Panggonan Wingit: PETILASAN DEWI KILISUCI, KEDIRI
GOA SELOMANGLENG MERUPAKAN PETILASAN DEWI KILISUCI. DI TEMPAT INILAH, PUTERI KEDIRI INI MENGHABISKAN SISA HIDUPNYA UNTUK BERTAPA…
DUA TONGGAK histori yang erat kaitannya dengan Kota Kediri, adalah Jayabaya dan Dewi Kilisuci. Jayabaya dikenang sebagai Raja Kediri, yang juga termasyur dengan Jangka Jayabaya-nya. Sedangkan Dewi Kilisuci adalah identik dengan kekuatan seorang wanita dan juga keberadaan Goa Selomangleng, sebuah tempat keramat yang letaknya sekitar 3 Km dari pusat kota Kediri.
Goa Selomangleng merupakan petilasan Dewi Kilisuci. Di tempat inilah, puteri Kediri ini menghabiskan sisa hidupnya untuk bertapa, meminta kepada Sang Hyang Widi agar rakyat Kediri senantiasa terhindar dari marabahaya.
Menurut sejarah, tersebutlah zaman dahulu, di Kediri bertahta seorang raja yang bernama Djojoamiluhur, yang oleh sebagian kalangan ahli dimungkinkan sebagai Raja Airlangga. Pada masa itu, Kediri mengalami kejayaan, penduduknya makmur dan aman. Sehariharinya sang raja dibantu oleh tiga orang yang terpercaya, yaitu: Tunggul Wulung, Buto Locoyo, dan Panembahan yang bernama Empu Baradah.
Sang raja dianugerahi 3 orang anak, yaitu seorang puteri yang sangat cantik yang bernama Dewi Sanggramawijaya atau yang lebih dikenal dengan sebutan Dewi Kilisuci, dan dua orang putera bernama Djojoamiseso serta Djojoamiseno.
Saat sang Dewi menginjak dewasa, karena kecantikannya maka banyak raja dari negerinegeri lain yang ingin mempersuntingnya. Hal ini membuat raja sulit menentukan pilihan. Karena itulah, demi menjaga keamanan, ketentraman, serta ketenangan rakyat Kediri, akhirnya diadakanlah sayembara perang tanding untuk memperebutkan Dewi Kilisuci. Bagi yang menang perang tanding itulah yang akan dijadikan suami Dewi Kilisuci.
Syahdan, banyak raja dan ksatria yang mengikuti sayembara ini. Mereka melakukan perang tanding demi ambisi mendapatkan sang Dewi berparas bak bidadari. Namun apa mau dikata, kenyataannya sayembara tersebut dimenangkan oleh seorang raja yang berwajah sangat jelek. Wajahnya seperti kerbau dan bertanduk, sehingga sesuai dengan bentuknya, dia mendapat sebutan Djotosuro atau Lembu Suro. Raja satu ini berasal dari sebuah negeri di pesisir timur daerah Banyuwangi sekarang ini.
Apa yang terjadi kemudian?
Ketika mengetahui bahwa pemenang sayembera itu adalah seorang raja yang berwajah buruk, hati Dewi Kilisuci pun sangat sedih. Sejak awal sang Dewi mendambakan suarni yang gagah dan tampan. Sudah barang tentu pula dia tak mau dipersunting oleh Djotosuro.
Lembu Suro yang sudah memenangkan sayembara bertaruh nyawa itu tentu tidak mudah dikhianati, Untuk itulah diaturlah sebuah siasat. Caranya, Dewa Kilisuci mempunyai satu permintaan lagi, yakni agar dibuatkan sumur di atas puncak gunung Kelud yang kedalaman sumurnya diukur dengan ukuran suara. Artinya, apabila dalam menggali sumur tersebut Djotosuro dipanggil dari luar sudah tidak mendengar lagi suara yang memanggilnya, maka sang Dewi baru mau dipersunting olehnya.
Betapapun berat syarat tersebut, demi sang Dewi dambaan hatinya, Djotosuro tetap menyanggupinya. Dia sama sekali tak menyadari bahwa ini merupakan siasat untuk memperdaya dirinya.
Akhirnya, dengan diantar oleh sepasukan prajurit Kediri, Djotosuro berangkat ke puncak Gunung Kelud. Pasukan Kediri dipimpin langsung oleh Tunggul Wulung dan Butolocoyo, yang keduanya tentu sudah mengetahui siasat akal bulus itu. Saat Djotosuro menggali sumur, atas perintah Tunggul Wulung dan Butolocoyo, para prajurit Kediri mengumpulkan batu-batu.
Ringkas cerita, penggalian sumur berjalan cepat, dan telah mencapai ke dalam tertentu. Saat dipanggil beberapa kali, Djotosuro tak menjawab. Ini berarti kedalaman sumur memang sudah sedemikian dalam. Maka, Tunggul Wulung dan Butolocoyo segera memerintahkan para prajuritnya untuk melemparkan batu-batu yang telah mereka kumpuikan ke dalam sumur. Kekejian inilah yang membuat matinya Djotusuro.
Anehnya, setelah sumur rata dengan tanah, dari dalamnya Tunggul Wulung dan Butolocoyo beserta para prajuritnya, tiba-tiba mendengar suara tanpa rupa: “Hai raja Djojoamiluhur, prajurit serta semua rakyat Kediri, sekarang aku mengakui kekalahan dengan siasatmu yang licik. Tetapi, tunggulah pembalasanku di kemudian hari. Setiap waktu-waktu tertentu, Kediri akan saya genangi air, akan saya rusak di akan saya jadikan sungai. Tulungagung akan saya jadikan kedung dan Blitar akan saya jadikan latar (halaman)!”
Demikian suara yang didengar oleh Tunggu Wulung dan Butolocoyo para prajurit Kediri. Mereka beranggapan suara tersebut berasal da sukma Djotosuro yang mati dalam kemurkaan.
Setelah menunaikan tugasnya, Tunggul Wulung dan Botolocoyo beserta para prajurit akhirnya pulang dan melaporkan semua peristiwa yang mereka alami. Mendengar laporan tersebut, membuat raja sangat bersedil hati. Rupanya, sang raja meyakini bahwa hal itu akan membuat kesengsaraan rakyatnya.
Karena tekanan batin yang teramat kuat, akhirnya membuat raja jatuh sakit, bahkan tak lama kemudian meninggal dunia. Sebagai pengganti, ditunjuklah Dewi Kilisuci sebagai anak tertua untuk menggantikan kedudukannya. Namun, sang Dewi menolak penunjukkan ini. Namun karena adik-adiknya masih kecil, walau terpaksa akhirnya dia menerima juga penunjukkan ini sambil menunggu hingga adik-adiknya dewasa.
Selama menjadi raja, Dewi Kilisuci dikenal pula sebagai Ratu Kediri. Setelah Djojoamiseno dan Djojoamiseso dewasa, maka diputuskan kerajaan akan diserahkan kepada kedua adiknya tersebut. Sementara dia sendiri akan bertapa untuk menanggulangi ancaman Djotosuro.
Sebelum bertapa, Kilisuci dengan bantuan Mpu Baradah membagi kerajaan menjadi dua bagian untuk kedua adiknya. Air dari kendi Mpu Baradah akhirnya menjadi sungai Brantas yang menjadi pemisah kerajaan Panjalu Doho dan Jenggala.
Peristiwa tersebut dicatat dalam serat Calon Arang, Negarakertagama dan Prasasti Turun Hyang II. Namun dalam versi catatan kuno ini, yang membagi kerajaan bukanlah atas perintah Dewi Kilisuci, melainkan Raja Airlangga sendiri.
Disebutkan, setelah melaksanakan tugasnya, Mpu Baradah akhirnya mundur dari pendeta kerajaan serta memilih menjadi pertapa di Lodoyo. Sementara Kilisuci juga menugaskan Tunggul Wulung untuk menjaga sumur di Gunung Kelud untuk menentukan arah dan jalannya air lahar, jika sewaktu-waktu Djotusuro meledakan kawahnya. Sedangkan Butolocoyo ditugaskan menjadi air lahar di Gunung Kelud agar tidak merusak rakyat Kediri, serta menjaga Dewi Kilisuci dalam pertapaannya.
Setelah membagi-bagi tugas sedemikian rupa, akhirnya Dewi Kilisuci mengundurkan diri dari tahta kerajaan dan mulai bertapa. Peristiwa ini berlangsung pada 963 tahun saka. Sang Dewi disebutkan memilih bertapa di kaki gunung Klotok, di mana terdapat cekungan batu yang menjorok keluar. Di dalam goa batu inilah Dewi Kilisuci bertapa sampai akhir hayatnya. Hingga kini tempat tersebut dikenal dengan nama Goa Selomangleng.
Menurut tutur, penamaan Selomangleng ini disebabkan karena lokasinya yang berada di lereng bukit (Selo—batu, Mangleng—miring). Goa yang berbentuk dari batu andesit hitam ini nampak cukup mencolok dari kejauhan.
Sepintas tak ada yang istimewa di goa batu ini, namun bila kita melongok ke dalamnya, akan terlihat berbagai corak relief menghiasi dinding doa. Di antaranya ada yang berbentuk manusia, namun, tidak dijumpai stalagtit dan stalagmit yang umumnya dijumpai pada goa-goa alam.
Goa Selomangleng luasnya sekitar 4 meter, dan sebenarnya tidaklah terlalu besar. Hanya berupa cekungan di dalam batu yang terbagi menjadi 2 ruangan, sementara di dindingnya terdapat relief. Ruang pertama seolah seperti ruang tamu, sedang ruang kedua seperti kamar di mana terdapat batu besar yang berbentuk kotak persegi panjang seperti sebuah tempat duduk istirahat atau altar. Sedangkan disebelahnya lagi terdapat batu berbentuk seperti laiknya sebuah kursi, dan kemungkinan di sinilah Kilisuci melakukan semedinya.
Satu hal yang mencolok di goa ini adalah kesan mistis yang terasa kental saat berada di dalamnya. Setidaknya itulah yang dirasakan penulis ketika mengunjungi Goa Selomangleng beberapa waktu lalu. Aroma dupa cukup menyengat hidung penulis. Hal ini jelas menandakan bahwa tempat ini memang sering digunakan untuk olah batin dan menepi oleh para pertapa,
Kendatipun demikian, hingga kini Goa Selomangleng tetap menjadi obyek wisata budaya yang populer di daerah Kediri dan sekitarnya. Ayo, siapa mau datang ke sana… Wallahu a’lam bissawab. ©️.

Kami Jasa Solusi Problem Hidup. Masalah Tuntas Tanpa Bertentangan dengan Hukum Agama dan Negara.
MACAM PROBLEM DALAM PELAYANAN KAMI:
Solusi Problem Asmara, Rumah Tangga, Back Up Karir, Back Up Usaha, Jual Beli, Aura Pemikat, Bersih Diri / Ruwat / Ruqyah / Buang Sial, dll.
KAMI TIDAK MELAYANI SEGALA HAL YANG MELANGGAR HUKUM AGAMA DAN NEGARA.
Contoh: Bank Gaib, Uang Balik, Harta Gaib, Pesugihan, Aborsi / Menggugurkan Kandungan, Perjudian / Togel / Judi Online, Mencelakakan Orang / Santet / Teluh, dll.
ALAMAT PONDOK RUQYAH:
Dusun Kasemen, No.50, RT.05, RW.03, Desa Wangkalkepuh, Kecamatan Gudo, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Kodepos 61463.
🌐 https://pondok-ruqyah.com/
☎️ +6285708371817
PERINGATAN!
Hati-hati dan waspada terhadap penipuan online yang mengatasnamakan kami. Diutamakan datang langsung ke alamat kami untuk menghindari segala hal negatif. Terimakasih.
DATANG DENGAN NIAT BAIK
TIDAK UNTUK KEJAHATAN!