Kisah Mistis: KAKEK GAIB PENJAGA PURBALINGGA
EYANG RAGA JIWA ADALAH SOSOK MAKHLUK HALUS YANG SANGAT BUDIMAN. DIA AKAN DATANG MENEMUI ORANG YANG SEDANG TERTIMPA KESUSAHAN. ISTANANYA BERNAMA KRAGA JATI. TERLETAK DI TEPI SEBUAH SUNGAI. BISAKAH SEMUA ORANG BERTEMU DENGANNYA…?
NAMA Eyang Raga Jiwa, barangkali sudah tak asing lagi di telinga sebagian besar masyarakat Purbalingga. Lebih khusus lagi bagi warga yang bermukin di Desa Panican. Sudah sejak lama dikisahkan, bahwa sang kakek misterius ini sering hadir dan menampakkan dirinya di desa tersebut.
Cerita tentang sosok gaib Eyang Raga Jiwa memang sudah sangat melegenda di wilayah Banyumas, terutama kalangan para penambang pasir dan petani di sepanjang sungai Klawing, sebuah sungai besar yang membelah wilayah Kabupaten Purbalingga. Menurut-kabar yang berkembang sejak zaman dahulu kala, kakek misterius bernama Eyang Raga Jiwa ini sering menampakkan wujud yang sebenarnya sebagai makhluk ciptaan Tuhan, meski dia berasal dari dimensi kehidupan lain. Aneh memang. Sang kakek datang tak pernah diundang. Dia akan datang dengan sendirinya. Dan kedatangannya diyakini akan selalu membawa berkah bagi siapa saja yang ditemui atau melihat penampakkannya.
Seumpama Sinterklas dalam tradisi Natal umat Kristiani yang datang membagikan hadiah Natal, maka demikianlah Eyang Raga Jiwa. Satu alasan bagi kedatangan sosok gaib ini, yaitu menolong dan membantu warga di sepanjang sungai Klawing. Oleh karena itu tak heran bila masyarakat di sana sangat yakin kalau sang kakek memang tinggal dan bersemayam di sepanjang aliran sungai itu. Entah pada titik mana. Tak ada seorang pun yang mengetahuinya.
Warga yang didatangi Eyang Raga Jiwa udah dipastikan dia sedang mengalami kesusahan dan kegelapan dalam hidupnya, sang kakek disebutkan sudah tahu persis, mana atau siapa saja orang yang benar-benar perlu dibantu, dan mana orang yang belum pantas untuk menerima bantuannya. Tak seperti yang berlaku dalam hukum alam manusia yang membutuhkan pamrih, maka Eyang Raga Jiwa sak mengenal kata yang satu ini. Setiap kali membantu, dia tak pernah meminta imbalan atau pamrih, apalagi tumbal.
Eyang Raga Jiwa diyakini bukanlah sosok hantu yang berwajah seram dan menakutkan. Dia juga bukan bangsa siluman atau jin kelas rendahan yang gemar memperdaya manusia dengan iming-iming harta. Banyak yang meyakini bahwa apa yang dinamakan sebagai Eyang Raga Jiwa ini adalah sejenis jin muslim yang baik hati. Bahkan banyak cerita yang berkembang di masyarakat sekitar, yang menyebutkan kalau Eyang Raga Jiwa dulunya adalah seorang manusia biasa yang sakti mandraguna. Dia tidak mempunyai anak dan isteri. Untuk menghabiskan sisa hidupnya dia kemudian bertapa di suatu tempat, sampai akhirnya mokswa, hilang dengan sendirinya. Dan di tempat mokswanya itulah yang sekarang menjadi istana gaibnya.
Masyarakat yakin, kalau istana Eyang Raga Jiwa terletak di salah satu titik yang ada di pinggiran sungai Klawing. Bahkan, ditengarai bahwa letak persis istana itu adalah di salah satu bagian sungai yang di tengahnya ada segerumbulan pepohonan. Di situ ada dua pohon besar yang sudah tua namun sangat rindang, dan di bawahnya ditumbuhi rumputrumput liar. Dua pohon besar itulah yang diyakini masyarakat sebagai pintu gerbang istana Eyang Raga Jiwa. Secara turun temurun mereka menyebutnya sebagai Kraga Jati.
Apa yang dinamakan Kraga Jati ini merupakan tempat yang sangat wingit dan angker, Ibarat kata-kata sakti: Jalmo moro jalmo mati, sedio olo, moro mati. Karena itulah, tak seorang pun yang diperbolehkan datang menyambangi tempat ini dengan maksud atau tujuan yang tak baik. Letak Kraga Jati sendiri kira-kira tiga kilo meter dari perkampungan penduduk, yaitu Desa Panican, Kemangkon, Kabupaten Purbalingga.
Sebagai bangsa makhluk halus, Eyang Raga Jiwa disebutkan tidak pernah menampakkan dirinya pada malam hari. Jika menemui seseorang yang dikehendakinya, maka sudah. dipastikan berlangsung pada siang hari. Karena ulah masyarakat semakin yakin kalau dia bukanlah sosok hantu atau bangsa dedemit. Hal ini ini juga bisa dibuktikan dari beberapa sumber dan saksi yang mengaku Pernah ditemui oleh Eyang Raga Jiwa. Seorang saksi itu adalah Sugiarto, 43. Warga Desa Panican. Kepada penulis dia berkisah tentang pertemuannya dengan Eyang Raga Jiwa.
Waktu itu Agustus 2005. Bagi Sugiarto hari itu adalah hari yang cukup bersejarah, sekaligus mungkin hari yang keramat bagi dirinya. Apa yang telah terjadi? Pada hari itu dia mendapatkan petunjuk yang sangat berarti dalam kehidupannya.
Sejak kerusuhan 1998 silam, Sugiarto memang sempat terkena imbas secara langsung. Perusahaan tempatnya bekerja gulung tikar, karena krisis yang berkepanjangan. Lalu dia menganggur lama, sempat dia menjadi penjual mainan anak-anak keliling, tapi usahanya ini gagal. Keuntungan yang diperolehnya hanya sedikit, tak pernah cukup untuk kebutuhan sehari-hari.
Setelah bosan berdagang mainan, Sugiarto kemudian memelihara bebek petelur. Setiap pagi dia menggiring bebek-bebeknya ke pesawahan yang letaknya dekat sungai Klawing, dan bila sore tiba dia mengajak pasukan bebeknya ngandang di belakang rumahnya.
Usaha bebek petelur ini pun tidak memberi hasil yang memadai. Tak heran bila Sugiarto selalu mengeluh dengan penghasilannya yang sangat jauh dari cukup. Sampai pada suatu hari ketika Giarto, sapaan akrabnya, sedang duduk sambil menahan kantuk mengawasi pasukan bebeknya yang sedang mencari makan di sawah, tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara kokok ayam jantan yang berbunyi sangat panjang. Belum sempat bangkit dari duduknya, dia dikejutkan oleh suara batuk-batuk seseorang yang berasal dari arah belakang tempatnya duduk.
Saat menoleh, Sugiarto melihat ada seorang kakek dengan tubuh sedikit membungkuk, berdiri dengan jarak hanya sekitar satu meter di belakangnya. Sang kakek berpakaian Jawa, dengan ikat kepala warna hitam, pakaian tangkep coklat-lorek hitam, dan jarit warna lurik. Si kakek juga nampak membopong seekor ayam jago warna klawu alias blorok. Wajahnya sudah sedikit keriput, namun sorot matanya sangat lembut.
Meliha Giarto yang takzim memandangnya, si Kakek tersenyum dengan kepala selalu manggut-manggut.
Giarto hanya diam. Dia memperhatikan ayam jago yang dibopong si kakek, yang nampak seperti ayam kebanyakan, tak ada yang aneh dan istimewa.
“Kakek mau ke mana?” tanya Giarto.
Posisi kakek itu berada di pinggir sungai, mau naik ke daratan. Tak ada rasa curiga dan takut di hati Sugiarto. Karena suasananya pun siang hari, apa lagi di sawah saat itu ramai orang sedang bercocok tanam padi.
Tak hanya itu, di bawah sungai juga banyak orang yang sedang mengambil pasir. Karena itulah Giarto sama sekali tak curiga kalau sosok kakek yang mendatanginya tak lain dan tak bukan adalah Eyang Raga Jiwa, tokoh misterius yang sering diceritakan masyarakat kampungnya.
“Mungkin waktu itu sekitar pukul 3 sore. Setelah mendatangiku, tiba-tiba kakek itu meminta tolong sambil mengulurkan tongkat bambunya kepadaku untuk membantunya duduk,” Sugiarto mengisahkan.
Dia meneruskan kisahnya, bahwa setelah kakek itu duduk di sebelahnya, kemudian si kakek bertanya, “Bagaimana hasil panen para petani tahun ini, Nak?”
“Wah! Banyak yang mengeluh, Kek. Pokoknya panen kali ini gagal karena pupuk. langka!” jawab Giarto.
“Lho? Kenapa kok bisa begitu?” tanya si kakek lagi sambil mengelus-elus ayam jago yang dibawanya.
“Bukan hanya pupuk langka, tapi juga ada serangan hama belalang dan tikus. Ya, keadaan memang semakin sulit, Kek. Alam pun seakan tidak mau bersahabat lagi. Para petani seperti saya ini hanya bisa mengelus dada. Mau berbuat apa lagi?” jawab Giarto.
“Yah, merekakan juga makhluk Tuhan yang ingin hidup. Kepada siapa lagi belalang dan tikus akan menumpang makan kalau bukan pada kita, manusia? Eyang menyarankan tikustikus itu tak usah diburu, jika sudah kenyang nanti juga akan pergi sendiri, kok,” sarannya kemudian.
Giarto pun hanya bisa tersenyum, sebab saran si kakek itu memang bijak tapi sulit, atau bahkan mustahil dikerjakan. Ya, petani mana sih yang rela sawahnya digasak tikus?
Cukup lama juga Giarto ngobrol dengan kakek itu, mengenai sawah, padi, dan bebekbebeknya. Termasuk pula usaha-usaha yang dikerjakan oleh dirinya, yang selalu jungkir balik, bangkrut dan gagal.
“Aku benar-benar putus asa, Eyang. Bebekku sekarang ini mulai jarang bertelor karena pakan memang tidak ada lagi di sawah. Mau beli pakan keluar pabrik, aku sama sekali tidak punya uang. Ya, karena itu setiap pagi paling-paling hanya bertelur beberapa butir saja. Mana mungkin cukup buat kebutuhan keluargaku Sehari-hari,” papar Giarto menceritakan kesulitan yang dihadapinya.
Mendengar pengakuannya yang demikian, si kakek malah tertawa terkekeh-kekeh. “Kau ini memang tak berbakat untuk angon bebek, Nak, Kau seharusnya berjualan saja di pasar, nanti hidupmu pasti akan banyak kemajuan,” katanya, memberi saran.
“Tapi, dari mana modalnya, Kek? Bebekku saja jumlah hanya beberapa ekor, dan jarang bertelor pula!” bantah Giarto.
Si kakek tersenyum. Dia kemudian merogoh sesuatu dari dalam sakunya. Ya, ternyata dia mengeluarkan biji-biji kecil yang bentuknya menyerupai biji wijen. Dia menyodorkan biji-bijian itu pada Giarto.
“Nanti kamu beli jagung sedikit. Setelah itu biji-bijian ini kamu campur dengan jagung pakan bebekmu, pasti besok telornya akan banyak terus. Ingat, kamu kumpulkan telur-telur itu. Kalau sudah banyak baru kamu jual. Duitnya suatu saat buat modal dagang di pasar, nanti hidupmu akan berubah,” kata si kakek pula.
Giarto terpana pada kebaikan dan perkataan si kakek yang telah meramalkan nasib dirinya. “Seperti dukun saja kakek ini?” pikirnya dalam hati.
“Maaf ya, kakek ini siapa dan tinggal dimana? Sepertinya saya baru melihat kakek sekarang ini?” tanyanya kemudian.
“Aku adalah Eyang Raga Jiwa. Rumahku di gerumpul pohon pinggir sungai sana,” jawab si kakek begitu mengejutkan Giarto.
Anehnya, ketika Giarto menengok ke arah yang ditunjukkan si kakek, maka ketika sekejap kemudian dia kembali menoleh pada si kakek, sosok itu pun telah hilang entah kemana. Giarto hanya bisa terpana. Spontan sekujur tubuhnya menjadi merinding. Dia baru sadar kalau dirinya telah bertemu dengan kakek misterius yang sering diceritakan orang. Eyang Raga Jiwa, begitulah namanya.
“Setelah itu aku langsung menggiring bebek-bebekku pulang ke rumah. Malamnya, aku terserang panas dingin,” papar Sugiarto menyambung ceritanya.
Ringkas cerita, apa yang dikatakan Eyang Raga Jiwa ternyata memang benar. Dalam waktu dua tahun kemudian, Sugiarto sudah memiliki toko yang cukup besar di pasar. Dia pun mengaku sangat bersyukur karenanya. Sebagai bukti rasa syukurnya, kini dia dan isterinya tak pernah meninggalkan sholat 5 waktu.
Lain Sugiarto, lain pula cerita yang dialami Rosidi, 51 tahun. Dulu, dia mengaku pernah ditanyai oleh seorang warga keturunan Tionghoa asal Purwokerto. Dua orang warga keturunan itu datang menemuinya dengan mengendarai mobil sedan, juga dengan membawa seekor ayam jago Bangkok.
“Dua orang warga keturunan itu menanyakan rumah Eyang Raga Jiwa pada saya. Tentu saja saya malah bingung sendiri. Ketika saya minta dijelaskan ciri-ciri kakek yang dimaksud, ternyata persis seperti kebanyakan orang ngomong. Eyang Raga Jiwa adalah seorang kakek berpakaian coklat lorek hitam, jarit warna lurik, dan ikat kepala hitam. Bahkan kedua orang tamu saya itu pun menunjukkan alamat desa ini. Tapi, dari pada salah ngomong, saya bilang saja kalau saya tak tahu rumah kakek dimaksud. Padahal, waktu itu pikiran saya menyatakan bahwa yang dimaksud adalah Eyang Raga Jiwa seperti yang diceritakan dalam legenda,” cerita Rosidi kepada penulis.
Salah seorang warga keturunan itu lalu berkata, “Kami bertemu dengan kakek bernama Eyang Raga Jiwa itu sewaktu kami berada di pasar ayam Purwokerto. Dan beliau mengundangku untuk taruhan adu jaga. Katanya dia punya ayam bangkok bagus. Lalu dia memberi alamat rumahnya di desa ini?”
“Jadi bapak tidak tahu rumahnya?” tanya salah seorang dari mereka.
Rosidi hanya menggelengkan kepala. Lalu kedua warga keturunan itu meneruskan perjalanan lagi. Entah ke mana.
Kejadian tersebut memang sebuah kesaksian yang aneh. Dan memang, menurut cerita masyarakat setempat, Eyang Raga Jiwa jika menampakkan dirinya, maka pasti akan membawa seekor ayam jago bangkok. Karena, menurut cerita yang berkembang di masyarakat, dia memang senang memelihara ayam jago semasa hidupnya.
Bukan hanya Rosidi yang pernah ditanyai oleh seseorang yang mengaku diajak taruhan adu jago oleh Eyang Raga Jiwa, tapi kabarnya masih banyak lagi. Dan mereka semua tak tahu, kalau Eyang Raga Jiwa adalah tokoh misterius yang tinggal di sepanjang sungai Klawing.
Kisah lainnya dialami oleh Soherudin, 50 tahun. Pria yang sehari-hari bekerja sebagai penambang pasir di pinggir kali Klawing ini mengaku pernah menyaksikan kemunculan seorang kakek yang tengah menggiring tikustikus yang begitu banyak di pematang sawah.
“Waktu itu saya sedang di pematang sawah, istirahat sambil makan nasi yang dibekali isteri dari rumah. Saat baru membuka rantang nasi, tiba-tiba saya melihat seorang kakek sambil membopong jago berjalan cepat menggiring ratusan, bahkan mungkin ribuan ekor tikus di depannya. Karena penasaran, saya terus melihat si kakek aneh ini. Namun. tiba-tiba si kakek hilang di gerumbul pepohonan sebelah sana, pinggir sungai itu. Yah, mungkin dia itulah kakek gaib yang bernama Eyang Raga Jiwa. Tapi herannya, mau dibawa kemana tikus-tikus itu?” tutur Soherudin saat dimintai penjelasannya.
Kabar yang berhasil dijaring penulis juga menyebutkan, seringkali ada seorang petani yang berangkat pagi, mendengar suara ayam jago berkokok di pinggir antara sawah dan sungai Klawing. Padahal tak mungkin ada jago di tempat yang sepi itu. Letaknya saja jauh dari perkampungan penduduk. Fenomena ini sering terdengar sekitar pukul 5 pagi. Mungkin yang berkokok itu adalah ayam jago milik Eyang Raga Jiwa. Setidaknya keyakinan ini cukup diimani oleh penduduk setempat.
Masih banyak cerita mistis mengenai Eyang Raga Jiwa. Dan seperti yang dikisahkan di muka, sang kakek memang terbiasa menolong warga yang kehidupannya sedang kesusahan. Namun tak urung, si kakek juga disebutkan pernah juga menolong orang yang tenggelam.
Diceritakan, suatu ketika saat kali Klawing banjir meluap. Ketika itu ada seorang warga yang tidak disebutkan namanya, dan dia tenggelam akibat air sungai yang meluap, tiba-tiba ditarik oleh seorang kakek-kakek ke tepian. Si kakek, lagi-lagi, diyakini sebagai jelmaan Eyang Raga Jiwa.
Untuk mencari cerita ikhwal siapakah gerangan sesungguhnya Eyang Raga Jiwa ini, penulis sengaja menemui Mbah Sujari. Sesepuh desa setempat yang sudah berusia lebih dari 80 tahun ini mengaku tidak tahu asal mula Eyang Raga Jiwa. Yang dia tahu, keberadaan sosok gaib itu sudah ada sejak dirinya masih kecil.
“Zaman Mbah masih kecil, sering dengar namanya Eyang Raga Jiwa dari orang-orang tua. Banyak yang bilang pernah ditemui. Mungkin, Eyang Raga Jiwa sudah ada sejak zaman penjajahan, atau bahkan zaman masih kerajaan dulu. Tapi Mbah sendiri belum pernah ketemu. Karena, jika bisa ketemu dengan Eyang, memang beda banget. Tapi dulu banyak orang yang mengadakan ritual agar bisa bertemu dengan Eyang. Kalau memang benar-benar hidupnya susah dan sengsara, Eyang itu mau menolong dan membantunya. Tapi, jika tidak sungguh-sungguh dan berpura-pura susah, dia tak mungkin datang,” cerita Mbah Sujari.
“Kata orang dulu, jika ingin ketemu dengan Eyang Raga Jiwa, sebenarnya gampang-gampang susah. Susahnya, tak sembarang orang bisa ketemu. Gampangnya, syaratnya tak sulit. Menurut cerita, kesukaan Eyang Raga Jiwa itu tempe ireng dan nasi dari beras ketan,” lanjutnya.
Lebih jauh dia menuturkan, “Caranya, nasi ketan satu pincuk, di atasnya dikasih tempe ireng dan satu cangkir kopi pahit. Lalu kita duduk untuk mengutarakan hajat kita di gerumbul pohon besar dekat sungai Klawing itu. Dan waktunya tak harus malam hari. Jika Eyang akan datang pasti didahului suara kokok ayam jago melung (melengking panjang).
Memang, pada zaman dulu, sewaktu masih ada undian berhadiah bernama Porkas atau SDSB, banyak orang yang datang ke tempat yang diyakini sebagai istana Eyang Raga Jiwa. Istana dimaksud yaitu sebuah tempat di pinggiran sungai Klawing. Atau, seperti yang dikemukakan di muka, banyak orang yang menyebut dengan sebutan Kraga Jati. Tapi, banyak juga yang gagal untuk bertemu, karena niatnya tak bersih dan Unsurnya perjudian.
Sampai saat ini, tak ada orang yang tahu persis, sejak kapan dan siapa gerangan sejatinya Eyang Raga Jiwa itu. Tentu saja, semua ini hanya Tuhan Yang Maha Tahu, yang mampu memberikan jawaban atas rahasia ini. Namun, siapapun adanya Eyang Raga Jiwa, baik nampak maupun tak nampak, itu adalah bentuk keragaman makhluk ciptaan dan wujud dari kebesaran Allah SWT.
Kita selaku manusia sudah seharusnya menghormati keberadaannya dan tak saling mengganggu. Dan yang jelas, bahwa makhluk gaib itu memang ada. Cerita Eyang Raga Jiwa memang masih menjadi misteri.
Ya, misteri yang melekat dalam kehidupan masyarakat Purbalingga, dari dahulu kala hingga saat ini. Dan ini sudah barang tentu menjadi wacana menarik bagi dunia mistis yang ada di sekeliling kita. Semoga ada hikmah yang bisa dipetik dari tulisan ini. Wallahu a’lam bissawab. ©️.

Kami Jasa Solusi Problem Hidup. Masalah Tuntas Tanpa Bertentangan dengan Hukum Agama dan Negara.
MACAM PROBLEM DALAM PELAYANAN KAMI:
Solusi Problem Asmara, Rumah Tangga, Back Up Karir, Back Up Usaha, Jual Beli, Aura Pemikat, Bersih Diri / Ruwat / Ruqyah / Buang Sial, dll.
KAMI TIDAK MELAYANI SEGALA HAL YANG MELANGGAR HUKUM AGAMA DAN NEGARA.
Contoh: Bank Gaib, Uang Balik, Harta Gaib, Pesugihan, Aborsi / Menggugurkan Kandungan, Perjudian / Togel / Judi Online, Mencelakakan Orang / Santet / Teluh, dll.
ALAMAT PONDOK RUQYAH:
Dusun Kasemen, No.50, RT.05, RW.03, Desa Wangkalkepuh, Kecamatan Gudo, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Kodepos 61463.
🌐 https://pondok-ruqyah.com/
☎️ +6285708371817
PERINGATAN!
Hati-hati dan waspada terhadap penipuan online yang mengatasnamakan kami. Diutamakan datang langsung ke alamat kami untuk menghindari segala hal negatif. Terimakasih.
DATANG DENGAN NIAT BAIK
TIDAK UNTUK KEJAHATAN!