Kisah Mistis: HIDAYAH SI WANITA ATHEIS

0
16

Kisah Mistis: HIDAYAH SI WANITA ATHEIS

Tadinya, aku tidak percaya bahwa Tuhan itu ada. Aku tidak percaya bahwa adanya suatu kekuatan gaib yang menjadikan manusia. Tadinya aku tidak yakin bahwa adanya zat atau izat yang menjadikan bumi, hewan dan laut serta galaksi semesta. Yang aku tahu dunia ini tercipta berdasarkan hukum sebab akibat. Dunia tercipta dengan sendirinya sebagai proses alamiah, benturan kosmos dan suprakosmos. Benturan gas dengan petir yang menjadi benda padat. Makanya jadilah Bumi, Matahari, Bulan, Planet Mars, Saturnus, Uranus dan Pluto…

 

Pikirku, selama ini, semua ini terjadi dan karena adanya proses suprabiologik. Lalu, manusia lahir karena syahwat biologis pria dan wanita, menjadi sel telur, memadukan sperma dan sel wanita dan jadilah janin. Janin lalu tumbuh, membesar dan lahirnya anak manusia. Bukan kehendak siapapun. Lalu, manusia mati, juga bukan karena kehendak siapapun, mati karena sakit, penyakit, tabrakan, atau pesawat jatuh dan bisa karena dibunuh. Bukan ajal, bukan pula kehendak penguasa tertentu. Ya, aku seorang atheis, kafir dan katakanlah, super kafir.

 

Aku tidak punya agama dan tidak ada kartu identitasku tertulis agama tertentu. Aku dilahirkan pada tanggal 16 Oktober 1994 di Kuyumba, Rusia, Eropa Timur. Aku tumbuh dan besar di daerah orang tanpa agama. Rumahku di tepi sungai indah, Sungai Podkamennaya, provinsi Evenkiyskiy, Rusia. Rusia seperti sudah menjadi negaraku, walau, aku tetap harus kembali ke Banten, rumah orangtuaku, ayah dan ibuku. Dan aku haruslah bekerja di Indonesia, Negara asal ayah, ibu dan kakek nenekku.

 

Pada tanggal 8 November tahun 2011, hari Selasa Kliwon, aku pergi ke Indonesia, ke kampung halaman nenek moyangku. Aku membawa semua barangku yang berharga seperti emas, berlian dan intan ke bandara Vanavara Airport, Kuyumba, Rusia dan terbang ke bandara Soekarno-Hatta, Kota Tangerang, Banten, Indonesia.

 

Dari bandara aku yang tidak dijemput oleh ayahku karena sedang sakit. Padahal di telpon ayah memang sudah berjanji akan mengistimewakan aku dengan menjemput aku di bandara. Lalu, aku terpaksa naik taksi bandara, Blue Bird, ke rumah kami di Kunciran Mas, Kelurahan Kunciran, Kecamatan Pinang, Kota Tangerang, Banten. Begitu taksi masuk kehalaman rumah yang dituju, aku tersentak kagum. Sebuah rumah besar, antik, wingit, besar berlumut dan nampak keramat.

 

Sebuah rumah tua yang pernah dijadikan rumah tempat uji nyali karena berhantu. Aku sudah menonton acara Gost Detector, deteksi hantu, lalu dilanjutkan dengan uji nyali bagi seseorang pemberani, di satu stasiun TV Mistik, Trans Media. Video hasil copy paste tayangan TV itu, sudah aku tonton saat aku masih di Rusia, dikirimkan oleh ayahku lewat paket pos JNE, banten. Pada gambar uji nyali tersebut memang ada penampakan hantu di rumah orangtua ku itu. Hantu menggunakan syal putih dengan kemben kebaya gaya Indonesia. Hantu perempuan yang menghuni rumahku. Namanya, Hantu Kebaya.

 

Tetapi, sebagai seseorang yang rasional, superlogikatik, dan dengan logika murni, aku tidak takut sama hantu. Bagiku hantu hanyalah irama angin, zat kecil tak kasat mata yang bergabung dengan debu, yang mampu maujud menjadi sosok tertentu dalam imajinasi mata siapapun yang melihatnya. Hantu, bagiku, makhluk yang tidak perlu ditakuti karena hantu itu memang ada di sekitar kita. Agama samawi tertentu, tidak percaya adanya hantu. Tapi, bagai saya, orang tanpa agama, atheis, saya percaya adanya hantu. Makhluk halus yang terkadang maujud yang sudah secara alamiah ada ketika bumi berbentuk.

 

Rumah kami dibangun di atas tanah 8000 meter, hampir satu hektar. Ada pertamanan gazebo, ada kolam renang, ada taman bermain dan ada ruang senam khusus untuk ibu-ibu. Rumah rancangan ayahku, Hamdan Surindan, 78 tahun, terdiri dari dua lantai. Lantai atas tempat tamu-tamu luar kota ayah jika menginap, sedangkan di bawah kamar tidur ayah dan ibu serta kamarku, yang ayah siapkan jika sewaktu-waktu aku pulang dari Rusia dan tinggal di situ.

 

Ibu kandungku, meninggal ketika aku berumur lima tahun di Rusia. Nyonya Sarminah Hasan, nama ibuku, menderita sakit jantung dan menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Vavayjoitaka, Kuyumba, Rusia. Ibu dimakamkan di Indonesia, pada makam keluarga yang tidak jauh dari rumah kami di Kunciran. Ibu beristirahat terakhir di Makam Kamboja Merah, kurang lebih dua kilometer dari rumah kami.

 

Ketika malam tiba, malam pertama aku di rumah Kunciran, aku diwanti-wanti pembantu rumah tangga ayah kami, bahwa rumah itu angker dan sering ada penampakan.

 

“Penampakan? Mana, aku mau bertemu dan melakukan diolog dengan hantu itu,” candaku. Untunglah aku bisa berbahasa Indonesia, walau sering susah untuk mengucapkan kata tertentu, lalu aku campur dengan bahasa Inggris. Maka itu, aku dapat berkomunikasi dengan Si Mpok, pembantu ayahku yang sudah puluhan tahun mengurus rumah tangga ayah, bersama suaminya yang jaga malam dan mengurus taman, Bang Jali Jaliteng.

 

Pembantu ayahku tersentak, Mpok Nasimah, 45 tahun, isteri Bang Jali Jaliteng, hama pekerja rumah tangga asli Betawi itu, mengernyitkan keningnya, seakan terkaget melihat aku yang tidak takut sama nantu. Walau hantu itu sudah terbukti ada di rumah kami dan aku sudah melihatnya di video kiriman ayah di Kuyumba, Rusia, namun kukatakan, aku justru kepengen bertemu hantu di rumah kami itu di malam itu.

 

“Mbak tidak takut sama hantu ya?” tanya Mpok Nas, demikian panggilannya, kepadaku.

 

“Saya tidak takut sama hantu Mpok, hantu lah yang harus takut sama saya,” candaku. Mpok Nas merengut lalu setelah itu dia berusaha tersenyum melihat lagakku yang sangat pemberani dan memang aku pemberani karena tidak takut sama sekali sama hantu.

 

Pertama datang ke Kunciran Indah Permai, aku merasa gerah. Walau menurut Mpok sangat dingin, tapi bagiku lain. Rasanya, malam itu, panas sekali di tubuhku, walau semua kamar dan ruang rumah kami dipasang AC split.

 

Karena panas, lalu aku keluar rumah, berjalan-jalan di taman. Aku duduk merokok di gazebo, berjalan di bibir kolam renang dan taman permainan anak-anak. Aku menjadi perokok berat di Rusia, walau tidak banyak wanita merokok di negara komunis itu. Banyak tempat yang menjadi wilayah larangan merokok di Rusia, tapi aku tetap merokok dan merokok. Rokok itu diekspor dari Indonesia, produksi pabrik Bentoel Malang, dan aku merokok selalu itu, rokok kretek Bentoel Biru. Aku suka aroma cengkih yang tajam dan juga tembakau pilihan terbaik yang ada di Pulau Jawa. Tiap bulan jatahku mengirimi rokok itu via JNE, 40 bungkus dengan kemasan empat dus.

 

Pada saat suara adzan Isya, menjelang malam, aku dengan mobil papaku keluar rumah, diantar Bang Jali Jaliteng yang pintar menyetir. Kami ke CBD Cileduk dan juga ke WTC Bumi Serpong Damai. Semua mali aku datangi, termasuk mali di Kota Tangerang, seperti Tang City dan Chiees Mall. Jalan ke semua pusat belanja dan permakanan itu, Bang Jali Jaliteng tahu semuanya. Maka itu, aku minta dia yang menyetirkan aku dan mengantarkan aku ke daerah itu.

 

Sementara itu, ayahku lemas di tempat tidurnya. Ayah menginjinkan aku pergi, namun harus berhati-hati. Sebab walau aku orang Banten, tapi aku tidak tahu Banten. Bahkan, Jakarta pun, aku belum tahu sama sekali. Pada saat magrib, ayah bangun mengambil wudlu, lalu dia sembahyang berjemaah ke mesjid dekat rumah. Sebuah mesjid yang ramai didatangi orang Islam untuk sholat berjemaah. Ketika di Rusia, ayah dan ibuku mengajarkan aku agama Islam. Mereka mempertunjukkan kepadaku tata cara sholat dan membaca avat suci Al-Qur’an.

 

Namun aneh, makin kerasa ayah dan Ibuku mendidik aku ke agama, aku malah makin jauh dari agama. Agama itu apa sih, buat apa agama itu sebenarnya? “Agama adalah kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, zat yang menciptakan bumi, langit dan seluruh isinya, termasuk manusia, hewan, gunung, laut dan semuanya diciptakan Tuhan. Allah Yang Maha Agung,” kata ayahku, dulu, ketika aku sekolah dasar. Karena aku didik agama hanya di rumah, sementara di sekolah aku sekolahnya orang-orang atheis, dan teman-temanku juga semuanya atheis, maka aku berdasarkan rasioku, juga jadi atheis. Tidak beragama dan tidak bertuhan.

 

Aku bersama Bang Jali Jaliteng keluar mall setelah mali tutup menjelang pukul 22.00 WIB. Mobil kelura parkiran dan meluncur ke jalan raya Kebon Nanas, Kota Tangerang lalu masuk kompleks perumahan mewah Alam Sutra dan meluncur ke rumah kami di Kunciran Mas Permai.

 

“Maaf non, mungkin Nona tidak begitu nyaman bersama saya jalan-jalan. Saya tidak begitu pandai menyetir mobil automatic seperti BMW Seri Tujuh ini, saya biasa sama Bapak, membawa mobil Toyota Land Crusier manual,” desis Bang Jali Jaliteng, kepadaku, berbasa-basi.

 

“Ah tidak Bang, pintar dan nyaman saya abang setirin dengan mobil sedan BMW ini,” kataku.

 

Bang Jali Jaliteng Nampak senang mendengar ucapanku dan dia lalu memasukkan BMW itu ke garasi belakang. Sesampainya aku di rumah, ayahku tidak nampak. Pikirku, ayahku yang menjelang renta itu, pasti di kamar tidur. Aku lalu menghambur ke kamar tidur ayah yang lebar dan besar di tengah rumah kami, dan membuka pintu kamar. Tetapi, ayahku ternyata tidak berada di situ. Aku penasaran, kemana ayahku? Aku segera menemui Mpok Nas, bertanya ke Mpok Nas, kemana ayahku. Mpok Nas ternyata tidak tahu menahu. Yang dia tau ayahku ke mesjid saat sembahyang maghrib dan pulang makan, lalu sholat berjemaah lagi ke mesjid untuk sembahyang isya. Setelah itu, Mpok Nas tidak melihat ayahku pulang.

 

“Mungkin masih di mesjid, Non,” sorong Mpok Nas.

 

Bersama Mpok Nas aku menghambur ke mesjid. Sebuah mesjid sederhana milik komplek dan dibangun berdasarkan uang kolektif warga. Kabarnya, ayahku paling besar memberikan sumbangan ke mesjid itu, walau ayahku tidak pernah menyebutnya. Ayahku memberikan sesuatu kepada siapapun untuk menolong selalu ikhlas. Maka itu, pepatahnya, jika tangan kanan memberi, tangan kiri tidak boleh tahu. Hal itu berarti bersifat rahasia dan tersembunyi. Jangankan orang lain, tangan kirinya pun, tidak boleh tahu apa yang sudah diamal dan diibadahkannya kepada orang lain.

 

Sesampainya di mesjid, aku melihat ayahku sedang berdoa. Tekun berdoa menghadap ke kiblat di dekat mimbar. Tidak ada jemaah lain malam itu, hanya ayahku yang tinggal sendirian dan Nampak konsentrasi mengangkat tangan berdoa. Tubuhnya teratur duduk membungkuk dan diam. Tidak bergoyang dan sangatlah tenang.

 

Aku mengajak Mpok Nas, untuk memanggil ayah. Mpok Nas masuk ke mesjid sedangkan aku menunggu di beranda mesjid. Tetapi, aku melihat Mpok Nas mendekati dan memanggil ayahku. Tetapi ayahku tidak bergeming dan tetap diam. Pikirku, apakah dia sakng konsentrasi maka tidak bereaksi suara Mpok Nas memanggilnya. Mpok Nas lalu memanggilku dengan lambaian tangannya. Aku beranikan diri masuk mesjid dan mendekat ayahku.

 

Arkian, ternyata ayahku tidak bergeming karena sudah tidak bernyawa lagi. Ayahku tercinta meninggal pada saat berdoa. Begitu Mpok Nas berteriak memanggil pengurus mesjid, marbot mesjid, Pak Ustad Wawan, Pak Ustad memegang tubuh ayahku yangd iam berdoa. Beberapa saat dipegang Pak Ustad Wawan, ayahku tumbang dan sudah wafat.

 

Jantungku berdetak hebat dan tubuhku spontan menjadi lemas. Aku gagap dan nyaris tak mampu mengeluarkan katakata. Aku memeluk tubuhnya ayahku dan menangis kecil. Pak Ustad wawan memanggil warga memohon bantuan. Warga berdatangan dan semua mengucapakan kata: innalillahi waa inna ilaihi rojiuun. Semua menyebut Allah hu Akbar, Allah hu Akbar…

 

Malam itu juga aku mempersiapkan kasur untuk jenazah ayah di rumah kami. Pak UStad Wawan dan warga mengangkat jasad ayahku ke rumah kami. Aku dan Mpok Nas serta Bang Jali Jaliteng sibuk mencari kain yang cocok untuk menutupi jasat ayah. Warga berdatangan dan rumah kami penuh oleh tamu pelayat. Aku memberikan uang kepada Bang Jali Jaliteng untuk membeli beberapa dus air mineral gelas dan makanan. Gorengan atau kue-kue untuk pelayat. Di depan rumah, saya suruh pesan tenda dan pasang tenta besar sesuatu permintaan Ustad Wawan.

 

Malam itu rumah kami penuh saudara dan warga. Mereka mmebaca Al-Qur’an, surat Yasin untuk ayahku. Ada yang membaca Al Fatihah dan Ayat Qursy. Semua berpartisipasi dan berkabung kepada ayahku. Semua tamu memberi salam, memeluk dan berkabung kepadaku. Maklumlah, aku adalah anak tunggal ayahku yang selama ini bekerja dan sekolah di Rusia di Eropa Timur. Setelah dimakamkan sebelah ibu, aku tetap tinggal di makam dan termenung.

 

Aku mengenang ibu dan ayahku ketika mereka hidup. Sementara pelayat di makam itu semuanya sudah pulang. Tinggal aku dan Mpok Nas juga Bang Jali Jaliteng yang membawa mobil Toyota Jeep Land Cruiser peninggalan ayahku. Aku meminta Mpok Nas menjauh dari makam ayah dan ibuku, melihat saja dari jauh, Karena aku akan melakukan sesuatu di makam itu. Sesuatu yang pribadi dan sangat rahasia.

 

Setelah Mok Nas dan Bang Jali Jaliteng menjauh, aku meditasi, merenung di makam kedua orang tuaku. Tiba-tiba angin kencang datang. Langit menjadi gelap dan hujan gemiris turun. Kilat menyambar ke beberapa pohon dan petir mengguncang bumi. Pohon kamboja merah di atas kepalku tiba-tiba roboh, dahannya patah dan kembang bertebaran hingag beberapa kembang jatuh di rambutku. Bang Jali menjemputku dengan payung, meminta aku keluar pemakaman dan lari ke mobil di depan pintu pemakaman. Aku menolak dan kukatakan jangan mendekat, apapun yang akan terjadi, aku akan tetap bertahan. Namun Bang Jali Jaliteng tetap ngotot mengajak aku pergi. Tapi, aku tidak mau karena aku belum selesai melakukan sesuatu kepada ayah dan ibuku yang sudah terkubur di situ.

 

Bang Jali Jaliteng kuatir aku akan mati karena terhujam petir. Soalnya batang kayu Kamboja merah dekatku sudah tersambar, petir itu. Benar saja, beberapa saat kemudian, petir kembali menyambar pohon Kamboja yang lain. Hancur dan hangus terbakar. Bang Jali Jaliteng menarik tanganku dan aku merontah. Setelah aku marah, barulah Bang Jali Jaliteng pergi. Namun dia tetap mengawasi dari jauh. Badannya dibiarkan kehujanan untuk menyelamatkan aku dari petir.

 

Senja hujan petir itu aku berbicara sendiri kepada ibu dan ayahku. Sebuah keajaiban datang. Ayah dan ibu keluar kuburan dan duduk di depanku. Dia memegang kepalaku dan membimbing aku mengucapkan dua kalimah syahadat. Yang selama ini tidak pernah aku ucapkan walau ayah ku sempat memaksaku saat di Rusia. Tubuhku merinding dan jantungku berguncang hebat Dengan terbata-bata, aku mengucapkan dua kalimah syahadat sesuai bimbingan ayah. Dan dengan tulus ikhlas, aku meyakin agama Islam dan aku menjadi muslimah. Ayah katakan, dia mesjid, saat nafasnya diambil Allah Azza Wajalla, dia mendapatkan petunjuk, bahwa anak tunggalmu harus dibimbing agama. Jangan biarkan dia tersesat di tengah keramaian.

 

Agama akan membimbingnya bukan hanya ke surga ketika mati nanti, tapi juga membimbing agan dia menjadi manusia yan manusiawi. Saling menyayangi sesama dan saling membantu sesama insan. Setelah aku menyatakan islam dan mengucapkan dua kalimah syahadat, hatiku polong dan sejuk seperti hujan senja itu. Beberapa detik setelah hatiku sejuk, ayah dan ibuku menghilang. Pikirku, mereka kembali ke dalam kuburan mereka. Terakhir aku mendengar suara ayahku.

 

“Jangan engkau mati bukan di dalam agama Islam Nak. Matilah dalam keadaan Isiam dan dalam keadaan iman kepada Allah Azza Wajalla. Ayah dan ibu melahirkan untuk beriman Nak. Mati dalam iman dan dalam Islam, khusnul khotimah,” seru suara ayahku, sambil menghilang ke dalam tanah. Alhamdulillah, aku dapat hidayah saat ayahku meninggal dan ibuku tiada.

 

Sebagai pewaris tungga harta benda ayah yang begitu banyak, aku meneruskan bisnis ayahku bidang industri dan rumah makan. Beberapa orang kepercayaan ayah melaporkan semua bisnis ayahku dan mereka meminta aku yang menggantikan ayah. Soal harta, bukan masalah bagi saya, Soal hidayah, yang saya dapatkan, itulah yang aku pikirkan.

 

Kini aku menjadi narasumber diskusi agama, seminar islam, memberikan kesaksianku dari kafir, atheis menjadi pemeluk agama Islam sejati. Aku sudah merubah diriku seratus persen sebagai wanita, ya selaku wanita muslimah. Aku mamakai baju hizab, berjilbab, dan berhenti total merokok dan bersantai tanpa tujuan. Kemana-mana aku bersama ustadzah Mamah Arini, 56 tahun, seorang menguasai Al-Qur’an dan tafsir dan beliaulah yang mengajari aku baca kitab.

 

Kini aku khatam Al-Qur’an dan mengurus pengajian di rumahku. Setiap minggu aku adakan pengajian wanita dan Ustadzah di Banten, bergantian ceramah agama Islam di rumah kami. Alhamdulillah, setelah aku mengenal Islam, aku menjadi tenang dan nyaman. Hidupku menjadi teduh dan terasa indah. Harta hanya bagian dari kehidupan, tapi agama adalah segala-galanya. Pikirku, kalau tahu indah begini, mengapa tidak beragama sejak aku tinggal di Kuyumba, Rusia, beberapa tahun yang lalu. Mpok Nas dan Bang Jali Jaliteng serta anakanaknya tetap tinggal di rumahku. Bang Jali membantu usaha pabrik dan Mpok Nas mengelola restoran peninggalan ayahku. Enam rumah makan besar yang tersebar di Jakarta dan Bandung. (Kisah yang dialami oleh Denisa Safitri Hasanah, kepada penulis). Wallahu a’lam bissawab. ©️.


PENGOBATAN ALTERNATIF
"PONDOK RUQYAH"
(SOLUSI PASTI DI JALAN ILLAHI)

Kami Jasa Solusi Problem Hidup. Masalah Tuntas Tanpa Bertentangan dengan Hukum Agama dan Negara.

MACAM PROBLEM DALAM PELAYANAN KAMI:
Solusi Problem Asmara, Rumah Tangga, Back Up Karir, Back Up Usaha, Jual Beli, Aura Pemikat, Bersih Diri / Ruwat / Ruqyah / Buang Sial, dll.

KAMI TIDAK MELAYANI SEGALA HAL YANG MELANGGAR HUKUM AGAMA DAN NEGARA.
Contoh: Bank Gaib, Uang Balik, Harta Gaib, Pesugihan, Aborsi / Menggugurkan Kandungan, Perjudian / Togel / Judi Online, Mencelakakan Orang / Santet / Teluh, dll.

ALAMAT PONDOK RUQYAH:
Dusun Kasemen, No.50, RT.05, RW.03, Desa Wangkalkepuh, Kecamatan Gudo, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Kodepos 61463.
🌐 https://pondok-ruqyah.com/
☎️ +6285708371817

PERINGATAN!
Hati-hati dan waspada terhadap penipuan online yang mengatasnamakan kami. Diutamakan datang langsung ke alamat kami untuk menghindari segala hal negatif. Terimakasih.
DATANG DENGAN NIAT BAIK
TIDAK UNTUK KEJAHATAN!