Kisah Mistis: MERANA KARENA SANTET GANTUNG JODOH

0
3

Kisah Mistis: MERANA KARENA SANTET GANTUNG JODOH

AKU TERLAHIR dari suatu keluarga petani kaya yang tinggal di sebuah desa di kawasan Kabupaten Tangerang, Banten. Aku anak ketiga dari enam bersaudara, dengan 3 lelaki dan 3 perempuan. Dua orang kakakku masing-masing lelaki.

 

Jadi aku anak perempuan pertama, kemudian adikku juga perempuan, lalu diseling lelaki, dan yang bungsu juga perempuan. Jarak kelahiran keenam bersaudara ini tidaklah terpaut jauh. Paling banter hanya beda tiga tahunan. Karena itu, walau pun kami adik-kakak, namun kami terlihat seperti sepantaran. Dan Alhamdulillah, kami berenam bersaudara selalu hidup rukun dalam kebersamaan.

 

Ketika si bungsu baru menginjak usia 7 tahun, ayahku meninggal dunia karena serangan diabetes mellitus. Sebelumnya, kaki kanan ayah sempat diamputasi karena kecelakaan. Akibat kadar gulanya yang relatif tinggi, luka bekas amputasi ini tak kunjung sembuh, hingga ayah menghembuskan nafas terakhir.

 

Kurang dari setahun setelah kematian ayah, kakakku tertua memilih berangkat ke Mesir untuk melanjutkan studinya. Selang beberapa bulan kemudian, kakakku yang kedua juga berangkat ke Amerika Serikat (AS) untuk menggapai jenjang S2-nya.

 

Jadi, setelah kepergian mereka, aku adalah anak tertua di rumah, yang sekaligus juga bertanggungjawab mengurusi segala sesuatu dalam rumah tangga. Apalagi, adikku yang lelaki juga memutuskan untuk segera menikan dengan teman Kuliahnya.

 

Setelah bertahun-tahun belajar di luar negeri, kedua kakakku akhirnya memilih menikah dengan wanita asing. Kakakku tertua menikahi seorang perempuan berkewarganegaraan Maroko, sedangkan kakakku yang kedua menikah dengan seorang wanita berkebangsaan Swedia, yang telah berkewarganegaraan AS.

 

Sejujurnya, aku kecewa sekali dengan mereka, sebab tak pernah bisa meluangkan waktu untuk menjenguk kami di Tanah Air. Bahkan, ketika Ibu harus dirawat di rumah sakit, mereka juga tak bisa pulang, sebab terlalu sibuk dengan bisnisnya masing-masing. Hanya kiriman uang dan surat mereka yang datang, bersama ungkapan sesal karena tidak bisa pulang, dan doa tulus untuk kesembuhan ibu.

 

Begitulah sekilas gambaran tentang keluargaku. Ya, keluarga yang berkecukupan dari sisi ekonomi. Maka tak heran jika di mata warga desa tempat aku tinggal, keluargaku begitu terpandang dan dihormati. Apalagi, almarhum ayah juga pernah menjabat sebagai Kepala Desa yang sangat disegani karena komitmennya dalam memimpin warga. Karena itu namanya tetap harum meski dia telah tiada. Di antara catatan emas tentang keluargaku, sesungguhnya ada noktah hitam yang begitu mengganggu. Ya, ini memang berkaitan dengan diriku secara langsung. Bayangkan Saja, setelah adikku yang bungsu meraih gelar S1 dan memutuskan segera menikah, namun aku tetap hidup melajang. Bahkan, seorang kekasih pun tak kupunyai.

 

“Maafkan saya, kalau ternyata saya harus melangkahi Teteh (Kakak-Red). Sulit bagi saya untuk mengulur waktu pernikahan saya dengan Ferdy,” cetus Delima, sebutlah begitu, ketika dia mengutarakan keinginannya untuk segera menikah dengan Ferdy, kekasihnya.

 

Sejujurnya, aku.begitu kaget dengan niat Delima. Dan aku baru sadar kalau dia telah tumbuh menjadi gadis dewasa. Usiaku dengannya, mungkin terpaut sekitar 11 tahunan. Dan, Delima kini telah berusia 25 tahun. Itu berarti aku telah berusia 36 tahun. Astaga, usia yang sudah kelewat matang bagi seorang wanita. Di desaku, wanita dengan usia seperti itu umumnya sudah memiliki 2 sampai lima orang anak, dengan anak terbesar bisa berusia di atas 10 tahun.

 

Ibu yang tanpa kami ketahui rupanya ikut menyimak obrolan antara aku dengan Delima tiba-tiba menyergah, “Tundalah dulu rencana pernikahanmu, Nak! Jangan sampai Teteh-mu dilangkahi lagi. Kasihan, sudah dua kali Tetehmu dilangkahi adiknya.”

 

Kami terdiam seribu bahasa. Batinku pun berkecamuk hebat. Benar kata Ibu, aku sudah dua kali dilangkahi. Pertama, oleh adik perempuanku, dan kedua oleh adik lelakiku. Kini, si bungsu juga berniat segera menikah. Apa yang harus kulakukan. Haruskah aku merelakan Delima kembali melangkahiku? Padahal, aku sadar dengan kekhawatiran Ibu, mengapa dia berharap agar Delima dapat menunda rencana pernikahannya. Pertama, tentu saja demi menjaga nama baik keluarga. Ya,apa jadinya kalau aku kembali dilangkahi? Orang-orang sekampung, khususnya kaum perempuan dewasa, pasti akan menyetempel diriku sebagai perawan tak laku. Yang kedua, Ibu tentu Saja percaya pada petuah leluhur Yang mengatakan bahwa kalau sampai anak gadis dilangkahi tiga kali, maka dia akan sulit Menemukan jodohnya. Benarkah? Merinding liga bila membayangkan hal ini.

 

Syukurlah, berkat pengertian yang berikan oleh Ibu, malam itu akhirnya dicapai kesepakatan bahwa Delima akan menjalankan pernikahannya. Untuk sementara yang akan dilakukan pertunangan terlebih dahulu. Baru setahun kemudian Delima dan Ferdy akan menikah secara resmi. Dalam tenggang itu pula, Ibu menyarankan agar aku segera menci pasangan hidup.

 

“Kalau perlu kau tidak usah bekerja lagi, mengurusi peternakan ayam itu. Biar kita cari saja pegawai yang bisa diandalkan untuk mengurusi semuanya, kata Ibu. Dia tentu menduga bahwa karena kesibukan aku menjac alpa untuk mencari pendamping hidup.

 

“Saya kira nggak perlu seperti itu, Bu! Mungkin Tuhan belum saatnya memberikan jodoh buatku,” ujarku sambil coba tersenyum.

 

Ibu menatapku dengan penuh selidik. Aku sendiri jadi tidak enak hati menghadapi tatapar Ibu kali ini. Delima yang duduk di sampingku juga merasa heran.

 

“Kau yakin tidak ada sesuatu yang terjadi terhadap dirimu, Nak?” Tanya Ibu sambil terus menatap.

 

“Maksud Ibu, apa?” Aku balik bertanya.

 

Wanita yang telah melahirkan dan membesarkanku itu menarik nafas berat. Katanya, “Ibu merasa khawatir ada sesuatu yang terjadi denganmu. Coba kau lihatlah dirimu. Kau cantik dan berpendidikan tinggi. Apa yang kurang dari dirimu? Ibu yakin banyak lelaki yang menyukaimu. Tapi…”

 

Ibu tidak meneruskan kata-katanya. Mungkin, dia merasa kurang enak hati untuk meneruskan kata-kata itu, yang kelanjutannya dapat kuduga seperti ini, “Tapi mengapa kau belum juga mendapatkan jodoh?” Atau mungkin juga: “Tapi mengapa kau tidak pernah mengenalkan teman priamu pada Ibumu ini?”

 

Apapun yang sesungguhnya ingin Ibu katakan, aku sangat memakluminya. Sebagai seorang Ibu, tentu dia merasa khawatir terhadap masa depan anaknya.

 

“Sudahlah, Ibu tidak perlu memikirkan bagaimana keadaan saya. Kalau saatnya tiba, saya pasti akan mendapatkan jodoh sesuai dengan ketentuan Tuhan!” Cetusku melihat Ibu yang berubah sedih.

 

“Kau benar, tapi sebagai manusia Kita harus berusaha. Sekarang jawab yang jujur, apa kau pernah memeriksakan dirimu ke orang pintar, ya misalnya saja ke Ustadz atau Kyai yang mengerti ilmu gaib?”

 

“Maksud Ibu apa?” Desakku, mengulangi pertanyaan yang sama.

 

Ibu kembali menghela nafas berat. “Naluri Ibu mengatakan ada sesuatu yang tidak wajar terhadap dirimu, Nak. Kau cantik, tapi mengapa lelaki enggan mendekatimu. Apa kau tidak pernah berpikir tentang adanya suatu keanehan pada dirimu?”

 

Aku bangkit dari duduk dan segera menghampiri Ibu. Setelah kuciumi ujung jarinya, dengan lembut aku pun merespon kekhawatirannya itu, Jangan percaya hal seperti itu, Bu! Sekarang kita hidup di zaman modern, jadi kita pun harus berpola pikir rasional. Kalau kita masih percaya pada takhyul, itu artinya hidup kita belum maju mengikuti zaman. Ah, sudahlah! Ibu percayakan saja semuanya padaku!

 

Dengan penuh kasih Ibu merengkuh tubuhku, dan mendekapnya. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Mungkin, dia segan membantah kata-kataku barusan, sebab dia sadar bahwa aku, anaknya yang satu ini, adalah seorang dengan tingkat pendidikan yang tinggi. Ya, aku adalah seorang Insinyur Pertanian, bahkan aku juga telah meraih gelar S2 di bidang yang sama. Jadi wajar saja kalau aku berpola pikir sangat ilmiah, dan membantah keras hal-hal yang berbau takhyul, meski hal ini masih tumbuh subur di lingkungan tempatku tinggal…

 

TENGGANG setahun yang diberikan oleh Delima dan Ibu rasanya begitu cepat berlalu. Waktu berlari begitu cepat, meninggalkanku dalam kegamangan. Ya, bagaimana aku tidak gamang, sebab hingga bulan kesembilan setelah tenggang itu, aku belum juga menemukan pria yang cocok untuk menjadi pendampingku. Bukannya aku tidak bisa memikat pria, tapi hal yang aneh memang sepertinya telah terjadi atas diriku.

 

Di bulan kedua dalam masa tenggang itu, aku telah menjalin hubungan serius dengan Ir. Tukiman, bujang lapuk asal Bantul, Yogyakarta, yang menjadi tenaga penyuluh pertanian di kecamatan tempatku tinggal. Mengapa aku bisa begitu mudah memikatnya? Sebab sejak semula aku memang telah tahu kalau Ir. Tukiman menyukaiku, bahkan dia kerap mampir di kantor peternakan ayam buras yang kukelola.

 

Karena sudah sama-sama dewasa, proses berpacaran selama dua bulan sudah dirasa cukup bagi kami. Sampai tiba suatu malam purnama, ketika kami sedang ngobrol berduaan untuk merangkai masa depan, namun tiba-tiba sesuatu yang mengejutkan terjadi.

 

Ya, waktu itu kami sama-sama hanyut dalam kemesraan. Kami diam membisu dalam deraan gejolak asmara. Tukiman bermaksud mencium bibirku. Dengan mata terpejam aku siap menerima ciuman itu. Tapi, apa yang kemudian terjadi?

 

Tak ada ciuman hangat yang aku dambakan. Tukiman malah menggigil ketakutan. Wajahnya mendadak berubah sepucat mayat, sedang sekujur tubuhnya menggigil bagai terkena Serangan demam mendadak.

 

“Kenapa, Mas?” Tanyaku, heran. “Ti… ti… tidak! A… a… aku pulang saja!” Ujarnya dengan gugup. Tanpa menjelaskan apa sesungguhnya yang telah terjadi, bergegas dia pergi meninggalkanku.

 

Sejak kejadian malam itu, Ir. Tukiman tak pernah lagi muncul menemuiku. Entah apa yang telah terjadi dengannya. Kabar terakhir yang kudengar dia memilih dimutasi ke daerah transmigrasi di propinsi Lampung.

 

Ibu yang semula begitu senang melihat kemesraanku dengan Ir. Tukiman, kembali berubah masygul saat tahu bahwa sang Insinyur tidak lagi berhubungan denganku. Untunglah aku punya alasan yang logis bahwa hubungan kami renggang karena Ir. Tukiman harus dimutasi ke Lampung.

 

“Mengapa kau tidak mencegahnya? Kau kan bisa menjadikan dia sebagai pegawai di peternakan, dengan gaji yang lebih tinggi dibanding gajinya sebagai pegawai negeri,” protes Ibu.

 

Dengan sabar kucoba memberi pengertian padanya, meski apa yang kukatakan sebenarnya lebih banyak bohongnya, “Dia itu seorang yang punya dedikasi tinggi, Bu! Dia tidak bisa diiming-imingi gaji atau penghasilan yang besar. Komitmennya sejak kecil ingin berbakti kepada negara. Jadi, mana bisa dia kita bujuk-bujuk agar keluar dari dinas dan memilih bekerja sebagai pegawai swasta, walau dengan gaji yang jauh lebih besar sekalipun Ibu tidak menanggapi kata-kataku. Dia malah pergi ke kamar pribadinya. Aku hanya bisa mengangkat bahu sambil menghela nafas berat.

 

Tapi sejujurnya, sejak hari itu aku mengalami dilema yang sangat berat. Di satu sisi aku ingin membahagiakan Ibu, tapi di sisi yang lain aku menemukan kenyataan yang begitu sulit sebab Ir. Tukiman nyatanya telah memutuskan hubungan denganku. Lantas, lelaki mana lagi yang harus kudekati? Apakah aku harus mendaftar ke biro jodoh? Atau, aku harus menghiba-hiba minta dinikahi oleh seorang pria yang sama sekali tidak kucintai? Ah, betapa nistanya diriku.

 

Memasuki bulan kesepuluh dari tenggang setahun itu, aku tiba-tiba bagaikan mendapat durian runtuh. Muhammad Bakri, teman sepermainanku semasa kecil yang lama menetap di Jawa Timur dan beristeri seorang perempuan asal Sidoarjo mendadak pulang kampung. Dia datang bersama dua orang anaknya yang masih kecil-kecil. Kepulangannya dengan membawa duka, sebab isteri Bakri tewas dibantai gerombolan perampok yang menyatroni rumahnya, dan sekaligus juga menguras harta di dalamnya. Waktu itu Bakri sedang dinas di luar kota.

 

“Mulanya, aku coba bertahan di Surabaya. Tapi, kenangan buruk itu selalu menghantuiku. Makanya, kuputuskan untuk menjual rumah dan harta benda yang ada, dan akhirnya aku memilih kembali pulang bersama anak-anakku” Begitulah cerita Bakri.

 

Tak jarang, saat curhat kepadaku dia berubah sangat sentimentil. Kulihat matanya berkaca-kaca, sampai aku pun ikut larut dan menangis. Ah, ternyata Bakri belum jauh berubah. Dulu, waktu kami masih sama-sama SMP dan menjalin cinta monyet, Bakri juga kerap menangis di depanku kalau dimarahi Bapaknya, hanya gara-gara dia minta dibelikan sepatu bola, olah raga kegemarannya.

 

Bahkan, untuk menghiburnya, aku sempat membelikannya sepatu bola. Dia begitu senang menerimanya. Masih kuingat apa yang dikatakannya waktu itu, “Sampai kapan pun, aku akan simpan sepatu ini!”

 

Entahlah! Bakri menepati janjinya atau tidak. Yang pasti, pas kami masuk SMA Bakri dan keluarganya harus boyongan ke Surabaya karena Bapaknya yang kepala Danramil itu dipindahtugaskan ke sana. Sejak itu kami berpisah. Meski setelah pensiun Bapak dan Ibunya, serta keluarga yang lain kembali ke desaku, tapi Bakri yang telah berkeluarga memilih tetap tinggal di Surabaya, sebab di sana dia sudah berhasil membangun bisnis di bidang konstruksi.

 

Kini, cinta kecilku itu telah kembali dengan membawa nestapa. Apakah aku salah jika ingin menjadi penghibur bagi dirinya? Ya, setidaknya aku ingin merangkai kembali mimpi-mimpi indah masa SMP yang telah terkubur selama puluhan tahun itu. Dan sepertinya Bakri pun tak pernah lupa pada cinta gadis kecil yang telah sekian lama ditinggalkannya.

 

Kadang, cinta memang datang tanpa bisa kita atur. Cinta bisa datang dan pergi seperti embun pagi di dedaunan. Begitulah antara aku dan Bakri. Dalam waktu sebulan, aku merasakan benihbenih cinta itu. Bahkan, dengan jujur kukatakan bahwa aku telah siap untuk menyembuhkan Bakri dari masa lalunya yang tragis itu.

 

“Sungguhkah kau bersedia menerima aku dan kedua orang anakku?”Tanya Bakri ketika kukatakan keinginanku itu, di suatu malam saat kami tengah berduaan.

 

Aku tak kuasa menjawabnya dengan kata-kata. Kujatuhkan tubuhku dalam pelukannya. Bakri membelai rambutku dengan penuh kemesraan. Namun, di saat dia ingin menciumku, dan aku telah siap menerimanya, tiba-tiba hal aneh itu kembali terjadi. Ya, sama seperti Ir. Tukiman. Kali ini, Bakri pun mengurungkan niatnya. Bahkan dengan ketakutan dia mendorong tubuhku, dan segera menjauh.

 

“A… ada apa…?” Suaraku nyaris tercekat di tenggorokan.

 

Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Bakri. Dengan wajah sepucat mayat dan tubuh gemetar, dia segera berlari meninggalkanku. Malam itu, aku pun menangis.

 

TANGISKU mengembang dengan pilu di malam pesta perkawinan Delima. Ya, setelah tenggang waktu setahun yang diberikannya, dan aku tak menemukan pria yang layak sebagai pendamping hidupku, akhirnya si bungsu memang harus menikah. Tak seorang pun yang bisa mencegahnya, bahkan Ibu sekalipun. Delima tentu tak perduli dengan tradisi-tradisi kolot itu. Sementara aku pun harus merelakan diri dilangkahi untuk ketiga kalinya.

 

Malam yang penuh dengan kemeriahan itu bagaikan neraka bagiku. Betapa menyakitkan ketika kulihat pandangan tamu-tamu perempuan, khususnya kaum Ibu, yang memandangku dengan sangat merendahkanku, Lewat tatapan mereka, aku bisa merasakan apa yang ada di dalam hati mereka yang mungkin sekali mencibiriku dengan ucapan, “Huh, dasar perawan tua tidak laku-laku!”

 

Bisa jadi hal itu semata hanya karena kecurigaanku saja. Tapi yang pasti, malam pesta perkawinan Delima dengan Ferdy telah menyadarkan diriku bahwa mungkin dugaan Ibu yang kuanggap kolot dan tahayul itu benar adanya.

 

Ya, ketika malam itu Delima mengutarakan niatnya akan segera menikah dengan Ferdy, Ibu melontarkan sinyalemennya bahwa ada yang tidak beres dengan diriku. Karena itu dia menyarankan agar aku memeriksakan diri ke Kyai atau Ustadz yang memiliki kemampuan ilmu gaib. Tapi, saran ini malah kuanggap sebagai ngelantur, takhyul, bahkan berlawanan dengan arus pikiranku sebagai orang yang hidup di tengah peradaban modern.

 

Di antara sisa-sisa air mata malam itu, ingatanku melayang ke masa-masa remajaku. Bagai memutar sebuah rekaman video, satu demi satu adegan itu menjelma dalam pelupuk mataku. Ya, adegan bahwa keanehan seperti yang ditunjukkan oleh Ir. Tukiman dan Muhammad Bakri itu jauh hari sebelumnya juga telah ditunjukkan oleh dua orang lelaki yang mencintaiku. Mereka adalah Irfan dan Aditya.

 

Irfan adalah pacarku semasa di SMA. Kami saling menyayangi. Sampai suatu ketika, saat kami duduk di kelas 3 dan sama-sama menjadi panitia malam orientasi penerimaan siswa baru, kejadian itu pun berlangsung.

 

Malam itu kami berduaan di taman belakang sekolah untuk memadu kasih. Saat Irfan bermaksud menciumku, kejadian yang sama seperti Ir. Tukiman dan Bakri juga berlangsung. Irfan mendadak sontak ketakutan. Gairahnya untuk mencumbuku punah dalam seketika. Wajahnya yang tampan itu berubah sepucat mayat. Dengan tubuh gemetar dia berlari meninggalkanku. Aku mengejarnya. Tapi, Irfan kian kencang meninggalkanku. Sejak itu hubungan kami putus. Tanpa alasan yang jelas.

 

Hal yang sama juga ditunjukkan oleh Aditya, pacarku semasa kuliah di almamaterku. Kejadiannya berlangsung saat kami sama sama melakukan penelitian hasil pertanian di suatu desa di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Malam itu kami mencuri waktu dari rekan mahasiswa lainnya untuk bisa berduaan. Aditya yang romantis menghanyutkanku dalam buaian asmara. Namun, ketika dia bersiap menciumku, dan aku sudah begitu pasrah menerima sentuhan itu, mendadak saja dia berubah tegang bagaikan melihat hantu yang sangat menakutkan. Wajahnya pucat seputih kapas. Dengan tubuh gemetar dia pun berlari meninggalkanku.

 

Ya, begitulah kenyataan aneh yang telah aku alami. Apa sesungguhnya yang telah terjadi dengan diriku? Benarkah seperti kata Ibu bahwa sesuatu yang tidak beres telah menimpaku?

 

Dengan susah payah akhirnya aku dapat mencari jawaban bahwa sinyalemen Ibuku itu memang mungkin saja ada benarnya. Keyakinan ini kuperoleh ketika ingatanku tertuju ke masa-masa diriku masih duduk di bangku kelas 2 SMA. Begini ceritanya…

 

Waktu itu, almarhum ayah masih sehat dan masih menjabat sebagai Kepala Desa. Suatu ketika ada seorang Insinyur asal Sumbawa, Nusa Tenggara Timur, yang ikut menumpang di rumah kami. Namanya Insinyur Hari Budiman. Kedatangannya ke desaku adalah karena tugasnya menjadi penyuluh peternakan budidaya Udang Windu yang memang waktu itu tengah digalakkan. Ir. Hari Budiman ini memang pakarnya, sebab dia pernah dikirim tugas belajar ke Jepang.

 

Sebagai kepala desa ayah sangat menghormatinya, Karena itu dia bersedia memberi kamar tersendiri bagi Ir. Hari Budiman, sebab rumah kami memang besar dan banyak kamarnya. Tapi tak dinyana, Pak Insinyur ini ternyata jatuh cinta kepadaku. Lebih tak dinyana lagi, lelaki berkulit hitam ini sepertinya memiliki kekuatan, atau persisnya ilmu gaib, yang bisa meneropong sesuatu dari jarak jauh. Suatu contoh, dengan kurang ajar (maaf) dia sering menebak warna celana dalam yang aku kenakan. Dan anehnya, tebakannya itu selalu saja benar.

 

Tak hanya itu, dia juga bisa tepat menebak cara tidurku yang memang (sekali lagi maaf) tidak betah mengenakan BH karena nafasku jadi sesak.

 

Pokoknya, dia sering menggodaku dengan tebakan-tebakan konyolnya yang jitu itu. Ini yang membuat aku kesal. Tapi yang membuatku naik pitam adalah ketika malam itu dia menghampiriku, di saat aku sendirian di kursi taman samping rumah. Setelah dia berbasabasi dan bisa mengakrabkan dirinya denganku, walau aku sebel padanya, ujung-ujungnya dia mengutarakan perasaan cintanya.

 

Sebagai remaja yang belum tahu adat, mendengar pria yang sama sekali tak menarik di mataku itu mengutarakan cintanya, aku pun langsung bereaksi dengan keras.

 

“Huh, Abang mikir nggak sih pake ngomong cinta sama aku. Amit-amit deh!” Kataku dengan sengit.

 

Dengan santai dia malah menukas, “Abang serius. Kalau kamu menolak cinta Abang, kamu pasti bakal menyesal!”

 

Kesabaranku rupanya sudah habis. Begitu mendengar dia mengutarakan kata-kata tersebut, dengan spontan aku langsung meludahinya. Dan ludahku menempel telak di atas wajahnya yang hitam berjerawat itu.

 

Lalu, dengan suara gemetar dia mengancamku, “Ini penghinaan yang sangat menyakitkan bagiku. Tunggu pembalasanku. Karena kau menolak cintaku, maka seumur hidup kau tidak akan pernah mendapatkan cinta dari lelaki lain. Ingat dan camkan kata-kataku ini!”

 

Malam itu, aku merasa takut juga dengan ancamannya. Apalagi kulihat wajahnya yang semula hitam itu berubah bersemu merah, dan tubuhnya yang tinggi besar gemetar menahan amarah. Namun, kucoba tidak mempedulikannya. Aku segera berlari meninggalkannya…

 

Ir. Hari Budiman telah bersungguh-sungguh dengan ancamannya? Apakah benar aku tidak akan pernah mendapatkan cinta dari seorang pria karena kekuatan magic yang telah ditanamkan Ir. Hari Budiman atas diriku? Lalu, apakah ini yang kerap disebut orang sebagai Gantung Jodoh? Dan, benarkah kata orang pintar yang pernah kumintai pendapatnya bahwa, di saat bermesraan dengan seorang lelaki wajahku bisa berubah menjadi sangat menyeramkan, seperti monster?

 

Entahlah, aku tak tahu pasti. Yang jelas, hingga kini, ketika usiaku memasuki 41 tahun, aku masih hidup seorang diri. Bakri adalah pria terakhir yang singgah dalam hatiku. Dan kini, telaga cinta di dalam dadaku bagai telah mengering, sebab aku merasa tak pernah tertarik lagi pada seorang pria. Hanya satu yang kerap memunculkan hasrat dalam hatiku untuk menikah. Apalagi kalau bukan keinginan dan desakan Ibu, yang kini semakin tua dan sering sakit-sakitan. Ya, dia kerap menitikkan air matanya bila mengingat nasibku. Aku pun hanya bisa pasrah! Wallahu a’lam bissawab. ©️.


PENGOBATAN ALTERNATIF
"PONDOK RUQYAH"
(SOLUSI PASTI DI JALAN ILLAHI)

Kami Jasa Solusi Problem Hidup. Masalah Tuntas Tanpa Bertentangan dengan Hukum Agama dan Negara.

MACAM PROBLEM DALAM PELAYANAN KAMI:
Solusi Problem Asmara, Rumah Tangga, Back Up Karir, Back Up Usaha, Jual Beli, Aura Pemikat, Bersih Diri / Ruwat / Ruqyah / Buang Sial, dll.

KAMI TIDAK MELAYANI SEGALA HAL YANG MELANGGAR HUKUM AGAMA DAN NEGARA.
Contoh: Bank Gaib, Uang Balik, Harta Gaib, Pesugihan, Aborsi / Menggugurkan Kandungan, Perjudian / Togel / Judi Online, Mencelakakan Orang / Santet / Teluh, dll.

ALAMAT PONDOK RUQYAH:
Dusun Kasemen, No.50, RT.05, RW.03, Desa Wangkalkepuh, Kecamatan Gudo, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Kodepos 61463.
🌐 https://pondok-ruqyah.com/
☎️ +6285708371817

PERINGATAN!
Hati-hati dan waspada terhadap penipuan online yang mengatasnamakan kami. Diutamakan datang langsung ke alamat kami untuk menghindari segala hal negatif. Terimakasih.
DATANG DENGAN NIAT BAIK
TIDAK UNTUK KEJAHATAN!