Kisah Mistis: BERANAK DALAM KUBUR

0
13

Kisah Mistis: BERANAK DALAM KUBUR

Seorang perempuan dari sebuah desa di lereng Gunung Pulosari, Pandeglang, Banten, menuturkan kisah yang sepertinya hampir mustahil ini. Tetapi tidak bagi ARYANAH, sang pelaku peristiwa. Dari penuturan almarhum ayah angkatnya yang bernama Aning, ARYANAH pada akhirnya harus mempercayai kalau dirinya memang terlahir di dalam kuburan ibunya…

 

Sabtu, 25 April 2009 silam, pondok pesantren kami, Ponpes Bani Zuhri Ar Rohman, yang berlokasi di Kampung Sarongge, Desa Pasir Kembang, Kec. Maja, Kab. Lebak-Banten, menyelenggarakan peringatan haul Syeikh Abdul Qodir Jaelani. Perayaan spiritual ini memang sudah menjadi kalender tahunan kami, tanpa sekalipun kami ingin melewatkannya selagi hayat masih dikandung badan dan masih diberi kemampuan oleh Allah SWT.

 

Tentu saja saya tidak akan menceritakan bagaimana kemeriahan ritual perayaan yang dihadiri oleh ribuan jamaah dari berbagai pelosok tersebut. Namun, ada satu hal yang menarik di sela-sela peringatan haul Syeikh Abdul Qodir Jaelani tahun ini, yakni kehadiran seorang jamaah dari tempat yang cukup jauh. Persisnya dari sebuah desa terpencil yang terletak di lereng Gunung Pulosari, Pandeglang, Banten. Mohon maaf, untuk suatu alasan tertentu, saya sengaja merasahasiakan nama desa dimaksud.

 

Jamaah yang saya maksudkan adalah seorang perempuan berusia 30-an tahun bernama Aryanah. Dia tentu saja bukanlah pecinta atau penggemar majalah kesayangan ini. Mungkin Pembaca bertanya: “Apa yang menarik dari perempuan dusun yang sangat bersahaja tersebut?”

 

Seorang sahabat sesama santri yang menjadi perantara perkenalan saya dengan perempuan dusun itu, menyebutkan kalau Aryanah memiliki kisah hidup yang sangat musykil. Ya, jauh hari sebelumnya, sahabat saya ini memang pernah menceritakan bahwa di sebuah desa terpencil yang menjadi tetangga desa kelahirannya, ada seorang wanita yang terlahir di dalam kuburan. Persisnya di dalam kuburan ibu kandungnya sendiri.

 

Ah, rasanya cerita yang teramat mengada-ada. Apa benar kejadiannya seperti itu?

 

Sebagai seorang penulis dan pemburu cerita-cerita misteri, tentu saja saya tidak lekas percaya. Bagi saya, pengalaman hidup Aryanah tersebut merupakan cerita yang hampir-hampir tak ada duanya. Tapi, sekali lagi, apakah benar kejadiannya seperti itu. Aryanah memang terlahir di dalam kuburan ibunya, lalu Allah SWT memberinya kehidupan, dan dia tumbuh hingga menjadi dewasa?

 

Sama seperti halnya pembaca, saya pun sulit untuk mempercayainya. Memang, saya mungkin juga Anda yang kebetulan pernah membaca novel karya Abdullah Harahap yang kemudian difilmkan dengan judul Beranak dalam Kubur. Atau, saya juga pernah mendengar cerita dari almarhum Ayah saya, bahwa dulu ada grup sandiwara terkenal, Miscicih namanya, yang kerap mementaskan cerita horor dengan judul yang sama. Tetapi masalahnya, saya menganggap cerita Beranak dalam Kubur itu nanyalah fiksi belaka tidak pernah terjadi dalam kenyataan sebenarnya.

 

Mungkinkah anggapan saya tersebut tidak sepenuhnya benar? Dalam arti, saya ingin mengatakan, bahwa Abdullah Harahap atau sang penulis skenario sandiwara Miscicih itu amat mungkin mendasarkan ide ceritanya , dari suatu kejadian nyata. Meskipun mereka tidak secara langsung ikut menjadi saksi cerita tersebut, namun bagi seorang pengarang, secuil informasi saja bisa dijadikan sebagai inspirasi untuk bahan tulisannya.

 

Akhirnya, saya jadi mafhum, bahwa bagaimana pun hebatnya inspirasi seorang manusia, tentu tidak akan pernah bisa melampaui batas-batas realita yang ada di jagat raya ini. Artinya, suatu cerita yang ditulis oleh seorang pengarang, tentulah berlandaskan pada sebuah kejadiannya kendati tidak akan persis benar dengan alur cerita yang ditulis seorang pengarang. Satu contoh adalah filmfilm fiksi ilmiah garapan sineas Hollywood. Kendati temanya seolah musykil, toh di masa kemudian realitanya memang terjadi. Ini bisa kita lihat, misalnya, dari film-film bertemakan kedatangan makhluk luar angkasa yang menyerbu bumi. Walau berbau fiksi, bahkan bisa jadi tema yang awalnya dianggap mustahil, tapi hal tersebut adalah suatu kenyataan yang benar-benar telah dan akan terjadi di waktu-waktu selanjutnya. Artinya, saya ingin menekankan bahwa daya imajinasi yang ada pada manusia pastilah itu merupakan kehendak Allah Yang Maha Pencipata segala yang telah dan akan ada di kehidupan manusia. Dasar pemikiran itulah yang pada akhirnya membuat saya bersikap lebih konservatif untuk mempercayai cerita Muhammad Sirajudin, sahabat saya sesama santri itu. Saya pun kemudian memintanya untuk diperkenalkan dengan Aryanah. Judin, begitu dia biasa disapa kawan-kawan, berjanji akan memperkenalkannya pada saat perayaan haul Syeikh Abdul Qodir Jaelani.

 

Sang sahabat memang menepati janjinya. Pada Sabtu, 25 April 2009 itu, Judin datang dengan membawa serta Aryanah bersama suami dan seorang anaknya yang berusia 5 tahunan. Tentu saja, saya sangat surprais sebab apa yang dikisahkan oleh Judin tempo hari ternyata bukan isapan jempol semata.

 

“Apakah Teteh bersedia menceritakan pengalaman hidup Teteh yang aneh pada saya?” Tanya Saya yang tentu saja sebenarnya dalam Bahasa Sunda ala Banten. Saya sengaja menyebutkan dengan sapaan Teteh, yang berarti Kakak, dengan maksud agar terkesan lebih familiar. Dan, pertanyaan ini baru saya ajukan setelah interaksi di antara kami sudah sedemikian mencair, tidak kaku lagi.

 

Aryanah yang lebih banyak diam ini menjawabnya dalam Bahasa Sunda, bahwa dirinya tentu bersedia menceritakan pengalaman tersebut. Sebelum berkisah, dia juga menyebutkan bahwa kisah perjalanan hidupnya ini memang selalu menjadi semacam ganjalan di dalam hatinya.

 

“Saya tidak ingin mempercayainya. Tapi, saya telah mendengar kisah ini dari orang yang harus saya percayai. Beliau adalah ayah angkat saya sendiri,” ungkap Aryanah dalam logat Bahasa Sunda khas masyarakat pedesaan Banten. Ada kesedihan yang jelas terukir di atas parasnya yang bersih tanpa polesan bedak dan lipstick itu. Ya, mungkin kesedihan yang terlahir dari ketidakmengertian dan keragu-raguan.

 

Tak urung, hari itu beberapa kali Aryanah menitikkan air matanya di saat menuturkan kisah perjalanan hidupnya di hadapan saya. Disebutkan olehnya, semua kisah ini didengarnya secara langsung dari almarhum ayah angkatnya yang bernama Aning. Almarhum meninggal sekitar 7 tahun silam, persisnya ketika Aryanah tengah mengandung anaknya yang pertama,

 

Obrolan kurang lebih selama 3 jam itu kemudian saya sajikan dalam bentuk cerita yang menghiasai halaman Rubrik Catatan Hitam kali ini. Alasan saya menempatkan kisah ini untuk Rubrik Catatan Hitam, salah satunya adalah karena si pelaku menganggap irti sebagai sebuah kejadian teramat besar dan berarti dalam hidupnya. Di samping itu, Aryanah juga menganggap ada sisi-sisi mistis yang terjadi dalam kehidupannya dengan sebab rangkaian peristiwa musykil ini.

 

Sudah barang tentu, kisah yang nanti Anda baca sudah diberi sentuhan kaidah penulisan yang baku, dengan maksud agar lebih mengalir dan memenuhi estetika sebuah karya cerita. Harus juga diingat, saksi sejati dari kisah ini adalah almarhum Aning, sedangkan Aryanah adalah orang kedua yang mendapatkan penyampaian cerita ini dari almarhum ayah angkatnya itu. Aryanah memang tak bisa dipisahkan dari kejadian ini. Tetapi, andai Aning tidak menceritakannya, tentulah dia tak akan mengetahui rangkaian kisahnya ini, sebab di saat kejadian berlangsung dia masih sesosok bayi merah yang tidak mengerti apa-apa.

 

Seperti apakah rangkaian kisah yang dialami oleh Aryanah? Dengan terlebih dahulu menyerahkan sepenuhnya kebenaran sejati peristiwa ini hanya kepada Allah SWT, berikut ini saya mempersembahkannya untuk pembaca website tercinta. Selamat mengikuti…!

 

Aku tak kuasa membendung air mataku, As malam itu Abahku menceritakan siapa aku yang sebenarnya. Abah menyebutkan kalau aku bukanlah anak kandungnya. Anak kandung Abah hanya satu, yakni Kana Mista.

 

Memang, Abah mengakui sangat berat membuka rahasia ini. Tetapi walau pahit Abah harus mengatakan hal yang sejujurnya. Di samping beliau menganggapku sudah cukup besar dan akan bisa menerima fakta yang sesungguhnya, beliau juga metakukan ini karena memang tuntutan keadaan dan demi sahnya pernikahanku dengan Kang Sumarna, calon suamiku.

 

“Walau bagaimana pun Abah tidak berhak menjadi walimu, sebab Abah memang | bukanlah orang tua kandungmu. Karena itulah Abah harus menceritakan semua ini,” kata Abah malam itu, di hadapan aku dan Kang Mista.

 

“Jadi, siapakah sebenarnya orang tuaku, Abah?” Tanyaku, sambil tak kuasa menahan derai air mata.

 

Abah menatapku dengan sorot mata memendam kesedihan. “Abah sudah mengatur semuanya. Besok, sebelum Pak Penghulu menikahkanmu dengan Sumarna, Insya Allah akan berkumpul sanak keluargamu semuanya. Termasuk kakek dan nenekku yang masih sehat.”

 

Laksana air bah yang turun dari puncak bukit, air mataku semakin deras mengalir membasahi kedua belah pipiku. Kata-kata Abah itu sungguh memukul batinku. Benarkah kedua orang tuaku sudah meninggal? Lantas, siapa sebenarnya mereka? Siapa juga Abah Aning dan Kang Mista ini? Setahuku, selama ini, hanya dua orang inilah yang kukenal sebagai keluargaku. Dan, bukankah Kang Mista pernah menceritakan bahwa ibu kami sudah meninggal saat melahirkan diriku. Dan bukankah setiap tiba hari raya Idul Fitri dan Idul Adha Abah selalu mengajak aku dan Kang Mista untuk berziarah ke makam ibu? Lalu, kuburan siapa yang kami ziarahi itu?

 

“Aryanah, hapuslah air matamu, Nak!” Pinta Abah sambil menahan kesedihan. Meski Abah memintaku seperti itu, namun kulihat air matanya sendiri justeru jatuh menitik di atas wajah tuanya yang semakin keriput. “Abah tahu kau akan berat menerima kenyataan ini. Tetapi Abah harus menceritakannya, sebab kau harus tahu siapa jatidirimu yang sebenarnya. Kalau Abah terus merahasiakannya sementara usia Abah semakin tua, Abah takut pada azab Allah, Nak. Karena itu, walau berat rasanya hati ini, tetapi Abah harus menceritakannya juga padamu. Tabahlah, Anakku!”

 

Abah Aning terdiam beberapa saat lamanya, seolah ingin meyakinkan kesiapanku yang akan mendengar keterusterangannya. Seolah pula ia tengah mengumpulkan seluruh ingatannya pada peristiwa puluhan tahun silam itu.

 

Setelah nalurinya yang tajam itu meyakini bahwa aku telah cukup siap, maka rahasia yang terkubur selama sekian puluh tahun itu kemudian dibeberkannya dengan runut.

 

Lelaki tua yang sangat kusayangi itu mengawali kisahnya dengan menyebut nama almarhumah Ibuku sebagai Rohimah. Ia juga mengingkatkan bahwa kuburan yang selama ini kami ziarahi setiap dua hari raya tersebut adalah bukan kuburan ibu kandungku, melainkan adalah kuburan ibu kandung Kang Mista.

 

Dikatakan Abah, di kampung halamannya Rohimah bisa disebut sebagai kembang desa. Banyak pemuda yang mengidamkan puteri dari keluarga petani miskin ini. Meski pada awalnya Rohimah akan dipersunting oleh putera kepala desa, namun takdir berbicara lain. Dia justeru dipersunting oleh Jainin, seorang pemuda yang terkenal juga sebagai jawara.

 

Meski sejatinya Rohimah tidak mencintai Jainin, namun kedua orang tuanya tak berdaya ketika menerima lamaran Jainin yang menjanjikan berbagai imbalan atas pinangan tersebut, termasuk mas kawin berupa perhiasan emas seberat 100 gram. Ketika itu, di kampung halaman Rohimah, memang siapa yang tak kenal dengan Jainin. Dia tergolong pemuda yang berhasil setelah merantau di Jakarta. Meski sesungguhnya keberhasilannya itu bukan dari hasil kerja kerasnya, melainkan dari aksinya merampok dan menodong. Maklum saja, Jainin juga terkenal dengan ilmu kebal dan kelihaian bela dirinya.

 

Sebagai gadis desa yang lugu, sudah barang tentu Rohimah pun tak kuasa melawan keinginan kedua orang tuanya. Terlebih lagi kedua orang tuanya itu juga sudah tak berdaya di bawah ancaman Jainin. Karena itulah, Rohimah hanya bisa pasrah menerima nasibnya Mereka pun akhirnya menikah.

 

Perkawinan Rohimah dengan Jainin memang tidak mendatangkan kebahagiaan. Jainin menyia-nyiakan isterinya. Jainin bukan tipe lelaki setia dan penyayang. Setelah puas menikmati tubuh Rohimah, diapun kian menyia-nyiakan isterinya. Dia tidak memberikar nafkah lahir dan batin dengan sebagaimana mestinya. Dia lebih banyak di Jakarta, dan sangat jarang pulang kampung. Bahkan, ketika Rohimah tengah mengandung, Jainin tak pernah lagi pulang ke desa.

 

Akhirnya, terdengar kabar bahwa Jainin sudah mati ditembak aparat kepolisian, karena tertangkap saat tengah melakukan aksi perampokkan. Kabar kematian Jainin ini sudah barang tentu sangat memukul batin Rohimah. Apalagi ketika sang suami juga tak kunjung pulang di saat seluruh keluarga tenga merayakan kenduri tujuh bulan kehamilannya. Rohimah semakin menderita. Ia tentu saja tak sadar bahwa hal ini bisa mengganggu kesehatan dirinya, juga kesehatan janin yang tengah dikandungnya.

 

Memang, kemalangan akhirnya menjadi kenyataan. Ketika kehamilannya memasuki us 9 bulan, kondisi Rohimah semakin lemah dan mulai sering sakit-sakitan. Tanpa siapa pun bis menghalangi sang maut, perempuan malang akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya di kala hamil tua. Saat meninggalnya Rohimah ini, menurut perhitungan normal, seharusnya juga adalah saat ia melahirkan bayinya. Tetapi sekali lagi, takdir berbicara lain pada dirinya.

 

Tetapi timbul sebuah masalah, benarkah Rohimah, juga bayinya, memang telah tiba pada saat ajal yang sebenarnya, sesuai dengan ketetapan Tuhan? Sulit untuk menjawab pertanyaan ini. Apalagi tak ada tangan-tangan medis yang ikut terlibat dalam kasus ini, mengingat desa tempat kejadian memang sangat terpencil juga para penduduknya yang masih terbilang memegang adat serta tradisi yang kolot.

 

“Hanya Allah saja yang mengetahui semua ini!” Cetus Abah Aning di tengah-tengah ceritanya di hadapan aku dan Kang Mista.

 

Selanjutnya beliau menceritakan, bahwa setelah dinyatakan meninggal, maka jenazah Rohimah yang tengah hamil tua itupun diurus dengan sebagaimana mestinya sesuai aturan yang ada dalam agama Islam. Selepas prosesi itu, akhirnya jenazah Rohimah yang dalam keadaan hamil tua itu pun di makamkan di tanah wakaf desa setempat yang letaknya di lereng bukit, dan jauh dari pemukiman warga.

 

Kebetulan sekali rumah Abah Aning letaknya terpencil di tengah ladang di lereng bukit yang sama dengan tanah wakaf itu. Dari sinilah kisah nan musykil itu akhirnya terjalin.

 

“Sehari setelah pemakaman Ibumu, malamnya Abah mendengar suara tangis bayi di tengah malam. Sejujurnya, Abah merasa heran dengan hal ini, sebab dari dulu rumah Abah ini memang jauh dengan tetangga. Jadi, mana mungkin ada suara bayi tetangga yang menangis di tengah malam buta dan suaranya sampai ke rumah Abah. Rasanya memang tidak mungkin, cerita Abah Aning pula.

 

Lelaki tua yang sangat terkenal kesalehannya ini lebih lanjut menuturkan kisahnya. Bahwa, setelah kejadian malam itu dia tak menaruh kecurigaan apa-apa. Sampai kemudian, persisnya setelah tiga hari kematian Rohimah, dirinya mulai menangkap ketidakberesan.

 

“Pagi buta itu, ketika Abah bermaksud membawa pisang-pisang dagangan ke pasar, entah bagaimana, Abah sendiri heran karena tidak tahu apa yang jadi penyebabnya, semua pisang itu membusuk. Padahal sore harinya pisang-pisang itu masih segar, karena memang baru diambil dari pohonnya pada pagi hari sebelumnya,” ingat Abah Aning.

 

Aku dan Kang Mista hanya diam seribu bahasa mendengarkan cerita Abah. Sampai kemudian Abah melanjutkan, bahwa karena kejadian aneh tersebut dirinya menaruh curiga ada sesuatu yang tidak beres telah terjadi. Terlebih, setelah dua kali berturut-turut peristiwa aneh itu berlangsung. Ya, pisang-pisang yang sudah dipersiapkan untuk dijual di pasar, pagi-pagi buta telah membusuk seluruhnya. Padahal jelas, sebelumnya pisangpisang itu masih segar karena memang baru dipetik dari kebun.

 

Merasa ada keanehan yang telah terjadi, Abah Aning yang juga memiliki kepandaian dalam ilmu gaib ini jelas manaruh curiga kalau ada makhluk usil yang mengganggu dirinya. Karena itulah pada malam berikutnya, Abah memutuskan untuk tidak tidur. Ia ingin tahu siapa, atau lebih tepat lagi makhluk apa, yang sebenarnya telah mengusili dirinya itu.

 

Jauh sebelum malam tiba, siang harinya, Abah menyuruh Kang Mista yang ketika itu masih berusia 9 tahun, untuk membeli satu gelondong kecil benang hitam yang biasa digunakan untuk bermain layangan. Dengan pengetahuan ilmu gaib yang dimilikinya, sudah barang tentu Abah terlebih dahulu merituali benang ini, sehingga tidak begitu saja digunakannya.

 

Lantas, apa yang dilakukan Abah di malam itu?

 

Saat malam mencapai puncaknya, Abah yang mengintip dari balik dinding anyaman bambu kamarnya menatap dengan sorot mata terpana. Betapa ia sulit mempercayai apa yang dilihatnya. Sesosok tubuh terbungkus kain kafan tengah berjalan, atau lebih tepat bergerak sedemikian rupa mendekati tumpukan pisang yang ditaruh di dapur. Dari potongan rambutnya yang panjang, maka sudah cukup meyakinkan bahwa pemilik sosok tubuh misterius ini adalah seorang perempuan.

 

Setelah meyakini bahwa sang tamu tak diundang itu bukanlah dari jenis bangsa manusia yang sewajarnya, dengan mengendap-endap Abah masuk ke dalam lubang yang telah dipersiapkannya. Dengan kelebihan yang dimilikinya pula, strategi Abah memang tidak sia-sia. Ketika sosok misterius itu tengah mengambil beberapa biji pisang, maka ketika itulah dengan hati-hati Abah berhasil mengikatkan benang hitam di tangannya pada salah satu ujung kain kafan di tubuh sang tamu misterius.

 

Saat itu, tentu saja Abah sudah tidak ambil pusing dengan pisang-pisang dagangannya yang semuanya kembali membusuk, persisnya setelah tersentuh tangan sosok wanita aneh itu. Yang terpenting bagi Abah adalah bisa mengetahui makhluk apa sesungguhnya yang telah berbuat usil pada dirinya tersebut.

 

Lantas, apa yang terjadi selanjutnya?

 

Setelah mengambil beberapa biji pisang, sosok misterius itu segera melayang pergi, dengan tanpa menyadari bahwa ada benang hitam yang terikat di salah satu ujung kain kafannya. Sementara itu laksana melepas layang-layang yang tinggi mengangkasa, Abah pun terus mengulur benang hitam di tangannya.

 

“Setelah untaian benang itu berhenti bergerak, Abah segera mengikuti kemana arahnya. Sungguh tak disangka, benang itu ternyata mengarah ke tempat pemakaman umum. Lebih tepat lagi ke sebuah kuburan yang masih baru, cerita Abah lebih lanjut, yang tentu saja membuat bulu kudukku berdiri meremang.

 

Abah tak menceritakan berapa jauh jarak rumahnya dengan areal pemakaman umum tersebut. Yang pasti, Abah bercerita bahwa tengah malam itu dirinya melihat secara persis bagaimana kuburan yang masih baru itu seolah terbuka, dan seakan-akan menyambut kedatangan sosok wanita misterius tersebut.

 

“Dengan rasa tak percaya Abah coba menantikan apa yang akan terjadi selanjutnya. Aneh, beberapa saat kemudian terdengar suara tangis bayi dari dalam kuburan itu. Abah baru menyadari, bahwa inilah tangis bayi yang selama beberapa malam ini selalu Abah dengar”

 

Sambil melanjutkan ceritanya Abah menatap aku dan Kang Mista yang menjadi pendengar setia. Sejujurnya, waktu itu, akupun sulit percaya pada cerita ini.

 

Menurut Abah Aning, suara tangis bayi itu tidak berapa lama terdengar. Ini juga seperti pada malam-malam sebelumnya. Seperti halnya bayi yang minta disusui, atau menangis karena lapar, maka setelah disusui atau diberi makan tangis bayi itupun akan terhenti dengan sendirinya. Namun, setelah menyaksikan fakta yang sedemikian aneh ini, entah bagaimana, akhirnya timbul keinginan yang sangat kuat dalam hati Abah Aning untuk membuktikan ada apa sesungguhnya dengan kuburan itu.

 

“Sulit bagi Abah untuk menceritakan sebab musababnya mengapa Abah ingin menggali kuburan itu seorang diri. Yang pasti, menurut Abah, ini semua pasti karena petunjuk dan ridho Allah semata. Bahwa Abah memang diharuskan untuk menyelamatkan bayi itu. Dan bayi itu adalah engkau Aryanah, Anakku!”

 

Air mataku mengalir deras laksana cucuran air hujan yang turun malam itu dari atap rumah kami yang tua dan rapuh. “Abah ingin mengatakan bahwa aku adalah bayi yang lahir di dalam kuburan Ibuku?” Tanyaku dengan suara yang hampir tercekat di dalam tenggorokan.

 

Abah tidak menjawabnya. Matanya yang tua itu menatapku dengan teduh. Sorot mata ini bagiku sudah cukup memberikan jawaban, bahwa memang apa yang kutanyakan itu sungguh benar adanya. Setidaknya, hal ini terungkap lewat kisah Abah selanjutnya.

 

Dituturkan oleh Abah, bahwa setelah tengah malam itu dirinya berhasil melacak jejak si sosok perempuan misterius, maka untuk membuktikan apa-apa yang muncul di dalam hatinya, pagi buta itu ia sengaja menggali kuburan dimaksud. Ia melakukan pekerjaan ini hanya seorang diri.

 

Apa yang terjadi kemudian?

 

Betapa sulit untuk dipercaya. Setelah menggali dan terus menggali, akhirnya sampailah penggalian Abah pada dinding bambu pembatas ruang jenazah. Anehnya, dinding bambu ini sudah berubah sedemikian. rupa, sehingga ruang yang ada nampak lebih lapang dari ukuran yang sebenarnya.

 

Satu demi satu Abah mengangkat bilah potongan bambu itu, sampai akhirnya ia dikejutkan dengan penampakkan sesosok bayi dengan tubuh telanjang yang tertidur pulas di samping sebujur jenazah perempuan, yang tentu saja adalah ibu si bayi. Kafan pembungkus jenazah perempuan ini sudah tak utuh lagi, melainkan telah terbuka sedemikian rupa di beberapa bagian. Melihat kenyataan ini ingatan Abah langsung tertuju pada sosok misterius yang telah mencuri beberapa pisang dagangannya, yang sekaligus pula telah menjadi penyebab seluruh pisang-pisang itu membusuk.

 

Lantas, apakah mungkin mayat itu telah hidup dan bangkit dari kuburannya, lalu berkeliaraan hanya untuk mencuri beberapa pisang dari dapur Abah? Benarkah pisang-pisang itu dia curi untuk memberi makan bayinya?

 

Kedua pertanyaan tersebut memang sangat sulit dijawab. Tetapi bagi Abah hal yang amat musykil itu mau tidak mau harus dipercayainya. Bukankah dengan mata kepala sendiri Abah melihat ada tumpukan kulit pisang yang tergeletak tak jauh dari tubuh si bayi yang tertidur pulas itu?

 

Mau tidak mau Abah juga harus percaya kalau bayi itu kemungkinan bisa hidup karena memang ada lubang kecil yang memberinya oksigen dari luar dinding kuburan.

 

“Yang paling penting, Abah percaya sepenuhnya kalau semua ini karena takdir Allah. Ini adalah karunia Allah atas doa yang selalu Abah panjatkan, cetus Abah sambil menghapus linangan air mata di pipi tuanya.

 

Lelaki yang sangat aku cintai ini kemudian menuturkan bahwa dulu dirinya sempat menimang seorang bayi perempuan. Tapi, bayi yang tak lain adalah adik kandung Kang Mista ini hanya sampai berumur satu setengah tahun. Wabah kolera merenggut jiwanya. Karena tekanan batin yang hebat, ibu si bayi, yang tentu juga adalah ibu Kang Mista pun kemudian sakit dan akhirnya meninggal dunia menyusul bayinya.

 

“Semenjak peristiwa itu, sebelum menunaikan sholat Subuh Abah selalu mendahuluinya dengan sholat sunah kobliyah. Dan setelah itu Abah selalu membaca surat Al Fatihah sebanyak 41 kali. Bertahun-tahun Abah melakukan amalan ini dengan satu harapan, yakni agar kiranya Allah memberikan Abah seorang anak perempuan. Mungkin, doa Abah memang dikabulkan Allah, karena kemudian Abah menemukan dirimu di dalam kuburan ibumu, Nak!” Cerita Abah pula, membuatku semakin terharu.

 

“Apakah setelah peristiwa itu Abah tidak berusaha mencari keluarga dari Ibuku?” Tanyaku dengan berurai air mata.

 

“Tentu saja Abah melakukan itu, Nak!” Jawab Abah sambil menatapku dari balik renda-renda air matanya. Ia menambahkan, “Setelah melakukan pencarian, Abah akhirnya tahu kalau Ibumu bernama Rohimah, sedangkan Ayahmu bernama Jainin. Kedua orang tuamu adalah penduduk di desa sebelah. Dan menurut keterangan, Ibumu meninggal dalam keadaan hamil 9 bulan. Kepada Kakek dan Nenekmu, Abah juga menceritakan kejadian yang sebenarnya. Dan, Abah juga telah meminta izin untuk merawatmu karena Abah memang sangat meyayangimu.”

 

Malam itu, aku serasa tengah bermimpi. Betapa sulit kubayangkan, bahwa dari rangkaian cerita yang dituturkan Abah maka jelas sekali membuktikan kalau diriku ini ternyata adalah seorang anak yang lahir di dalam kuburan ibunya. Mungkinkah semua ini bisa terjadi? Apakah mungkin ketika dikuburkan ibuku belum menemui ajal sesuai yang ditakdirkan Tuhan? Atau mungkin, Allah punya maksud-maksud tertentu dengan menciptakan kejadian yang hampir-hampir tidak masuk akal ini?

 

Memang, semua rangkaian pertanyaan-pertanyaan tersebut tak ada yang bisa kujawab. Sampai akhirnya, ketika tiba hari pernikahanku dengan Kang Sumarna, apa yang diceritakan Abah itu mau tak mau harus kupercayai sepenuhnya. Hari itu, untuk pertama kalinya aku dipertemukan dengan kakek dan nenekku, juga keluarga almarhumah Ibuku yang lainya. Yang membuatku bertambah yakin, walau sudah sangat renta kedua orang tua Ibuku itu langsung mengenaliku dan menubrukku sambil bertangisan. Mereka katakan, bahwa aku sangat mirip dengan almarhumah Rohimah, anak mereka. Tentu saja aku pun menangis sejadijadinya dalam pelukan mereka.

 

Amat disayangkan, tak ada selembar pun foto Rohimah, Ibuku, yang masih mereka simpan. Termasuk foto-foto pernikahannya dengan Jainin, sebab katanya foto-foto itu hilang saat rumah mereka tertimbun longsor beberapa puluh tahun silam…

 

Begitulah kisah tentangku, kisah seorang anak yang terlahir di dalam kuburan ibunya sendiri. Jujur saja, pada awalnya, aku keberatan ketika Kang Prayoga berniat merangkum kisahku ini untuk diterbitkan di dalam majalah ini. Namun, demi mendatangkan hikmah dan pelajaran bagi Pembaca, demikian seperti yang dikatakan Kang Prayoga, akhirnya aku pun harus mengikhlaskannya. Semoga saja kisahku ini dapat menambah ketakwaan kita kepada Allah SWT. Amin ya robbal alamiiin…! Wallahu a’lam bissawab. ©️.


PENGOBATAN ALTERNATIF
"PONDOK RUQYAH"
(SOLUSI PASTI DI JALAN ILLAHI)

Kami Jasa Solusi Problem Hidup. Masalah Tuntas Tanpa Bertentangan dengan Hukum Agama dan Negara.

MACAM PROBLEM DALAM PELAYANAN KAMI:
Solusi Problem Asmara, Rumah Tangga, Back Up Karir, Back Up Usaha, Jual Beli, Aura Pemikat, Bersih Diri / Ruwat / Ruqyah / Buang Sial, dll.

KAMI TIDAK MELAYANI SEGALA HAL YANG MELANGGAR HUKUM AGAMA DAN NEGARA.
Contoh: Bank Gaib, Uang Balik, Harta Gaib, Pesugihan, Aborsi / Menggugurkan Kandungan, Perjudian / Togel / Judi Online, Mencelakakan Orang / Santet / Teluh, dll.

ALAMAT PONDOK RUQYAH:
Dusun Kasemen, No.50, RT.05, RW.03, Desa Wangkalkepuh, Kecamatan Gudo, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Kodepos 61463.
🌐 https://pondok-ruqyah.com/
☎️ +6285708371817

PERINGATAN!
Hati-hati dan waspada terhadap penipuan online yang mengatasnamakan kami. Diutamakan datang langsung ke alamat kami untuk menghindari segala hal negatif. Terimakasih.
DATANG DENGAN NIAT BAIK
TIDAK UNTUK KEJAHATAN!