Kisah Mistis: GUNA-GUNA JANDA PENGHANCUR RUMAH TANGGA
Karena guna-guna seorang suami bisa lupa pada anak dan isterinya. Celakanya, si penebar guna-guna adalah seorang janda muda tetangganya sendiri. Bagaimana akhir dari kisah yang penuh dengan tipu muslihat ini..?
Kisah nyata ini dialami oleh seorang ibu muda bernama Novi Nurlita di Bekasi, Jawa Barat. Karena serangan guna-guna terhadap diri Rahman, suaminya, biduk rumah tangga mereka nyaris hancur berkeping-keping. Sang suami berubah sangat drastis, bahkan seperti begitu membenci dirinya.
Lalu, siapakah yang mengguna-gunai Rahman sehingga dia tega membuat isterinya merana? Bagaimana pula kisah ini terjalin? Berikut merupakan rekaman kesaksian Novi Nurlita kepada penulis, yang kami tuturkan dalam bentuk pengakuan…
Kehadiran putra pertama kami sungguh melahirkan kebahagiaan tersendiri di rumah mungil kami yang terletak di sebuah komplek realestate di daerah Cikarang, Bekasi. Suasana rumah yang semula sunyi kini berubah semarak dengan tangisan si kecil yang kami beri nama Andhika Prasetya.
Dhika memang adalah anak yang sangat kami dambakan, sebab setelah 3 tahun menikah aku memang baru bisa mengandung. Syukur Alhamdulillah, anak pertama karni itu adalah lelaki yang sangat gagah dan tampan seperti ayahnya. Dan ini mernang sesuai dengan harapan Mas Rahman, suamiku. Dia sangat mendambakan anak lelaki yang bisa melanjutkan cita-citanya ingin menjadi pemain sepak bola terkenal. Ya, Mas Rahman memang sangat menggemari sepak bola. Bahkan, dia pernah tercatat sebagai pemain di sebuah kesebelasan terkenal yang ada di kota kelahirannya.
Setelah kelahiran Dhika, Mas Rahman memang semakin menyayangiku. Ibaratnya, apa pun yang aku perlukan dia pasti akan memenuhinya. Dia juga begitu perhatian terhadap kesehatanku. Terhadap si kecil perhatian Mas Rahman lebih mencolok lagi. Sebagai contoh, meskipun Dhika baru berumur beberapa bulan saja namun Mas Rahman sudah membelikan berbagai macam mainan yang layaknya dimiliki oleh anak berumur satu tahun ke atas.
“Biar kita koleksi saja dulu, Ma! Nanti Dhika kan bisa cepat beradaptasi dengan mainan-mainan itu,” dalihnya ketika aku memerotes kebiasaannya yang hampir tiap minggu membeli mainan. Aku pun hanya bisa menarik nafas berat, coba memaklumi betapa kecintaan suamiku terhadap putra pertamanya.
Bagaikan sebuah mimpi buruk, semua itu akhirnya begitu cepat berubah. Ketika usia Dhika memasuki bulan keenam, perhatian Mas Rahman mulai berkurang baik terhadap si kecil maupun terhadap diriku. Satu contoh, dia mulai sering pulang malam. Kalau aku tanyakan, jawabannya pasti karena dia harus lembur di kantor.
Yang aku herankan lagi, setiap berada di rumah Mas Rahman itu selalu kelihatan gelisah. Kerjanya mondar-mandir melulu, dan katanya gerah. Padahal, ada AC 2 PK di ruangan tamu yang selalu pada posisi menyala. Begitu pun di kamar kami juga dilengkapi AC 1 PK yang senantiasa pada posisi ON. Tapi ya itu tadi, Mas Rahman selalu bilang kegerahan. Bahkan, dia memilih tidur di sofa ruang tengah sambil menonton televisi.
“Mungkin AC kita perlu diservis, Mas! Barangkali freon-nya sudah habis,” kataku ketika malam itu menemani Mas Rahman menonton televisi.
“Iya, mungkin juga. Kalau begitu besok kau panggil tukang servis AC,” jawabnya, terkesan asal-asalan. Dan aku tahu dia kurang berkenan aku temani. Karena itu aku segera masuk ke kamar dan tidur bersama si kecil.
“Aneh, kenapa Mas Rahman bawaannya uring-uringan terus, ya? Kenapa juga lagi AC begini dingin dia malah kegerahan?” batinku saat memberi ASI kepada si kecil yang terjaga dari tidurnya karena suhu di dalam kamar yang mungkin terlampau dingin.
Hari-hari selanjutnya sikap Mas Rahman semakin jauh berubah. Kasih sayang dan kemesraannya yang selama ini begitu kubanggakan seperti telah benar-benar punah. Bahkan, sebagai seorang isteri aku merasa seperti telah kehilangan suami. Ya, betapa tidak! Hampir sebulan lamanya Mas Rahman tak pernah mau menyentuh tubuhku barang sedikit pun. Padahal, setelah masa nifasku habis, hampir setiap malam dia selalu merengek-rengek minta dilayani, sehingga aku kerap kerepotan karena harus melayani Bapaknya, juga anaknya yang sering kali rewel saat kami tengah bermesraan. Tapi itulah seni percintaan seorang ibu muda seperti diriku. Anehnya, di tengah kondisi seperti ini libido Mas Rahman justeru semakin menggelora.
Tapi, saat-saat yang penuh dengan sensasi menggairahkan itu sepertinya telah berlalu. Dengan alasan kegerahan dan menonton siaran langsung sepak bola yang menjadi kegemaran utamanya, Mas Rahman lebih memilih tidur di sofa. Ya, di depan pesawat televisi. Sementara, aku dibiarkan merana tidur berteman si kecil yang terbaring damai di dalam boksnya.
Sampai suatu malam, aku benar-benar dibuat semakin heran, sekaligus sakit hati oleh Mas Rahman.’Mungkin karena terlalu lama tidak mendapat sentuhan birahi, malam itu aku begitu inginnya bercinta. Kudekati Mas Rahman yang tengah asyik nonton siaran langsung Liga Inggris. Aku pun bergayut manja di bahunya yang bidang. Pelan tapi pasti kulakukan cumbuan mesra di daerah genitalnya, seperti dada dan lehernya. Sebagai isterinya, aku tahu Mas Rahman paling senang mendapatkan sensasi seperti ini. Tapi rupanya, dia memang telah berubah. Bukannya terangsang, dia malah menghardikku dengan kata-kata yang sungguh menyinggung perasaanku.
“Kamu bisa nggak tinggalkan aku sendirian di sini, Ma? Aku sedang nonton tim-tim favoritku, dan aku nggak mau diganggu. Atau, aku harus nonton ke rumah tetangga?”
Ah, betapa menyakitkan kata-kata itu. Mas Rahman jelas sudah tidak membutuhkanku lagi. Buktinya, dia lebih mementingkan sedak bola daripada aku yang merana terbakar birahi. Entah apa yang terjadi dengan dirinya? Aku tak tahu. Malam itu aku hanya iisa menangisi nasibku di dalam kamar, sambil menatap si kecil yang terbaring damai di dalam boksnya….
Darat kata pepatah: “Sepandai-pandai menyimpan bangkai, baunya pasti akan tercium juga.” Ya, itulah yang kemudian terjadi. Perubahan sikap Mas Rahman yang misterius itu toh akhirnya aku ketahui juga apa yang menjadi penyebabnya.
Misteri itu terbongkar bermula dari pengaduan Bu Lisa, salah Seorang tetangga di komplek perumahan tempat aku tinggal. Hari itu Bu Lisa datang bertamu dengan membawa sepiring Getuk Lindri hasil karyanya. Memang, Bu Lisa ini terkenal ahli membuat berbagai bentuk kue dan panganan tradisional, bahkan dia pernah meraih juara dua lomba membuat masakan tradisional yang diselenggarakan sebuah majalah wanita terkenal di Jakarta.
Setelah kami ngobrol-ngobrol singkat, dengan berbisik Bu Lisa mengadukan sesuatu yang membuatku sangat terkejut. “Jeng Novi, Ibu nggak bermaksud memfitnah siapa pun. Tapi, Ibu rasa Jeng Novi sangat penting untuk mengetahui hal ini,” katanya, setengah berbisik.
“Memangnya ada apa sih, Bu?” tanyaku, penasaran.
“Begini, Jeng Novi…” Bu Lisa menarik nafas dalam-dalam.
“Aku sudah dua kali memergoki suamimu jalan dengan Jeng Tanti, tetangga di depan rumahmu itu.”
“Ah, masa sih, Bu?” aku tak percaya.
“Ibu juga semula punya pikiran yang sama dengan Jeng Novi. Masa suamimu yang baik itu mau berselingkuh dengan Jeng Tanti. Tapi Ibu sudah dua kali memergoki mereka jalan berduaan di Mall. Bahkan yang terakhir Ibu lihat mereka baru saja keluar dari gedung bioskop twenty-one. Tadinya, Ibu mau menjebak mereka, tapi nggak enak hati rasanya. Yang paling penting, Ibu benar-benar merasa yakin kalau yang jalan berduaan itu memang Mas Rahman, suamimu, dan Jeng Tanti,” jelas Bu Lisa dengan sungguh-sungguh.
Pengaduan Bu Lisa sore itu tidak serta merta membuatku percaya dengan begitu saja. Ada banyak pertimbangan yang harus kulakukan. Dari sisi Mas Rahman, misalnya saja, aku merasa sulit percaya kalau suamiku ini mau jalan berduaan dengan yang namanya Tanti. Setahuku, Mas Rahman sangat membenci Tanti yang kerap berpakaian seronok itu. Bahkan, Mas Rahman jarang mau bertegur sapa dengannya. Sebagai tetangga dekatnya, Mas Rahman juga pasti tahu kalau janda muda itu sering gonta-ganti cowok, yang menurut dugaanku pasti sering tidur dengannya. Lantas, mana mungkin Mas Rahman mau berselingkuh dengan tipe wanita seperti itu? Kalau benar dia mau berselingkuh, mengapa tidak dengan wanita lain yang lebih cantik dan lebih bersih? Ya, misalnya saja dengan salah seorang bawahannya di kantor!
Dari sisi Tanti sendiri aku pun sulit mempercayai apa yang diadukan oleh Bu Lisa itu. Selama ini, Tanti begitu baik terhadap diriku. Bahkan, dia kerap menggendong Dhika, anakku, bila sore hari kebetulan aku keluar rumah untuk mencari udara segar. Bahkan, tutur katanya padaku juga begitu halus dan hangat.
Apakah mungkin semua itu hanya akal bulus Tanti untuk menutupi hubungan gelapnya dengan Mas Rahman, suamiku? Bisa saja. Tapi masalahnya, apakah Tanti tega merebut suami tetangganya sendiri, padahal dia bisa dengan mudah mendapatkan pria lain yang jauh lebih tampan dan jauh lebih tebal kantongnya.
Keragu-raguanku akhirnya terjawab juga. Hal ini berawal ketika malam itu kulihat Mas Rahman menghilang dari sofa ruangan tengah. Kemana dia pergi?
Ya, pas tengah malam itu aku terjaga karena suatu mimpi buruk. Dalam mimpi, aku merasa bertengkar hebat dengan Tanti. Kami saling menjambak rambut dan saling pukul. Namun, karena Tanti yang blasteran Jawa-Manado itu tubuhnya jauh lebih besar dan kekar dibandingkan diriku, maka akhirnya akulah yang kalah. Tanti berhasil menjatuhkanku. Lalu dengan beringas dia bermaksud membakar rambutku yang lebat dan panjang. Aku menjerit-jerit ketakutan melihat obor di tangan Tanti dengan apinya yang berkobar-kobar. Ketika api itu siap membakar rambutku, aku pun terjaga dari tidur dengan nafas tersengal-sengal, persis seperti orang yang baru berlari kencang karena dikejar anjing.
Begitu terjaga, aku langsung teringat dengan pengaduan Bu Lisa tempo hari. Karena itu aku langsung keluar kamar untuk melihat Mas Rahman. Tapi, celaka! Mas Rahman tak ada di sofa ruang tengah, meskipun televisi masih dibiarkan menyala dengan tayangan siaran langsung sepak bola Liga Spanyol.
Kemana perginya Mas Rahman? Aku mencarinya ke kamar mandi, ke ruang tamu, bahkan ke teras. Namun Mas Rahman tidak aku temukan. Apa mungkin dia pergi keluar rumah untuk mencari makanan? Tidak mungkin! Mobilnya masih terparkir di depan teras rumah.
Karena gagal menemukannya, naluriku sebagai seorang wanita langsung mengatakan bahwa Mas Rahman sangat mungkin pergi ke rumah Tanti, yang jaraknya memang hanya menyebrang jalan itu. Dengan dada bergemuruh aku coba membuktikan ketajaman naluriku. Aku kembali ke kamar. Namun tidak untuk melanjutkan tidur, melainkan mengintip ke arah rumah Tanti lewat kaca jendela yang kusibakkan tirainya.
Kira-kira sepuluh menit berlalu, aku memang melihat api di depan mataku. Ya, kulihat Mas Rahman keluar dari rumah janda muda itu. Tanti mengantarnya hingga ke ambang pintu. Mereka berciuman. Agak lama. Setelah itu dengan sedikit mengendapendap, karena takut ada orang yang melihatnya, Mas Rahman berlari ke rumah kami. Dia masuk setelah membuka pintu dengan gerakan amat perlahan. Dia sama sekali tak curiga bahwa aku telah melihat semua adegan menyakitkan itu.
Malam itu, wajahku panas karena tersiram air mata yang menganak sungai di sana. Hatiku juga membara terbakar api cemburu. Namun, kucoba untuk tetap mengendalikan diri. Aku berusaha seakan-akan tidak mengetahui peristiwa memalukan ini. Paginya, tetap kulayani Mas Rahman seperti biasa, yakni menyiapkan sarapannya dan mempersiapkan semua keperluan kantornya. Aku tahu dia merasa sedikit heran sebab melihat kelopak mataku yang agak bengkak disebabkan terlalu lama menangis. Namun, dia sepertinya tidak ingin menunjukkan kepeduliannya walau sedikit pun.
Siang hari setelah malamnya aku saksikan kebusukan itu, dengan membesarkan hati kudatangi Tanti di rumahnya. Sejujurnya, kukatakan bahwa aku telah mengetahui semua permainan busuknya dengan suamiku. Seraya menitikkan air mata, kumohon agar dia mau menjauhi suamiku dan menghentikan semua permainan busuk itu. Tapi, apa jawaban Tanti?
“Kau tahu, laki-laki itu kan seperti kucing yang senangnya mencari ikan segar. Jadi dalam persoalan ini jangan kau salahkan aku. Asal kau tahu, aku tak pernah mengundang suamimu untuk datang ke rumahku, apalagi meminta tidur denganku. Dia sendiri yang datang, sebab mungkin ikan di rumahnya memang sudah tidak segar lagi. Nah, karena itu kalau kau mau suamimu itu menjadi kucing rumahan yang penurut, ya kau harus siap jadi ikan segar untuknya. Jangan malah kau menasehati aku. Urus saja dirimu sendiri!”
Ah, betapa menyakitkan kata-kata itu. Tapi, aku mencoba untuk tetap bersabar. Aku tidak ingin memperkeruh keadaan. Misalkan saja dengan habis-habisan mendamprat suamiku. Aku tahu ini bukan solusi terbaik. Mas Rahman itu adatnya keras. Kalau dia ditentang, maka dia akan memberikan reaksi yang tidak kepalang tanggung. Mungkin saja dia malah akan menceraikanku. Kalau ini terjadi, maka keadaannya akan lebih kacau lagi. Bukannya aku takut kehilangan suami. Tapi pertimbanganku adalah Andhika Prasetya. Aku tidak ingin anak itu kehilangan seorang ayah di usianya yang relatif dini.
Walau malam-malam selanjutnya aku tahu Mas Rahman selalu mendatangi Tanti di ranjang hangatnya, namun kucoba untuk tetap bertahan menyaksikan api neraka ini. Hanya air mataku saja yang menjadi saksi penderitaanku.
Hampir sebulan lamanya, di tengah malam buta, kusaksikan Mas Rahman berkunjung ke rumah Tanti. Dan kunjungan itu selalu diakhiri dengan ciuman penuh gelora di ambang pintu rumah janda muda itu. Yang lain-lainnya, sulit kubayangkan sebab terlalu menyakitkan. Yang pasti, sekian lamanya mereka telah bercumbu dalam adegan panas, sebelum Mas Rahman harus kembali ke rumah kami.
Kenyataan menyakitkan itu akhirnya membuat tubuhku bertambah kurus. Untunglah, sebelum semuanya berakhir dengan keadaan yang jauh lebih buruk, Tuhan telah menunjukkan jalan keluarnya lewat kebaikan hati Ibu Lisa, yang sore itu sekali lagi datang ke rumahku dengan membawa hantaran kue.
“Apa sudah kau ingatkan suami, Jeng Novi?“ tanya Bu Lisa setelah mengungkapkan keprihatinannya melihat tubuhku yang semakin kurus.
Aku hanya menggeleng lemah menjawab pertanyaan itu. Lantas, perempuan paruhbaya yang sikapnya sangat keibuan itu melanjutkan, “Ibu takut rumah tanggamu akan berantakan karena janda tetangga depan rumahmu itu, Jeng! Karena itu segeralah bertindak. Ibu sudah berulang kali melihat mereka jalan berduaan, sejak Ibu mengadu tempo hari.”
Aku menelan air liurku yang terasa getir. Dengan getir pula kutanggapi Bu Lisa, “Saya sudah tahu semuanya, Bu! Dugaan Ibu itu memang benar adanya.” Lalu kuceritakan semua yang kusaksikan selama ini bahwa hampir setiap malam Mas Rahman menyusup masuk ke rumah Tanti.
Bu Lisa tentu sangat prihatin mendengar semua ceritaku. “Kenapa tidak kau tegur suamimu, Jeng?” tanyanya.
“Harusnya memang begitu. Tapi Mas Rahman itu adatnya keras. Saya takut dia malah salah pengertian dan mengambil tindakan nekad. Ya, misalkan saja dengan menceraikan saya, sebab nyatanya dia memang tergila-gila pada perempuan itu. Terus terang, bukannya saya takut kehilangan suami. Tapi, saya lebih memikirkan Dhika. Saya tidak ingin anak sekecil ini kehilangan ayahnya. Karena itu, saya memilih berkorban untuk Dhika, Bu!” jawabku sambil berlinang air mata.
Beberapa saat lamanya keadaan hening. Bu Lisa sepertinya coba memahami alasanku. Karena itu pula kemudian dia berkata, “Ibu mengerti perasaanmu, Jeng Novi. Tapi kamu tidak boleh membiarkan keadaan ini terus berlarut-larut. Karena itu, bersediakan Jeng Novi jika saya carikan jalan keluarnya? Asalkan tidak mengorbankan Dhika tentu saya mau, Bu!” jawabku sambil menyusut air mata.
“Baiklah kalau begitu. Besok Jeng Novi harus ikut Ibu. Jangan sampai tidak, pokoknya harus!” tegas Bu Lisa, dan aku menyanggupinya.
Ternyata Bu Lisa mengajakku berkunjung ke rumah paranormal muda yang kemudian kuketahui bernama Kyai Pamungkas. Ringkas cerita, dengan kemampuan waskitanya, Kyai Pamungkas coba menelusuri apa yang sesungguhnya menjadi pangkal persoalan hingga Mas Rahman, suamiku, begitu tergila-gila pada Tanti.
“Menurut petunjuk yang saya peroleh, suami Ibu itu terkena guna-guna,” jelasnya saat kembali menemui aku dan Bu Lisa, setelah beberapa saat lamanya dia melakukan kontemplasi di ruang khusus tempatnya berkhalwat.
“Bagaimana bisa seperti itu, Pak?” tanya Bu Lisa yang sepertinya sudah lama kenal dan berhubungan dengan paranormal ini.
Menjawab pertanyaan Bu Lisa tersebut Kyai Pamungkas kemudian menjelaskan bahwa besar kemungkinan guna-guna itu dilakukan lewat minuman yang biasa diminum oleh suamiku. Karena itulah maka pengaruhnya sangat hebat, sehingga Mas Rahman benarbenar bisa lupa pada anak dan isterinya.
“Coba ingat-ingat, apakah wanita bernama Tanti itu suatu ketika pernah masuk ke rumah Ibu Novi?”
Aku tersentak mendengar perkataan Kyai Pamungkas itu. Ingatanku langsung tertuju pada peristiwa pagi itu. Ya, memang Tanti pernah masuk ke rumahku. Waktu itu dia beralasan ingin pinjam tang. Karena aku sedang tanggung memberi ASI kepada si kecil, sementara Mas Rahman sedang mandi, maka aku mempersilahkannya masuk. Sungguh sangat mungkin ketika masuk Tanti mencampurkan sesuatu ke kopi atau nasi goreng untuk sarapan Mas Rahman yang memang biasa kusajikan di ruang tamu. Nyatanya, sejak kunjungan Tanti pagi itu, sore harinya Mas Rahman memang terlihat gelisah dan senang berdiri di teras rumah sambil memandang ke arah rumah Tanti. Namun waktu itu aku memang tidak curiga sama sekali.
“Benar, dia memang pernah datang ke rumah saya, Pak!” jawabku setelah berhasil memulihkan ingatan terhadap peristiwa itu. Lalu dengan gamblang aku menceritakannya, termasuk kecurigaanku bahwa mungkin Tanti memang melancarkan guna-gunanya sejak pagi itu.
Sebagai respon dari semua keteranganku, Kyai Pamungkas kemudian memberikan secarik kertas dengan dibungkus rapi sedemikian rupa, yang disebutnya sebagai Rajah Pengikat Sukma. Dia juga mensugesti diriku agar selalu yakin bahwa Mas Rahman akan segera terbebas dari guna-guna yang dilancarkan Tanti.
“Benda ini jangan semata-mata dilihat sebagai kertas yang bertuliskan rajah. Tapi di dalamnya ada kekuatan gaib yang sangat dahsyat, bersumber dari amalan-amalan mahabbah. insya Allah akan berhasil. Saya akan bantu mendoakannya dari sini. Pesan saya, Ibu Novi jangan sampai mengasari suami, sebab dia bertindak bukan dengan keinginannya secara murni, melainkan karena pengaruh ilmu hitam,” papar Kyai Pamungkas sebelum kami berpamitan pulang.
Sesampainya di rumah, sesuai dengan pesan P
Kyai Pamungkas, aku segera menyelipkan apa yang disebut sebagai Rajah Pengikat Sukma itu di dalam bantal yang biasa dikenakan oleh suamiku. Tentu saja dengan cara yang sangat rapih, agar suamiku tidak menaruh curiga.
Lantas, apa yang kemudian terjadi? Malamnya, suamiku nampak sangat gelisah. Berulang kali dia keluar masuk rumah. Pas tengah malam, kulihat langkahnya sudah sampai di pintu pagar halaman. Seperti biasanya dia pasti ingin menyusup ke rumah Tanti. Anehnya, seperti orang bingung Mas Rahman kembali masuk ke rumah. Dia berbaring di atas sofa, hingga akhirnya tertidur sampai pagi.
Tepat pukul setengah enam pagi, aku membangunkan Mas Rahman. Kasihan sekali aku melihatnya, sebab dia seperti seorang yang masih kebingungan.
“Mandilah, Mas! Setelah itu lekaslah sholat Subuh. Mas sudah lama melalaikan sholat Subuh!” kataku sambil tersenyum manis. Seperti memperlakukan anak kecil, aku menuntun Mas Rahman ke kamar mandi. Dan Alhamdulillah, setelah mandi dia segera menunaikan sholat Subuh. Padahal biasanya dia selalu membantahku.
Dua hari kemudian setelah peristiwa ini, pas pulang kerja kulihat Mas Rahman menangis sambil menimang si kecil. Aku sengaja membiarkannya larut dalam keharuan.
“Kamu menangis, Mas? Ada apa?” tanyaku setelah aku tahu dia cukup puas menangis.
Dia langsung memelukku sambil menangis sesunggukan. “Maafkan aku, Ma! Selama ini aku telah menyia-nyiakan kalian, dan aku selalu menyakiti perasaanmu. Sekarang aku sadar kalau aku telah berbuat salah,” cetusnya di sela tangis.
“Terima kasih, Tuhan! Kau telah mengembalikan Mas Rahman suamiku,” bisik hatiku, lega.
Besoknya, kuhubungi Kyai Pamungkas via telepon. Kuceritakan bahwa suamiku telah berubah dan mengakui semua kekhilafannya. Lalu, dengan nada suara yang penuh kerendahan hati, kudengar jawaban paranormal murah senyum itu dari sebrang nun jauh di sana, “Ini bukan karena saya lho, Bu! Saya hanya perantara saja. Semuanya karena Allah. Dia-lah Yang Maha Menentukan dari apa yang kita rencanakan.”
Ya, sungguh bijaksana ungkapan tersebut. Tapi walau bagaimanapun, aku harus berterima kasih kepada Kyai Pamungkas, sebab tanpa pertolongannya yang ikhlas, mungkin persoalan ini akan terus berlarut-larut.
Sebulan kemudian, kulihat Tanti berbenah mengemasi semua perabotannya. Dari salah seorang tenaga pemasaran kantor developer kompleks perumahan tempat aku tinggal, kuperoleh informasi bahwa Tanti telah mengover kredit rumahnya. Ya, mungkin dia memilih menjauh dari kami setelah menebar aib yang sangat memalukan itu.
Demikian kisah yang kualarni. Semoga hal ini menjadi pengalaman berharga bagi segenap Pembaca website kesayangan ini, di mana pun mereka berada. Wallahu a’lam bissawab. ©️.

Kami Jasa Solusi Problem Hidup. Masalah Tuntas Tanpa Bertentangan dengan Hukum Agama dan Negara.
MACAM PROBLEM DALAM PELAYANAN KAMI:
Solusi Problem Asmara, Rumah Tangga, Back Up Karir, Back Up Usaha, Jual Beli, Aura Pemikat, Bersih Diri / Ruwat / Ruqyah / Buang Sial, dll.
KAMI TIDAK MELAYANI SEGALA HAL YANG MELANGGAR HUKUM AGAMA DAN NEGARA.
Contoh: Bank Gaib, Uang Balik, Harta Gaib, Pesugihan, Aborsi / Menggugurkan Kandungan, Perjudian / Togel / Judi Online, Mencelakakan Orang / Santet / Teluh, dll.
ALAMAT PONDOK RUQYAH:
Dusun Kasemen, No.50, RT.05, RW.03, Desa Wangkalkepuh, Kecamatan Gudo, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Kodepos 61463.
🌐 https://pondok-ruqyah.com/
☎️ +6285708371817
PERINGATAN!
Hati-hati dan waspada terhadap penipuan online yang mengatasnamakan kami. Diutamakan datang langsung ke alamat kami untuk menghindari segala hal negatif. Terimakasih.
DATANG DENGAN NIAT BAIK
TIDAK UNTUK KEJAHATAN!