleman, Yogyakarta.

 

Dari Sleman aku naik taksi non argo, taksi plat hitam melewati Jalan Solo menuju laut selatan. Setelah melintas di Bausasran, mobil masuk ke Nyutran terus ke Kota Gede, Imogiri dan menuju Parang Tritis di pantai Samudera Hindia. Sopi mobil taksi yang asli Yogyakarta itu, Kelik Janoe, sangat hafal jalan terjal ke goad an mengantarkan aku hingga goa yang disebutnya Goa Parang Endok.

 

“Hati-hati Mbak, daerah itu angker dan berbahaya. Apa perlu saya temani masuk goa itu?” tanya Kelik Janoe kepadaku.

 

“Tidak usah Pak Kelik, aku bisa sendiri, tolong awasi saja dari jauh,” pintaku.

 

Dengan tertatih-tatih aku mendekati goa. Keadaan tetap seperti beberapa puluh tahun lalu. Sepi dan sunyi. Dengan membaca basmallah dan doa-doa khusus, aku melangkah ke mulut goa dan masuk ke dalamnya. Keadaan sangat pekat. Tidak ada suara, tidak ada cahaya dan tidak ada warna. Bebauan pun, tidak ada di situ. Sementra oksigen terasa sangat tipis. Nyaris tanpa udara.

 

Beberapa saat kemudian, aku merasa tubuhku semakin dalam pada kedalam goa Aku meraba-raba dalam gelap. Namun, keajaiban datang, di mana aku merasa di dalam goa itu menjadi terang benderang. Serasa ada sinar matahari yang masuk. Padahal daerah itu seribu persen gelap gulita. Sunyi senyap dan lengang.

 

“Tuhanku, aku ingin bertemu suamiku c sini. Bukan dalam keadaan sebagai mayat, tapi sebagai suamiku utuh seperti tatkala kami masih pacaran,” pintaku, sekaligus doa menghiba kepada Allah Azza Wajalla. Doaku didengar dan dikabulkan Allah Yang Agung.

 

Tiba-tiba aku seperti berada dalam keratin. Di dalam istana kerajaan yang mega. Ada setting sofa yang anggun, ada Kristal dan batu mulia yang mengelilingi istana Kerajaan itu. Aku melihat seorang pria tampan di atas singgasana kerajaan dan aku mendekati. Oh Tuhan, Raja bermahkota emas itu ternyata suamiku. Mas Abdul Gani Umar yang ganteng, atletis dan jangkung. Pria asal Palembang yang paling tampan se kota itu dan terbaik tabiatnya. Dia berdiri dengan gagah dan mendekatiku. Dia memelukku lalu kami melepaskan kerinduan dengan hangat. Terima kasih Tuhan, Engkau telah mempertemukan aku dengan suamiku dan aku sangat mencintainya.

 

Setelah itu kami terus bersama di dalam istana itu. Istana tanpa permaisuri, Dan kata suamiku, akulah permaisurinya itu.

 

“Kita akan tetap bersama bila engkau siap pindah ke lama lain. Siap untuk bersama selamanya?” tanya Mas Abdul f Gani Umar kepadaku.

 

Aku berkeyakinan, bahwa bila aku berkata iya, maka aku akan masuk ke alam gaib dan tidak akan kembali lagi ke dunia selamanya. Tersesat di alam jin dan tak punya kunci apapun untuk membuka pintu kembali ke dunia nyata. Aku memeluk suamiku dan berkata, tidak. Aku berjanji pada saat liburan panjang aku akan datang lagi dan bertemu dengannya di goa itu. Tapi, aku masih mau hidup di dunia nyata, bersama ayah dan ibuku di Jakarta. Aku Pi masih makan nasi dan masih ingin bersama sanak saudara dan keluarga besar serta teman-teman kerja di Bank Amerika. Suamiku mempersilakan aku kembali ke Kk dunia nyata dan dia tidak berkeberatan.

 

“Bila engkau cuti panjang, datanglah ke sini dan Kangmas selalu di sini,” katanya. Sebelum aku menutup mata untuk ke luar pintu goa, Mas Abdul Gani membawa aku ke ruang sebelah.

 

“Aku akan memperlihatkan sesuatu kepadamu. Ayo kita ke ruang sebelah,” ajaknya. Duh Gusti, di sana aku meliat Harjiman dengan pedang dan tombak Trisula. Sebelah Harjiman boneka yang kuyakini hantu kepala tanpa badan yang kami temukan dulu di bawah pohon mahoni sebelah bibir goa. Hantu kepala yang angker yang mengikuti kami ke Yogyakarta dari Parang Tritis saat kami masih pacaran. Hantu kepala yang memutuskan selang bensin dan bensin kami terkuras nyaris habis. Hari itu, saya melihat Harjiman dan menjabat tangannya. Melihat hantu kepala, boneka Harjiman yang gaib, yang mencium tanganku.

 

“Dia menjadi pembantuku di kerajaan ini,” kata Mas Abdul Gani Umar, sambil menarikku untuk keluar kerajaan.

 

Beberapa saat setelah itu, Mas Gani mencium keningku dan mengucapkan selamat jalan. Aku memejamkan mata dan dalam hitungan detik, aku sudah berada di bibir goa menjelang matahari tenggelam.

 

Aku segera melangkah menjauh dari goa dan Pak Kelik Janoe berdiri menyambut aku. Mobil taksi plat hitam itu merangsek pergi dan kami kembali ke Yogyakarta.

 

Aku segera ke bandara dan terbang dengan penerbangan terakhir ke Jakarta.


PENGOBATAN ALTERNATIF
"PONDOK RUQYAH"
(SOLUSI PASTI DI JALAN ILLAHI)

Kami Jasa Solusi Problem Hidup. Masalah Tuntas Tanpa Bertentangan dengan Hukum Agama dan Negara.

MACAM PROBLEM DALAM PELAYANAN KAMI:
Solusi Problem Asmara, Rumah Tangga, Back Up Karir, Back Up Usaha, Jual Beli, Aura Pemikat, Bersih Diri / Ruwat / Ruqyah / Buang Sial, dll.

KAMI TIDAK MELAYANI SEGALA HAL YANG MELANGGAR HUKUM AGAMA DAN NEGARA.
Contoh: Bank Gaib, Uang Balik, Harta Gaib, Pesugihan, Aborsi / Menggugurkan Kandungan, Perjudian / Togel / Judi Online, Mencelakakan Orang / Santet / Teluh, dll.

ALAMAT PONDOK RUQYAH:
Dusun Kasemen, No.50, RT.05, RW.03, Desa Wangkalkepuh, Kecamatan Gudo, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Kodepos 61463.
🌐 https://pondok-ruqyah.com/
☎️ +6285708371817

PERINGATAN!
Hati-hati dan waspada terhadap penipuan online yang mengatasnamakan kami. Diutamakan datang langsung ke alamat kami untuk menghindari segala hal negatif. Terimakasih.
DATANG DENGAN NIAT BAIK
TIDAK UNTUK KEJAHATAN!