Kisah Mistis: PEDANG PUSAKA UNTUNG SUROPATI

0
45

Kisah Mistis: PEDANG PUSAKA UNTUNG SUROPATI

Pada bilah pedang sakti ini masih ada sisa darah Kompeni yang tidak dapat dibersihkan dengan bahan dan cara apapun. Bagaimana riwayat penemuan pedana ini…?

 

Sebagaimana tertuang dalam sejarah S bahwa Untung Surapati mulanya adalah seorang budak asal Bali. Karena kecakapannya, dia diangkat sebagai tentara oleh Kompeni, bahkan sampai pangkat Letnan.

 

Pada saat pecah perang saudara di Banten (1682), Letnan Untung Surapati sempat diutus Kompeni untuk mengejar Pangeran Purbaya yang melarikan diri ke Priangan. Pangeran Purbaya adalah putera Sultan Ageng Tirtayasa, yang ketika itu sangat menentang Kompeni. Dalam peperangan ini, Kompeni memihak Sultan Haji, lawan Suitan Ageng, yang notabene masih puteranya sendiri.

 

Dengan kecerdikannya, Untung Surapati akhirnya bisa menangkap Pangeran Purbaya, dan berhasil membujuknya untuk menyerah. Namun ternyata, di samping mengutus Surapati, ketika itu Kompeni sempat pula mengutus seorang serdadu berkebangsaan Belanda yang berpangkat Vaandring (dibawah Letnan II), yang bernama Kuffeler.

 

Meski berpangkat jauh lebih rendah, namun pada kenyataannya Kuffeler memperlakukan Untung Surapati sebagai bawahannya. Bahkan, diapun sempat merendahkan Surapati di hadapan anak buahnya sendiri. Tak ayal, hal ini membuat Surapati marah dan balik melakukan perlawanan. Malam harinya, bertepatan dengan 28 Januari 1684, Untung Surapati yang benci terhadap Kompeni itupun menyerang perkemahan Kuffeler, sehingga berhasil membunuh 28 orang serdadu Kompeni. Sejak itu, dia melarikan diri. Karena insiden ini, Pangeran Purbaya pun kembali melarikan diri.

 

Untung Surapati mengembara ke arah Timur, hingga ke Kartasura, Mataram. Dia sempat bergabung dengan Surian, dan berupaya melawan Kompeni yang kejam dan licik.

 

Demi mengetahui bahwa Untung Surapati yang di mata Kompeni telah mengkhianati itu bersembunyi di Kartasura atas perlindungan Sunan Amangkurat II, maka Kompeni pun segera menurunkan 150 orang serdadunya yang dipimpin oleh Kapten Tack.

 

Akhirnya, pertempuran hebat pun pecah pada 8 Februari 1686. Namun berkat kehebatannya, Untung Surapati yang dibantu para prajurit anti Kompeni di Kartasura akhirnya dapat mengatasi serangan lawan. Selain banyak serdadu Belanda yang terbunuh, pada pertempuran yang kini dikenal dengan nama Perang Surapati ini, Kapten Tack pun terbunuh dengan tusukan pedang milik Untung Surapati.

 

Seusai di Kartasura, selanjutnya Untung Surapati berpindah ke Pasuruan. Di sanalah dia mulai menyusun kekuatannya sendiri. Dengan terang-terangan dia menghimpun orang-orang yang membenci Belanda.

 

Lama-kelamaan gerakannya makin meluas, karena ternyata banyak daerah-daerah di sekitarnya yang ingin bergabung. Hingga, ketika kawasannya telah meluas dari Kediri sampai Blambangan, serta dari Penanggungan hingga Laut Kidul, Untung Surapati pun akhirnya mendapati kedudukan semacam raja dengan gelar yang dipakainya Pangeran Aria Wiranagara.

 

Pada Oktober 1706, dengan kekuatan besar Kompeni menggempur kekuatan Untung Surapati. Penyerangan ini dipimpin langsung oleh Panglima Kompeni, Herman de Wilde, serta dibantu oleh pasukan-pasukan yang didatangkan dari Surabaya dan Madura yang dipimpin Komandan Govert Knol.

 

Mereka menyerang dari berbagai arah, beserta perlengkapan senjatanya. Hingga, tatkala pasukan memasuki Pasuruan, Untung Surapati yang mencoba memimpin pertempuran di garis depan akhirnya menemui nahasnya. Sebelah bahunya terkena pecahan granat yang dilontarkan Belanda, hingga mengakibatkan luka yang sangat parah. Beberapa hari kemudian dia pun meninggal, setelah sempat diselamatkan oleh pasukannya.

 

Akibat cuaca yang kurang mendukung, maka bersamaan dengan terlukanya Untung Surapati, pihak Kompeni pun sempat menghentikan penyerangan dengan menarik mundur semua pasukan. Karena itu, dengan leluasa pasukan Surapati yang terSisa sempat mengurusi pemakaman pimpinannya secara wajar. Namun, setahun kemudian Kompeni kembali melakukan penyerangan atas Pasuruan, guna menghabisi semua pasukan anti Kompeni yang masih bertahan. Akhirnya, Kompeni berhasil menduduki Pasuruan.

 

Atas perintah Panglima Herman de Wilde, ketika Pasuruan diduduki, makam Untung Surapati dibongkar, Tulang belulangnya dibakar, dan abunya dilemparkan ke laut.

 

Ada kisah lain yang menarik. Disebutkan, sesaat setelah Untung Surapati terluka, dia sempat memberikan pedang pusakanya kepada salah seorang teman seperjuangannya yang bernama Raden Wirayudha. Hal ini dia lakukan lantaran merasa dirinya sudah tidak mampu lagi untuk bertahan.

 

Raden Wirayudha yang masih berdarah keturunan Sultan Agung Mataram, akhirnya memutuskan keluar dari Pasuruan dengan membawa pedang pusaka pemberian Untung Suropati tersebut. Dia terus berjalan ke arah barat, hingga sampai ke Cirebon.

 

Lantaran pihak Kompeni telah mencium pelariannya, maka setelah puas mengobrak-abrik Pasuruan, mereka pun melakukan pengejaran terhadap Raden Wirayudha tersebut. Ketika sampai di Cirebon, Kompeni menghadang Panglima Wirayudha dengan segenap kekuatan pasukannya. Konon, berkat tuah pedang pusaka warisan Untung Surapati, Raden Wirayudha sekali ini bisa lolos, setelah sebelumnya berhasil membunuh 9 orang Kompeni dengan pedangnya itu.

 

Karena pengejaran Kompeni yang kian gencar, maka dia pun keluar dari Cirebon ke arah selatan, dan sampailah di kawasan Kerajaan Simbar Kancana yang terletak di kawasan Talaga, Majalengka. Di sanalah untuk beberapa saat dia bersembunyi.

 

Setelah keadaan aman, Raden Wirayudha akhirnya memutuskan untuk meninggalkan kerajaan kecil yang dipimpin oleh seorang Ratu tersebut. Demi memuluskan langkahnya, dia pun sempat berubah penampilan dengan mengenakan pakaian khusus seperti laiknya seorang ulama. Sementara pakaian prajurit dan pedang pusaka pemberian Untung Surapati dia titipkan kepada Ratu Simbar Kencana.

 

“Jika suatu saat nanti ada cucuku yang datang ke sini, maka tolong titipkan kepadanya,” pesan Raden Wirayudha pada saat menyerahkan pedang pusaka itu.

 

Oleh Ratu Simbar Kencana, pedang pusaka titipan itu akhirnya disimpan dalam almari tempat penyimpanan pusakanya sendiri. Sementara baju perang milik Raden Wirayudha yang dipenuhi bercak-bercak darah Kompeni, setelah kepergian Raden Wirayudha dia kuburkan di suatu tempat yang tidak jauh dari keratonnya, dan diberi tanda khusus layaknya kuburan.

 

Berkat penyamarannya, Raden Wirayudha yang terus bergerak ke arah selatan, akhirnya sampai di kawasan Batujajar, Bandung. Ketika sampai di kawasan Cigondewa, Raden Wirayudha yang akhirnya bertekad bulat untuk menjadi ulama sesungguhnya itu, sempat mendengar adanya sayembara dari pimpinan perkampungan yang ada di sana, yakni Dalem Haji Abdul Manaf. Sayembara itu menyebutkan, bahwa siapapun bisa menikahi puteri Dalem Haji Abdul Manaf yang bernama Nyai Raden Dewi Karsinah, dengan ketentuan harus memiliki keunggulan dalam ilmu kesaktian.

 

Bersama sejumlah pemuda lainnya, Raden Wirayudha akhirnya mendaftarkan diri pada sayembara tersebut. Bahkan, dia tercatat sebagai peserta terakhir yang harus bersabar menunggu giliran pengujian.

 

Raden Wirayudha yang menunggu giliran melakukan sholat Dhuha di atas sehelai pohon daun pisang. Dalem Haji terpana dengan kesaktiannya, maka secara spontan dia pun menunjuk Raden Wirayudha sebagai pemenang sayembara itu.

 

Demi menghindari kemungkinan pengejaran terus dari pihak Kompeni, setelah resmi menikah, atas saran Dalem Haji Abdul Manaf, Raden Wirayudha berganti nama menjadi Agung Zaenal Arif. Dipakainya nama Agung, lantaran dia masih keturunan Sultan Agung.

 

Di Cigondewa Raden Wirayudha yang telah berganti nama melanjutkan perjuangannya dengan cara membina kader-kader pejuang yang ada di perkampungan itu. Selain mengajarkan ilmu-ilmu agamanya, penduduk setempat pun dia ajari ilmu-ilmu kanuragan.

 

Karena itu, setelah mangkat, kebesaran nama Eyang Agung Zaenal Arif selalu diagungkan warga di perkampungan tersebut, sebagai sosok leluhur yang berjasa besar. Bahkan, bersama nama-nama leluhur seperti Eyang Dalem Haji Abdul Manaf, Eyang Abdullah Gedug, serta Raden Kalung, yang merupakan deretan nama-nama tokoh ulama sekaligus pejuang, hingga kini dikenal luas sebagai leluhur Kampung Mahmud yang mumpuni.

 

Di samping menjadi ajang ziarah, Kampung Mahmud kini dikenali pula sebagai kawasan cagar budaya. Hal ini karena masih banyak keistimewaan atau aturan-aturan adat yang dipatuhi warganya. Misalkan saja, larangan membangun rumah dengan tembok dan berkaca.

 

Keunikan-keunikan lainnya banyak pula didapati di kampung ini, seperti tidak pernah kena banjir, meski kawasannya berada di tepian sungai Citarum yang airnya kerap meluap.

 

Salah seorang Cucu dari keturunan Raden Wirayudha yang telah menjadi leluhur Kampung Mahmud bernarna Hj. Darmiaty 9. Selain berprofesi sebagai mubalighoh, Darmiaty pun dikenal pula sebagai seorang yang memiliki kemampuan “lebih” dalam menganalisa hal-hal gaib, yang dia dapat setelah mengarungi sederetan pengalaman-pengalaman gaib yang terjadi sepanjang hidupnya.

 

Dikisahkan, suatu hari, pada kesempatan yang tidak disangka sebelumnya Hj. Darmiaty mendapat undangan khusus dari sebuah acara pengajian seorang rekannya bernama Mini, yang bekerja sebagai Kepala Dinas Pendidikan di Bandung. Pengajian ini akan diadakan di rumah keluarga Mini yang berada di Majalengka.

 

Setibanya di Majalengka, alangkah terheran-herannya Hj. Darmiaty sebab rumah keluarga Mini bangunannya mirip dengan bekas sebuah istana. Bahkan, di pintu halaman depan pekarangan ada gapura yang bertuliskan “Ratu Simbar Kancana”.

 

Ternyata, dahulunya rumah tersebut memang merupakan bangunan keraton milik Ratu Simbar Kancana, yang berkuasa di sekitar Majalengka. Sementara Mini, sebenarnya merupakan pewaris yang ditun: juk untuk merawat warisan tahta kerajaan tersebut. Namun, karena kesibukannya dalam bekerja, maka perawatan atau pengolahan eks keraton tersebut nyaris tidak bisa dia lakukan. Sebelum jatuh ke tangannya, tahta keraton tersebut sempat diurusi oleh para pendahulunya, seperti Ratu Sunyalarang dan Ratu Mayangkaruna.

 

Di samping adanya rumah besar yang dulunya merupakan keraton, di sana pun tersimpan pula sejumlah pusaka dan perlengkapan bekas kerajaan.

 

Seperti dijelaskan di muka, maksud sebenarnya dari Mimi mengundang Hj. Darmiaty adalah untuk memimpin pengajian. Namun, pada kesempatan ini ternyata dia juga dimintai tolong untuk mendeteksi asal muasal sejumlah pusaka yang ada di sana.

 

Meski berat hatinya, Hj. Darmiaty berusaha memenuhi keinginan Mimi dan beberapa keluarganya yang lain. Satu persatu pusaka dan benda-benda bernilai yang ada di ruangan penyimpanan dideteksinya guna dicatat asal usulnya.

 

Karena jumlah pusaka yang begitu banyak dan beragam, acara ini pun berlangsung hingga larut malam. Anehnya, pas tengah malam Darmiaty dikejutkan oleh suara rintihan yang berasal dari salah satu lemari yang belum sempat dibuka. Ternyata di dalamnya tersimpan sebuah pedang, yang setelah ditanyakan kepada Mimi didapat keterangan, bahwa pedang tersebut bukan milik Kerajaan Simbar Kancana, melainkan titipan dari seorang prajurit Mataram.

 

“Menurut cerita turun temurun keluargaku, pedang ini miliknya Pangeran Wirayudha, yang dititipkan di sini. Kelak akan diberikan jika ada anak cucu keturunannya yang datang kesini. Karena pedang titipan ini menangis di hadapan Ibu, maka mungkin Ibu Hajjah masih keturunan dari Pangeran Wirayudha itu,” jelas Mimi.

 

Pedang pusaka milik Untung Surapati itu saat ini memang berada di tangan Hj. Darmiaty. Ketika Misteri yang sempat menemui Darmiaty di rumahnya beberapa waktu lalu, satu keanehan sempat ditunjukkannya.

 

“Lihatlah! Pada pedang pusaka milik Untung Surapati yang sempat dimiliki Eyang Agung ini masih ada bercak darah Kompeni yang dibunuh paling akhir sekali. Entahlah, tetesan darah tersebut tidak bisa dibersihkan, meski dengan bahan apapun,” cetus Hj. Darmiaty, seraya mempersilahkan Misteri untuk mengamati dan mengabadikannya dengan kamera. Sayangnya, dia sendiri menolak untuk difoto. Alasannya tidak mau dikenal karena memiliki warisan pedang pusaka dari tokoh terkenal Untung Surapati.

 

Salah satu ciri paling menonjol dari pedang yang panjangnya sekitar satu meteran itu ialah seluruh bagian badannya dipenuhi oleh untaian tulisan berhuruf Arab gundul. Menurut keterangan seorang ulama sekaligus praktisi supranatural, disebutkan bahwa pada rangkaian kalimat huruf Arab gundul itulah sesungguhnya kekuatan pedang tersebut terhimpun. Maksud tulisan tersebut antara lain menegaskan bahwa kemenangan itu bisa diperoleh jika dilakukan lewat jalan kebenaran dan keberanian.

 

Oleh Darmiaty, pedang sakti tersebut kini disimpan di sebuah almari, melengkapi koleksi pusaka yang dia peroleh sebelumnya. Menurutnya, pusaka-pusaka miliknya itu kapan pun bisa berpindah tangan, asalkan memang sudah waktunya serta ada jalan gaib yang mendukungnya. Bukan melaIui trasaksi jual-beli. Wallahu a’lam bissawab. ©️.


PENGOBATAN ALTERNATIF
"PONDOK RUQYAH"
(SOLUSI PASTI DI JALAN ILLAHI)

Kami Jasa Solusi Problem Hidup. Masalah Tuntas Tanpa Bertentangan dengan Hukum Agama dan Negara.

MACAM PROBLEM DALAM PELAYANAN KAMI:
Solusi Problem Asmara, Rumah Tangga, Back Up Karir, Back Up Usaha, Jual Beli, Aura Pemikat, Bersih Diri / Ruwat / Ruqyah / Buang Sial, dll.

KAMI TIDAK MELAYANI SEGALA HAL YANG MELANGGAR HUKUM AGAMA DAN NEGARA.
Contoh: Bank Gaib, Uang Balik, Harta Gaib, Pesugihan, Aborsi / Menggugurkan Kandungan, Perjudian / Togel / Judi Online, Mencelakakan Orang / Santet / Teluh, dll.

ALAMAT PONDOK RUQYAH:
Dusun Kasemen, No.50, RT.05, RW.03, Desa Wangkalkepuh, Kecamatan Gudo, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Kodepos 61463.
🌐 https://pondok-ruqyah.com/
☎️ +6285708371817

PERINGATAN!
Hati-hati dan waspada terhadap penipuan online yang mengatasnamakan kami. Diutamakan datang langsung ke alamat kami untuk menghindari segala hal negatif. Terimakasih.
DATANG DENGAN NIAT BAIK
TIDAK UNTUK KEJAHATAN!