Petualangan Astral: KEMAJEMUKAN SEMESTA
Akhir-akhir ini, aku seringkali memikirkan misteri anak-anak hijau (The Green Children) yang muncul di desa Woolpit pada abad pertengahan di Inggris. Memang, misteri ini adalah salah satu yang ingin kutelusuri kebenarannya dari jauh-jauh hari. Aku merasa penelusuran terkait hal ini harus segera kulakukan, tanpa lagi ada penundaan.
Cerita The Green Children atau anak-anak hijau dari desa Woolpit telah dikenal oleh banyak orang di berbagai belahan dunia. Dikisahkan ada dua anak kecil, laki-laki dan perempuan, ditemukan dalam sebuah lubang yang biasa digunakan untuk menjebak serigala. Sumber lain menyatakan mereka ditemukan dari sebuah gua. Kedua anak itu memiliki warna kulit yang semuanya hijau dan berbicara dalam bahasa yang tak dimengerti oleh orang-orang.
Mereka ditawari berbagai jenis makanan oleh masyarakat setempat. Namun anehnya, kedua anak yang merupakan kakak beradik itu tak pernah mau memakan makanan yang diberikan kepada mereka. Hingga akhirnya saat mereka disuguhi kacang polong, mereka pun makan dengan lahapnya.
Sampai suatu ketika, sang anak laki-laki yang merupakan adik dari anak perempuan itu tak bisa bertahan hidup. Ia menghembuskan napas terakhirnya. Tersisalah sang kakak yang bisa bertahan. Dirinya mencoba untuk membiasakan makan makanan lain selain kacang polong. Warna kulitnya pun berubah perlahan seperti kulit manusia pada umumnya.
Anak perempuan yang kemudian diberi nama Agnes itu pun mulai belajar bahasa setempat dan mampu menjelaskan tentang tempat asal muasal dirinya tinggal, serta awal kejadian mengapa dirinya dan sang adik bisa tiba di desa Woolpit. Cerita lebih lengkapnya bisa kalian dapatkan di internet. Karena kurasa, apa-apa yang tersebar di buku atau internet tentang The Green Children ini sudah tercampur dengan pendapat atau asumsi pribadi. Jadi bukan lagi penjelasan asli yang dituturkan oleh Agnes, sebagai orang yang mengalaminya sendiri.
Di basecamp Salaka Minangka, aku berdiskusi dengan teman-temanku untuk merencanakan perjalanan kami ke masa lalu. Hal yang menjadi petunjuk awal bagi kami adalah waktu dan tempat kejadian. Dari berbagai sumber di internet, konon kejadian munculnya anak-anak hijau di Woolpit adalah pada abad pertengahan dalam sejarah Eropa, tepatnya pada abad ke-12. Namun dari riset yang dilakukan oleh Krieva, kejadian itu terjadi pada tahun 1312 M.
Dari segi waktu, tahun yang kami dapatkan memang berbeda dengan pengetahuan umum yang tersebar selama ini. Tahun 1312 M artinya sudah masuk pada abad ke-13. Namun tahun tersebut masih berada pada abad pertengahan, mengingat abad pertengahan dalam sejarah Eropa berakhir di abad ke15. Sementara dari segi tempat, desa Woolpit memang merupakan tempat di mana kejadian tersebut berlangsung.
Guntrasaka tampak bersemangat untuk ikut melakukan perjalanan penelusuran kali ini. Jatah terakhir diambil oleh Sramvita. Kami bertiga pun kemudian segera mengakses portal Innercore Kendan untuk menuju waktu dan tempat yang telah ditentukan.
Kami tiba di saat anak-anak hijau itu telah ditemukan dan dibawa ke sebuah rumah warga. Fokus kami bukan pada anak-anak tersebut, akan tetapi pada tempat asal mereka. Guntrasaka memeriksa lubang di mana kedua anak hijau ditemukan.
“Kita harus segera. Ayo cepat!” serunya sambil masuk ke dalam lubang yang kedalamannya sekitar dua meter.
Aku mulai mengerti dengan apa yang Guntrasaka maksud, setelah masuk ke dalam lubang tersebut. Terdapat residu atau jejak energi portal dimensi ruang-waktu yang sudah sangat tipis. Jika kami tidak segera menyadarinya, jejak energi itu kemungkinan besar akan hilang.
Kami bertiga mengikuti asal energi tersebut. Menembus sebuah portal yang membawa kami ke sebuah hutan dengan suasana sekitar yang gelap. Tanah yang kuinjak banyak bercampur dengan air, seolah-olah kami tengah berada di sebuah rawa.
Aku mencoba berkomunikasi dengan Krieva yang berada di basecamp Salaka Minangka, “Krieva, beri tahu aku, di mana kami sekarang?”
“Entahlah, aku tak bisa mendapatkan lokasi kalian secara pasti,” jawab Krieva. Mungkin ini kali pertama bagiku mendengar jawaban Krieva yang seperti itu. Biasanya ia akan sangat mudah mengidentifikasi posisi kami setiap melakukan perjalanan ruangwaktu.
“Panggilkan Mynthalla!”
Selang beberapa detik Mynthalla pun tersambung pada frekuensi komunikasiku.
“Ya, aku di sini, Vantrala.”
“Jelaskan padaku, apa yang sebenarnya kami alami saat ini? Di mana kami sebetulnya?” tanyaku agak cemas.
“Kalian berada di Bumi yang lain,” jawabnya singkat.
“Bumi yang lain? Apa maksudmu?”
Sebelum Mynthalla lebih lanjut memberikan penjelasan, tiba-tiba saja aku teringat pada sebuah pernyataan seorang sahabat Nabi. Beliau adalah Ibnu Abbas. Seorang sahabat Nabi yang sangat dikenal akan keilmuannya di bidang tafsir Al-Quran.
Suatu ketika Ibnu Abbas pernah ditanya oleh seseorang mengenai tafsir dari surat At Thalaq ayat 12, yang artinya:
“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi.”
Kemudian beliau pun mengatakan, “Apakah yang menjamin bahwa jika aku ceritakan kepadamu maka kamu tidak mengingkarinya?”
Sebelum menjelaskan, beliau memberikan sebuah pertanyaan yang terkesan, orang yang mendengarkan penjelasan dari beliau seolah tak akan percaya dengan apa yang akan disampaikan. Bisa jadi karena isi pesan tersebut belum bisa diterima dengan mudah untuk saat itu.
Lantas apa sebenarnya pesan yang disampaikan oleh Ibnu Abbas terkait ayat tersebut?
“Pada tiap-tiap lapis bumi terdapat orang yang seperti Nabi Ibrahim dan yang semisal dengan jumlah makhluk yang ada di atas bumi.”
“Yakni tujuh lapis bumi, dan pada tiap lapis bumi terdapat seorang nabi seperti nabi kalian, Adam seperti Adam, Nuh seperti Nuh, Ibrahim seperti Ibrahim, dan Isa seperti Isa.”
Jika kita merenung sejenak untuk memikirkan maksud dari perkataan beliau, kita akan segera teringat pada konsep “multiverse” atau semesta majemuk. Sebuah konsep yang sebenarnya sudah tidak asing lagi bagi kita, namun belum bisa dibuktikan secara ilmiah. Menariknya, multiverse sangat memungkinkan keberadaannya jika ditinjau dari ilmu fisika.
Dari paparan Ibnu Abbas kita disadarkan akan eksistensi Bumi yang tidak hanya satu, tapi ada tujuh. Dari narasi yang beliau sampaikan, sangat besar kemungkinan setiap Bumi memiliki manusia yang sama seperti di Bumi yang saat ini kita tempati. Dengan kata lain, masing-masing dari diri kita pun sebenarnya ada di enam Bumi lainnya.
Ibnu Abbas yang hidup ribuan tahun yang lalu! seolah memberikan kita isyarat atau petunjuk bahwa di dalam kitab suci pun rupanya konsep multiverse sudah termaktubkan di dalamnya. Bagi orang-orang yang hidup sezaman dengan beliau, tentu konsep multiverse akan sulit sekali diterima. Namun bagi kita yang hidup di zaman sekarang ini, konsep ini adalah sesuatu yang sangat menarik untuk bisa dibuktikan.
“Bagaimana bisa muncul portal yang menghubungkan Bumi asal kita dengan Bumi yang satu ini?” tanyaku kembali pada Mynthalla.
“Itu karena kedua Bumi saling berdekatan secara frekuensi, bahkan saling bersinggungan. Bayangkan ada dua buah lingkaran yang saling berimpitan satu sama lain. Dari impitan antar keduanya memunculkan irisan saling keterikatan. Irisan itulah yang sebenarnya memunculkan portal ruang-waktu.”
Sepertinya aku butuh waktu untuk mencerna penjelasan Mynthalla. Perhatianku teralihkan pada setitik sumber cahaya yang berada beberapa puluh meter di depan kami. Rupanya cahaya yang kami lihat merupakan sebuah api unggun yang dikelilingi beberapa orang di dekatnya.
Kami mencoba mendekat perlahan ke arah mereka. Reaksi yang mereka lakukan saat melihat kami adalah ketakutan. Mereka berbicara dengan bahasa yang belum pernah kudengar sebelumnya. Guntrasaka membantu untuk mengatur pakaian khusus yang kami gunakan untuk bisa berkomunikasi dengan mereka.
“Tenang, kami bukan orang jahat. Kami hanya numpang lewat saja ke sini. Kalian tidak perlu takut,” kataku untuk menenangkan.
Penampilan mereka awut-awutan. Tidak beraturan. Terutama di bagian rambut mereka yang semuanya berantakan. Mereka menggunakan pakaian dengan bahan yang terlihat tipis. Aku tak bisa melihat lebih jelas karena suasana yang gelap.
“Kedatangan kami di sini hanya ingin menanyakan, apakah ada di antara kalian yang kehilangan anak?” tanyaku pada sekawanan orang asing tersebut. Mereka saling memandang satu sama lain. Tak lama kemudian dua orang yang kukira adalah suami-istri dengan setengah berlari mendekat ke arah kami.
“Kami kehilangan anak-anak kami!” kata seorang pria yang di belakangnya kemungkinan besar adalah istrinya.
“Apakah anak kalian terdiri dari satu anak lakilaki dan satu anak perempuan?” Aku ingin memastikan bahwa anak-anak hijau yang muncul di Woolpit memang berasal dari tempat ini.
Si pria pun mengangguk mengiakan.
Aku pun menjelaskan duduk masalahnya kepada kedua orangtua dari anak-anak tersebut.
“Bisakah Anda menolong kami untuk membawa mereka kembali ke sini?” Wajah si pria memelas saat meminta tolong.
Segera kutarik Sramvita dan Guntrasaka untuk berdiskusi. Secara pribadi, aku ingin sekali membawa anak-anak itu kembali kepada kedua orangtuanya. Namun anehnya Sramvita dan Guntrasaka mengkhawatirkan dampak yang akan terjadi jika sekiranya kami ikut campur dalam hal ini.
Ternyata setelah meminta petunjuk dari Sang Maha pun, aku mendapatkan jawaban untuk mengurungkan niatku membantu anak-anak itu kembali pulang. Seolah kejadian ini merupakan suatu kejadian yang pasti dan harus terjadi. Dalam hal ini, aku benar-benar dilarang untuk melakukan intervensi. Maka dari itu, aku hanya bisa meminta maaf kepada kedua orangtua anak-anak tersebut. Aku berusaha menjelaskan kepada mereka, bahwa anak-anak mereka akan hidup dengan baik di tempat baru mereka.
Terkait dengan anak laki-laki mereka yang nantinya tak akan bisa bertahan, tentu saja aku menyembunyikan kabar tersebut dari mereka. Untungnya, mereka berdua sepertinya bisa mencoba merelakan kedua anaknya. Meski tentunya hal itu bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan.
Namun kulihat ekspresi wajah yang mencoba tegar untuk menerima kenyataan yang ada. Aku merasa tersentuh dengan sikap yang mereka tunjukkan itu. Selanjutnya kami meminta izin untuk berjalanjalan di area sekitar. Jujur saja, tempat ini membuatku sangat penasaran. Menguak seperti apa sebenarnya kediaman asal dari anak-anak hijau Woolpit.
Orang-orang di tempat ini tak terlalu jelas tampak dalam visualku. Apakah benar warna kulit mereka hijau atau tidak, aku tak terlalu yakin. Itu karena keadaan sekitar selalu gelap. Saat kami periksa, tempat ini merupakan tempat tersembunyi yang berada di dalam gunung. Kurasa gunungnya sudah tidak aktif lagi, sehingga orang-orang bisa tinggal di dalamnya.
Jika kita melihat ke atas, sinar matahari sebenarnya bisa sedikit tampak. Minimnya sinar matahari yang masuk ke area ini karena bagian gunung yang semakin melancip ke atas, sehingga terdapat satu lubang kecil saja yang menjadi puncak dari gunung tersebut.
Krieva meneliti lebih lanjut secara jarak jauh dan mendapatkan data terkait orang-orang yang tinggal di area itu. Mereka sudah hidup secara turun-menurun di sana kurang lebih selama 400 tahun. Hidup mereka terisolasi dari dunia luar yang ada di sekitar mereka. Terlebih mereka tak pernah berani untuk keluar, karena para orangtua mereka dahulu menanamkan dengan kuat sebuah aturan, agar anak-anak tak melewati area perbatasan yang telah ditentukan.
Alasannya agar mereka tetap aman dari berbagai ancaman dari luar. Terutama yang menjadi ancaman utama mereka dulu adalah hewan-hewan buas yang ada di hutan.
Aku, Sramvita dan Guntrasaka mencoba memeriksa ke luar, melewati batas area tersebut. Memang ternyata sekeliling dari gunung itu merupakan hutan belantara yang masih sangat terjaga. Jauh dari tangan-tangan jahil manusia yang merusak alam.
Keberadaan orang-orang berkulit hijau mengingatkanku pada ras manusia lainnya yang ada di Nusantara. Seperti halnya manusia berekor yang dikenal sebagai “Orang Boentot” di daerah Kalimantan atau “Wong Kalang” di dalam istilah orang Jawa. Mereka merupakan ras manusia yang memiliki ekor pendek yang tak dimiliki manusia pada umumnya.
Dan kurasa ada banyak sekali jenis manusia yang belum kita ketahui saat ini. Jika pun mereka masih ada sampai saat ini, jumlah mereka relatif amat sangat sedikit dan terasing di daerah-daerah pedalaman yang jauh dari kehidupan modern kita sekarang ini.
Di saat kami mengamati gunung yang sudah tak aktif tempat para manusia berkulit hijau tinggal, terlintas begitu saja sebuah keinginan untuk menemui diriku sendiri di Bumi versi yang berbeda ini.
“Kamu yakin?” Sramvita sepertinya melihat keraguan di wajahku. Aku hanya menjawab dengan sebuah anggukan.
“Jika itu keputusanmu, persiapkan hatimu. Terima apa pun kondisi dirimu di sini. Entah keadaannya lebih baik atau lebih buruk dari keadaanmu sekarang ini, sikapi semuanya dengan netral,” pesan Sramvita.
Selama ini, aku hanya bisa menemui diriku di masa lalu dengan tujuan menyembuhkan innerchild yang kumiliki. Tak kusangka, sekarang aku bisa mendapatkan kesempatan untuk bisa mengunjungi diriku di semesta yang lain.
“Ingat, Vantrala. Untuk menjaga kestabilan antar semesta, kita tidak bisa berlama-lama di sini.” Sramvita mengingatkanku.
Dengan mengakses portal yang ada di Sphinx, kami menuju Bumi yang berada di semesta yang lain. Alasanku menggunakan portal yang ada di Sphinx karena aku merasa energiku lebih stabil jika menggunakan portal tersebut. Tujuanku adalah menemui diriku secara real time di Bumi dari semesta yang lain. Maksudku, waktu, tanggal, bulan, dan tahun yang sama.
Portal Sphinx membawa kami ke sebuah ruangan apartemen dengan pintu kaca terbuka mengarah ke balkon. Terlihat seseorang berpakaian kemeja lengkap dengan jas hitam serta dasi yang masih melingkar di lehernya. Hanya saja semua pakaiannya tampak kusut berantakan. Orang itu tengah menikmati udara malam perkotaan ditemani sebatang rokok yang dihisapnya.
la terkejut saat kami mendekat ke arahnya, bahkan terjatuh dari kursi yang sebelumnya ia duduki. Dialah diriku di semesta yang berbeda, dengan wajah yang sama. Hanya penampilan luar kami saja yang berbeda.
“Siapa kamu?!” Ia tampak ketakutan saat melihatku. Aku pun menyadari bahwa dia hanya bisa melihatku. Sementara Sramvita dan Guntrasaka tak mampu dilihatnya.
“Aku adalah dirimu. Aku datang dari Bumi yang lain. Dari semesta yang lain.”
Entah mengapa rasanya aku tak kuasa menahan air mataku agar tak terjatuh. Tubuh fisik maupun tubuh astralku menangis ikut merasakan depresi yang tengah ia rasakan.
Secara finansial, ia terlihat jauh lebih mapan dari keadaanku yang sekarang. Tinggal di sebuah apartemen yang bagus. Dan sepertinya punya pekerjaan dengan penghasilan yang tinggi. Namun bisa kurasakan ia merasa tidak bahagia dengan kehidupannya tersebut.
“Kenapa keadaanmu seperti ini?” tanyaku padanya.
Awalnya kulihat ia ragu untuk menjawab. Seolah masih tak percaya dengan apa yang saat ini ia lihat. Bisa bertemu dan melihat dirinya sendiri dengan versi yang berbeda.
“Aku terlalu mengikuti apa kata Mama,” ujarnya sambil terisak.
Aku mencoba untuk mengintip sedikit memori yang ada pada dirinya untuk memahami apa maksud dari perkataannya tersebut. Ternyata ia terlalu mengikuti keinginan Mama agar anak-anaknya bisa sukses secara materi. Karena menurut beliau, orang sukses adalah orang yang memiliki banyak uang. Terpenuhi segala kebutuhannya. Bisa dapatkan apa saja yang diinginkan.
Dirinya yang memang terlihat sukses secara materi, telah bekerja keras sehingga mampu menghasilkan uang yang banyak. Namun ia mengorbankan banyak keinginannya sendiri demi mencapai target dan harapan Mama. Ia hampir-hampir tak memiliki teman, sehingga saat merasa sedih, ia hanya akan berdiam diri di kamar apartemennya. Sebuah kehidupan yang menurutku begitu menyedihkan.
Hal yang paling mengecewakanku adalah jauhnya dirinya dengan Sang Maha. Ia bahkan dengan sadar melupakan kewajibannya sebagai seorang hamba dari Dzat yang telah menciptakan dirinya, bahkan alam semesta. Dirinya telah benar-benar jauh dari Tuhan.
Aku memeluknya untuk memberikan dukungan secara moril. Dia harus memahami pentingnya kebahagiaan untuk dirinya sendiri. Membahagiakan orangtua memang merupakan sesuatu yang mulia. Namun jika sampai harus mengorbankan kebahagiaan diri sendiri, menurutku itu sebuah keadaan yang ironis.
Kupikir penting bagi kita untuk membahagiakan dulu diri sendiri, sebelum berpikir membahagiakan orang lain. Kita semua berhak untuk bahagia. Lakukan apa yang bisa membahagiakan orang lain tanpa harus mengubur kebahagiaan diri kita sendiri.
Aku memberikan nasihat kepada diriku yang lain untuk kembali ke jalan Tuhan. Dengan melakukan itu, Sang Maha akan menuntunnya melakukan apa yang ia harus lakukan selanjutnya.
Sramvita memberikan isyarat agar kami segera meninggalkan tempat itu. Aku berpamitan pada diriku yang ia tampaknya masih ingin lebih lama berbicara denganku. Aku pun membagikan ingatanku agar ia bisa tahu apa saja yang telah kulalui selama ini. Ia menawarkan ingatannya untuk kuambil. Namun aku menolak.
“Akankah kita bertemu lagi di lain hari?” tanyanya.
“Tidak. Sepertinya ini akan menjadi pertemuan pertama dan terakhir kita. Lanjutkan hidupmu dan bertumpulah di atas kedua kakimu sendiri. Jangan terlalu mengandalkan orang lain,” pungkasku seraya berbalik badan dan kembali ke basecamp Salaka Minangka.
Selang satu hari, aku merasa sedikit bingung untuk membedakan antara semesta majemuk dan dunia paralel. Setelah mendapatkan abstrak dari Mynthalla, bisa kusimpulkan bahwa semesta majemuk atau multiverse merupakan sebutan untuk semesta yang nyatanya bukan hanya satu saja. Tapi terdapat banyak semesta lain yang memiliki persamaan dan juga perbedaan dengan semesta yang kita miliki.
Sementara dunia paralel merupakan sebutan untuk alternatif kehidupan yang muncul akibat keberadaan semesta yang majemuk. Artinya, baik multiverse maupun parallel worid adalah dua hal yang sejatinya merupakan satu kesatuan.
Senang sekali rasanya bisa membuktikan keberadaan alam semesta lainnya serta menemui diriku sendiri dengan versi yang berbeda di sana. Banyak pelajaran yang bisa kuambil dari mengetahui salah satu rahasia alam semesta yang satu ini.
Di akhir penelusuranku, aku menyadari rahasia mengapa aku tidak diizinkan untuk mengembalikan kedua anak hijau kembali ke tempat asal mereka. Mynthalla mengungkapkan salah satu kemungkinan yang akan terjadi jika aku melakukan intervensi dalam kejadian ini. Ada kemungkinan cerita The Green Children tidak akan sampai bertahan pada manusia yang hidup di abad ke-21. Jika tak ada yang tahu cerita tersebut, maka tak ada orang yang menelusuri asalusul mereka yang ternyata berasal dari Bumi yang lain, dari semesta yang lain.
Ada hal-hal yang kita diizinkan untuk mengubah keadaan, namun ada pula hal-hal yang kita tidak boleh untuk mencampuri apa yang sudah ditetapkan oleh Sang Maha. Itulah pentingnya kita selalu melibatkan Tuhan di setiap aktivitas kita agar apa yang kita lakukan tidak sampai salah langkah.
Apa yang akan kalian lakukan jika bertemu dengan diri kalian sendiri dari berbagai semesta yang berbeda?

Kami Jasa Solusi Problem Hidup. Masalah Tuntas Tanpa Bertentangan dengan Hukum Agama dan Negara.
MACAM PROBLEM DALAM PELAYANAN KAMI:
Solusi Problem Asmara, Rumah Tangga, Back Up Karir, Back Up Usaha, Jual Beli, Aura Pemikat, Bersih Diri / Ruwat / Ruqyah / Buang Sial, dll.
KAMI TIDAK MELAYANI SEGALA HAL YANG MELANGGAR HUKUM AGAMA DAN NEGARA.
Contoh: Bank Gaib, Uang Balik, Harta Gaib, Pesugihan, Aborsi / Menggugurkan Kandungan, Perjudian / Togel / Judi Online, Mencelakakan Orang / Santet / Teluh, dll.
ALAMAT PONDOK RUQYAH:
Dusun Kasemen, No.50, RT.05, RW.03, Desa Wangkalkepuh, Kecamatan Gudo, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Kodepos 61463.
🌐 https://pondok-ruqyah.com/
☎️ +6285708371817
PERINGATAN!
Hati-hati dan waspada terhadap penipuan online yang mengatasnamakan kami. Diutamakan datang langsung ke alamat kami untuk menghindari segala hal negatif. Terimakasih.
DATANG DENGAN NIAT BAIK
TIDAK UNTUK KEJAHATAN!