HANTU PENUNGGU TOILET
Rasa takut itu sebetulnya bersumber dari diri kita sendiri. Rasa itu bersemayam di dalam hati, bersumber dari pikiran, dan diinspirasikan oleh pengalaman atau lebih buruk lagi cerita dari orang lain. Jadi, sebenarnya rasa takut itu adalah buah dari imajinasi. Buktinya? Kalau orang bilang di terowongan Casablanca itu angker, nggak semua terus takut dan nggak berani lewat sana sendirian kan? Pasti ada orang yang berani atau sok berani yang lewat di situ malam malam. Tentunya, mengendalikan pikiran supaya nggak usah membayangkan sosok perempuan bergaun panjang putih dengan rambut panjang terurai.
Lho, siapa bilang hantu terowongan Casablanca bentuknya seperti itu?
Nah kan? Itu namanya imajinasi. Apa objek rasa takut yang umum?
Hantu, ular, harimau, nggak belajar sebelum ujian, nggak bikin PR, padahal guru galak, pulang lewat pukul 12 malam, padahal belum pamit orangtua. Tiap orang punya objek rasa takut yang berbeda. Tapi, selalu ada benang merah, yaitu sesuatu yang bisa mencelakakan atau membahayakan. Aneh kan kalau hal yang sama sekali nggak berbahaya menimbulkan rasa takut? Tapi, ternyata ada juga lho yang takut sama badut. Bayangkan apanya sih dari badut itu yang bisa membahayakan? Badut itu identik dengan anak-anak dan kegembiraan. Di mana logikanya sosok warna-warni yang lucu itu bisa menakutkan?
Anakku yang nomer dua, waktu kecil takut pada badut Chiki. Nggak kebayang apa yang terjadi selama delapan jam sehari, lima hari seminggu, selama aku bekerja, yang bisa menyebabkan anak kecil takut pada tokoh yang gambarnya nempel di pembungkus makanan kesayangan itu. Setelah bertanya ke sana kemari menginterogasi seisi rumah plus tetanggatetangga, baru ketahuan bahwa itu ulah pembantu yang mengasuh dia. Rupanya, tiap hari, dia makan Chiki 4-5 bungkus, malah kalau boleh 10 bungkus, kata pembantu membela diri. Maka, tiap kali anak saya minta Chiki, mbaknya bilang gini, “Jangan makan Chiki terus, ntar Chiki nya balas dendam lho! Adek ntar dimakan sama badut Chiki kalau ketemu.”
Jadi, itu sebabnya dia menjerit-jerit ketakutan tiap ketemu badut Chiki di mal, di Dufan, di mana saja.
Apa yang paling membuat aku takut?
Selain hantu, selain ketinggian, selain lift yang sempit tanpa cermin… adalah toilet umum.
Toilet umum? Tempat yang selalu ramai itu?
Apalagi toilet di mal besar atau hotel bintang lima yang bagus, bersih dan terang dengan petugas kebersihan yang selalu stand-by. Pertama, toilet itu bersih, kedua terang, ketiga selalu ada orang lain kalau kau ketakutan, jadi apa masalahnya?
Pada waktu isu cermin yang berfungsi sebagai kamera pengintai ataupun kisah artis yang menangkap basah ada orang mengacungkan kamera ponsel dari toilet sebelahnya saat dia berada di toilet sebuah mal, itu adalah salah satu faktor yang masuk akal untuk ditakuti. Aku bahkan sempat mempraktikkan tips yang ditayangkan sebuah televisi swasta tentang bagaimana mengenali cermin pengintai. Setiap masuk toilet, aku sengaja menempelkan ujung jari ke cermin. Konon, kalau jari dan bayangan dalam cermin berjarak, itu berarti cermin biasa, jadi aman. Tapi, kalau tidak ada jarak, patut dicurigai bahwa ada orang-orang di belakang cermin yang bisa mengawasi segala gerak gerik kita. Syukurlah, tes yang kulakukan tidak pernah mengindikasikan adanya bahaya. Hal kedua, setelah masuk toilet dan bersiap duduk di kloset, lihat baikbaik ke atas dan sekeliling dinding. Adakah celah mencurigakan atau benda aneh sebesar kancing atau bentuk lain yang mungkin saja berfungsi sebagai kamera?
Well, sejauh ini, ketakutan jenis di atas adalah ketakutan terhadap kejailan manusia lain selain diri kita sendiri. Adikku termasuk orang yang harus takut akan dirinya sendiri kalau menyangkut urusan toilet umum. Dia adalah pengguna toilet umum yang ceroboh. Setidaknya, cara dia menemukan toilet umum di tempat tertentu, khususnya gedung perkantoran, sangat-sangat tidak boleh ditiru.
Suatu hari, kami sedang sarapan di coffee shop sebuah hotel di Surabaya dan tiba tiba dia ingin ke toilet.
“Di mana toiletnya?” tanyanya.
“Di belakang resepsionis, di sebelah kiri.” Saya tidak menjelaskan pintu keberapa, toh ada tanda mana toilet untuk laki-laki dan mana yang toilet untuk perempuan. Standar seperti toilet lain pada umumnya. Toilet di hotel khusus untuk manusia, jadi tidak perlu panik menerjemahkan simbol yang mungkin dipasang di pintu.
Aku pikir semua berjalan normal dan lancar. Saat dia kembali (setelah waktu yang agak lama), wajahnya kelihatan aneh. Ternyata…, dia tadi salah masuk ke kantor! Jadi, tanpa pikir panjang, begitu ketemu pintu
pertama di belakang meja resepsionis, dia langsung membuka pintu itu dengan penuh semangat. Di dalam, berjejer meja meja dengan beberapa karyawan administrasi hotel yang mengangkat kepala dengan kaget. Rupanya, seremoni membuka pintu tadi begitu dahsyat, sampai sampai para karyawan yang duduk di dalamnya tercengang dan diam sejenak.
Aku tidak bisa membayangkan bagaimana raut muka adikku, mendapat sambutan tak terduga itu. Dia bergegas menuju pintu berikutnya. Di hadapannya, berjejer tiga buah wastafel. Dan berpikir itu memang toilet. Baru saja dia akan membuka salah satu pintu yang ada di dalammnya ketika satu pintu terbuka, muncullah… seorang perempuan. Oh, my God… rupanya dia salah masuk lagi. Begitulah kenapa kami menunggu dia lama,baru kemudian kembali ke mejanya. Rupanya, perjalanan menuju toilet laki laki ternyata tidak sederhana.
Setelah beberapa saat hilang dari rasa malunya, adikku bercerita bahwa ini bukanlah kejadian yang pertama. Sebelumnya, di sebuah gedung perkantoran, dia juga pernah beberapa kali tersasar dalam usahanya menemukan toilet.
Ah…, sampai di mana tadi? Oke, mari kita kembali pada ketakutan akan toilet umum. Zaman dulu, toilet tidak dibuat secanggih dan mewah seperti sekarang. Tidak ada dinding dan pintu kaca tebal yang mengurangi perasaan seram karena terperangkap sendirian di tempat asing. Tidak ada jet washer ataupun washer yang built in dengan closet nya. Tidak ada petugas cleaning service yang stand by dan langsung masuk untuk membersihkan selesai toilet dipakai. Tidak ada lampu yang terang benderang dan dekorasi yang membuat kita merasa nyaman. Tidak ada toilet kering, semua toilet umum basah dan belepotan.
Basah… dan jorok!
Dengan penerangan remang remang dan tidak ada petugas kebersihan yang stand by… jadi kita akan berada sendirian dalam kotak 1,5 x 1,5 untuk beberapa waktu, dan risiko terkunci di dalam karena kunci macet. Itulah yang terjadi beberapa kali padaku.
Pada era tahun tujuh puluhan, saat aku masih SMA, aku sangat suka nonton film di bioskop. Zaman itu belum ada DVD, apalagi situs internet sehingga kita bisa mengunduh film-film baru. Jadi, nonton di bioskop adalah satu satunya pilihan. Toilet umum di gedung bioskop tidaklah serapi yang ada di 21 atau Megablitz sekarang. Tidak ada toilet kering, semua pakai keran air dan ember lengkap dengan gayungnya. Pintunya juga sering macet, mungkin saking banyaknya pengguna. Tak terhitung puluhan kali aku terkunci di dalam toilet seperti itu dan berakhir dengan ditolong pengunjung lain yang mendorong dari luar supaya pintu terbuka. Kadang, menunggu agak lama karena tidak selalu ada orang yang sedang berada dalam toilet. Pada suatu malam, aku terkunci di dalam sebuah toilet. Saat aku mendengar ada suara keran air dinyalakan di wastafel luar, spontan saya berteriak, “Tolong bukain dong… macet nih pintunya.”
Tidak ada jawaban dari luar sana.
“Mbak, didorong aja kok pintunya. Ayo dong, plissss….”
Lalu, pintu terbuka tiba-tiba. Aku sangat lega. Aku keluar sambil menengok kanan kiri mencari penolongku untuk berterima kasih. Di dalam toilet wanita itu, ada empat bilik, tapi semua sudah terbuka, jadi si Mbak mungkin sudah ketuar duluan. Ya sudahlah, yang penting kan sudah nggak terkunci lagi.
Di luar, pacarku sudah menunggu, mukanya mulai keruh, mungkin kesal karena lama menunggu. “Kok lama?”
“Tadi kekunci di dalam, untung ada yang nolongin,” kataku membela diri.
“Kekunci lagi? Hobi banget! Terus, orangnya masih di dalam? Kalo dia yang sekarang kekunci gimana?”
“Orangnya sudah keluar tadi, aku nggak sempat bilang makasih juga….”
Muka pacarku langsung berubah, dia melihat aku dari atas ke bawah berkali-kali, aku jadi mendapat firasat aneh.
“Ngapain sih ngeliat kayak gitu? Aku bukan kuntilanak. Nih kakiku nempel tanah,” kataku sambil membuka sepatu.
“Bukan gitu, dari tadi aku nunggu di luar, nggak ada tuh yang keluar dari toilet itu. Kamu pasien satusatunya….”
“Heh??? Pasien? Satu satunya? Di dalam toilet juga udah kosong. Cuma aku sendiri.”
Lha, yang mendorong pintuku tadi siapa???
Tanpa pikir panjang, aku menyeret pacarku berlari menjauhi toilet.
Meskipun itu pengalaman yang menyeramkan, aku tidak bisa begitu saja berhenti menggunakan toilet umum. Terkunci di dalam toilet masih sering kualami. Dan, akujugamasih minta tolong seperti biasa. Kalaupun setelah berhasil keluar, aku tidak menemukan siapasiapa, aku tidak lagi memikirkannya. Bodo amatlah, ditolong setan juga oke oke saja. Kan cuma sebatas dibukain pintu, bukan dikasih harta melimpah atau pesugihan lain.
Hingga pada suatu malam, aku sedang berada di depan wastafel toilet mal kelas menengah. Interior sekenanya, di dinding ada beberapa tempelan leaflet yang mengiklankan program diskon rumah makan. Lantai juga agak basah dan kotor, aku baru saja selesai buang air kecil dan berhasil keluar tanpa insiden pintu macet. Dari cermin besar di depan watafel, aku melihat empat pintu tertutup pertanda ada orang di dalamnya. Satu yang persis di belakangku terbuka. Di depan pintu terbuka itu, seorang cewek dengan sack dress merah terang dan high heels sewarna sedang berdiri membelakangiku. Hm…, untuk lingkungan di mana dia berada, cewek ini jelas salah kostum. Tapi… eh… kenapa aku jadi usil? Aku melanjutkan cuci tangan di wastafel. Waktu aku selesai, dari cermin, aku lihat dia masih saja mematung di depan pintu yang terbuka itu. Apa ada yang salah? Apa dia tiba tiba lumpuh?
Aku berbalik untuk menawarkan bantuan. Tapi, ketika aku sudah membelakangi cermin, ternyata tidak ada apa-apa di depan pintu toilet!
Aku menoleh ke dalam cermin lagi, si baju merah masih di sana. Berdiri diam tak bergerak seperti patung. Lalu, aku melihat pintu toilet, tetap tidak ada apa-apa. Aku mendekati pintu toilet dan mengayunkan tanganku ke udara, berharap membentur sesuatu. Harus ada sesuatu di depan pintu ini!
Eh…, berarti dia itu ada di mana sih? Di depan toilet nggak ada, di cermin ada. Apa dia di dalam cermin ya? Berarti, yang berhantu ini cerminnya? Perutku mulai mulas rasanya, kakiku juga tiba-tiba sulit digerakkan. Di dalam cermin, cewek berbaju merah itu seperti agak goyah berdirinya.
Bulu kudukku berdiri, aku menggeser kakiku pelanpelan ke arah pintu keluar, perasaanku campur aduk, antara takut, ingin lari, takut dihalangi, takut dia berpaling dan memamerkan wajahnya….
Begitu sudah dekat pintu, spontan aku mengucap “Assalamualaikum….” dan kabuuur!
Berbulan bulan setelah itu, aku menghindari toilet mal, karena selalu dipisahkan antara toilet cowok dan toilet cewek. Kalau kebetulan jalan dengan teman cewek sih mending, bolehlah dicoba. Kalau tidak? Nggak usah sajalah. Aku lebih suka pergi ke pom bensin, atau masjid, atau apalah yang apa pun gender teman jalanku bisa menunggu di depan pintu, berjaga jaga kalau pintu macet. Dan… yang tidak ada cermin besarnya. Sebagai akibat dari trauma nggak jelas itu, aku berkali kali terserang infeksi saluran kencing karena sering menahan pipis demi rasa takut.
Kata orang, segala sesuatu pasti ada ujungnya. Begitu juga upayaku menghindari toilet mal. Tapi, kali ini, aku lebih cerdas. Aku hanya masuk toilet yang ramai, lebih baik anteri daripada sendirian. Setidaknya kalau pintunya macet ada yang nolong, dan setan mana mau berbaur dengan begitu banyak orang? Atau… mereka mau juga ya? Entahlah!
Toilet sedang ramai, maklum hari ini malam Minggu dan tanggal muda pula. Sepertinya, semua orang berbondong-bondong pergi ke mal. Aku sudah berada di mal kedua karena pergi dari siang. Yang mana pun, pukul berapa pun, kepadatannya sama saja! Aku baru datang di mal kedua ini, seperti biasa, tujuan pertama adalah toilet. Biasa… touch up dulu, menyisir, cuci tangan, dan… buang air kecil.
Aku sedang berdiri di depan cermin berjejer dengan beberapa pengunjung lain. Perempuan di sebelah kananku menarik perhatian karena beberapa hal. Pertama, kulitnya sangat putih dan bening, eyeshadow warna keemasan dan hijau lumutnya juga rapi membingkai mata yang bagus. Bulu mata palsunya berwarna hijau, mungkin diselaraskan dengan blus yang dipakainya. Dia memakai celana pendek putih dan sepatu bot putih. Secara umum, dandannya menarik, hanya saja… wajahnya itu kok miskin ekspresi ya? Kelihatan jadi seperti… (maaf) waria. Atau memang dia waria?
Selagi aku asyik dengan pikiranku, tiba-tiba dia menghentikan kegiatannya dan menoleh padaku sambil tersenyum. Aku jadi salah tingkah, malu tertangkap basah mengamati orang dari dekat. Senyum itu seharusnya ramah dan manis, sumpah! Tapi, entah kenapa, kok aku merasa seperti diancam. Apa mungkin karena aku merasa bersalah memperhatikan dia dari ujung rambut sampai ujung kaki tadi? Ah…, mungkin juga.
Aku melanjutkan kegiatanku sendiri sambil sesekali melirik ke kanan. Hm…, cewek itu sedang mengoles pipinya dengan lipstik. Aku lihat dia menggoreskan lipstik itu ke jari tengahnya, lalu mengusap tulang pipinya yang tinggi dengan jari itu tadi. Tanpa sadar, aku meraba lipstik dalam tas tanganku, bukan… bukan mau meniru dia, tapi aku mau memakainya di bibir, seperti biasa. Si cantik itu pun mulai mengoles bibirnya juga. Dia membuka sedikit bibirnya, dan… ya, Tuhan… apa itu taring? Di antara dua bibirnya yang sedikit terbuka, ada sederat gigi yang putih rapi berjejer di depan. Agak ke samping…, gigi itu lebih panjang daripada yang lainnya dan ujungnya membentuk segitiga! Tanpa sadar, aku bergumam, “Apa itu taring?”
Ah, pasti bukan! Masa cewek cantik punya taring?
Vampir?
Vampir kan nggak ada di Indonesia! Mungkin gingsul ya? Sepertinya, itu lebih masuk akal.
Mungkin, tadi itu sebetulnya aku tidak bergumam, mungkin suara kagetku tadi cukup keras karena sekali lagi, dengan gerakan tiba-tiba cewek sebelah kananku itu menoleh ke arahku. Aku kaget setengah mati sampai lipstikku jatuh. Ya Tuhan, sekali ini, aku nggak mungkin salah. Tatapan tersebut begitu dingin mengancam!
Lalu, seperti dalam gerakan lambat, aku lihat dia berjongkok, memungut lipstikdantutupnyayangterlepas saat jatuh, memasang tutupnya dan mengulurkannya kepadaku masih dengan posisi jongkok. Seperti tersihir, aku menerima lipstik itu sambil tak lepas memandangi matanya. Dia bangkit berdiri terseyum agak lebar. Giginya aneh, geraham atasnya panjang dan lancip. Kontras dengan penampilannya secara keseluruhan.
Nah kan? Apa kataku, dia bertaring!
Aku tak sempat bereaksi apa apa atas kekagetan itu,karena dia bergerak cepat. Sambil terseyum, dia berbisik, “Lain kali hati hati,” lalu berjalan lewat belakangku menuju pintu keluar. Rambutnya yang panjang sempat menyapu punggungku, dan aroma parfumnya berbau melati… Melati… aku paling benci bau itu.
Meskipun perasaanku tidak enak, aku bermaksud meneruskan dandanku. Aku membuka lipstikku, tapi kok aneh… ini bukan punyaku! Lagian, warnanya kok jadi merah darah, punyaku oranye…. Sebentar, sebelum warna, casing nya juga sudah beda, ini tertukar. Aku bergegas bermaksud mengejar cewek tadi, tapi gerakanku malah menabrak orang di sebelah kiriku.
Aku merasa tanganku dipegang erat sekali, nyaris dicengkeram oleh ibu-ibu sebelah kiriku. Aku baru sadar tadi aku hampir jatuh karena buru buru ingin mengejar cewek tadi.
“Nggak apa-apa, Mbak?” tanyanya
Aku melihat sekeliling, ada satu… dua… tiga… empat… orang lain di toilet ini. Semua memandangiku seperti menunggu jawaban.
“Ini lipstik saya ketukar… sama itu lho, Mbak, yang barusan keluar.”
Ibu itu memandangiku dengan aneh, “Mbak, yang mana?”
“Em… itu yang tadi bertaring….” Terdengar jeritan lirih di wastafel ujung.
“Iya, bener, seperti ada taringnya… Ibu liat nggak tadi waktu dia senyum?” Aku mencoba mencari konfirmasi. Aku ingin yakin bahwa ada orang lain yang melihat taring itu.
“Mbak, dari tadi nggak ada perempuan bertaring. Sebelah Mbak itu kosong.”
Apa??? Dari tadi kosong??
Ada seribu paku ditembakkan dari jarak dekat ke arah kepalaku. Paku itu datang beruntun menusukdingin tiba tiba, mata melihat banyak bintang dan tangan kiriku serasa diguncang guncang.
“Mbak… Mbak… minum dulu, Mbak.”
Ibu itu mengguncang tanganku sambil menyodorkan air mineral berkemasan ukuran gelas, entah dari mana dia dapat air mineral dalam waktu sesingkat itu. Atau…, tidak singkat?
Toilet sudah mulai sepi, ada dua remaja ABG yang masih berdiri dekat pintu. Sepertinya, mereka ingin tahu apa yang tejadi, tapi sambil takut-takut. Sebentar bentar, salah satu berbisik kepada temannya secara bergantian. Aku merasa diejek dan dianggap aneh, tanpa sadar aku pelototi mereka. Dalam sekejap, mereka menghilang keluar dari toilet. Sekarang, tinggal aku dan ibu yang menolongku bersama anaknya. Aku bingung, mereka memandangiku dengan perasaan iba, menunggu apa yang mau aku lakukan selanjutnya.
Anak ibu itulah yang memecah ketegangan. “Mbak, beneran tadi liat ada cewek bertaring?”
Aku tak punya pilihan lain selain mengangguk. Gadis itu kelihatan kaget, lalu bahunya naik sebentar, lalu turun lagi. Tangannya menggaruk kepala, menengok ke kiri ke kanan. Apa dia takut? Aku jadi merasa tidak enak.
“Bu, apa bener Ibu tadi nggak liat ada orang di sebelah saya?” tanyaku bodoh menirukan begitu saja pertanyaan anaknya. Ya, aku benar-benar merasa bodoh kalau memang ternyata dari tadi nggak ada siapa-siapa di sebelahku. Ibu itu menggeleng sedih. Aku jadi merasa semakin tidak enak.
“Baiknya, Mbak pulang aja sekarang. Bawa kendaraan?” Aku menggeleng. Untungnya aku tidak bawa mobil. Mana bisa konsentrasi nyetir sambil membayangkan taring tadi? Tiba tiba, aku ingat lipstik warna merah darah yangmasih ada dalam genggamanku. Aku harus membuangnya. Itu lipstik setan. Siapa tahu lama-lama berubah bentuk? Jadi ular, misalnya. Hi….
Aku berjalan mendekati tempat sampah di bawah hand dryer dan mulai mengibaskan genggaman tangan kiriku. Lipstik itu lengket, susah lepas! Anak si ibu itu membantuku dengan mencoba mengambilnya dari telapak tanganku pakai tisu. Akhirnya, lipstik itu lepas. Aku berjalan kembali ke arah wastafel untuk mencuci bekasnya di telapak tanganku. Bekas merah yang menempel seperti darah kering, bukan lipstik! Begitu terkena air keran, telapakku seperti berdarah-darah. Aku menggosok gosok berkali-kali, menuang sabun cair, mencucinya lagi di bawah keran sampai berkali kali.
“Sudah, Mbak, sudah bersih,” kata ibu itu lembut. Aku baru sadar kalau sudah mencucinya secara berlebihan. Air keran sampai muncrat ke mana mana, termasuk ke bajuku.
“Ayo, Ibu antar cari taksi.” Ibu itu menggandeng tanganku. Aku jadi merasa seperti anak TK habis menangis karena tidak dijemput dari sekolah. Aku berjalan seperti setengah sadar. Pikiranku sibuk mengonfirmasi: ternyata tadi itu aku benar benar bertemu setan, berdiri berdampingan! Bertukar senyuman, bertukar lipstik….
Kami Jasa Solusi Problem Hidup. Masalah Tuntas Tanpa Bertentangan dengan Hukum Agama dan Negara.
MACAM PROBLEM DALAM PELAYANAN KAMI:
Solusi Problem Asmara, Rumah Tangga, Back Up Karir, Back Up Usaha, Jual Beli, Aura Pemikat, Bersih Diri / Ruwat / Ruqyah / Buang Sial, dll.
KAMI TIDAK MELAYANI SEGALA HAL YANG MELANGGAR HUKUM AGAMA DAN NEGARA.
Contoh: Bank Gaib, Uang Balik, Harta Gaib, Pesugihan, Aborsi / Menggugurkan Kandungan, Perjudian / Togel / Judi Online, Mencelakakan Orang / Santet / Teluh, dll.
ALAMAT PONDOK RUQYAH:
Dusun Kasemen, No.50, RT.05, RW.03, Desa Wangkalkepuh, Kecamatan Gudo, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Kodepos 61463.
🌐 https://pondok-ruqyah.com/
☎️ +6285708371817
PERINGATAN!
Hati-hati dan waspada terhadap penipuan online yang mengatasnamakan kami. Diutamakan datang langsung ke alamat kami untuk menghindari segala hal negatif. Terimakasih.
DATANG DENGAN NIAT BAIK
TIDAK UNTUK KEJAHATAN!