Kisah Mistis: MENDERITA KARENA SANTET

0
8

Kisah Mistis: MENDERITA KARENA SANTET

NAMAKU Norliana, dan orang-orang biasa memanggil Lia. Aku anak ke-2 dari dua bersaudara, terlahir dari keluarga yang sangat sederhana. Walau kedua orang tuaku hanyalah orang desa yang berjarak ratusan kilometer dari Kota Banjarmasin, namun mereka mengutamakan pendidikan kedua anaknya. Jadi tak heran jika kami berdua S1. Didin, kakakku, sudah bekerja sebagai PNS dan sudah pula berkeluarga. Ia bekerja sebagai guru tetap disalah satu sekolah yang ada di Banjarmasin.

 

Untuk aku sendiri memang masih hidup melajang, aku percaya Allah SWT belum memberi jodoh yang terbaik bagiku.

 

Walau berasal dari lingkungan pedesaan yang masih sarat dengan budaya klenik, namun karena gemblengan pendidikan selalu mendasarkan pada aspek logis mau tak mau aku menjadi seorang yang sulit memercayai masalah-masalah yang berhubungan dengan dunia gaib. Salah satunya adalah santet, Meski biasa mendengar kisah-kisah mengerikan sebelum kejadian yang benar-benar merenggut jiwaku. Deraan penyakit aneh itu telah memutarbalikan logika. Bukan semata-mata hanya logika sebagai seorang yang awan dalam dunia medis atau kedokteran, namun juga logika para dokter dan pakar medis lainnya. Apa yang telah terjadi?

 

Sebelum kuceritakan rentetan kejadian tersebut, agar kisah catatan hidupku ini menjad lebih mengalir sempurna, maka terlebih dahulu aku akan menuturkan segala sesuatu yang menjadi latar belakang sampai peristiwa memilukan ini menimpa diriku…

 

Karena keluargaku tinggal jauh di sebuah desa yang relatif terpencil, maka sejak menempuh pendidikan di jenjang SMK sampai kuliah pada 2000, dan lulus S1 pada 2004, aku selalu tinggal seorang diri. Demi kelancaran pendidikanku, aku memang harus mengontrak rumah, persisnya sebuah kamar di kota Banjarmasin. Kalau tidak salah ingat, mungkin sudah 6 kali aku pindah kontrakan.

 

Aku begitu terkesan dengan perjuangan kedua orang tuaku dalam membesarkan dan memberikan pendidikan yang paling laik bagiku. Amat jarang keluarga petani di daerahku bisa menyekolahkan anaknya sampai ke jenjang perguruan tinggi. Demi menghargai pengorbanan mereka, aku pun selalu berusaha belajar dengan bersungguh-sungguh. Syukur Alhamdulillah, aku bisa lulus SMK dengan nilai sangat baik, sehingga bisa langsung diterima di perguruan tinggi favorit yang ada di Banjarmasin.

 

Untuk membantu meringankan beban orang tua, aku kuliah sambil bekerja. Gajiku lumayan juga untuk menutupi biaya hidup dan membeli buku-buku pelajaran. Setelah lulus S1, aku bekerja sebagai tenaga guru honorer. Aku pun memilih pindah kos ke Jalan Pangeran, karena di sini jauh lebih dekat dengan tempat kerjaku, dan berbeda dengan kontrakkan lama yang lebih dekat ke kampusku.

 

Aku terlahir sebagai seorang yang memiliki sifat sangat pendiam. Bahkan, teman-teman Sering mengejekku kalau aku seorang yang mahal untuk berkata-kata. Kendati demikian, aku bukanlah orang yang sombong. Walau agak sulit bergaul, aku selalu mencoba ramah terhadap siapa saja. Agaknya, karena itulah, di mana pun berada, aku selalu disenangi orang. Di sekolah tempatku mengajar sebagai guru honorer, aku juga sangat akrab dengan pimpinan, juga dengan semua teman sejawatku. Demikian juga dengan para tetangga di sekeliling tempat kostku. Tak hanya itu, dengan setiap orang yang jadi ibu kostku, aku juga selalu menganggap mereka sebagai orang tuaku sendiri. Mungkin karena itulah hubungan kami selalu terjalin dengan akrab, sehingga tak ada kesulitan bagiku jika memang terpaksa harus terlambat membayar uang kost karena kiriman uang dari orang tuaku di kampung terlambat datang.

 

Sebagai orang yang lahir dari keluarga biasa dan hidup dengan sangat sederhana, maka dengan keberhasilan meraih gelar sarjana kuanggap sebagai suatu keberhasilan yang sangat luar biasa. Karena itulah aku selalu bersyukur kepada Allah SWT, karena atas anugerah-Nya semata aku bisa meraih semua ini. Hanya satu yang masih menjadi ganjalan dalam hatiku, yakni mengenai jodoh. Karena masalah ini, ketenangan jiwaku sering kali terasa terganggu.

 

“Kapan kau berencana menikah, Lia? Bunda sudah ingin menimang cucu dari kamu” Pertanyaan ini sering kali diungkapkan oleh Ibu bila datang mengunjungiku di Banjarmasin. Kadang kala, aku seperti kehabisan akal untuk mencari alasan.

 

“Kalau saatnya sudah tiba, Lia pasti akan menikah. Lia percaya semuanya ada di tangan Allah.” Aku sering menjawabnya dengan kalimat ini. Entahlah, mungkin Bunda sudah bosan juga mendengarnya.

 

Saat aku kost di Jalan Pangeran, Bunda memang sering datang menjengukku. Karena itulah kurasakan hidupku penuh kedamaian. Apalagi aku juga punya ibu Kost dan tetangga yang baik-baik. Mereka begitu respek terhadap profesiku sebagai seorang guru. Ini terbukti dengan sikap mereka yang selalu ramah dan menaruh hormat padaku.

 

Di tempat aku kost, ada seorang tetangga yang hidupnya sangat memprihatinkan. Bi Inah, namanya. Pekerjaannya sehari-hari hanya sebagai pemulung. Malangnya lagi, suami Bi Inah ini sering sakit-sakitan. Hampir tiap bulan aku dan Bunda, jika kebetulan datang menjengukku, memberinya beras dan uang ala kadarnya, sesuai dengan kemampuan dan keikhlasan kami dalam memberi.

 

Sebagai seorang yang juga lahir dari keluarga yang hidup serba kekurangan, aku memang merasa sangat prihatin melihat keadaan Bi Inah. Karena itulah, aku coba menyarankan Bi Ina untuk berjualan gorengan di depan rumahnya. Bi Inah menerima saranku, meski untuk memulai usaha dia tidak memiliki modal. Karena itulah aku memberinya modal dengan menyisihkan separuh dari honor bulananku sebagai guru.

 

Pada mulanya, jualan Bi Inah berjalan lancar. Namun, entah mengapa, setelah satu bulan lebih berjualan, tiba-tiba warungnya sepi pembeli. Aku menduga, mungkin ini karena sikap Bi Inah yang kurang ramah pada pelanggan. Namun, Bi Indah punya pendapat lain. Dia menuduh ada orang lain yang tak senang dirinya berjualan gorengan.

 

“Pasti ada orang yang mengguna-gunai warungku,” katanya dengan sengit.

 

Benar tidaknya, aku memang belum tahu pasti. Hanya saja, aku coba memaklumi sikapnya ini, karena cerita-cerita semacam itu di daerah tempatku tinggal memang sudah mendarah daging. Apalagi untuk seorang seperti Bi Inah, yang buta huruf dan tak pernah belajar agama. Dia pasti lebih percaya kepada paranormal daripada kepada qada’ dan qadar Allah SWT. Karena itulah kucoba memaklumi sikap Bi Inah, meski tak berarti aku harus begitu saja memercayainya. Aku malah memutuskan untuk terus menyemangati Bi Inah agar tetap berjualan seperti biasanya.

 

Seperti yang terjadi pada suatu hari bertepatan dengan 20 Desember 2006. Ketika itu aku tengah menghibur Bi Inah sambil menikmati goreng pisang di warungnya. Di saat yang sama, tiba-tiba datang pedagang sayur yang biasa menjadi langganan ibu-ibu yang tinggal di sekitar lingkungan kompleks perumahan itu. Dia seorang lelaki berusia sekitar 35-an tahun. Ibu-ibu yang jadi pelanggannya biasa memanggilnya dengan Sapaan Paman Sayur.

 

“Tumben Bu Guru ada di sini?” Tanya Paman Sayur setelah menaruh sepeda sayurnya dan mampir di warung Bi Inah. Setelah berbasa-basi, tanpa rasa sungkan sedikit pun dia langsung duduk di sampingku.

 

“Iya! Lagi kepingin makan goreng pisang buatan Bi Inah. Sudah habis jualannya, Pak?” Aku balik bertanya.

 

“Sudah, Bu.” Jawabnya.

 

Kami kemudian ngobrol ala kadanya. Tapi, tak kusangka si Paman Sayur ini semakin berani bertanya hal-hal pribadi tentang diriku. Misalnya saja, dia bertanya begini: “Kenapa sih Ibu masih hidup sendiri, apa tidak kesepian?” Bahkan, dia juga sempat berkata yang sangat menjengkelkan seperti ”Jujur saja, saya ini sudah lama tertarik sama Bu Lia. Kalau memang ada jodoh, mungkin kita bisa hidup bersama.”

 

Aku benar-benar kesal dan jengkel. Terlebih karena tangannya mulai jahil berani menyentuh pundakku. Karena itulah, tanpa basa-basi aku segera pergi meninggalkannya. Namun, aku masih sempat mengintipnya dari balik gorden jendela kamar kostku. Kulihat Bi Inah bicara serius dengan Paman Sayur yang kurang ajar itu. Entah apa yang mereka perbincangkan?

 

Yang pasti, keesokan harinya, ketika aku sedang duduk santai, Bi Inah dan ibu kostku datang menghampiriku. Tanpa tahu ujung pangkalnya, mereka langsung bertanya seperti ini, “Bu Lia, bagaimana jika ada laki-laki yang serius sama kamu?”

 

Meski sedikit bingung, aku coba tersenyum dan menjawabnya dengan lembut, “Semua orang berhak menyukai siapa pun, termasuk menyukai saya. Namun soal jodoh itu kan rahasia Allah. Dan yang tak kalah penting, aku harus minta izin kepada orang tuaku sebelum aku memutuskan lelaki mana yang kelak akan menjadi pendamping hidupku:

 

“Yang pasti, lelaki ini orangnya dewasa, dan dia sudah bekerja. Tolong diterima lamarannya ya. Jangan sampai kau tolak!” tandas ibu kost.

 

“Maafkan saya, Bu. Segala sesuatu perlu dipertimbangkan terlebih dahulu, terlebih lagi masalah jodoh. Saya tidak bisa memutuskannya sendiri, jawabku masih mencoba sabar dan tersenyum.

 

Entah bagaimana, atau mungkin memang sudah direncanakan, tiba-tiba menyusul datang Mbak Ayu, tetanggaku. Mbak Ayu yang selama ini selalu baik terhadap diriku ini datang bersama Paman Sayur. Aku bingung, apa sebenarnya mau mereka?

 

Sebelum aku sempat bertanya macam-macam, si Paman Sayur yang genit itu langsung bertanya seperti ini padaku, “Bagaimana, lamaranku diterima tidak, Bu?”

 

Aku tergugu dan hampir menangis karena pertanyaan ini. Justru di saat keadaanku sangat tertekan seperti ini, maka Bi Inah, Mbak Ayu dan ibu kostku bergantian melancarkan komentarnya kepada Paman Sayur.

 

“Memangnya berapa mampunya Paman Sayur memberi mas kawin buat Bu Lia?” Tanya Bi Inah.

 

“Lamaran Paman Sayur pasti diterima jika mampu memberi Ibu Lia uang 8 juta dan perabotan seisi kamar!” Susul Mbak Ayu.

 

“Aku rasa Ibu Lia takkan bisa menolak jika diberi uang 15 juta dan perabotan seisi kamar!” Tambah ibu kostku.

 

Aku benar-benar bingung dan tidak mengerti arah pembicaraan mereka. Sedangkan si Paman Sayur hanya diam beberapa saat, dan pada akhirnya marah dengan berkata sangat kasar, “Huh, siapa yang mau dengan gadis sombong, dan jelek seperti kamu!”

 

Kemarahannya jelas sekali ditujukkan padaku. Buktinya, Paman Sayur langsung menudingku dengan ujung jarinya. Aku kaget dan heran mendengarnya.

 

“Sudahlah, Bu Lia terima saja lamaran Paman Sayur. Daripada nanti terjadi apa-apa dengan Ibu.” Desak Bi Inah.

 

“Benar, Bu! Lagi pula hanya nikah siri saja, sebab Paman Sayur hanya akan menjadikan Ibu sebagai isteri keduanya,” sambung Mbak Ayu.

 

“Pertimbangkan masak-masak, Bu! Jangan sampai keputusan Ibu menyakiti hati Paman Sayur,” tambah ibu kostku.

 

Karena kesal dan hampir senewen mendengar semua ocehan mereka, maka seperti tak sadar aku berteriak, “Sudah… sudah! Hentikan semua ini. Apa urusan kalian mengatur-atur jodohku, sedangkan kedua orang tuaku saja tidak pernah berani melakukannya!”

 

Mereka semua terdiam. Sepertinya mereka tak menduga kalau aku yang pendiam bisa menunjukkan reaksi sekeras itu. Akhirnya, satu demi satu mereka pergi meninggalkanku.

 

Selepas kepergian mereka aku menangis seorang diri. Hatiku begitu sedih sebab harga diriku telah terkoyak dengan penilaian mereka yang menganggapku sebagai perempuan murahan. Atau mungkin mereka menganggapku sebagai gadis yang tidak laku sehingga begitu beraninya menjodohkanku dengan si Paman Sayur yang akan menjadikanku sebagai isteri keduanya? Apakah aku begitu nista di mata mereka, sehingga mereka menganggapku cukup layak menjadi isteri kedua dari seorang pedagang sayur keliling?

 

Sejak kejadian itu, sikap Bi Inah, Mbak Ayu, dan ibu kostku memang berubah. Mereka tak lagi menaruh hormat padaku. Tapi, aku coba tidak terlalu memedulikannya. Aku coba memberi ruang untuk memaafkan kenaifan mereka. Dan aku juga tidak pernah memikiran bahwa kejadian lamaran si Paman Sayur itu akan berujung panjang…

 

Kejadiannya bermula pada malam 39 Desember 2006. Selesai sholat Isya, aku sendiri mencium bau bangkai yang sangat menyengat sehingga perutku terasa mual, rasanya dekat sekali dengan hidungku. Bulu kuduke itu berdiri meremang, sebab firasatku mengatak, ada hal buruk yang akan terjadi. Entah apa? Yang jelas, untuk menenangkan perasaan kubaca surah Annas 7x. Setelah itu, kucoba mencari di mana bangkai itu berada. Tapi anehnya, walau sudah dicari kemana-mana tetap saja tidak bisa kutemukan.

 

Pagi harinya, kepala dan lutut sebelah kananku, terasa sakit sekali. Aku pun segera berobat ke Puskesmas terdekat. Menurut diagnosa dokter Puskesmas, aku mengidap kekurangan darah akibat kelelahan. Aku pun diberi beberapa macam obat dan vitamin yang berguna untuk memulihkan stamina tubuhku.

 

Setelah meminum obat dan vitamin itu, memang aku sedikit bergairah. Namun, pas tengah malam menjelang 1 Januari 2007, entah karena sebab apa, tiba-tiba aku merasakan dadaku sesak sampai-sampai susah bernafas, Masih di dada, aku juga merasakan rasa sakit seperti ditusuk-tusuk ribuan jarum.

 

Tengah malam itu aku bangkit dari pembaringanku. Sambil menahan sakit, aku berdzikir, seraya menyerahkan hidup dan matiku hanya kepadaNya. Syukur Alhamdulillah, rasa sakit itu memang sedikit berkurang, sampai pada akhirnya aku tertidur lelap di atas sajadahku.

 

Beberapa hari berikutnya aku merasa tenang kembali. Namun, lepas seminggu kemudian, rasa sakit di dada itu kembali datang. Tak hanya itu, di pergelangan tangan kiriku juga mulai timbul bintik-bintik yang sangat gatal, bahkan kemudian bernanah.

 

Dalam hati, aku benar-benar bingung dengan semua penyakit yang datang secara tiba-tiba dan berbarengan itu. Kendati demikian, aku sama sekali tidak mencurigai keadaan ini sebagai suatu dampak dari pekerjaan ilmu gaib. Aku tetap berpikir positif dalam kerangka logika. Karena itu kemudian kuputuskan untuk berobat secara medis ke rumah sakit. Kata dokter yang memeriksa, kondisiku baik. Dan aku hanya terserang semacam darah kotor.

 

Celakanya, walau dua bulan aku rutin berobat ke dokter, namun tidak ada perubahan. Bahkan penyakitku bertambah parah. Rasa di dada sakitnya menjalar sampai ke punggung. Demikian juga dengan bintik-bintik bernanah juga sudah menjalar hampir ke seluruh tubuhku, kecuali bagian wajahku. Bahkan tidak hanya itu, kaki sebelah kananku terasa nyeri, juga sulit digerakkan.

 

Kendati rasa sakit itu terus mendera tetap kupaksakan untuk bakerja seperti biasa.

 

Sampai aku menyadari bahwa ternyata ada orang yang mengamati kondisiku. Orang itu tak lain adalah Bi Inah, pemulung yang kuberi modal untuk berjualan gorengan.

 

Saat hari itu melihat keadaanku, sama sekali tak kusangka Bi Inah berkomentar begini, “Oo… masih sehat rupanya? Masih kuat, ya? Nanti suatu hari Bu Lia pasti tidak akan bisa berbuat apa-apa, dan berobat kemana saja tidak akan sembuh.”

 

Aku diam saja mendengar ucapan itu, meski dalam hati heran dan bertanya-tanya: “Ada apa sebenarnya?.”

 

Awal Mei 2007, kondisiku semakin lemah. sekujur tubuhku terasa ngilu dan nyeri seperti direjam ribuan jarum. Bahkan, aku hampir-hampir tak bisa menelan makanan lagi. Batuk kering yang parah membuat tenggorokan sakit, ditambah lagi sariawan yang menjalar hampir di seluruh rongga mulutku. Untunglah ketika itu Bunda datang menjengukku.

 

Beliau amat terkejut melihat kondisiku yang memprihatinkan.

 

“Kenapa selama ini kau tidak pernah memberi kabar Bunda kalau keadaanmu seperti ini, Lia?” Sesal Bunda sambil menyusut linangan air matanya.

 

“Baru beberapa hari saja Lia sakit seperti ini, Bunda! Makanya, Lia pikir Lia masih bisa mengatasi keadaan,” jawabku berbohong. Ini terpaksa kulakukan karena aku memang tak ingin membuat batin Bunda tertekan.

 

Melihat keadaanku, Bunda segera menelepon Kak Didin, abangku satu-satunya. Oleh Kak Didin aku kemudian dibawa berobat ke tukang pijat, dengan maksud untuk menghilangkan sakit di dada dan punggungku, sebab katanya sakitku karena masuk angin.

 

Tiga puluh kali lebih aku berobat ke tukang pijat ini untuk membuang angin yang ada di dalam tubuhku. Namun, tetap saja tidak membuahkan hasil. Karena itulah kemudian Kak Didin membawaku berobat secara rukyah pada H. Rudi, guru ngaji di sebuah pondok pesantren. Menurut penilaian H. Rudi, aku murni terkena penyakit dalam. Karena itulah dia menyarankan agar aku berobat ke dokter spesialis penyakit dalam.

 

Mengikuti saran tersebut, aku kemudian dibawa ke RSU Ulin. Oleh dr. Johan, dokter ahli penyakit dalam, aku diberi rujukan untuk periksa darah di laboratorium. Darahku diambil dan diperiksa lewat laboratorium. Tiga hari kemudian, hasil pemeriksaan darah tersebut kuserahkan pada dr. Johan. Ajaibnya, hasil pemeriksaan negatif. Artinya, tidak ada penyakit ganas di dalam tubuhku. Sejujurnya, aku sekeluarga merasa heran dan tidak percaya.

 

Untuk mendapatkan second opinion, aku kemudian dibawa lagi berobat pada dr. Amin. Kali ini, aku diagnosis sakit radang tenggorokan dan jantung. Banyak obat yang kemudian harus kami tebus di apotik. Tapi, tetap saja tak ada hasilnya. Kondisiku masih sama. Sakit dan menderita.

 

Untuk memastikan apa sebenarnya penyakit yang kuderita, oleh dr. Amin darahku diambil lagi. Untuk mendiagnosa penyakitku, kali ini, beberapa dokter di RSU Ulin turut dilibatkan. Semua dokter berunding dan memanggilku. Mereka heran dan bingung, obat apa yang harus diberikan. Karena hasil tes darah itu kembali negatif. Tidak ada penyakitnya.

 

Akhirnya, salah dokter yang merawatku, kali Ini dr. Yuni, memberiku surat rujukan agar aku diopname di RS. Anshari Saleh, Banjarmasin, Tetapi, sekali lagi. Berdasarkan hasil tes darah di rumah sakit yang peralatannya terbilang canggih ini, hasilnya tetap saja negatif alias tidak ada penyakit yang terdeteksi, sehingga dokter tidak dapat melakukan tindakan medis apa pun. Kecuali hanya sekadar memberi cairan infus. Sementara itu, kondisiku semakin parah dan dokter menyatakan lepas tangan.

 

“Mungkin kita hanya bisa menunggu keajaiban Tuhan!” Kata dr. Yuni.

 

Setelah gagal berobat secara medis, Bunda kemudian berinisiatif memanggil Pak Kyai Muslim untuk melihat keadaanku. “Insya Allah tidak ada apa-apa. Coba minum air putih yang sudah aku bacakan doa-doa ini,” kata Kyai kharismatik itu setelah melihat keadaanku.

 

Memang terasa ada perubahan, meski hanya sesaat saja. Beberapa hari kemudian, keadaanku kembali seperti semula, sampai kemudian Kyai Muslim mengaku angkat tangan.

 

Pada 14 Juni 2007 Bunda meminta bantuan Kyai Amin. Beliau datang ke rumah mencoba mengobatiku. Ternyata hasilnya juga nol. Bahkan, dengan nada getir beliau berkata, “Lia, maafkan Kyai, karena tidak sanggup menolongmu. Sejujurnya, orang yang menyebabkan Lia sakit, memang bukan tandingan saya.”

 

Ajalku sepertinya akan segera tiba. Para tetangga yang melihat keadaanku, dan menduga bahwa aku sebentar lagi akan segera mati, berdatangan meminta maaf padaku. Aku sendiri hanya bisa pasrah pada Tuhan, sambil senantiasa berdoa semoga diberi petunjuk olehNya. Aku juga tahu Bunda begitu sedih melihat keadaanku yang semakin kurus dan pucat tak ubahnya mayat hidup. Dokter sudah angkat tangan, karena tidak sangup lagi. Tekanan darahku saat itu hanya 60/50. Batukku semakin parah dan mengeluarkan dahak bercampur darah, perut membusung, sedangkan bila aku terpaksa buang air besar, yang keluar hanyalah gumpalan darah segar.

 

Penderitaanku masih ditambah lagi dengan mulutku yang berbau seperti bangkai. Sangat busuk! Sampai-sampai Kak Didin dan Bunda tak sanggup dekat denganku. Apalagi orang lain.

 

Dalam keputusasaan, dan aku yakin atas petunjuk Allah jua, suatu hari kupasakan diri menelpon orang tua angkatku di Jakarta Timur. Semula maksudku hanya untuk meminta maaf kalau ada kesalahan, sebab aku juga yakin kalau ajalku memang sudah makin dekat.

 

Orang tua angkatku, tepatnya ayah angkatku, kaget sekali mendengar suaraku yang terpatah-patah ditambah dengan isak tangis yang hampir tiada henti. “Apa sebenarnya yang terjadi dengan dirimu, Nak?” Tanyanya.

 

Sambil menahan sakit di tenggorokan dan sekujur tubuhku, kuceritakan semua yang terjadi. Setelah menyimak ceritaku, ayah angkatku menyarankan agar dibawa berobat ke Jakarta Timur, karena punya kenalan sekaligus tetangga “orang pintar” yang dapat diandalkan dan dipercaya.

 

Setelah berunding, pada hari minggu 24 Juni 2007, dengan menaiki pesawat aku berangkat ke Jakarta. Sesampainya di rumah Orang tua angkatku, bukannya disuruh masuk, tapi mereka langsung membawaku ke tempat pengobatan alternatif seorang paranormal di daerah Condet, H. Pamungkas, untuk diobati dengan secepatnya.

 

Pak Haji Pamungkas sendiri sangat terkejut melihat keadaanku yang sudah sangat parah. Setelah sejenak memeriksa, aku diberi segelas air putih yang sudah dibacakan doa. Setelah itu, aku dimintanya duduk menghadap kiblat, dan Pak Haji membaca doa sambil sesekali menyemburkan air ke punggungku. Aneh, seketika itu, dari pori-pori banyak keluar darah kental berwarna kehitaman. Hal ini terus berlangsung selama kira-kira 5 menit.

 

“Cukup! Itu dulu yang bisa Pak Haji lakukan. Jika diteruskan, Nak Lia tidak akan sanggup menahan sakitnya!” Kata Pak Haji.

 

Setelah prosesi pengobatan ini usai, aku di ajak pulang ke rumah orang tua angkatku.

 

Dua hari setelah berobat ke Pak Haji Pamungkas, rasa sakit yang merejam sekujur tubuhku memang sedikit berkurang. Bahkan, aku sudah mulai bisa makan nasi, setelah sekian lama hanya bisa makan bubur encer.

 

Tapi celakanya, pada 27 Juni 2007, tepat pukul 10.00 siang, tiba-tiba aku terserang batuk yang sangat hebat, bahkan sampai muntah darah. Seketika itu pula sakit di dadaku semakin menjadi. Aku juga merasakan hawa panas yang luar biasa. Badanku seperti dibakar api. Anehnya, kedua kaki terasa dingin seperti batu es.

 

Aku hanya bisa merintih-rintih, sambil sesekali menyebut Asma Allah dengan tangan yang terus memutar tasbih. Demi melihat penderitaanku, seisi rumah menjadi bingung. Seketika itu pula tasbih di tanganku putus. Kendati begitu, aku masih bisa menyebut Asma Allah di dalam hati.

 

Dengan menahan sakit yang luar biasa, aku paksa untuk bicara pada Bunda dan ayah angkatku, agar mereka memaafkan kesalahan dan mengikhlaskan kepergianku jika memang hari itu aku harus menghadapNya. Selesai berkata begitu, kupejamkan mata sambil berdzikir, sedangkan semua orang yang ada di sampingku menangis sambil membaca surah Yaasin.

 

Rupanya, ayah angkatku berinisiatif menelpon H. Pamungkas, yang tak lama kemudian datang dan langsung memeriksa keadaanku. Saat itu, meski masih tetap sadar, tapi aku berada dalam kondisi yang sangat kritis.

 

“Masya Allah… orang itu Subuh tadi kembali mengirim teluh kepada Lia!” Kata Pak Haji Pamungkas dengan sedikit kaget.

 

Beliau lalu membaca doa, sambil tangannya diletakkan di kepala dan dadaku. Sepuluh menit kemudian, aku bisa membuka mata dan bernafas seperti biasa. Sore harinya, aku berobat ke dokter untuk pengobatan fisik, sebab maag yang kuderita sudah sangat kronis.

 

Siang hari 29 Juni 2007, aku dibawa ayah angkatku ke rumah H. Pamungkas untuk menjalani pengobatan. Sesuai petunjuk Pak Haji, kami harus membawa syarat-syarat berupa jarum jahit tangan 1 bilah, daun kambat (semacam daun sirih yang berguna untuk pengobatan/mengusir kekuatan hitam-Red), dan 1 butir telur ayam kampung. Sebelum pengobatan dimulai, aku disuruh berwudhu. Sedang selama Pak Haji Pamungkas merajah telur ayam itu, aku harus menahan nafas.

 

Kemudian, telur ayam itu dibungkus dengan 2 lembar daun kambat, dan aku duduk menghadap kiblat. Lalu, telur yang sudah dibungkus itu digosok-gosokkan ke semua bagian tubuhku yang sakit.

 

Anehnya, baru saja diletakkan di punggung oleh ayah angkatku, seketika, telur itu pecah.

 

“Teruskan saja menggosok sampai selesai!” Perintah Pak Haji yang melihat kejadian itu.

 

Setelah selesai, Pak Haji Pamungkas mencari sesuatu dalam telur yang pecah tadi. Satu demi satu benda-benda aneh pun diketemukan: beberapa jarum yang sudah patah-patah! Kata Pak Haji, jarum itulah yang menyebabkan rasa sakit menusuk-nusuk di dada dan punggungku.

 

Setelah jarum itu dikeluarkan, aku merasakan perih yang luar biasa. Kata Pak Haji Pamungkas, ini karena aku terluka dalam. Dan untuk mengobatinya, setiap hari aku harus makan telur ayam kampung setengah matang 2 butir, dan minum 2 gelas air kunyit.

 

Setelah menjalankan prosesi pengobatan ini, ketika buang air besar, dari dalam tubuhku keluar kotoran berwarna hitam seperti air selokan yang penuh sampah dengan bau yang amat busuk. Kata Pak Haji Pamungkas, biarkan kotoran itu keluar terus, karena lewat cara itulah penyakit di tubuhku akan keluar.

 

Pada malam hari seusai mengobati penyakitku, menurut cerita ayah angkatku, rumah Pak Haji bergoyang seperti dilanda gempa. Semua barang pecah belah mendadak meledak. Tapi beliau sekeluarga selamat karena rumahnya memang sudah dipagari secara gaib.

 

Satu bulan lebih aku tinggal di Jakarta Timur. Untuk memulihkan tenaga aku tetap berobat secara medis. Alhamdulillah, keadaanku semakin membaik. Sebagai rasa syukur, aku dan keluarga melaksanakan syukuran dengan membaca Manakib Syeich Abdul Qadir Jailani sebanyak 3 kali. Hal ini seperti yang disarankan Haji Pamungkas.

 

Aku kembali ke Banjarmasin pada 16 Juli 2007 dan langsung menempati rumah kost baru di Komplek Polisi Kayu Tangi. Bunda dan Kak Didin sudah menyuruh orang untuk mengangkut semua barang-barangku di rumah kostku yang lama, ke rumah kost yang baru.

 

Kini, sudah lebih setahun mimpi buruk itu berlalu. Syukur Alhamdulillah, akhirnya aku bisa tinggal di rumah sendiri di Komplek Putera Gemilang, dan rumah ini kubeli dengan cara kredit.

 

Akupun merasa sudah benar-benar sembuh. Semua berkat pertolongan Allah SWT. Aku sempat mendengar kabar mengenai keadaan di tempat kostku di Jalan Pangeran dulu. Katanya, suami ibu kostku dulu itu hampir buta karena katarak, anak dan menantunya di PHK, sedangkan ibu kost sendiri menderita kencing manis. Bi Inah berhenti berjualan, karena bangkrut. Akhirnya dia kembali jadi pemulung. Entahlah bagaimana kabarnya Mbak Ayu dan Paman Sayur yang ingin menjadikanku sebagai isteri keduanya itu.

 

Sejujurnya, aku masih trauma dengan pengalaman pahit ini. Untuk mengurangi beban perasaan itu, maka, sengaja kucurahkan kisahku ini lewat tulisan ini.

 

Demikianlah sepenggal catatan hitam dalam perjalanan hidupku. Semoga centa ni bermanfaat bagi pembaca. ©️KyaiPamungkas.

 

PESAN KYAI PAMUNGKAS:

Syukur Alhamdulillah, berkat pertolongan Allah SWT semua cobaan yang Anda hadapi kini telah berlalu. Kalau hingga saat ini masih mengalami sedikit trauma, maka sesungguhnya hal tersebut wajar mengingat deraan derita dan kengerian yang telah Anda alami selama beberapa waktu. Siapa pun pasti akan mengalami perasaan yang sama jika dia melampaui sendiri kenyataan pahit ini.

 

Nah, untuk menghilangkan perasaa trauma tersebut, sekaligus agar Anda tidak merasa was-was kami mengijazahkan amalan ini:

 

HASBUNALLAH WA NI’MAL WAKIL (100 KALI).

 

LA LAILAHA ILLA ANTA SUBHAI MINAZ ZOLIMIN (100 KALI).

 

FA’ASALLAH AYYA’TIYA BIL FATHI AU AMRIM MIN INDIHI, FAYUSBIHU ALA MA’ASARRUFI ANFUSIHIM NADIMIN (100 KALI).

 

WA UFAWWIDU AMRI ILALLAH, INNALLAHA BASIRUM BIL IBAD (100 KALI).

 

Amalan tersebut dibaca sesudah Subuh dan Ashar. Dan kita harus puasa di setiap hari kelahiran.


PENGOBATAN ALTERNATIF
"PONDOK RUQYAH"
(SOLUSI PASTI DI JALAN ILLAHI)

Kami Jasa Solusi Problem Hidup. Masalah Tuntas Tanpa Bertentangan dengan Hukum Agama dan Negara.

MACAM PROBLEM DALAM PELAYANAN KAMI:
Solusi Problem Asmara, Rumah Tangga, Back Up Karir, Back Up Usaha, Jual Beli, Aura Pemikat, Bersih Diri / Ruwat / Ruqyah / Buang Sial, dll.

KAMI TIDAK MELAYANI SEGALA HAL YANG MELANGGAR HUKUM AGAMA DAN NEGARA.
Contoh: Bank Gaib, Uang Balik, Harta Gaib, Pesugihan, Aborsi / Menggugurkan Kandungan, Perjudian / Togel / Judi Online, Mencelakakan Orang / Santet / Teluh, dll.

ALAMAT PONDOK RUQYAH:
Dusun Kasemen, No.50, RT.05, RW.03, Desa Wangkalkepuh, Kecamatan Gudo, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Kodepos 61463.
🌐 https://pondok-ruqyah.com/
☎️ +6285708371817

PERINGATAN!
Hati-hati dan waspada terhadap penipuan online yang mengatasnamakan kami. Diutamakan datang langsung ke alamat kami untuk menghindari segala hal negatif. Terimakasih.
DATANG DENGAN NIAT BAIK
TIDAK UNTUK KEJAHATAN!