Kisah Mistis: AYU SARASWATI DAN BUAYA PUTIH
Tepat pada hari keempat puluh, tatkala sang putri sudah mulai putus asa karena penyakitnya yang tak kunjung sembuh, tiba-tiba muncul seorang pemuda tampan di depannya…
Warta berkisah, pada zaman dahulu kala, di sebelah barat bumi perdikan Sendang Kamulyan, yang berada di bawah kekuasaan Majapahit, terdapat sebuah padepokan yang baru saja menganut agama Islam. Padepokan Sinawang, demikian kebanyakan orang menyebutnya.
Suasana asri dari padepokan tersebut, membuat para cantriknya merasa damai dan dapat menerima pelajaran tentang hidup dan kehidupan dengan sebaik-baiknya. Padahal, pada waktu yang bersamaan, nun jauh di sana, di Kerajaan Majapahit, suasana sedang muram.
Betapa tidak, sang raja begitu gelisah. Dari puluhan tabib kerajaan yang andal dan puluhan tabib dari luar kerajaan, tak ada seorang pun yang mampu menyembuhkan penyakit yang diderita oleh Raden Ayu Saraswati. Setiap yang mendekat, pasti menutup hidungnya … ya, tanpa sebab yang jelas, putri satu-satunya paduka, menguarkan bau busuk yang teramat menyengat …
Karena merasa tertekan, pada suatu hari, akhirnya, raja pun mengeluhkan nasibnya kepada sang patih: “Bagaimana Paman Patih, aku merasa amat malu jika keadaan Ayu Saraswati sampai diketahui oleh raja-raja lain yang datang ke sini…”
Melihat keadaan raja yang sudah demikian putus asa, maka, dengan arif, sang patih pun menjawab sekaligus memberikan saran: “Hamba dapat mengerti perasaan Paduka. Jika Baginda berkenan, untuk sementara, Raden Ayu Saraswati, seyogianya dititipkan di Padepokan Sinawang. Siapa tahu, di sana, ia mendapatkan jalan untuk kesembuhannya.”
Sang Raja tercenung. Setelah menimbang beberapa saat, akhirnya, terdengar suaranya lirih: “Baik paman patih, esok, engkau sendiri yang harus mengantarkan Ayu Saraswati ke sana. Bawalah peralatan dan perlengkapan yang cukup.”
“Baik Paduka,” kata sang patih dengan takzim dan segera undur diri untuk mempersiapkan segala sesuatunya.
Esoknya, dengan naik tandu dan dikawal beberapa prajurit pilihan, rombongan kecil ini berjalan ke arah barat istana. Tujuannya adalah Padepokan Sinawang.
Kedatangan yang mendadak dan tanpa pemberitahuan, sudah barang tentu membuat seisi padepokan menjadi sibuk. semua cantrik, tak ketinggalan Ki Ageng Sinawang turut keluar untuk menyambut para tamunya. Mencium bau amis yang demikian menyengat, tanpa dikomando, para santri pun langsung menutup hidungnya. Paman Patih yang melihat keadaan itu hanya bisa menarik nafas dalam-dalam.
Tak lama kemudian, terdengar suaranya: “Maafkan kami Ki Ageng. Kami dari Kerajaan Majapahit sengaja datang untuk menitipkan putri baginda yang dalam keadaan sakit. Mudah-mudahan, Ki Ageng Sinawang dapat memberikan jalan untuk kesembuhannya”.
“Oh… maaf bila kami kurang sopan dalan menyambut kedatangan Tuan. Dengan senang kami menerima Raden Ayu di sini,” sahut Ki Ageng Sinawang dengan senyum.
Setelah itu, ia segera memerintahkan cantrik kepercayaannya untuk mengantarkan Raden Ayu Saraswati di ruangan yang memang sengaja dibuat untuk para tamu yang datang menginap di padepokan itu.
“Silakan Putri, semoga tempat ini memadai,” demikian kata sang cantrik dengan takzim.
“Terima kasih, kalian baik sekali,” jawab Raden Ayu Saraswati sambil tersenyum dan berlinang air mata. Hatinya begitu tersentuh la tak menyangka mendapatkan perhatian dan pelayanan yang seperti itu.
Setelah sejenak berbincang dengan Ki Ageng Sinawang, maka, patih pun langsung mohon diri. Dan tak lama kemudian, Ki Ageng Sinawang langsung memperkenalkan Raden Ayu Saraswati kepada seisi padepokan…
Para santri hanya menutup sambil berbisik-bisik, dan mereka memberikan julukan kepada Raden Ayu Saraswati dengan Rara Amis. Sang putri hanya tersenyum, ia tak peduli dengan apa yang dibicarakan di belakangnya, tekadnya hanya satu, mengikuti petunjuk Ki Ageng Sinawang untuk kesembuhan dirinya.
“Putri, tiap menjelang terang tanah sampai matahari sepenggalan, berendamlah engkau di Sungai Bagong. Mudah-mudahan penyakitmu dapat tersembuhkan,” demikian kata Ki Ageng Sinawang.
“Sekarang, beristirahatlah di bilikmu,” lanjutnya lagi.
Raden Ayu Saraswati hanya mengangguk dan langsung mohon diri untuk kembali ke dalam biliknya.
Waktu terus berlalu, namun, alih-alih hilang, bau yang menguar dari tubuh Raden Ayu Saraswati kian menyengat. Kini, siapa pun yang mendekat pasti tak kuat. Langsung pergi. Keadaan ini membuat perasaan raden Ayu Saraswati benar-benar terpukul. la nyaris putus asa, beruntung, Ki Ageng Sinawang yang mengetahui hal itu, biasanya langsung menghibur dengan kata-kata, “Sang Maha Hidup, pasti punya rencana lain, jalanilah hidup sebagaimana air yang mengalir.”
Mendengar itu, semangat Raden Ayu Saraswati kembali menyala. Ia yakin, suatu saat, penyakitnya pasti hilang.
Pada hari yang keempat puluh, menjelang matahari sepenggalan, mendadak, ada seorang pemuda tampan berenang mendekati dirinya.
“Maafkan aku Nini, aku tak tahu jika engkau sedang berendam di sini. Tetapi, mengapa udara di sekitar sini berbau amis?” Tanya pemuda itu dengan penuh selidik.
“Sebenarnya aku yang harus meminta maaf kepadamu Tuan. Akulah yang membuat udara di sekitar sini jadi berbau amis, Aku sengaja berendam di sini untuk menghilangkannya”, jawab Raden Ayu Saraswati dengan perasaan tak menentu.
“Oh … jadi tubuh Nini yang berbau amis?” Tanya pemuda tampan itu seolah tak percaya.
“Benar Tuan,” jawab Raden Ayu Saraswati cepat.
“Sejak kapan Nini, bagaimana jika aku dapat menyembuhkanmu?” Tanya pemuda tampan itu dengan penuh rasa penasaran.
“Menjelang aku dewasa. Jika Tuan bisa menyembuhkan, maka, aku akan menuruti segala permintaanmu,” sahut Raden Ayu Saraswati dengan harap-harap cemas.
“Bersediakah Nini menjadi isteriku?” Tanya pemuda tampan itu.
Raden Ayu Saraswati hanya mengangguk dengan muka memerah.
“Baik Nini, aku pegang janjimu. Sekarang bersiap-siaplah, aku akan memulai mengobatimu,” kata pemuda tampan itu sambil berdiri tegak dengan kedua telapak tangannya terendam dalam air sungai.
Mulutnya berkomat-kamit, dan secara perlahan, air sungai itupun bergolak seperti mendidih. Alih-alih merasa panas, Raden Ayu Saraswati malahan merasa tubuhnya tengah berendam dalam air yang semikian sejuk dan segar…
Tak lama kemudian, seiring dengan kedua tangan sang pemuda ditarik dari dalam air, maka, secara perlahan, air sungai pun menjadi tenang kembali. Sang pemuda meminta Raden Ayu Saraswati membelakanginya. Dengan cepat, sang pemuda menjilat bagian punggung Raden Ayu Saraswati. Dalam jilatan yang ketiga, tubuh yang semula mengeluarkan bau amis, kini, menguarkan bau yang teramat harum.
“Nini, engkau harus menepati janjimu,” kata sang pemuda itu dengan mantap.
“Aku bersedia Tuan,” jawab Raden Ayu Saraswati tak kalah mantap sambil memperkenalkan dirinya.
“Saraswati, disaksikan oleh bumi dan langit, aku, Sraba akan segera melamar dan menikahimu,” demikian kata pemuda tampan yang mengaku bernama Sraba itu.
Tanpa membuang waktu, keduanya segera berjalan ke Padepokan Sinawang.
Di hadapan Ki Ageng Sinawang, Sraba pun langsung mengutarakan maksudnya. Mendengar kesungguhan Sraba, Ki Ageng Sinawang langsung meminta salah seorang cantriknya untuk menyampaikan hal itu ke Kerajaan Majapahit.
Sang Raja setuju, bahkan, ia sengaja datang pada waktu pernikahan putri satu-satunya itu dan meluluskan permintaan Raden Ayu Saraswati untuk menjalani kehidupan rumah tangga bersama suaminya di Padepokan Sinawang.
Menginjak bulan keempat, Raden Ayu Saraswati pun hamil. Waktu terus berlalu, menjelang bulan ketujuh, pada suatu hari, Sraba berpesan kepada Raden Ayu Saraswati:
“Dinda, aku akan bertapa selama beberapa waktu agar anak kita menjadi manusia yang berguna bagi orang banyak. Pesanku, jangan sekali-kali Dinda mengangkat jemuran sebelum senja tiba, atau, masuk ke dalam kamar pertapaanku.”
Raden Ayu Saraswati hanya mengangguk. la berjanji akan mentaati segala pesan suaminya. Tapi entah kenapa, menjelang kelahirannya, ia begitu ingin melanggar pesan itu. Hingga pada suatu hari, ia nekat mengangkat jemuran sebelum senja dan bahkan memasuki kamar pertapaan suaminya. Begitu pintu terbuka, hatinya langsung tercekat. Betapa tidak, di hadapannya, tampak seekor buaya putih!
Dengan penuh rasa sesal, sang buaya pun berkata, “Dinda jangan takut, aku adalah Sraba suamimu. Aku adalah buaya putih penguasa Sungai Bagong, dan hari ini juga, aku akan kembali ke sana. Pesan terakhirku, jika lahir anak lelaki, maka, berilah nama Menak Sopal.”
“Dinda … aku akan pergi,” demikian kata Sraba dengan terbata-bata dan langsung menghilang.
Beberapa waktu kemudian, Kaden Ayu Saraswati pun melahirkan seorang bayi lelaki yang diberi nama Menak Sopal Sebagaimana pesan suaminya. (Dari berbagai sumber terpilih). Wallahu a’lam bissawab. ©️.

Kami Jasa Solusi Problem Hidup. Masalah Tuntas Tanpa Bertentangan dengan Hukum Agama dan Negara.
MACAM PROBLEM DALAM PELAYANAN KAMI:
Solusi Problem Asmara, Rumah Tangga, Back Up Karir, Back Up Usaha, Jual Beli, Aura Pemikat, Bersih Diri / Ruwat / Ruqyah / Buang Sial, dll.
KAMI TIDAK MELAYANI SEGALA HAL YANG MELANGGAR HUKUM AGAMA DAN NEGARA.
Contoh: Bank Gaib, Uang Balik, Harta Gaib, Pesugihan, Aborsi / Menggugurkan Kandungan, Perjudian / Togel / Judi Online, Mencelakakan Orang / Santet / Teluh, dll.
ALAMAT PONDOK RUQYAH:
Dusun Kasemen, No.50, RT.05, RW.03, Desa Wangkalkepuh, Kecamatan Gudo, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Kodepos 61463.
🌐 https://pondok-ruqyah.com/
☎️ +6285708371817
PERINGATAN!
Hati-hati dan waspada terhadap penipuan online yang mengatasnamakan kami. Diutamakan datang langsung ke alamat kami untuk menghindari segala hal negatif. Terimakasih.
DATANG DENGAN NIAT BAIK
TIDAK UNTUK KEJAHATAN!