Kisah Mistis: HANTU KAMAR KOSONG

0
39

HANTU KAMAR KOSONG

Kata orang, jangan suka membiarkan kamar kosong dan gelap, karena di tempat seperti itulah setan-setan suka menghuni. Apalagi, kalau kamar dibiarkan kotor lengkap dengan sarang laba laba, jangan jangan laba labanya pun hantu juga. Masalahnya adalah, kalau rumah itu sangat besar, dengan jumlah kamar tidur melebihi jumlah penghuni, tidak bisa dihindari akan ada kamar akan dibiarkan kosong.

 

Soal gelap?

 

Lha, kalau semua ruang dibuat terang pada malam hari kan malah aneh? Mal aja sudah gelap pukul sepuluh malam… ya, kan?

 

Pada suatu hari, Rina, Adhis, dan Venty diundang menginap di rumah Om dan Tante Adhis yang menjadi pejabat di Batam. Seperti layaknya rumah dinas pejabat, rumah tante Adhis ini juga sangat besar, berdiri di atas tanah seluas seribu meter persegi. Konon kabarnya, semua rumah besar itu angker, apalagi rumah tua yang telah berganti penghuni berkali-kali. Tante Adhis baru menempati rumah itu beberapa bulan lalu. Menurut Adhis, tantenya ini punya rumah lain, dan sehari-hari tinggal di rumahnya sendiri. Rumah dinas hanya ditinggali kalau ada tamu saja. Menurut Adhis, tantenya ini sudah banyak mengalami hal-hal aneh. Para tamunya yang pernah menginap di situ, beberapa di antaranya juga mengeluh kalau pernah diganggu makhluk halus. Adhis menceritakan hal tersebut kepada kedua sahabatnya perihal rumah berhantu itu, Rina dan Venty. Terutama, Venty, yang lebih ngotot mengajaknya untuk menginap di sana, wisata horor kata mereka. Meskipun ide ini tergolong gila, setelah melalui serangkaian perdebatan, akhirnya mereka sepakat untuk jalan jalan sekaligus menguji nyali.

 

Rumah dinas tante Adhis dari luar tampak sepi, ada pos jaga di dekat gerbang, tapi tidak terlihat ada satpam di sana. Hm… pasti dia tidur. Malam malam begini, mungkin dia pikir nggak bakalan ada tamu datang. Mereka turun dari taksi dan segera sibuk dengan rasa ingin tahu masing-masing. Rina memencet tombol bel di gerbang sambil melogok ke dalam pos jaga. Tidak ada tanda-tanda orang tidur di sana. Pos jaga ini kosong, eh… tapi tunggu dulu, kok ada anak kecil meringkuk di bawah teve di dalam pos? Apa itu anaknya satpam? Kasihan bener masih kecil diajak jaga.

 

“Dik… dik… bukain pintu bisa, nggak?” Rina mencoba membangunkan anak kecil yang sepertinya tertidur itu. Posisinya sangat tidak nyaman, dia duduk di lantai pos jaga dengan lutut merapat ke dadanya. Kepalanya menelungkup ke lututnya dan dia memeluk lutut itu erat-erat. Anak laki-laki kecil itu tak bergerak. Nyenyak sekali tidurnya….

 

“Ngomong sama siapa lo, Rin?” Venty tiba-tiba sudah berada di samping Rina. Sepatu keds nya membuat langkahnya ringan tak terdengar.

 

“Rin, lo ngomong sama siapa tadi?” Venty memanjangkan lehernya untuk melihat ke pos jaga itu lebih dalam lagi. Tidak ada satu pun manusia di sini!

 

“Itu anak kecil yang tidur di bawah teve,” sahut Rina sambil mencari cari ponselnya di dalam tote bag besar yang disandangnya.

 

“Anak kecil yang mana? Venty mulai mencari cari. Televisi 14 inci itu ditaruh menempel dinding pos jaga kira kira dua meter dari lantai. Di bawahnya, ada kardus bekas air mineral dan sebuah jaket parasut warna hitam teronggok di atasnya. Kalau ada anak kecil yang tidur di bawah televisi…, berarti dia tidur di atas kardus itu.

 

“Rin, sini…” Venty menggeret lengan Rina. “Mana tuh anak yang tidur di bawah TV?”

 

Keduanya sekarang berdiri agak menempel pagar. Yang pertama terasa adalah dingin, besi pagar yang menempel di pipi mereka rasanya seperti batangan es, yang kedua… setelah pandangan lebih lega seperti sekarang ini, Rina bisa melihat seisi pos jaga yang berukuran 2 x 2 meter itu. Menempel di jendela pos jaga adalah sebuah meja kecil dengan buku, bolpoin, termos, dan cangkir yang sudah kosong. Di belakang meja, ada sebuah payung berwarna hitam disandarkan ke dinding. Di sebelah payung, ada kardus air mineral dengan kemasan berukuran gelas dan jaket hitam di atasnya. Naik ke atas lagi, sebuah televisi 14 inci. Di sebelahnya, ada sebuah pintu kecil, Rina menduga itu adalah toilet satpam. Pintu itu tertutup, pertanda ada orang di dalamnya.

 

“Masuk toilet kali, Ven…, tadi duduk di situ,” kata Rina sambil menunjuk ke kardus air mineral yang ada di dalam situ.

 

“Duduk di atas kardus? Lo lihat nggak kardusnya tadi?”

 

Rina bingung, seingatnya anak laki-laki tadi itu duduk di lantai karena dia ingat melihat kakinya yang tanpa alas menempel ke lantai keramik warna putih itu. Kok sekarang ada kardus ya? Perasaan tadi nggak ada kardus…. Tanpa sadar, tangannya menggengam tangan Venty. Keduanya berpandangan, ada banyak tanya yang tak terucap karena masing-masing takut dengan apa yang ada dalam pikiran mereka. Dari arah seberang jalan, terlihat laki laki dengan seragam satpam biru tua berjalan menghampiri Adhis yang sedang asik dengan ponselnya. Tanpa dikomando, Rina dan Venty beranjak ke tempat Adhis berdiri.

 

“Maaf, Non, saya tadi beli rokok sebentar.” Satpam bernama Marcus itu tergopoh-gopoh mengeluarkan kunci dari saku celananya dan bergerak ke arah pintu gerbang. Rina yang masih penasaran mengikuti Marcus dari belakang.

 

“Pak, yang tidur di pos jaga itu anaknya?”

 

Marcus mengernyitkan dahimemandangi Rina dengan penuh tanda tanya. Siapa pula tidur di pos jaga?

 

“Saya belum kawin, Non, mana bisa punya anak?” Bibir Marcus membentuk senyuman, atau setidaknya dia menahan ketawa. Di mata Rina, senyuman itu seperti seringai mengejek yang menyeramkan. Dengan kulit hitam, di malam hari, di mana cahaya lampu jalanan tidak cukup menerangi, sederet gigi yang putih besar besar, bibir hitam terkuak…. Rina bergidik. Kok sambutan rumah ini serba membuat ngeri?

 

“Anak laki laki yang duduk di lantai pos jaga tadi itu anak siapa?” Masih belum putus asa, Rina mengulang pertanyaannya.

 

“Non, selama saya jaga, nggak pernah ada orang lain yang masuk ke pos jaga. Saya nggak mau ambil risiko, Non. Kalau teman saya, Darius, memang punya anak perempuan, pernah dibawa waktu ibunya sakit.”

 

“Sudahlah, lupain aja, yuk masuk.” Venty menyergah dari belakang, lalu menyeret tangan Rina.

 

“Rin, kita ini tamu, jangan sok usil.”

 

“Tapi, sumpah deh tadi gue liat ada yang tidur di situ.”

 

“Ya, kan kita udah tahu rumahnya berhantu, udah ntar aja dibahas.” Venty tampaknya sama sekali jauh dari rasa takut. Rina mencatat ini dalam hati.

 

“Ada apa sih? Ribut aja dari tadi. Ayo cepetan, Tante udah nungguin, nggak enak,” kata Adhis menyimpulkan seluruh suasana.

 

Tapi, sepertinya, Rina belum puas dengan interogasinya, sesekali kepalanya menoleh ke belakang, ke arah pos jaga.

 

Mereka bertiga masuk dari pintu samping yang langsung ke ruang keluarga. Tante dan Om Hananta sudah menunggu di sana dan segera berdiri menyambut. Jam dinding di dekat pintu di mana mereka masuk tadi menunjukan pukul 22.15 waktu setempat. Dalam keadaan lelah seperti itu, yang paling mereka inginkan adalah segera membersihkan badan, meluruskan kaki dan punggung, lalu tidur pulas. Tapi, alangkah tidak sopan melakukan itu! Maka, setelah makan malam, mereka ngobrol-ngobrol sebentar dengan tuan dan nyonya rumah. Selama ngobrol di ruang keluarga, Rina mengamati isi dan suasana rumah.

 

Dari tempatnya duduk, di depan televisi, pandangan Rina mengarah bagian depan. Tampak dua buah ruang tamu, yang satu sangat besar, dan yang lebih ke belakang agak kecil. Ruang tamu yang agak kecil ini menghadap ke dua buah kamar tidur dan sebuah pintu ke taman samping kanan. Pencahayaan sangat redup di situ sehingga detail detail kecil tidak tertangkap oleh Rina. Sebetulnya, Rina ingin lebih lama memandangi setiap ruang di rumah bagian depan itu, Adhis pernah cerita kalau bagian rumah yang itu jarang dipakai, hanya kalau ada tamu. Tapi, setelah benar benar mencoba, rasanya Rina ingin segera berpaling. Jendela yang ada di rumah ini besar besar, mungkin setinggi tiga meter. Jendela kaca itu hanya ditutup dengan vitrage tanpa gorden yang tebal. Rina berpikir dalam hati, seandainya pun rumah ini tidak dihuni makhluk halus, begini saja sudah mengintimidasi. Bayangkan kalau kau sedang duduk sendirian di ruang tamu, lalu memandang keluar yang cuma diterangi lampu-lampu taman yang dipasang di balik batu batu besar sehingga sinarnya mengarah ke atas. Lalu dahan-dahan dari tanaman yang ada di taman itu bergoyang tertiup angin… seperti bayangan orang sedang menari-nari. Cepat-cepat Rina berpaling dari jendela.

 

Pandangan Rina beralih ke sebelah kanan tempat duduknya. Sebuah meja makan dari kayu yang besar dengan enam kursi yang juga besar-besar. Mungkin, kursi ini khusus dirancang untuk para penderita obesitas. Jendela di ruang makan itu menghadap ke jalan yang cukup ramai. Tadi saja mereka datang dari bandara lewat jalanan itu. Rina ingat karena halte bus dengan bilboard besar berwarna merah itu kelihatan dari sini melalui vitrage putih di seberangnya. Kaca jendela itu pastilah tebal, tak ada suara apa pun dari jalan yang terdengar di dalam rumah ini.

 

“Kalian istirahat aja sekarang, ada tiga kamar di atas. Perjalanan panjang pasti membuat kalian lelah.” Om Hananta menunjuk ke kamar-kamar di lantai dua. Rina, Venty, maupun Adhis menghela napas lega. Biasanya, tamu disediakan kamar yang di lantai satu. Hal itu sangat membuat gelisah karena kebanyakan cerita seram terjadi di kamar kamar yang terletak di lantai satu rumah ini.

 

Sesampainya di atas, Venty langsung memilih kamar yang di pojok kanan. Jendelanya menghadap ke jalan besar di depan rumah. Ada balkon dengan beberapa kursi untuk menikmati pemandangan pagi yang konon kabarnya sangat bagus. Kamar di lantai dua ini ada dua buah yang memiiki balkon. Pertama adalah kamar tidur utama yang ditempati Om dan Tante Hananta, kedua adalah yang dipilih Venty. Adhis pernah cerita kalau kamar yang sekarang dipilih Venty itu berhantu. Pernah ada tamu yang diganggu sewaktu di kamar mandi, lampu kamar mandi tiba tiba dimatikan dan beberapa saat kemudian dihidupkan lagi. Venty sepertinya lupa akan cerita itu atau… dia santai saja memilih tidur di situ? Entahlah.

 

Di seberang kamar, Venty ada kamar yang lebih kecil ukurannya, itu adalah kamar tidur anak pertama Om Hananta. Sekarang, kamar itu kosong karena pemiliknya kuliah di Jakarta. Konon, pemilik kamar itu punya indra keenam, dan karena itu juga sering diganggu. Rina dan Adhis berpandangan, saling mengukur keberanian masing masing. Siapa yang bakal menempati kamar pojok itu?

 

“Kita suit aja,” usul Rina, kalau ternyata nanti dia kalah bagaimana? Tapi, memilih begitu saja rasanya nggak enak. Bagaimanapun, ini rumah tante Adhis, jadi bisa dibilang Adhis juga separuh tuan rumah.

 

“Kita berdua aja di kamar yang tengah ya?” Akhirnya, Adhis memutuskan. Rina lega bukan main. Kalaupun ada apa-apa, dia tidak perlu menghadapinya sendirian.

 

Kamar berukuran 5 x 6 meter itu kelihatan bersahabat, tempat tidur ukuran gueen terletak di dekat jendela. Tidak ada balkon di sini, jadi Rina tidak perlu khawatir ada yang berdiri di luar untuk mengagetkan atau mengetuk pintu.

 

Hm…, Memangnya, siapa bilang hantu butuh lantai untuk berpijak?

 

Kan bisa aja dia berdiri melayang di luar jendela dan ganti mengetuk jendela… atau… sekadar menempelkan wajahnya di jendela sebagai salam selamat datang.

 

Ah, malam ini gue nggak ingin membayangkan halhal buruk! Badan capek, yang paling baik adalah mandi dan segera tidur.

 

Kasur itu begitu menggoda, seprainya bermotif bunga bunga kecil berwarna cokelat muda. Ada dua buah bantal dengan motif yang sama, tapi warnanya sedikit lebih gelap. Adhis langsung membanting badannya ke kasur yang empuk menggoda itu. Perjalanan dari rumah ke bandara tadi cukup membuat punggungnya terasa remuk.

 

Dari tempat tidurnya, Adhis mengawasi keseluruhan isi kamar. Langit-langitnya sangat tinggi, mungkin lima meter. Disebelahkanan, adajendelayanghampirselebar kamar ini dibagi ke dalam enam panel yang berukuran 1x 2 meter. Gorden yang menutupnya berwarna kuning gading. Syukurlah, ada gorden tebalnya nggak cuma Vitrage, pikir Adhis. Dilihatnya Rina malah sibuk sendiri keluar masuk ke kamar mandi.

 

“Ngapain sih, Rin? Lo mau mandi sekarang?”

 

Rina bingung, dia memang mau mandi, tapi bath tub yang menempel dinding itu ada jendela di atasnya. Masalahnya, jendela itu tanpa gorden. Dari tempatnya berdiri, Rina bisa melihat sebuah bangunan tinggi di seberang kamar mandi ini, sepertinya apartemen. Bagaimana kalau ada yang punya teropong di sana? Teropong dengan sinar infra merah.

 

“Dhis, ini jendelanya nggak pakai gorden.”

 

Adhis bangkit dari tempat tidur, naik ke atas tepi bath tub dan melihat keluar jendela kecil di atasnya.

 

“Kalau yang ngintip ganteng meskipun psikopat, lo ikhlas kan, Rin?” kata Adhis sambil tertawa.

 

Dalam hati, Adhis tersenyum geli. Yang teringat olehnya adalah sebuah film tentang psikopat pengelola apartemen yang memasang kamera cctv di setiap ruangan dari unit unit yang dia sewakan. Maka, seharian, kegiatannya adalah mengintip para penyewa itu mandi, tidur, atau apapun yang mereka lakukan di unit masing-masing. Lalu, psikopat itu menaruh perhatian lebih pada seorang gadis penyewa yang tinggal sendirian. Kejadian selanjutnya adalah tindakan kriminal yang mengerikan, psikopat itu menyerang si gadis, memerkosa, menyekapnya berhari hari sampai nyaris membunuhnya. Adhis tiba-tiba bergidik ngeri. Leluconnya soal psikopat ganteng tadi serasa tidak lucu lagi. Psikopat, di mana-mana tidak ada yang ganteng! Semua kelihatan menyebalkan dan menciutkan nyali.

 

“Rin, kalau mandi, matiin aja lampunya.” Adhis memberi saran yang masuk akal.

 

Rina akhirnya mandi dalam gelap, dengan berjongkok di dalam bath tub dan… menggunakan shower. Matanya sebentar sebentar melirik ke jendela di atasnya. Entah apa yang mendorongnya begitu. Keluar dari kamar mandi, dilihatnya Adhis sudah tertidur. Posisinya miring menghadap jendela dengan memeluk satu bantal. Itu berarti dua buah bantal yang ada sudah dipakai semua oleh Adhis. Rina bungung, mau membangunkan Adhis dan minta bantalnya kok nggak enak, sementara dia tidak bisa tidur tanpa bantal. Jadi, bagaimana?

 

Terpikir untuk mengambil satu bantal dari kamar pojok yang tak terpakai itu. Ya…, kenapa tidak? Tapi, kata Adhis itu kamar yang lumayan seram. Malam-malam pula. Aduh… bagaimana ya? Pinjam Venty? Ah… ya, itu ide bagus.

 

Rina membuka pintu kamarnya dan menoleh ke kanan, kamar pojok di seberang kamar Venty itu terbuka pintunya. Di dalamnya gelap, tidak ada cahaya sama sekali. Rina melangkah mendekat ke kamar Venty, tapi matanya tak lepas dari kamar pojok itu. Tibatiba, bulu kuduknya berdiri. Dalam gelap, sepertinya ada sosok yang mengawasi gerak geriknya. Kamar itu seperti jauh dari rumah ini, seperti berbeda kesannya, seperti bukan bagian dari rumah ini. Kamar itu seperti sebuah pintu menuju alam lain.

 

Rina berhenti, kakinya serasa membeku. Seperti ada tangan sedingin es yang mencengkeram betisnya. Rina panik. Dua tangannya terulur memegang betis kirinya dan berusaha mengangkat kaki kirinya dari lantai. Tapi, usaha itu sia-sia, kaki Rina seperti dicor ke lantai, berat. Rina mencoba lagi dan lagi sambil mulutnya merapal doa-doa apa saja yang diingat. Setelah berkali-kali mencoba, akhirnya berhasil juga. Begitu kaki terangkat Rina langsung berlari kembali ke kamarnya.

 

Adhis masih tertidur pulas, sepertinya semuanya tenang tenang saja. Rina menyalakan televisi 29 inci yang ada dalam kamar. Tangannya menari nari di atas tombol remote control, lalu badannya membeku saat layar menampilkan film horor Asia. Sepertinya, itu film Thailand, spontan Rina mematikan televisi dan mencoba tidur…, tapi gagal. Ketakutan yang dialaminya di luar tadi membuat tenggorokannya kering dan terasa seperti diiris-iris.

 

Gue harus ambil air untuk minum. Tenggorokan kayak mau robek begini.

 

Tapi, itu artinya gue mesti keluar kamar lagi? Oh, no!

 

Di lantai dua ini tidak ada kulkas, tidak ada dispenser, bahkan gelas atau botol air mineral kecil yang menganggur pun tidak ada. Berarti, kalau mau minum, mesti turun ke lantai satu.

 

Dengan hati-hati, Rina membuka pintu kamar, refleks kepalanya menoleh ke kanan, ke arah kamar pojok yang tadi. Masih tetap gelap, tapi entahlah, makhluk pengintai tadi masih ada atau tidak. Rina berbelok ke kiri ke arah tangga.

 

Rumah sepi, pembantu kebetulan satu cuti dan satu lagi keluar, maksudnya tidak bekerja lagi di sini. Mungkin karena ketakutan. Om dan Tante Hananta pasti sudah tidur. Sepanjang tangga, Rina berjalan berjingkat dengan tangan kiri berpegangan di pegangan rel tangga. Jantungnya berdegup kencang, sambil sesekali menoleh ke belakang.

 

Aduh, sepi banget sih rumah ini? Ada yang ngikutin gue nggak nih? Mana gelap lagi!

 

Sekali lagi, Rina menoleh ke belakang. Tidak ada apa apa. Aman.

 

Di ujung bawah tangga, Rina celingukan, gelap sekali. Ruang makan ada di sebelah kanan dan saklarnya ada di samping kulkas, padahal sebelum itu, dia harus mengambil gelas dulu di dapur. Itu berarti, setelah mencapai kulkas, menyalakan lampu, belok kanan ke dapur. Saklar dapur di mana ya tadi? Ah….

 

Rina belum bergerak dari ujung tangga, ekor matanya melirik ke sebelah kiri. Dari sini, suasana bagian rumah yang depan ini terlihat jelas. Dalam hati, Rina mengakui kalau ternyata cerita cerita Adhis itu sangat masuk akal. Bayangkan, tanpa dihantui saja, berdiri di ujung tangga seperti ini rasanya badan menjadi beku. Ada aura magis yang terpancar dari rumah ini yang membuat Rina merasa berada di tempat lain.

 

Rina segera ingat tujuan semula, dengan cepat tanpa menoleh ataupun melirik, dia berjalan cepat ke arah saklar lampu ruang makan, menyalakan lampu. Lalu, berjalan cepat melewati ruang keluarga ke arah dapur, meraba dinding kiri kanan mencari saklar. Begitu dapur terang, membuka lemari dapur, mengambil dua buah gelas. Kembali lagi ke ruang makan setelah mematikan lampu dapur. Mengisi gelas dari dispenser, mematikan lampu ruang makan dan bergegas menuju tangga.

 

Berjalan cepat dengan dua gelas penuh air tidaklah secepat tangan kosong.

 

Sejak mengisi air dari dispenser, perasaan ada yang mengamatinya dari jauh. Posisi Rina membelakangi ruang tamu karena dispenser menempel dinding ruang makan. Waktu berjalan menuju tangga, perasaan bahwa ia diamati itu semakin nyata. Tepat di ujung tangga, ekor matanya menangkap bayangan anak lakilaki kecil yang tadi tidur di pos jaga. Anak itu sedang berdiri di depan pintu kamar pertama. Cepat-cepat, Rina bergerak menaiki tangga, tidak berani lagi melirik ke arah ruang tamu meskipun hanya dengan ekor mata. Berjalan menaiki tangga adalah siksaan tersendiri. Perasaannya campur aduk antara ingin lari, takut airnya tumpah, dan takut membangunkan tuan rumah.

 

Di ujung tangga atas, Rina terhenti mengamati pintu kamar kecil pojok yang terbuka. Suasananya masih seperti tadi gelap entah ada yang mengawasi atau tidak, Rina tidak ingin tahu lagi. la berjalan cepat menuju kamarnya.

 

Venty menyalakan lampu kamar mandi, melangkah ke bath tub dan mulai berendam. Rasanya bakalan nyenyak tidur nanti kalau badan segar. Tangannya meraih shower curtain berwarna hijau muda dengan motif bunga tulip itu dan menariknya ke kiri. Ah… lupa, iPod gue tadi mana ya?

 

Venty melangkah keluar bath tub dan menyambar handuk, lalu ke kamar mencari iPod yang tertinggal di lantai di sebelah tempat tidur. Venty memungut Ipodnya dan baru sadar kalau gorden belum tertutup.

 

Waduh… kalo ada yang berdiri di balkon, gimana dong?

 

Sambil merapatkan handuk yang membelit tubuhnya, Venty berjalan untuk menutup gorden dan kembali ke kamar mandi.

 

Lho, kok lampunya mati? Perasaan, tadi nggak matiin lampu. Atau, gue udah mulai pikun ya?

 

Meskipun penasaran, Venty meraih saklar dan menghidupkan kembali lampu kamar mandi, lalu melangkah kembali ke bath tub untuk berendam. Ah… segarnya badan kena air begini. Venty menyangga kepalanya dengan handuk, meluruskan kakinya, dan mulai menikmati lagu-lagu yang ada dalam iPod nya.

 

Beberapa menit berlalu, sepertinya, Venty sempat tertidur karena tiba tiba ia merasa rambutnya basah dan posisi badannya melorot. Saat sadar, yang pertama diingat adalah iPod-nya. Kalau basah, bisa gawat nih!

 

Tangannya meraba raba ke kanan dan baru sadar kalau ternyata gelap.

 

Apa bohlamnya mati ya?

 

Venty keluar dari bath tub menuju saklar. Di sana… saklar itu memang dalam posisi off.

 

Siapa yang matiin?

 

Tiba-tiba, dia ingat cerita Adhis dan mulai merasa takut. Jujur saja sebenarnya Venty cuma pura pura berani di depan teman temannya. Gengsi rasanya ketakutan seperti itu. Kayak anak kecil aja. Tapi, sekarang, saat sendirian begini, kejujuranlah yang muncul di permukaan. Rasa takut dan ngeri mulai menyergapnya.

 

Pelan pelan, ditekannya tombol saklar ke posisi on.

 

“Maaf, ya…, gue numpang tidur di sini tiga malam aja, jangan diganggu ya?” Venty mengucapkannya permintaan izin entah pada siapa dengan sangat perlahan, nyaris berbisik. Entah karena takut atau malu ngomong sendiri.

 

Sebagai jawabannya, lampu itu mati lagi! Venty sampai terlonjak kaget, beberapa detik kemudian hidup lagi.

 

Apakah itu tadi jawaban? Apakah artinya “iya boleh”, gitu?

 

Sepanjang sisa malam itu, Venty tidak bisa tidur. Kesadarannya akan adanya makhluk lain di dalam kamar ini menghapus semua rasa kantuk dan lelah. Keputusannya sudah bulat, besok dia akan bergabung ke kamar sebelah!

 

Antara tidur dan terjaga, telinga Adhis menangkap suara yang rasanya tak asing lagi, tapi apa? Susah sekali membuka mata meskipun suara-suara itu makin keras dan sering. Badan yang pegal pegal dan mata yang berat melarangnya bangun. Tapi, suara suara itu kenapa tak mau berhenti? Rasanya, tadi pelan dan jarang jarang, kok semakin lama semakin keras dan cepat.

 

Aku harus bangun! Aku harus mencari tahu sumber suara itu!

 

Sekuat tenaga, Adhis mencoba membuka mata, melawan keinginan yang sangat besar untuk kembali tidur, samar samar dia sadar, suara itu berasal dari jendela. Pertama, terdengar pelan, tapi semakin lama semakin keras dan banyak ketukan seolah dilakukan sepuluh tangan. Karena gorden tertutup rapat, Adhis berpikir ini masih malam. Diguncangnya tubuh Rina yang masih tiidur lelap itu karena ia tak mau menghadapinya sendirian.

 

“Rin…, Rin… bangun… ada yang ketuk ketuk jendela.”

 

“Hah? Apa??? Aduh masih ngantuk nih….” “Itu di jendela… ada banyak yang ketuk ketuk.”

 

Mereka berdua berpandangan, sibuk dengan pikiran masing-masing. Akhirnya mereka sepakat bersamasama membuka gorden, bersiap siap menghadapi apapun yang terjadi.

 

Hal pertama yang mengejutkan saat gorden terbuka adalah… ternyata langit sudah terang. Sudah pagi! Kejutan kedua, ada banyak sekali burung bertengger di panel luar jendela. Paruhnya mengetuk jendela, mungkin minta makanan.

 

Rasa pegal di leher dan pundak dirasakan Rina sangat mengganggu. Mungkin, bagi sebagian orang, bantal tidak penting, tapi bagi Rina tidur tanpa bantal hanya akan menambah masalah baru. Selesai mandi pagi.

 

Rina bermaksud mengambil bantal di kamar pojok itu.

 

Sambil berjingkat, Rina memasuki kamar pojok itu dengan hati hati, mengamati seisi ruang. Sepertinya tidak apa apa. Mungkin karena pagi hari, cuaca terang. Matahari memang baik hati, tempat yang tadinya memberi kesan seram sekalipun jadi terasa bersahabat karena sinarnya. Rina pun memutuskan untuk tinggal di dalam lebih lama.

 

Baru saja niatan selesai diucapkan dalam hati, ada embusan angin dingin menyapu tengkuknya. Rina merasa sepertinya dia tidak sendirian di kamar ini. Degup jantungnya bertambah cepat, kakinya mulai gemetar. Mungkin datang ke sini adalah keputusan yang salah. Intuisinya mengatakan bahwa ada sepasang mata yang mengikuti gerak geriknya sejak tadi. Kadang, Rina bisa merasakan kapan makhluk pengintai itu bergerak sambil menyapukan belaian udara dingin ke punggungnya, ke lengannya, ke wajahnya. Apa yang dilakukan si pengintai itu? Lagi-lagi, kaki Rina seperti terpaku ke lantai kamar. Dengan tekad bulat ,dia berbalik untuk melihat seperti apa makhluk yang datang.

 

Kosong… tidak ada makhluk apa pun.

 

Tapi, tetap Rina merasa ada sepasang mata yang mengawasi, dari jarak dekat, tapi tidak tahu dari arah mana. Apa mungkin anak kecil yang semalam?

 

Rina melihat sekeliling sambil melirik tempat tidur, lalu pintu. Mengira-ngira berapa waktu yang dibutuhkan untuk berjalan ke tempat tidur, mengambil bantal, lalu berjalan keluar lewat pintu yang mudah-mudahan akan tetap terbuka saat ia melewatinya nanti.

 

Embusan angin dingin itu datang lagi…. Apakah makhluk itu tahu isi pikiran gue?

 

Wah, gawat juga. Bagaimana kalau dia mengunci pintunya dari dalam?

 

Lalu, gue berdua saja dengannya? Tidaaaaaaak….

 

Dengan cepat, Rina menyambar satu bantal, lalu berlari melewati pintu kembali ke kamarnya. Entah seperti apa wajahnya saat itu karena Adhis dan Venty yang sudah berada di kamar melihatnya dari ujung rambut ke ujung kaki.

 

”Dari mana, Rin? Kok muka lo horor gitu sih?” Adhis yang pertama sadar akan perubahan wajah temannya. lalu bertanya. Venty menduga pasti terjadi sesuatu pada Rina, mungkin seperti yang terjadi padanya tadi malam.

 

”Dari ambil bantal nih, elo sih semua bantal dipake sendiri aja.” Rina mengelak, dia berbohong. Tadinya

 

terpikir untuk menceritakan apa yang terjadi di dalam kamar pojok itu, tapi Rina pikir nanti sajalah kalau sudah pulang.Takutnya, kalau dibicarakan, hantuhantu itu malah mengganggu.

 

Venty mengamati wajah Rina yang berubah-ubah. Sudah jelas ada yang tidak beres, kenapa dia nggak mau cerita? Venty menimbang kembali niatannya untuk pindah bergabung ke kamar ini. Sebaiknya bagaimana?

 

Kalau gue ntar malam gabung ke sini, ketahuan dong kalau gue ketakutan? Aduh, gimana ya? Mending gue coba sernalam lagi aja tidur di kamar sebelah. Gengsi dong… masak Rina tahan, gue enggak?

 

Sementara itu, Adhis menduga ini pasti karena Rina pergi ke kamar pojok itu. Dia tahu itu kamar berpenghuni, dia sendiri juga takut kalau harus tidur di sana, sendirian pula. Tapi, dua orang sahabat ini sekarang adalah tamunya. Kalau Adhis menunjukkan rasa takutnya, kok kurang pas aja. Kalau bisa, malah seharusnya dia menenangkan hati dua sahabatnya itu dengan bilang kalau tidak ada yang perlu ditakuti di sini.

 

Tapi, itu nggak mungkin. Mereka udah ngalamin sendiri. Dan, gue? Gue juga sebenernya takut.

 

Ah…

 

Tiga puluh menit kemudian, mereka bertiga keluar dari kamar, bersiap untuk jalan-jalan. Di ambang pintu, Rina berhenti, matanya melirik kamar pojok itu dengan perasaan ngeri. Venty yang melihat hal itu jadi semakin heran. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Rina nggak mau cerita? Venty mengikuti arah mata Rina ke kamar pojok. Perasaannya tidak mengisyaratkan apa pun. Tidak juga rasa was-was.

 

“Ada apa sih, Rin?” tanya Venty.

 

Adhis yang berdiri di belakang Rina jadi ikutan heran. Dari tadi, dua temannya ini kok aneh, saling merahasiakan sesuatu! Padahal, tidak biasanya mereka begitu. Merasa sebagai tuan rumah, akhirnya Adhis mengalah dan berjalan ke kamar pojok meskipun sebetulnya dalam keadaan lain itu adalah hal terakhir yang bakal dilakukannya.

 

Gue kan tuan rumah sekali ini. Gue mesti berlagak nggak ada masalah apa-apa dengan kamar itu. Ya, memang sih gue telanjur cerita soal kamar itu seram waktu masih di Jakarta. Tapi, mungkin kalau sekarang gue cuek seolah nggak ada apa-apa, mereka bakal lupa sama cerita itu.

 

Rina dan Venty terkesiap, tidak menduga Adhis bakal melakukan hal itu. Reaksi keduanya tidak terlepas dari pengamatan Adhis.

 

Nah, bener kan? Mereka ternyata ingat cerita itu.

 

Gimana dong?

 

Dengan gaya dimantap mantapkan, Adhis menutup pintu kamar itu dan kembali bergabung dengan kedua sahabatnya.

 

“Ayo, turun sekarang. Tante sudah telepon dari tadi. Sarapan sudah siap.”

 

Rina menghela napas lega dan berjalan paling depan menuruni tangga.

 

Pintu kamar itu sekarang sudah tertutup. Jadi, gue nggak perlu paranoid lagi setiap berjalan dan melirik pintunya. Nggak perlu lagi khawatir ada yang mengintai dari dalam sana.

 

Mereka sarapan berlima di dapur bersama Om dan Tante Hananta. Tante Hananta memandangi tamunya satu per satu, sebetulnya ingin bertanya, apakah mereka mengalami gangguan semalam?

 

Enak nggak ya nanya begitu?

 

Kesannya kok sengaja menjerumuskan mereka kalau aku tanya.

 

Seolah olah sudah tahu mereka bakal diganggu dan aku membiarkan.

 

Tapi, kalau aku nggak tanya, kok kurang perhatian ya?

 

Gimana baiknya?

 

Saat Tante Hananta menimbang-nimbang, suaminya malah sudah langsung meluncurkan “The one million dollar guestion,” itu.

 

“Gimana tidur kalian semalam? Sudah ketemu hantu penunggu rumah ini belum?” Om Hananta berhenti sejenak mengamati wajah Adhis yang terlihat kaget, Venty yang tersedak tiba tiba, dan Rina yang menjatuhkan sendoknya. Lalu, meneruskan, “Jangan takut, kalau mereka mengganggu, bilang aja kalian ini para keponakan dan sekaligus tamu Om. Mereka pasti pergi menjauh dan tidak mengganggu kalian lagi.”

 

Konon, Om Hananta memang tidak pernah diganggu oleh makhluk halus itu di rumah ini. Tapi, apa benar namanya sesakti itu? Artinya, kalau mereka menyebut diri mereka adalah kerabat Om Hananta, otomatis ikutan menikmati fasilitas tidak diganggu?

 

Adhis menelan ludah, pertanyaan seperti itu bisa merusak suasana hati selama tinggal di sini. Dia jadi nggak enak sama Venty dan Rina. Tadi aja, di depan kamar, saat hendak turun, suasana sudah tegang. Om Hananta ini gimana sih?

 

Tante Hananta menyikut suaminya. Kasihan anakanak ini kan mau berlibur. Kalau dibuat takut seperti itu kan merusak suasana namanya? Dan apa tadi suaminya bilang? Kalau menyebut mereka adalah keponakan dan tamu Om Hananta, hantunya pergi? Hmm… Aku aja yang jelas jelas istrinya malah diganggu.

 

Venty melirik Om Hananta dan Tante Hananta secara bergantian. Hatinya jadi tambah ciut ditanya begitu. Berarti, cerita Adhis bukan isapan jempol. Hantu itu memang ada dan suka mengganggu. Ya… buktinya semalam lampu kamar mandi dibikin mati hidup begitu? Tapi, gue nggak akan cerita apa apa, nggak enak aja.

 

Rina memandang Om Hananta dengan tak percaya. Adhis memang pernah bilang kalau Omnya itu adalah satu satunya orang yang tidak pernah diganggu di dalam rumah ini. Hm…, dia pasti punya ilmu penangkalnya. Gue mesti nanya nanti kalau ada kesempatan berdua saja. Dan, saran tadi supaya menyebut kalau mereka keponakan dan tamu Om, boleh dicoba! Siapa tahu?

 

Hananta heran, ketiga tamunya ini kok semua bilang nggak ada apa-apa? Padahal, istrinya sendiri aja takut tinggal di sini, dan hanya mau kalau terpaksa. Seperti kedatangan tamu yang masih saudara seperti sekarang, misalnya. Ya, syukurlah kalau mereka merasa aman dan nyaman. Ini nantinya bisa jadi cerita tandingan kalau ada tamu lain yang mengeluhkan soal hantu.

 

Tante Hananta berhasil mengubah suasana makan pagi itu menjadi ceria dan normal kembali dengan cerita cerita yang menarik tentang kota Batam. Hari ini acara mereka adalah ke Pantai Marina dan mungkin mencoba berbagai kuliner khas batam. Keasyikan ngobrol membuat mereka lupa dengan ketegangan yang menggantung sejak semalam.

 

Malam kedua, setelah seharian berkeliling, mereka baru pulang pukul sepuluh malam. Dari wajah mereka ,terlihat kalau barusan melalui hari yang melelahkan. Badan letih dan terasa lengket karena keringat, jadi tidak mungkin langsung tidur tanpa mandi.

 

Rina masuk kamar mandi, tapi cuma sebentar, mungkin sekadar buang air kecil. Keluar dari kamar mandi, dia berbaring sambil menekan nekan tombol remote teve.

 

Adhis masuk kamar mandi bermaksud mandi duluan. Dia berniat berendam air hangat dengan harapan tidurnya nyenyak malam ini. Adhis tertegun di depan pintu kamar mandi, matanya terbelalak aneh.

 

Itu bekas kaki siapa ya? Kan, di sini nggak ada anak kecil?

 

Kalaupun ada kok bekas kaki, itu kayak yang habis nginjak lumpur? Di mana ada lumpur?

 

Jejaknya dari dalam bath tub….

 

Adhis maju dua langkah dan melongok ke dalam bath tub. Bersih tidak ada apa-apa, bath tub kering, jangankan lumpur, air pun tidak ada! Tiba-tiba, Adhis berteriak:

 

“RIN… RIN… itu kok ada bekas kaki kecil banyak di kamar mandi?”

 

“Heh? Di mana?” Rina mendekat ke pintu kamar mandi. Di dalam kamar mandi gelap, karena mereka khawatir dengan psikopat pengintip.

 

“Itu, lho, kayak turun dari bath tub. Tadi lo nggak lihat waktu pipis?”

 

Ya mana kelihatan kalau kamar mandi gelap? Eh, tapi kok Adhis bisa lihat ya?

 

Rina melangkah masuk ke kamar mandi dan mulai mengamati lantai yang ditunjuk-tunjuk Adhis. Benar saja ada beberapa pasang jejak kaki kecil ukuran balita di depan bath tub. Sepertinya, tadi ada yang mondarmandir di sini, atau ada serombongan anak tuyul habis main di tempat becek, lalu masuk ke kamar mandi. Atau, anak laki laki kecil yang tidur di pos jaga itu yang membuat bekas jejak kaki kotor ini? Hiiii….

 

Kamar mandi ini jadi jorok. Setan suka tempat yang jorok.

 

Aduh, gawat.

 

Cepat cepat, Rina mengambil selang shower dan menyemprot bekas kaki berlumpur itu. Adhis yang dari tadi masih bengong, beranjak mengambil sikat lantai dan mulai membersihkan bekas kaki tuyul itu. Mereka bekerja tanpa bicara. Masing masing asyik dengan pikiran mereka sendiri. Adhis sebentar sebentar melirik ke arah jendela.

 

Ini benar benar aneh! Dari mana tuyul itu datang?

 

Kalau dari luar, terus lewat jendela…, ini kan lantai dua?

 

Atau… dari lubang pembuangan air di dalam bath tub?

 

Argh….

 

Semakin dipikir, semakin membuat panik. Adhis memutuskan bahwa dia tidak akan mencari tahu. Lalu, ia meneruskan menyikat lantai lagi dan lagi sampai Rina menegurnya.

 

“Udah bersih, Dhis. Lo mandi sana gih. Lampu nyalain aja kali ya?”

 

Lampu nyala? Psikopat itu?

 

Seperti membaca pikiran Adhis, Rina menambahkan.

 

“Dhis, yang di seberang kan belum tentu psikopat? Udah deh buruan….”

 

Tapi, Adhis masih tetap memandangi lubang pembuangan dalam bath tub itu. Bagaimana kalau asal lumpur itu dari sana?

 

“Rin, kita numpang mandi di kamar Venty aja yuk?” kata Adhis tiba-tiba.

 

Rina memandang sahabatnnya ini dengan heran. Apa yang sebetulnya dilihat Adhis? Dia tahu bahwa Adhis sejak kemarin berpura pura berani, seolah di rumah ini tidak ada masalah apa-apa. Rina tahu Adhis hanya ingin membuat teman temannya menikmati liburan tanpa ketakutan karena efek cerita tentang rumah ini yang secara tak sengaja dia ceritakan beberapa waktu yang lalu. Rina lega, berarti dia pun sekarang bisa berterus terang tentang ketakutannya kepada Adhis.

 

“Tapi, Dhis, kan kamar Venty itu yang lo bilang kamar mandinya angker?”

 

Adhis menelan ludah. Ya bener juga sih… tapi kan lubang pembuangannya nggak keluar tuyul?

 

“Tapi, kan kita bertiga, Rin?”

 

Akhirnya, mereka sepakat untuk numpang mandi di kamar Venty. Berjingkat perlahan, mereka berdua keluar dari kamar tengah dan berjalan ke kamar Venty yang berada di pojokan. Untung pintu kamar pojok seberang kamar Venty itu sudah tertutup, gumam Rina dalam hati. Sesampai di depan pintu kamar Venty, sebelum mereka mengetuk pintu, sudah ada suara ketukan terlebih dahulu. Entah itu pintu yang mana, datangnya dari dalam kamar atau luar kamar, mereka berdua tiba-tiba membeku di depan pintu. Mereka saling pandang, lalu keduanya menggelengkan kepala.

 

Venty masuk kamar dengan perasaan tak keruan. Badan capek ingin segera tidur, tapi dengan keringat lengket begini, rasanya risi. Padahal, semalam dia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak mandi di malam hari. Hantu kamar ini suka sekali mainan lampu. Dan berdiri dalam gelap, menyadari ada makhluk lain dari dunia yangh berbeda, bukan jenis pengalaman yang ingin Venty ulangi.

 

Aduh…, bagaimana ya?

 

Di ambang pintu kamar mandi, Venty tiba-tiba ingat kata kata Om Hananta tadi pagi di dapur. Kalau bilang keponakan Om Hananta, pasti nggak diganggu. Seberapa pun nggak percayanya Venty, hati kecilnya mengatakan tak ada salahnya dicoba.

 

“Assalamualaikum… gue keponakan dari Oom Hananta, mau numpang mandi, tolong jangan diganggu ya?….” Venty mengatakannya dengan suara yang gemetar.

 

Sebagai jawabannya, lampu kamar mandi mati tibatiba. Venty menunggu beberapa saat sampai lampu menyala kembali untuk masuk kamar mandi. Kemarin kan juga begitu? Mati, lalu hidup lagi. Satu menit berlalu, dua menit, tiga menit… delapan menit….

 

Lampunya kok nggak nyala lagi ya?

 

Tangan Venty meraba tombol saklar di dinding dekat pintu kamar mandi. Saat akan menekan ke posisi on, terdengar ketukan di pintu kamarnya. Venty membatalkan niatnya menyalakan lampu kamar mandi dan berbalik ke arah pintu kamar.

 

Siapa ketuk ketuk pukul segini? Apa Adhis atau Rina?

 

Ah, kebetulan kalau itu mereka.

 

Venty mengulurkan tangan untuk memutar kunci pintu ke kiri. Tapi sedetik kemudian menarik kembali tangannya.

 

Kalau bukan mereka, gimana? Kalau terus nggak ada siapa siapa gimana? Aduh…, gimana nih?

 

Pintu itu diketuk sekali lagi, kali ini lebih keras daripada tadi. Venty bimbang, menimbang nimbang di depan pintu.

 

Buka. Enggak. Buka. Enggak.

 

Akhirnya, Venty memutar kunci dan membukanya dengan gerakan kilat. Maksudnya, kalau dia harus kaget, si pengetuk pintu misterius itu juga harus ikutan kaget. Jadi, Venty punya waktu untuk lari.

 

Benar saja! Begitu pintu terbuka, yang tampak di hadapan Venty adalah muka pucat dua sahabatnya, Adhis dan Rina!

 

“Syukurlah kalian yang ngetuk pintu. Ayo masuk… masuk… cepet!” Venty menutup kembali pintu kamarnya dan menguncinya dua kali. Napasnya terengah-engah seperti baru lari keliling lapangan bola.

 

Adhis dan Rina saling berpandangan dengan bingung. Pertama, kenapa Venty ngos ngosan gitu? Kedua, mereka sama sekali TIDAK mengetuk pintu. Mereka berdua tadi justru merasa seram karena pintu diketuk ketuk dari dalam. Rina bahkan sempat berpikiran Venty minta tolong atau semacamnya. Pikiran itu juga sudah dibantah oleh Adhis.

 

“Buat apa? Kalau dia minta tolong, kenapa nggak telepon kita aja?” begitu katanya.

 

Venty yang menyaksikan kedua sahabatnya cuma berpandangan itu jadi curiga.

 

“Kalian kenapa sih kok main lihat-lihatan gitu?”

 

Rina yang berinisiatif menjelaskan kalau mereka tadi belum sempat mengetuk pintu. Memang ada suara ketukan, tapi belum jelas berasal dari pintu yang mana.

 

“Waktu ketukannya tambah keras, kita baru tahu kalau ini dari dalam kamar elo,” kata Adhis.

 

“Dari dalam kamar gue?” Venty menelan ludah, lalu melanjutkan dengan suara yang nyaris berbisik, “Berarti, gue dong yang ngetuk pintu?” lanjut Venty sambil menunjuk hidungnya sendiri.

 

“Memangnya lo nggak ngetuk pintu, Ven? Minta tolong atau apa gitu?” Adhis jadi penasaran.

 

“Ya, enggaklah! Masuk akal nggak sih kalau gue minta tolong itu yang gue lakuin ngetuk pintu kamar gue sendiri dari dalam?” Venty mengatakan ini dengan emosi bukan karena kesal, melainkan lebih karena ngeri. Runtuh sudah pertahanannya untuk tampil sebagai yang paling berani di antara mereka bertiga. Venty sudah tidak peduli soal itu lagi.

 

Tiba-tiba, Rina ingat sesuatu, ia ingat tujuan ke kamar ini adalah mau numpang mandi.

 

“Ven, kita tadi ke sini mau numpang mandi,” katanya pendek. Venty memandangnya dengan heran. Numpang mandi? “Memangnya, kenapa dengan kamar mandi kalian?”

 

Adhis menceritakan perihal jejak kaki kecil berlumpur tersebut dan dugaannya tentang lubang pembuangan dalam bath tub yang diduga asal makhluk jorok itu keluar. Rina yang baru mendengar tentang lubang itu jadi maklum kenapa Adhis mengajak kesini untuk numpang mandi.

 

Kenapa tadi Adhis nggak cerita sama gue?

 

“Dhis, jangan lupa juga soal psikopat lo itu.” Rina sebenarnya kesal karena Adhis menyembunyikan soal lubang itu.

 

“Psikopat apa lagi?” Venty merasa ini lebih menarik ketimbang lubang tuyul itu.

 

Lalu, Adhis pun menceritakan jendela kecil tanpa tirai di atas bath tub yang ada di kamar sebelumnya.

 

Venty jadi ingat lagi soal lampu mati itu. Apa mau mandi gelap gelapan? Kalau bertiga sih boleh aja, asal jangan ada orang keempat yang muncul tiba-tiba.

 

“Gue lupa bilang, lampu kamar mandi gue mati nggak mau hidup lagi.” Lalu, Venty menceritakan soal bahasa lampu yang dipakai hantu kamar ini tadi malam. Rina dan Adhis kelihatan kaget dan ciut nyalinya tiba-tiba. Tapi, aneh, Venty justru merasa lebih berani saat ini. Rasanya, kalau hantu itu mau main lampu semalaman juga oke saja.

 

Mereka bertiga berjalan menuju kamar mandi. Rina yang berjalan paling belakang sesekali menoleh ke kanan dan kiri. Sudah jelas Venty bilang kalau di kamar ini memang ada setan jailnya. Berarti, ini bukan lagi paranoid atau halusinasi. Tengkuknya merinding tiba-tiba.

 

Sesampai di depan kamar mandi, mereka bertiga tertegun. Kamar mandi itu terang benderang, mana yang katanya mati lampu?

 

“Sumpah, tadi sebelum kalian datang lampunya mati,” kata Venty, masih penasaran. “Itu setelah gue bilang kalau gue keponakan Om Hananta,” tambahnya

 

“Elo sih pakai bohong segala,” sahut Adhis

 

“Bohong gimana? Kan Om Hananta tadi pagi suruh bilang gitu?”

 

“Ya, kalau yang ngomong gue, mungkin nggak mati lampunya. Kan yang keponakannya gue.” ketegangan mulai hilang dari otak Adhis. Timbul keinginannya untuk menggoda Venty. Tapi, tiba-tiba, lampu kamar mandi itu mati lagi. Mereka bertiga sama-sama menjerit tertahan. Lalu, mundur ke arah tempat tidur. Lampu itu menyala lagi.

 

Begitulah untuk sepuluh menit ke depan. Lampu kamar mandi itu nyala mati nyala mati secara bergantian. Adhis, Rina, dan Venty menyaksikan sambil duduk dan berpegangan tangan di atas tempat tidur. Tak seorang pun mengatakan apa-apa lagi. Semua orang berkesimpulan bahwa hantu di kamar ini tidak suka diomongin dan dipakai bahan gurauan.

 

Malam itu, mereka tidur bertiga di kamar Venty, tanpa mandi. Secara mental, mereka sudah terlalu lelah hingga badan lengket pun tak terasa lagi. Satu hal yang berhasil mereka sepakati semalam, mereka akan pulang hari ini. Biarlah rugi tiket pulang yang tidak bisa dimajukan tanggalnya. Kalau sayang tiket, lalu menjadi sakit jantung atau gila, bagaimana?

 

Pagi ini, waktu sarapan tadi, Adhis sudah pamit kepada Om dan Tante Hananta kalau mereka akan pulang lebih cepat. Alasannya karena Rina dipanggil masuk kantor oleh bosnya karena ada pekerjaan penting dan mendadak. Tante Hananta kelihatan tidak percaya, tapi diam saja. Apa boleh buat! Adhis lebih tidak tega lagi kalau harus bercerita kepada tantenya soal gangguan gangguan itu. Sekarang saja, Tante jarang tinggal di sini karena takut.

 

Sebelum pulang, Venty punya ide untuk berfoto di berbagai tempat di rumah ini. Harus diakui, lepas dari masalah berhantu, rumah ini punya banyak spot yang bagus untuk foto. Mereka mulai dari teras depan, teras samping, halaman belakang, lalu ke dalam rumah. Ruang tamu besar itu adalah spot favorit karena ornamen-ornamen yang diletakkan di sana memang seperti galeri seni. Lalu, ruang makan, dapur, naik ke atas ke kamar Adhis Rina, lalu kamar Venty lengkap dengan balkonnya. Dan terakhir, adalah Rina yang punya ide cemerlang itu.

 

“Yuk foto di kamar seberang yang kecil itu.” Entah apa yang mampir di kepala Rina. Padahal, di antara mereka bertiga, Rina-lah yang punya pengalaman dengan kamar itu. Venty memandang Rina dengan heran. Bukannya kemarin mukanya kelihatan horor setiap matanya melihat ke sana? Apa yang dia mau sebenarnya? Tapi, rasa ingin tahu yang besar, akhirnya membuat Venty menyetujui ide itu.

 

Venty membuka pintu kamar pojok itu perlahan. Udara dingin yang aneh menyambutnya. Kakinya nyaris surut lagi ke belakang, aura kamar ini sedikit beda dengan kamar yang dia tempati. Siapa pun hantu yang menghuni kamarnya terkesan lebih jail dan punya selera humor. Contohnya adalah “bahasa lampu” itu. Tapi, kamar ini….

 

Pantes Rina begitu takut waktu itu. Apa yang dialami Rina?

 

Ah ya dia mengambil bantal ke sini, lalu segala kelakuannya jadi aneh. Seperti orang tertekan luar biasa.

 

Adhis mendorong punggung Venty yang sedang termangu di depan pintu.

 

“Ayo dong, Ven, ntar kita ketinggalan pesawat lho,” kata Adhis sambil mendahului masuk ke dalam kamar.

 

Rina berjalan ragu-ragu, tangannya menggapai ke depan mencari tangan Venty. Venty terkejut karena tangan Rina dingin sekali, nyaris beku.

 

“Lo yakin mau foto di sini?” tanya Venty sekali lagi. Rina cuma mengangguk lemah.

 

Tiba-tiba, pintu di belakang mereka menutup dengan keras, seperti sengaja dihempaskan. Mereka bertiga menjerit kaget, lalu berpegangan tangan. Rina mulai menyesali keputusannya. Tapi, kepalang tanggung, sekarang ini mereka sudah berada di dalam kamar, mau bagaimana lagi?

 

Adhis yang memegang kamera memberi isyarat kepada dua temannya untuk memilih spot segera. Ia ingin acara foto di dalam kamar ini cepat selesai dan keluar dari kamar yang mencekam ini.

 

Meskipun ragu, Rina menegakkan badan, lalu melangkah ke dekat jendela sambil menggandeng tangan Venty. Venty sebenarnya enggan melanjutkan niatan ini. Menurutnya, ini bukan tindakan yang bijaksana dan masuk akal. Seharusnya, mereka keluar kamar sekarang! Tapi, melihat ekspresi Rina, dia jadi tidak tega. Diikutinya Rina berjalan ke jendela.

 

Adhis sedang mengatur fokus pada kameranya ketika didengarnya Rina berteriak, “Aduh, Ven, jangan narik rambut gue dong… sakit tahu!”

 

Venty terlihat heran dan mau protes, tapi isyarat Adhis dan count down tiga… dua… satu… jepret menunda niatannya.

 

Setelah Adhis selesai menjepret, Venty berbalik menghadap Rina.

 

“Siapa yang narik rambut lo?” Rina menunjuk dada Venty, Venty menggeleng. Adhis segera menyadari yang terjadi dan tiba tiba berteriak, “Lari….”

 

Bersamaan dengan teriakan itu, Adhis berlari ke pintu. Venty yang menarik tangan Rina tidak bisa bergerak. Tubuh Rina terasa berat, seperti menarik seekor kerbau yang diikat di pohon.

 

“Ayo, Rin, kita keluar aja sekarang. Nggak usahlah foto di sini,” sergah Venty tak sabar. Tapi, kemudian ,dia heran, dilihatnya mata Rina berkaca-kaca. Rina menangis.

 

Ya, Rina menagis.

 

“Rin, lo kenapa?” tanya Venty bingung. Adhis yang sudah memegang handel pintu melepaskannya dan kembali mendekati Rina dan Venty.

 

Sedetik kemudian, ketiganya merasakan sapuan hawa yang sangat dingin di wajah mereka. Saking dinginnya, Adhis merasa wajahnya seperti disayat pisau. Dia bergidik, ingin segera lari, tapi Rina kenapa?

 

“Kaki gue… kaki… gue… nggak… ng… nggak biss… bisa dig… dig… digerakin,” kata Rina terbata-bata.

 

Adhis berjongkok dan mencoba mengangkat kaki sebelah kiri Rina. Benar, kaki itu seperti dicor ke lantai kamar. Adhis mulai takut, perutnya mulas. Kenapa jadi begini? Apa yang mesti gue lakuin?

 

Lalu, seperti ada bisikan di kepalanya, Adhis membaca doa-doa apa saja yang diingatnya. Melihat mulut Adhis komat-kamit, Venty ikutan membaca doa. Karena panik, doa apa pun yang dibaca tidak pernah bisa dia selesaikan, selalu saja lupa di tengah jalan. Tapi, Venty terus-menerus mencoba.

 

Angin dingin itu datang lagi, kali ini menyapu berkali-kali dan sepertinya lebih dingin daripada sebelumnya. Rasanya di kulit pun semakin perih seperti sayatan pisau. Rina semakin panik. Di telinganya, dia mendengar suara geraman amarah yang membuat bulu kuduknya berdiri. Jantungnya serasa copot, kalau saja dua temannya tidak sedang memegangi tangannya, mungkin Rina sudah jatuh.

 

Setan ini marah sama gue. Aduh… gimana ini? Kaki gue rasanya kok seperti tenggelam ke lantai?

 

Kalau tenggelam beneran gimana?

 

Masak gue bakal terkubur hidup-hidup di kamar ini?

 

Tidaaaaaaak….

 

Suara geram amarah itu terdengar lagi. Bunyinya seperti binatang buas yang tertangkap manusia, lalu meronta ronta.

 

Iya.. iya…, gue nyesel masuk kamar ini. Gue juga nyesel ngambil bantal kemarin. Gue nyesel ganggu elo setan penjaga. Lepasin kaki gue, please.

 

Gue janji nggak ke sini lagi!

 

Rina tak tahan lagi, dibulatkan tekadnya untuk menjerit keras keras dan mengentakkan kakinya ke lantai. Ajaib, kaki itu sekarang bisa terangkat dari lantai. Adhis dan Venty terkejut mendengar teriakan Rina. Mereka sampai tanpa sadar melepas pegangan pada tangan Rina. Tapi, melihat kaki Rina terangkat, mereka cepat cepat menyeret Rina keluar dari kamar.

 

Setelah berpamitan, mereka masuk ke dalam mobil Om Hananta. Sopir akan mengantar mereka ke bandara. Tante dan Oom Hananta naik mobil lain karena mereka ada acara lain. Waktu satpam akan menutup pintu gerbang, Venty minta turun sebentar.

 

“Ayo, kita foto di depan pintu gerbang yuk. Kayaknya bagus lho.”

 

Rina menggelengkan kepala, hatinya sudah kapok beneran. Adhis bingung, sebentar melihat ke arah Rina, lalu sebentar kemudian ke arah Venty. Rina memberi isyarat supaya Adhis ikut turun. Lalu, mereka berdua berfoto dengan berdiri di depan gerbang itu.

 

Dari atas mobil, Rina melihat sekali lagi rumah itu. Matanya berpindah dari pintu gerbang naik ke atas. Jantungnya berhenti berdetak. Di atas gerbang itu, terlihat jendela dari kamar pojok yang barusan memaku kakinya ke lantai. Gorden kamar itu bergerak gerak, di dalamnya ada siluet orang sedang berdiri mamandang ke arah mereka sekarang berada. Siluet itu sepertinya lakilaki, tinggi badannya mungkin 180 cm lebih, berdiri tegak dan tangannya terlipat di dada.

 

Rina terkesiap.

 

Om Hananta sudah pergi, lagi pula, tinggi badan Om Hananta paling banyak juga 170 cm. Satpam sedang berada di pos jaga, sopir di luar mobil menunggu Adhis dan Venty selesai berfoto. Tidak ada laki-laki lagi di rumah itu. Jadi…

 

Oh, tidaaaak….


PENGOBATAN ALTERNATIF
"PONDOK RUQYAH"
(SOLUSI PASTI DI JALAN ILLAHI)

Kami Jasa Solusi Problem Hidup. Masalah Tuntas Tanpa Bertentangan dengan Hukum Agama dan Negara.

MACAM PROBLEM DALAM PELAYANAN KAMI:
Solusi Problem Asmara, Rumah Tangga, Back Up Karir, Back Up Usaha, Jual Beli, Aura Pemikat, Bersih Diri / Ruwat / Ruqyah / Buang Sial, dll.

KAMI TIDAK MELAYANI SEGALA HAL YANG MELANGGAR HUKUM AGAMA DAN NEGARA.
Contoh: Bank Gaib, Uang Balik, Harta Gaib, Pesugihan, Aborsi / Menggugurkan Kandungan, Perjudian / Togel / Judi Online, Mencelakakan Orang / Santet / Teluh, dll.

ALAMAT PONDOK RUQYAH:
Dusun Kasemen, No.50, RT.05, RW.03, Desa Wangkalkepuh, Kecamatan Gudo, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Kodepos 61463.
🌐 https://pondok-ruqyah.com/
☎️ +6285708371817

PERINGATAN!
Hati-hati dan waspada terhadap penipuan online yang mengatasnamakan kami. Diutamakan datang langsung ke alamat kami untuk menghindari segala hal negatif. Terimakasih.
DATANG DENGAN NIAT BAIK
TIDAK UNTUK KEJAHATAN!