Kisah Mistis: PENGHUNI LAWANG PETENG, GOA SUNYARAGI, CIREBON

0
13

Kisah Mistis: PENGHUNI LAWANG PETENG, GOA SUNYARAGI, CIREBON

Mirdja kini sudah almarhum. Jasadnya mungkin sudah lenyap dimakan tanah. Tetapi sebuah peristiwa musykil yang pernah dialami Mirdja semasa hidupnya masih melekat di benak anak cucu keturunannya. Kisah musykil macam apakah yang dialami oleh beliau semasa hidupnya itu?

 

1960. Seorang pemuda bernama Miragja bekerja sebagai buruh kasar di sebuah perusahaan EMKL (Ekspedisi Muatan Kapal Laut) di Kota Cirebon, Jawa Barat. Perusahaan tempatnya bekerja itu terletak tidak jauh dari Pelabuhan Cirebon.

 

Entah sudah berapa lama dia bekerja di sana. Meski sudah bertahun-tahun ia bekerja di perusahaan tersebut, tetapi belum pernah sekali pun ia tersandung masalah. Bahkan Mirdja oleh teman sesama buruh dianggap sebagai buruh teladan sehingga tidak heran jika dirinya dijadikan panutan oleh mereka. Lebih dari itu Mirdja juga disayangi oleh pimpinan perusahaan karena dinilai memiliki kedisiplinan dan kejujuran yang tinggi dalam bekerja.

 

Buah dari kedisiplinan dan kejujuran itu acapkali Mirdja menerima bonus berupa tambahan upah kerja atau upah lembur. Uniknya bonus upah kerja tersebut sebagian dibagikan kepada teman-temannya sesama buruh dengan dalih, “Itu sebagai tanda tasyakur bil nikmah atas rejeki yang diberikan Allah SWT kepada saya.”

 

Penghargaan lain yang diterima oleh Mirdja atas kedisiplinan dan kejujuran sebagai buruh adalah pemimpin perusahaan mengangkat dia menjadi tenaga satpam (satuan pengamanan). Ia ditempatkan khusus di bagian gudang. Satpam di bagian gudang konon mempunyai tugas yang lebih berat dibanding satpam di bagian lainnya. Ia harus selalu siaga dan waspada mengawasi Sirkulasi barang yang tersimpan di gudang. Dan tugas tersebut akan menjadi lebih berat Jagi saat ia kebagian shif malam. Akan tetapi seberat apapun tugas yang dia emban tetap dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dengan diiringi rasa tanggung jawab yang besar.

 

“Insya Allah, saya siap melaksanakan tugas itu, Pak,” kata Mirdja menerima tugas barunya sebagai satpam. Tugas tersebut ia terima bertepatan dengan usianya saat itu yang memasuki tahun ke 25. Usia yang Cukup matang untuk berumah tangga, tetapi entah mengapa Mirdja belum juga memilih gadis untuk dipinang menjadi pendamping. Ia lebih memilih hidup melajang dan tinggal sendirian di rumah warisan orangtuanya di Desa Sunyaragi dari pada mencari istri.

 

“Baguslah kalau begitu. Nah, mulai besok malam kamu melaksanakan tugas sebagai satpam di perusahaan ini,” kata atasannya sambil memberikan sepucuk amplop berisi surat pengangkatan dirinya sebagai tenaga satpam. Satu stel pakaian seragam, atribut, berikut perlengkapan lainnya diterima pula oleh Mirdja.

 

“Oh, ya, jangan lupa pula. Mulai besok malam setiap shif akan diisi oleh tiga orang satpam. Kamu ikuti saja petunjuk dan perintah Pak Raharjo. Dia adalah kepala satpam di sini,” lanjut atasannya seraya menyilakan Mirdja meninggalkan ruang kerja.

 

“Baik, Pak. Saya permisi dulu,” sahut Mirdja sangat santun. Perilaku Mirdja seperti itulah yang juga disukai oleh atasannya, sehingga tidak heran bila Mirdja kemudian dipercaya oleh perusahan menjadi satpam dengan tugas-tugasnya yang tidak ringan.

 

Terbayang oleh Mirdja betapa tidak ringan tugas seorang satpam. Apalagi menjadi satpam di perusahaan EMKL besar. Perusahaan tempatnya bekerja merupakan perusahaan besar dengan aktifitas bisnis yang sibuk luar biasa. Kantor pusatnya di Jakarta mengendalikan beberapa kantor cabang di daerah di Indonesia. Bahkan disebut-sebut pula perusahaan tempat Mirdja bekerja itu nyaris memonopoli hampir semua kegiatan bongkar muat barang di Pelabuhan Cirebon.

 

Namun demikian Mirdja sudah bertekad akan melaksanakan tugas seberat apapun dengan sebaik-baiknya. Itikad itu tertanam di hati Mirdja karena memang dirinya sudah terbiasa menjadikan pekerjaan apapun sebagai media untuk beribadah kepada Allah Swt.Di samping itu, tentu saja, pekerjaan yang dilakukannya merupakan jalan untuk mencari nafkah bagi kehidupannya seharihari.

 

1961. Mulai pekan pertama bulan Desember di tahun ini semua keamanan barang-barang yang tersimpan di gudang berada dipengawasan Mirdja dan beberapa orang temannya. la harus bisa menjaga jangan sampai ada satu barang pun di gudang yang hilang. Sirkulasi masuk keluar barang diawasi oleh Mirdja dengan cermat sesuai catatan yang dipegang oleh kepala gudang.

 

Sesuai jadwal yang dibuat oleh perusahaan hari ini Mirdja kebagian tugas shif malam. Dua orang satpam lain akan menemani dia bertugas hingga pukul 07.00 keesokan hari. Seperti biasa jika kebagian tugas shif malam, Mirdja akan memanfaat siang untuk tidur sepuas-puasnya. Hal itu ia lakukan untuk menjaga stamina supaya saat bertugas malam hari nanti tidak mengantuk apalagi sampai tertidur di gardu jaga depan gudang. Jika kelalaian seperti itu ia lakukan maka pihak perusahaan sudah pasti akan memecatnya.

 

Selepas sholat isya Mirdja sudah mengenakan seragam kebanggaannya. Padahal shif tugas malam masih beberapa jam lagi yaitu pukul 23.00. “Aku bikin kopi dulu ah…,” kata Mirdja dalam hati seraya bergegas pergi ke dapur.

 

Di sana ia mencari kopi bubuk asli kesukaannya yang biasa dibeli langsung di pabrik kopi di Jalan Lawanggada. Kopi buatan pabrik itu terkenal memiliki citarasa tinggi meski harganya lebih mahal dibanding kopi buatan pabrik lain. Akan tetapi kopi yang ia cari ternyata habis. Bahkan sepotong bungkus teh juga tidak ada di sana untuk menggantikan Mirdja yang kebelet ingin mium kopi sebelum pergi tugas malam.

 

“Waduh, celaka benar aku! Tadi siang aku lupa membeli kopi dan teh,” gumam Mirdja melihat kaleng tempat kopi dan teh kosong melompong. Keinginannya membuat kopi rupanya sudah tidak bisa lagi ditahan. Mirdja pun segera mengambil sepeda onthel kemudian pergi ke warung yang terletak di ujung desa. la berharap warung yang terletak tidak jauh dari situs purbakala Gua Sunyaragi itu belum tutup.

 

“Moga-moga saja warung Pak Bakar masih buka,” kata Mirdja dalam hati. Kakinya mengayuh pedal sepeda kuat-kuat. Mirdja beruntung karena dari kejauhan ia melihat lampu petromaks di warung Pak Bakar masih menyala. Namun ia merasa sangat keheranan ketika melihat warung “tu ternyata kosong melompong. Pak Bakar t dak kelihatan batang hidungnya di sana. Pem ik warung yang konon ketika masa mudanya pernian menikah delapan kali itu entah pergi ke mana.

 

“Ke mana perginya Pak Bakar?” pikir Mirdja sambil celingukan mencari pemilik warung. Semula ia menduga Pak Bakar sedang pulang sebentar untuk mengambil sesuatu di rumahnya yang terletak tidak jauh dari warung. Tetapi setelah ditunggu beberapa lama ternyata Pak Bakar tidak muncul juga.

 

“Sedang menunggu Pak Bakar ya?” tiba-tiba sebuah sapaan halus terdengar dari belakang. Seorang pria berbadan tegap menepuk bahu Mirdja.

 

“Eh, i-iya, Pak…” sahut Mirdja terkejut. Ia tidak tahu dari arah mana laki-laki muncul. Dan yang lebih membuat ia keheranan adalah pria berbadan tegap itu berbusana mirip hulubalang di jaman kerajaan tempo dulu. Atau setidaknya ia mirip prajurit keraton yang sering digambarkan di film-film kolosal produk lokal.

 

“Ba-bapak siapa ya?” kata Mirdja memberanikan diri bertanya kepada orang yang berdiri di sampingnya. Ia merasa asing dan sama sekali tidak kenal dengan laki-laki yang berpakaian aneh itu.

 

“Saya penduduk di sekitar daerah ini,” ujar laki-laki asing itu sambil tersenyum. Lalu tanpa basa-basi tangannya menarik sebelah lengan Mirdja, “Sambil menunggu Pak Bakar, ayo ikut saya.”

 

Bagai kerbau dicocok hidung Mirdja tidak menolak sedikit pun ajakan orang asing itu. “Saya tinggal di daerah ini sejak lama,” lanjut laki-laki itu sambil melangkah menuju komplek Gua Sunyaragi.

 

Tempat yang dituju ternyata adalah Lawang Peteng. Lawang Peteng merupaan salah satu tempat yang ada di Gua Sunyaragi dan konon tempat itu merupakan tempat para Wali berkhalwat kepada Allah Swt. Para pembesar salah satu keraton di Cirebon pun disebut-sebut menjadikan tempat itu untuk “menyepi” dari hiruk-pikuk kehidupan dan politik saat itu. Tetapi ada pula yang mengatakan bahwa Lawang Peteng merupakan tempat bersembunyi penguasa keraton dari incaran dan kejaran pasukan tentara kolonial Belanda.

 

Bahkan entah benar atau tidak-hingga sekarang masih beredar kuat kepercayaan di masyarakat bahwa Lawang Peteng merupakan “jalan” para Wali Allah menuju Tanah Suci. Mereka biasa pergi ke sana untuk melaksanakan ibadah haji atau sholat Jum’at. Dan sampai sekarang Lawang Peteng masih dianggap sebagai bagian dari Gua Sunyaragi yang paling “sangar”. Benarkah demikian? Wallahu a’alam.

 

“Ayo, Kita masuk…” kata laki-laki asing kepada Mirdja.

 

Baru saja selangkah memasuki gua tibatiba suasana gua yang gelap gulita menjadi terang benderang. Selain itu di depan mata kini terdapat pemandangan yang sangat menakjubkan. Berbagai macam tumbuhan yang tengah berbunga mekar terhampar di depan Mirdja. Sebuah kolam dengan air yang kebiruan tampak cantik dengan hiasan berupa bunga teratai, angsa-angsa yang menari-nari di atas air, burung-burung yang cerewet dengan kicaunya melompat dari satu dahan pohon ke dahan lain. Dan kesempurnaan alam di sana semakin lengkap saat Mirdja melihat beberapa orang bidadari cantik duduk-duduk dan mandi di kolam itu.

 

“Mereka adalah bidadari-bidadari penghuni surga…” ujar pria yang masih memegang erat lengan Mirdja. Ia seakan tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Mirdja.

 

Mirdja dibawa berkeliling ke beberapa bagian taman. Dalam hatinya ia berpikir, apakah saat itu dirinya sedang berada di dalam surga. Karena seumur hidup ia baru pertama kali melihat taman yang begitu indah dan tidak ada duanya.

 

Usai mengelilingi taman si pria asing membawa Mirdja di sebuah keraton yang sarat dengan fasilitas dan keindahan.

 

Di sana, di sebuah ruangan besar yang dindingnya berlapiskan pualam serta kemilau emas, Mirdja disuguhi beraneka makanan dan buah-buahan. Semua itu disajikan oleh belasan orang wanita cantik yang tubuhnya menebarkan wewangian yang tidak ada padannya. Bahkan bukan hanya itu. Dua orang wanita secantik bidadari menyuapi Mirdja buah anggur yang lezatnya luar biasa.

 

Entah berapa lama Mirdja terbuai oleh keindahan alam, taman dan kecantikan para bidadari di sana. Sementara itu di luar sana Pak Bakar dan sejumlah warga tengah sibuk mencari si-empunya sepeda yang terparkir di depan warung miliknya.

 

“Aku hafal benar sepeda onthel ini milik Mirdja. Tetapi kemana perginya dia?” kata Pak Bakar yang meminta bantuan warga sekitar mencari Mirdja. Dengan menggunakan penerangan obor dan lampu patromaks mereka mencari Mirdja hingga pelosok kampung. Tetapi hasilnya tetap saja nihil. Mirdja tetap tidak ditemukan oleh mereka, bahkan hingga ke tempat sepi di area pemakaman umum di ujung desa.

 

“Oh, ya, bapak-bapak. Bagaimana kalau sekarang kita cari Mirdja di sekitar Gua Sunyaragi? Mungkin dia ada di sana,” ujar Pak Sudirman, Ketua RT setempat.

 

“Ya, betul. Siapa tahu dia tersesat di gua itu,” sahut Pak Hardi salah satu warga yang ikut sibuk mencari Mirdja.

 

Alhasil warga pun bergegas menuju Gua Sunyaragi. Pak Sudirman dan Pak Bakar berjalan paling depan sambil membawa patromaks dan obor. Setiap sudut area Gua Sunyaragi ditelusuri oleh mereka. Namun lagi-lagi mereka tidak berhasil menemukan Mirdja. Bahkan beberapa orang yang membawa senter pun tidak melihat batang hidung Mirdja di sekitar Lawang Peteng.

 

Warga pun kebingungan. Hingga pukul 02.00 dini hari Mirdja masih juga belum ditemukan. Namun ketika mereka mulai dilanda rasa putus asa tiba-tiba seorang laki-laki separuh baya berinisiatif mengajak warga untuk melakukan do’a bersama.

 

“Bapak-bapak sekalian, saya minta bantuan untuk melakukan do’a di tempat ini,” ujar Pak Rahmat, warga desa setempat yang dikenal sebagai guru sekolah dasar. Di kampung ia juga biasa dipanggil Pak Ustadz karena mengajari mengaji anak-anak kampung di mushola.

 

“Firasatku mengatakan Mirdja berada di sekitar tempat ini,” lanjut Pak Rahmat sambil berdiri untuk memulai memimpin do’a. Lebih dari setengah jam mereka berdoa’a kepada Allah Swt minta pertolongan Nya agar Mirdja bisa segera ditemukan.

 

Alhamdulillah, do’a warga dikabulkan oleh Allah karena ketika warga berkeliling kembali di sekitar Gua Sunyaragi ternyata Mirdja berhasil ditemukan oleh mereka. Mirdja ditemukan dalam posisi duduk tertidur sambil bersandar di dinding Lawang Peteng! “Allahu Akbar, itu dia Mirdja…!” teriak beberapa warga seraya memburu Mirdja yang terkulai lemas tidak sadarkan diri.

 

Mirdja segera dibawa ke warung Pak Bakar. Dengan dibantu oleh Pak Rahmat, kesadaran Mirdja coba dipulihkan. Dan ketika Mirdja benar-benar siuman dari mulutnya terdengar kata-kata lirih, “Saya batu saja melihat keindahan surga dan bidadari-bidadarinya.” Wallahu a’lam bissawab (Diceritakan oleh HJ Fathonah Muslimah, anak almarhum Mirdja). Wallahu a’lam bissawab. ©️.


PENGOBATAN ALTERNATIF
"PONDOK RUQYAH"
(SOLUSI PASTI DI JALAN ILLAHI)

Kami Jasa Solusi Problem Hidup. Masalah Tuntas Tanpa Bertentangan dengan Hukum Agama dan Negara.

MACAM PROBLEM DALAM PELAYANAN KAMI:
Solusi Problem Asmara, Rumah Tangga, Back Up Karir, Back Up Usaha, Jual Beli, Aura Pemikat, Bersih Diri / Ruwat / Ruqyah / Buang Sial, dll.

KAMI TIDAK MELAYANI SEGALA HAL YANG MELANGGAR HUKUM AGAMA DAN NEGARA.
Contoh: Bank Gaib, Uang Balik, Harta Gaib, Pesugihan, Aborsi / Menggugurkan Kandungan, Perjudian / Togel / Judi Online, Mencelakakan Orang / Santet / Teluh, dll.

ALAMAT PONDOK RUQYAH:
Dusun Kasemen, No.50, RT.05, RW.03, Desa Wangkalkepuh, Kecamatan Gudo, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Kodepos 61463.
🌐 https://pondok-ruqyah.com/
☎️ +6285708371817

PERINGATAN!
Hati-hati dan waspada terhadap penipuan online yang mengatasnamakan kami. Diutamakan datang langsung ke alamat kami untuk menghindari segala hal negatif. Terimakasih.
DATANG DENGAN NIAT BAIK
TIDAK UNTUK KEJAHATAN!